SIFAT-SIFAT
ALLAH (Wajib,
Mustahil, Jaiz)
Makalah
ini disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah:
Aqidah
Akhlak di Madrasah / Sekolah
Dosen
Pembimbing: Dr. Sangkot Sirait
Disusun
Oleh:
Nama : Putri Sari Pratiwi
NIM : 13410023
Kelas : C
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014/2015
Sifat-Sifat
Allah (Mustahil, Jaiz, Wajib)
Pada materi ini
akan dibahas mengenai sifat-sifat Allah dari sifat-sifat mustahil yang tidak
dimiliki Allah, sifat jaiz, hingga sifat-sifat wajib Allah. Sebelum masuk pada
pembahasan itu, perlu kita ketahui terlebih dahulu mengenai Allah, apa arti
kata Allah?
Menurut Toshihiko Izutsu yang
dikutip oleh Sangkot Sirait dalam bukunya yang berjudul “Tauhid dan
Pembelajarannya”, arti kata Allah adalah kata fokus tertinggi dalam sistem
al-Qur’an, yang nilai penting dan kedudukannya tidak ada yang melebihinya.
Siapakah Allah? Allah adalah asma
Tuhan yang berhak disembah. Selain Allah, tidak ada Tuhan yang patut disembah.
Demikianlah penegasan ajaran Islam sebagaimana yang wajib dilafalkan oleh
setiap muslim, yang dikenal dalam dua kalimah syahadah,[1]
“Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang
berhak disembah melainkan Allah; saya bersaksi pula bahwa Muhammad adalah Rasul
Allah.”
Secara global Allah itu bersifat dengan segala macam sifat-sifat
kesempurnaan. Karena itulah yang sesuai dengan ke Tuhanan-Nya. Mustahil ia
mempunyai sifat-sifat kekurangan. Yang mempunyai sifat kekurangan bukanlah Tuhan.[2]
Oleh para cendekiawan sifat-sifat
Allah itu dibagi kepada tiga golongan yaitu:
1.
Sifat yang wajib (yang mesti ada)
2.
Sifat-sifat yang mustahil (yang
tidak mungkin ada)
3.
Sifat yang jaiz (yang boleh ada)[3]
Kemudian sifat-sifat wajib dan
mustahil tersebut oleh Abu Mansur Al Maturidi dibagi lagi kepada:
1.
Sifat nafsiyah yaitu sifat diri
2.
Sifat salbiyah yaitu sifat yang
meniadakan
3.
Sifat ma’ani yaitu sifat yang
mempunyai makna yang menetapkan (melekat) pada Zat-Nya.
4.
Sifat ma’nawiyah yaitu sifat yang
merupakan kelaziman ma’ani.[4]
Tetapi Abu Hasan Al Asy’ari tidak
menyetujui adanya kelompok yang keempat (sifat ma’nawiyah).
Adapun perincian sifat-sifat wajib,
mustahil dan jaiz tersebut adalah sebagai berikut:
A.
Sifat-Sifat
Wajib
Kata Wājib
berasal dari bahasa Arab dengan kata dasar dalam bentuk verb/kata kerja: wájaba
(وَجَبَ) yang kemudian
menjadi Wājib (بجاو)
yang bermakna (الأهَمِّيَّه بالِغ): hal yg sangat perlu
dilakukan atau penting, kewajiban.
Bentuk jamak
(plural) dari kata Wājib (واجب)
adalah wajibāt (واجبات)
atau wajā’ib (وجائب)
yg berarti kewajiban-kewajiban.[5]
1. Sifat Nafsiyah
Sifat nafsiyah ini hanyalah satu saja yaitu: wujud = ada.
Adanya Allah itu adalah karena
zat-Nya sendiri. Bukan karena diadakan oleh sebab-sebab lain dari luar zat-Nya
itu.
2.
Sifat Salbiyah
Adapun yang termasuk dalam golongan
sifat-sifat salbiah (salbiah: yang menarik atau meniadakan dari Allah Ta’ala akan sifat-sifat yang tidak
sesuai, tidak layak, dan tidak cocok dengan kesempurnaan Dzatnya.)[6],
yaitu:
a.
