MU’TAZILAH SERTA IMPLIKASINYA DALAM
KEHIDUPAN
Makalah ini dibuat guna
memenuhi tugas mata Aqidah Akhlak
Dosen pengampu: Sangkot Sirait,
M.Pd.
NAMA :
Achmad Siddicq NIM: 13410171
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN
SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014/
2015
DAFTAR ISI
Allah memberikan kenikmatan yang
sangat berharga dan hanya dimiliki oleh manusia saja, yaitu Otak. Ditempat
inilah lahirnya pemikiran pemikiran rasional logis yang dapat mengubah hidup
diri sendiri, orang lain disekitarnya atau bahkan seluruh warga negara tersebut
bisa terpengaruhi oleh pemikiran seseorang. Lebih lagi seseorang akan kekal
abadi disetiap zaman jika pemikiran yang dilahirkan adalah pemikiran yang
bermanfaat dan dapat menginspirasi orang banyak. Seperti Washil ibn Atha
(80-131 H/ 699-749 M) yang menjadi perintis untuk membuka fikiran rasionalnya
untuk berijtihad memikirkan persoalan agama. Melalui ajarannya yang dikenal
dengan nama mu’tazilah Washil memulai berbagai pemikiran agamanya dengan
menelaah ulang kajian Al-Quran As-Sunnah serta pemikiran ulama semasa itu
dengan dikaitkan persolan agama, muamalah, syariah, akidah bahkan hingga kepada
politik.
Menurut sejarah aliran ini memang
pernah mencapai masa keemasannya dan melahirkan beberapa gagasan pemikiran yang
cukup kontroversial. Namun setelah memasuki abad ke-3 Hijriah aliran ini mulai
menurun ketenarannya dan akhirnya lenyap secara fisik aliran yang
mengatasnamakan Mu’tazilah. Namun corak pemikiran dan semangat berijtihad
hingga kini masih terasa.
Sebelum memasuki corak pemikiran
serta khazanah yang dapat diambil dari aliran ini, sebaiknya dibahas dahulu
studi histotis dari aliran ini sehingga dapat memahami secara keseluruhan
pemikiran Washil ibn Atha dan pemeluk ajaran Mu’tazilah lainnya.
A. Kajian Sosio-Historis Ajaran Mu’tazilah
Pada penghujung abad I Hijriah terdapat suatu permasalahan yang cukup hangat
diperbincangkan oleh kalangan cendekiawan muslim mengenai status keislaman
seseorang, apakah ia tetap mukmin atau menjadi kafir jika orang mukmin
melakukan dosa besar. Persoalan tersebut dibahas dibanyak majlis taklim, begitu
juga majlis di masjid Bashrah yang dipimpin oleh Hasan Al-Bashri (21-110 H/
642-748 M).[1]
Pada suatu hari seseorang jamaah majlis tersebut bertanya kepada Hasan Al-Bashri
mengenai permasalahan tersebut. Disaat Hasan Al-Bashri masih berfikir untuk
menjawab, secara spontan Washil ibn Atha yang menjadi peserta jamaah majlis
taklim memberikan jawaban. Menurut pendapat washil orang mukmin yang berbuat
dosa besa rmaka statusnya tidak lagi mukmin sempurna, namun juga tidak kafir
sempurna. Dia berada diatara dua posisi yang disebutnya al-Manzilah bayn
al-manzilatain (tempat diantara dua tempat). Sesudah mengemukakan pendapat
tersebut, Washil ibn Atha langsung meninggalkan forum pengajian Hasan Al-Bashri
dan diikuti oleh temannya yang bernama ‘Amr ibn Ubaid. Mereka langsung menuju
salah satu tempat lain didalam masjid tersebut.[2]
Melihat tindakan Washil dantemannya itu, Hasan pun berkomentar dengan kata: I’tazala
‘Annda Washil (Washil telah memisahkan diri dari kita). Semenjak itulah
Washil dan kawannya dinamai dengan sebutan Mu’tazilah.[3]
Peristiwa inilah yang melatarbelakangi lahirnya ajaran mu’tazilah berikut
penamaannya yang paling mashur dikalangan ulama pada masa tersbut.
Secara bahasa menurut Abu Aanisah Aslam dalam kamus Muawwir menyebutkan
bahwa kata mu’tazilah berasalah dari akar kata i’tazala ya’tazilu yang
berarti mengundurkandiri, menarik diri dan menyingkir.[4]
Dalam persoalan Washil kata mu’tazilah pada awalnya memang mengundurkan diri,
menarik dan menyingkir dari majlis Hasan Al Bashri baik itu secara fisik karena
telah berpindah tempat menuju sisi masjid yang lain ataupun dari segi pendapat
yang telah berbeda dari Hasan Al Bashri
Sebenarnya istilah Mu’tazilah juga sudah pernah muncul pada abad pertama
hijriah. Namun ketika itu julukan mu’tazilah merupakan julukan bagi kelompok
tertentu yang tidak mau terlibat dengan urusan politik dan hanya menekuni
kegiatan dakwah dan ibadah semata.[5]
Persoalan potilik pada masa itu bisa jadi berupa perebutan kursi kekuasaan,
ataupun perang antar kaum muslim yang berlandaskan persoalan politik seperti
perang jamal dan perang siffin.
Dari deskripsi penamaan Mu’tazilah tersebut memiliki kesamaan arti dan
maksud dari ajaran Mu’tazilah yang didirikan Washil ibn Atha. Ajaran Mu’tazilah
yang didirikan Washil ibn Atha juga bermaksud untuk menarik diri dan menyingkir
dari pemikiran ulama pada umumnya di masa tersebut kemudian merintis ajaran
sendiri yang memikirkan segala ajaran Islam dengan rasio dan akalnya sebagai
acuan pokoknya disamping Al Quran dan As Sunnah
Sejalan dengan berjalannya waktu Ajaran Mu’tazilah selain berkembang di
tanah kelahirannya di Bashrah, ajaran ini juga berkemban ditanah Baghdad pada
abad ke 2 Hijriyah. Namun jika ditelisik lebih lanjut terdapat perbedaan
kecenderungan diantara dua tempat tersebut. Kaum Mu’tazilah di Bashrah tidak
terlalu mengindahkan ikut campur dengan pemerintah sehingga dapat berfokus pada
lahirnya pemikiran-pemikiran agama. Sebaliknya kaum Mu’tazilah yang di Bagdad
malah menggandeng pemerintah untuk mendapatkan kekuatan lebih untuk menambah
jamaah diajarannya, sehingga pada masa itu pemerintah menetapkan ajaran
Mu’tazilah sebagai ajaran resmi negara yang sah.[6]
B. Metode Pemikiran Teologi Mu’tazilah
Setelah kita telah mengenal Mu’tazilah dari kajian sosial masyarakat kala
itu dan sejarah lahirnya ajaran ini, sekarang mulai membahas mengenai metode
berfikir ajaran yang diampu oleh Washil ini. Menurut banyak sejarawan aliran
Mu’tazilah terkenal dengan pemkirannya yang rasional dan liberal. Maksudnya
semua permasalahan agama termasuk dalam hal aqidah juga harus berpegang pada
premis premis logika. Mereka sangat mempercayai kemampuan akal yang dapat
memikirkan segala hal yang ada didunia ini, bahkan jika mereka menemui sesuatu
yang tidak dapat dijangkau akalnya, mereka tidak akan menerimanya sebagai
ajaran yang benar.
Pemikiran kaum mu’tazilah ternyata juga sedikit banyak dipengaruhi oleh
filsafat yunani dan menggunakan logika dalam menemukan landasan-landasan paham
mereka dengan alasan bahwa mereka menemukan keserasian pola pemikiran dengan
filsafat Yunani.[7]
Kemudian mereka jadikan pola pemikiran ini sebagai metode berfikir ajaran
Mu’tazilah sehingga mereka lebih lancar dan kuat dalam mengemukakan argumentasi
rasionalnya. Selain itu buah fikir kaum Mu’tazilah ini merupakan aliran teologi
yang paling bersifat filosofis jika dibandingkan dengan aliran-aliran teologi
lain. Oleh karena itu tidak sedikit orang yang menyebut kaum Mu’tazilah sebagai
filosof muslim yang sangat kuat baik dalam segi argumentasi juga dari segi
dukungan pemerintahan.
Seperti yang sudah disinggung pada pembahasan sebelumnya ajaran Mu’tazilah
lebih menggunakan rasio fikirannya dengan metode logika murni untuk memikirkan
permasalahan yang dihadapi, namun mereka tetap berusaha agar tidak menyimpang
dari nas-nas Al-Quran.[8]
Jika ternyata terdapat beberapa ayat Al-Quran yang dikira berbeda, tidak
mendukung bahkan bertentangan dengan ajaran mereka, maka mereka takwilkan
sehingga tidak bertentangan dengan pemikiran mereka dan juga tetap menjaga
keutuhan makna Al Quran.
Lebih ekstrim lagi kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa akal tidak sekali-kali
akan melakukan kesalahan dan tidak akan membawa kepada kesesatan berasaskan
kaedah-kaedah berfikir ahli filsafat Yunani.[9]
Dengan keyakinan seperti ini bisa dikatakan bahwa kaum Mu’tazilah sangat memuja
kebenaran dan kemampuan akal melebihi segalanya. bahkan dengan keyakinannya
mereka mampu untuk memikirkan kewujudan Allah beserta sifat-sifatnya dan
beberapa makhluk gaib dan kejadian akhirat yang lainnya.