Allah Ta’ala itu bersifat Awwal (Qidam)
dan Akhir (Baqa)
Allah SWT adalah Maha Awwal yakni
Maha Dahulu. Arti dari kemaha-awwalannya itu ialah bahwa Allah SWT adalah tidak
ada permulaan bagi wujudnya. Jadi wujud atau adanya Allah SWT itu tidak pernah
didahului oleh ketiadaan sebelumnya.
Allah Ta’ala adalah Maha Akhir
yakni Maha Belakang. Arti dari kemaha-belakangannya itu ialah bahwa Allah SWT
adalah tidak ada akhir atau penghabisannya bagi wujudNya. Allah adalah Maha
Kekal dan tidak ada nihayah atau puncak keakhirannya.
Oleh sebab itu, maka Allah Ta’ala
itu adalah Maha Azali yakni sudah ada sejak zaman azali yaitu zaman sebelum
adanya sesuatu apapun selain dari Dia sendiri, juga Dia adalah Maha Abadi yakni
kekal untuk selama-lamanya. Allah Ta’ala tidak pernah didahului oleh ketiadaan
sebelumnya dan tidak pernah dihinggapi oleh kerusakan atau kebinasaan, sebab
Allah Ta’ala itu memang wajibul wujud yakni wajib adaNya.[7]
Dalam hal ini Allah Ta’ala
berfirman dalam QS. Hadid: 03, yang artinya:
“Dia (Allah) adalah Maha Pertama,
Maha Terakhir, Maha Terang dan Maha Tersembunyi dan Dia adalah Maha Mengetahui
segala sesuatu.”
Maha Pertama maksudnya yang
terdahulu sekali wujudnya bila dibandingkan dengan segala yang maujud ini tanpa
didahului oleh ketiadaan.
Maha Terakhir maksudnya kekal
selama-lamanya setelah rusaknya segala sesuatu yang maujud ini.
Maha Terang maksudnya bahwa dengan
bekas-bekas ciptaanNya merupakan bukti yang terang yang menunjukkan tentang
adanya Allah Ta’ala itu.
Maha Tersembunyi maksudnya bahwa
Allah Ta’ala adalah Dzat yang tidak dapat dicapai oleh pancaindera dan tidak
dapat diliputi oleh akal fikiran.[8]
Selain ayat di atas, Allah SWT juga
berfirman dalam QS. Qashash: 88, yang artinya:
“Segala sesuatu itu pasti rusak,
melainkan DzatNya Allah.”
Di dalam ayat lain, yakni QS.
Rahman: 26-27 Allah berfirman:
“Segala yang
ada di bumi itu akan musnah. Dan Dzat Tuhanmu akan tetap kekal selama-lamanya,
yaitu Tuhan yang Maha Agung dan mulia.”
Bukhari dan
Baihaqi meriwayatkan dari ‘Imran bin Hushain, dia berkata; saya berada di
samping Rasulullah. Ketika suatu kaum datang, Rasulullah bersabda: “Terimalah
kabar gembira itu, ya Bani Tamim.” Bani Tamim berkata: “Engkau telah menyampaikan
kabar gembira kepada kami. Oleh karena itu, berilah kami.” Setelah itu
orang-orang dari penduduk Yaman masuk. Rasulullah bersabda: Terimalah kabar
gembira itu, wahai penduduk Yaman, meskipun Bani Tamim belum menerimanya.”
Mereka berkata: “Kami terima. Kami datang ke sini untuk mempelajari dan
memperdalam agama. Oleh karena itu, kami ingin bertanya kepadamu tentang
permulaan sesuatu yang berwujud.” Rasulullah menjawab: “Allah. Tak satupun yang
berwujud sebelum-Nya. Arasy-Nya berada di atas air. Hanya Dia yang menciptakan
langit dan bumi dan Dia pula yang menentukan sesuatu di dalam ‘Ad-Dzikir.”
Dengan melihat
dari sifat Allah yang Maha Awwal dan Akhir seperti demikian itu, maka kita
sebagai manusia harusnya menyadari bahwa hanya Allah yang Maha Kekal. Kita
hanya manusia yang lemah yang pada akhirnya nanti kita akan kembali kepada-Nya.
Untuk itu, kita tidak boleh semaunya sendiri hidup di bumi ini. Sesuka kita
ingin berbuat apa tanpa peduli akan peraturan Allah. Ingatlah bahwa kita akan
dimintai pertanggungjawaban atas segala perilaku kita. Sejak awal kita hidup
hingga pada akhirnya kita mati. Jadi, janganlah kita lupa, hidup manusia tidak
kekal seperti Allah Ta’ala.
b.
Allah Ta’ala tidak serupa dengan
sesuatu (Mukhalafatu lil hawadits)
Di antara sifat-sifat Allah Ta’ala
lainnya ialah bahwa Allah itu tidak serupa dengan sesuatu apapun. Dia tidak
menyamai segala yang merupakan makhluk-Nya ini dan tidak sesuatu makhluk pun
yang menyamai Dia.[9]
Allah berfirman: “Tak satupun yang menyerupai Allah. Allah Maha Mendengar dan
Maha Melihat.” (QS.Syura:11).
Penyerupaan selain Allah kepada-Nya
tentang sebagian sifat itu hanya dari aspek nama, bukan dari aspek hakikat.
Jika dikatakan: Polan Maha Kuasa, Maha Bijaksana, dan Maha Penyayang, itu hanya
dari aspek lahiriyah. Dengan demikian esistensi ilmu, hidup, kuasa, bijaksana,
kasih sayang bagi Allah sangat sempurna, sedang eksistensi semua sifat itu bagi
individu sangat kurang jika dihubungkan dengan kepada Allah.[10]
c.
Berdiri Sendiri (Qiamuhu binafsihi)
Allah melaksanakan segala
sesuatunya dengan sendirinya. Tidak berkehendak kepada bantuan siapapun. Yang
berkehendak kepada bantuan itu adalah lemah. Yang lemah bukanlah Tuhan. Yang
berkehendak pada bantuan itu adalah makhluk. Tuhan bukanlah makhluk. Karena itu
Allah mustilah Qiamuhu binafsihi.[11]
d.
Maha Esa (Wahdaniyah)
Allah Maha Esa dalam substansi (Dzat),
sifat, dan perbuatan-Nya. Keesaan di dalam Dzatnya mempunyai pengertian bahwa
substansi Allah tidak tersusun dari beberapa bagian dan tidak ada yang
menyerupai dan menyekutui kerajaan-Nya. Allah berfirman: Maha Suci Dia. Allah
Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (QS.Zumar:04).[12]
Jika ada Tuhan bersama Allah
sebagaimana yang diasumsikan orang-orang musyrik, mereka tentu menuntut untuk
mengalahkan dan menyaingi Allah. Allah berfirman: “Katakan: Seandainya ada
beberapa Tuhan bersama Allah sebagaimana yang dikatakan mereka, mereka tentu
menuntut jalan kepada Dzat yang mempunyai Arasy. Maha Suci Allah dan Maha
Tinggi dari apa-apa yang mereka katakan dengan sesungguhnya.” (QS. Isra’:
42-43).[13]
3.
Sifat Ma’ani
Adapun sifat ma’ani ada tujuh macam, yaitu:
a.
Kuasa (Qudrah)
Allah Maha Kuasa dan tak satu pun
yang dapat melemahkan-Nya. Bermula atau munculnya alam semesta karena kekuasaan
dan keagungan-Nya. Kekuasaan Allah selalu baik dan relevan sepanjang masa untuk
mewujudkan dan meniadakan segala yang mungkin.
b.
Berkehendak (Iradah)
Allah Maha Berkehendak, artinya
Allah menentukan sesuatu yang mungkin dengan sebagian yang diperbolehkan. Allah
menjadikan panjang atau pendek, naik atau buruk, pintar atau bodoh di suatu
tempat atau di tempat lain. Allah mengatur alam semesta menurut kehendak,
keinginan, dan kebijaksanaanNya. Allah berfirman: Kami hanya mengatakan kepada
sesuatu: Jika kami menghendaki, kami katakana padanya: Jadilah, lantas ia
jadi.” (QS.Nahl: 40).
c.
Mengetahui (‘Ilmu)
Allah Maha mengetahui atas segala
sesuatu dan imu-Nya selalu mempunyai data-data yang telah lampau, sekarang,
atau yang akan datang. Ilmu Allah tidak didahului oleh kebodohan dan tidak
diikhtibarkan oleh kelupaan. Ilmu Allah tidak terbatas dengan masa dan tempat.
d.
Hidup (Hayat)
Allah Maha Hidup. Hidup adalah
sifat yang membenarkan dan mengarahkan sesuatu yang disifati dengan berkuasa,
berkehendak, mengetahui, mendengar,dan melihat. Seandainya Allah tidak hidup,
sifat-sifat itu tidak mungkin ada.
Hidup Allah adalah
hidup yang sempurna dan tidak ada yang lebih sempurna daripadanya – kadarnya
tidak dapat disentuh dan hakikat-Nya tidak dapat diketahui – seperti semua
sifat-Nya.
e.
Berfirman (Kalam)
Allah Maha Berfirman; Firman-Nya
tidak berwujud huruf dan suara. Sifat ini telah ditetapkan Allah untuk diri-Nya
dan Dia pernah bercakap dengan Musa. Allah berfirman: “Allah bercakap-cakap
dengan Musa dengan sebenarnya.” (QS. Nisa: 164). “Setelah Musa datang pada
waktu perjanjian Kami dan Tuhan bercakap-cakap dengannya.” (QS.A’raf: 143).
Allah juga pernah bercakap-cakap dengan para nabi. Allah berfirman: “Manusia
tidak akan mendapatkan bahwa Allah bercakap-cakap dengannya kecuali berupa
wahyu.” (QS. Syura’:51).
f.
Mendengar (Sama’)
Allah Maha Mendengar, Dia mendengar
segala sesuatu sampai pada semut hitam yang merayap di padang pasir yang tidak
ada tumbuh-tumbuhan di kegelapan malam tanpa disibukkan oleh pendengaran
terhadap satu kelompok dari pendengaran terhadap kelompok lain dan tanpa
dikaburkan oleh bahasa, tanpa dipengaruhi oleh kegaduhan, atau tanpa
dibingungkan oleh kekacauan. Allah tidak mendengar dengan anggota badan, dengan
alat, dengan telinga, dan dengan lobang telinga.[14]
Allah Maha Mendengar segala
sesuatu, tidak seperti manusia yang pendengarannya terbatas. Misalnya pada
suatu kejadian, ketika dalam kelas guru sedang menjelaskan dengan suaranya yang
memang tidak terlalu keras, ditambah dengan ramainya teman-teman berbicara
sendiri, terjadi kegaduhan di dalam kelas itu. Maka pendengaran manusia pun
sudah terhambat ketika ingin mendengarkan guru. Suara guru pun sulit terdengar.
Berbeda sekali dengan Allah, Dia mampu mendengar dalam situasi apapun tanpa
hambatan apapun.
g.
Melihat (Bashar)
Sebagaimana Allah
mendengar segala sesuatu, Allah juga melihat segala sesuatu berupa pengelihatan
yang mencakup dan memuat semua panca indra. Pengelihatan Allah tidak dengan
biji mata sebagaimana orang lain melihatnya.[15]
Dalam pelajaran Biologi,
tentu kita sudah pernah belajar mengenai organ mata. Yang fungsi utama dari
mata adalah untuk melihat. Mata manusia juga memiliki keterbatasan, ketika
melihat sesuatu yang berada di balik tembok, mata manusia tidak mampu
melakukannya. Sangat berbeda dengan Allah yang Maha Melihat sesuatu di manapun.
Tidak ada pengahalang bagi-Nya.
4.
Sifat
Ma’nawiyah
Karena sifat ma’nawiyah ini adalah sifat kelaziman dari sifat
ma’ani maka jumlahnya tentu sesuai dengan sifat ma’ani tersebut yakni tujuh
macam. Antara lain:
a.
Qodiran = selalu berkuasa
b.
Muridan = selalu berkehendak
c.
‘Aliman = selalu mengetahui
d.
Hayyan = selalu hidup
e.
Sami’an = selalu mendengar
f.
Bashiran = selalu melihat
g.
Mutakaliman = selalu berkata-kata.[16]
B.
Sifat-Sifat
Mustahil
Mustahil di dalam kamus Bahasa Indonesia berarti tidak akan terjadi;
tidak mungkin. Sedangkan di dalam kamus bahsa Arab Munjid kata mustahil (مستحيل) berakar kata حال
يحول حولا وحؤولا yang berarti berubah dari satu keadaan kepada keadaan
yang lain, kemudian mendapatkan tambahan hamzah wasal, sin dan ta’ di depannya
sehingga menjadi استحال يستحيل استحالة فهو مستحيل yang masih berarti berubah dari satu
keadaan kepada keadaan lain atau berarti menjadi muhal (tidak mungkin terjadi).
Dengan demikian dapat diartikan bahwa mustahil adalah sesuatu yang berubah dari
satu keadaan kepada keadaan yang lain atau sesuatu yang tidak mungkin terjadi.[17]
Sifat-sifat mustahil
ialah sifat yang tidak mungkin ada pada Allah. Sifat-sifat ini adalah lawan
dari sifat wajib. Karena jumlahnya adalah 13 atau 20 pula, sebagaimana jumlah
sifat wajib.
Sifat-sifat mustahil ini ialah:
1.
Al-‘adam = tidak ada.
2.
Al huduts = baru.
3.
Al fana = binasa.
4.
Al mumatsalah = serupa dengan
makhluk.
5.
Adamul qiamu binafsihi = tidak
berdiri sendiri
6.
Al ta’addud = berbilang.
7.
Al ‘ajzu = lemah.
8.
Al karonah = terpaksa.
9.
Al jahlu = bodoh.
10.
Al mautu = mati.
11.
Al ashommu = tuli.
12.
Al a’ma = buta.
13.
Al bukmu = bisu.
14.
Ajizan = selalu lemah.
15.
Karihan = selalu terpaksa.
16.
Jahilan = selalu bodoh.
17.
Mayyitan = selalu mati.
18.
Asham = selalu tuli.
19.
A’ma = selalu buta.
20.
Abkam = selalu bisu.[18]
C.
Sifat Jaiz
Jaiz artinya diizinkan
menurut agama (boleh dilakukan, tetapi boleh juga tidak); mubah.[19] Sifat jaiz ialah
sifat yang boleh ada dan boleh pula tidak ada pada Allah. Sifat ini hanyalah
satu saja, yaitu Allah itu boleh mengerjakan sesuatu dan boleh pula tidak
mengerjakan sesuatu.
Mengerjakan sesuatu atau tidak
mengerjakan sesuatu itu adalah menjadi wewenang Allah sepenuhnya. Karena itu
menciptakan alam ini tidaklah wajib bagi Allah dan tidaklah mustahil, tetapi
boleh saja. Tuhan boleh saja menciptakannya dan boleh pula tidak
menciptakannya.[20]
Referensi
Abduh, Syekh
Muhammad. 1976. Risalah Tauhid. Jakarta: Bulan Bintang.
Basyir, KH.
Ahmad Azhar Basyir. 2002. Beragama Secara Dewasa: Akidah Islam. UII
Press.
Sabiq, Sayid.
1995. Aqidah Islam (Ilmu Tauhid): Pola Hidup Manusia Beriman.
Diponegoro.
Sabiq, Sayid.
1996. Akidah Islam: Suatu Kajian yang Memposisikan Akal sebagai Mitra Wahyu. Al-Ikhlas.
Sirait,
Sangkot. 2013. Tauhid dan Pembelajarannya. Yogyakarta: Fak. Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga.
Zaini, Syahminan. 1983. Kuliah Aqidah Islam. Surabaya:
Al-Ikhlas.
[1]
KH. Ahmad Azhar Basyir, Beragama Secara Dewasa: Akidah Islam, (UII
Press, 2002), hal. 78.
[2]
Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), hal.
96.
[3]
Ibid.
[4]
Ibid.
[6]
Sayid Sabiq, Aqidah Islam (Ilmu Tauhid): Pola Hidup Manusia Beriman,
(Diponegoro, 1995), hal. 81-82.
[7]
Ibid, hal. 82.
[8]
Ibid.
[9]
Ibid, hal. 89.
[10]
Sayid Sabiq, Akidah Islam: Suatu Kajian yang Memposisikan Akal sebagai Mitra
Wahyu, (Al-Ikhlas, 1996), hal. 72.
[11]
Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), hal.
98.
[12]
Sayid Sabiq, Akidah Islam: Suatu Kajian yang Memposisikan Akal sebagai Mitra
Wahyu, (Al-Ikhlas, 1996), hal. 73.
[13]
Ibid, hal. 75.
[14]
Ibid, hal. 85.
[15]
Ibid.
[16]
Syahminan Zaini, Kuliah Aqidah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1983), hal.
105.
[17]
http://umemsindonesia.blogspot.com/2012/06/pengertian-mustahil-di-dalam-al-quran.html
[18]
Ibid., hal. 106-107.
[19]
http://kbbi.web.id
[20]
Ibid., hal. 107.
0 Comments:
Post a Comment