C. Ajaran-Ajaran Pokok Mu’tazilah
Mu’tazilah sebagai golongan pemikiran agama Islam yang mementingkan akal
(rasionalist) ini sangatlah kritis terhadap apapun. Mereka tidak hanya
mengkritisi Al-Quran dan As-Sunah namun juga pemikiran ulama muslim dan
beberapa buah fikir filosof Yunani juga ikut dikritisi. Jiwa kritis inilah yang
membuat ajaran Mu’tazilah mempunyai banyak pengikut dan dapat bertahan cukup
lama.
Ilmu, menurut pandangan Mu’tazilah hanya dapat diperoleh melalui pemikiran
akal dan tidak bisa dilakukan dengan menggunakan jalan lain. Baik itu pemikiran
mengenai ketuhanan ataupun makhluknya. Dalil Al Quran dan As Sunnah hanya
digunakan untuk menguatkan saja, namun yang paling penting tetaplah pemikirannya.
Terdapat 5 pokok ajaran yang merupakan hasil buah fikir dari kaum Mu’tazilah.
Semua yang menjadi pengikut Mu’tazilah harus yaqin dan percaya dengan ke-5
ajaran pokok ini tanpa terkecuali, ke-5 ajaran pokok Mu’tazilah antara lain:
1. At-Tauhid (Keesaan Tuhan)
At-Tauhid merupakan dasar pokok yang dijadikan fondasi keimanan bagi
orang Islam pada umumnya. Untuk kalangan khusus kaum Mu’tazilah mereka membuat
tafsirnya sendiri mengenai At-Tauhid yang berlandaskan pemikiran akal rasio.
Jika mereka menemukan dalil naqli dari Al-Quran dan As-Sunah yang secara arti
kata menyimpang dan tidak dapat masuk akal mereka, maka akan mereka takwilkan
sehingga dapat masuk akal sekaligus tidak merubah makna dari Al-Quran.
Berikut pengertian Tauhid menurut ajaran kaum Mu’tazilah seperti yang
tertuang dalam kitab Maqolat al Islamiyyin karya Imam Al Asy’ari seperti
yang dikutip langsung dari salah satu skripsi karya Nur Khad mahasiswa IAIN
Walisongo:
Allah itu Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, bukan jisim (benda),
bukan syahs (pribadi), bukan jauhar (substansi), bukan juga aradl
(non essential property). Tidak berlaku padanya masa, tiada tempat
baginya, tiada bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk yang
menunjukkan ketidak azaliannya, tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan
tidak bisa digambarkan dengan akal pikiran. Ia Maha mengetahui, yang berkuasa
dan Yang Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada yang Qodim selain-Nya tiada
pembantu bagi-Nya dalam menciptakan[10]
Setelah melihat dari definisi tersebut sudah terlihat jika Mu’tazilah lebih
menggunakan akal logika dalam mendefinisikan tauhid. Hal ini disebabkan karena
semua pendapatnya dapat diterima akal sehat, selain itu kata-kata yang
digunakan juga mengambil dari istilah filsafat seperti jisim, syahs, jauhar,
dan aradl.
Telah dikatakan bahwa Allah tidak mempunyai bentuk, tidak bertempat dan
tidak berlaku masa pada-Nya, oleh karena itu mereka menakwilkan beberapa ayat
yang secara arti kata menyebutkan kalau Allah mempunyai bentuk dan bertempat,
seperti kata yaad (tangan) diganti dengan makna kekuasaan dan juga kata istawa
(bertempat) dirubah menjadi menguasai.[11]
Dengan ini pendapat mereka tidak saling berlawanan dan dapat diterima oleh akal
sehat sekaligus tidak menyalahai makna dari Al-Quran.
Jika kita lihat lagi, kaum Mu’tazilah juga tidak meyakini adanya nikmat
agung untuk melihat Allah di Surga kelak. Pasalnya sesuatu yang dapat dilihat
harus mempunyai bentuk yang jelas dan bertempat disuatu tempat. Namun menurut
pandangan Mu’tazilah Allah tidak mempunyai jisim dan tidak bertempat
juga tidak berlaku masa pada-Nya. Layaknya kita melihat sebuah kursi dipojok
kelas, kita dapat melihat kursi tersbut karena kursi tersebut mempunyai bentuk
yang jelas dan sudah kita ketahui kemudian kursi tersebut terletak dipojok
kelas yang bisa kita lihat. Oleh karena itu mereka tidak meyakini kalau mereka
bisa melihat Allah di Surga kelak.
Inti dari ajaran At-Tauhid bagi Mu’tazilah adalah menegaskan untuk
mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluknya. Allah adalah Allah yang berbeda
sama sekali dengan makhluknya baik dari segi apapun.
2. Al-Adl (Keadilan)
Keadilan merupakan suatu statement yang diidam-idamkan setiap orang.
Keadilan adalah saat suatu perkara mendapat balasan yang sesuai seperti yang
diperbuatnya. Jika seseorang berbuat baik maka keadilan akan membalas dengan
kebaikan pula, begitu juga sebaliknya saat seseorang melakukan kejelekan atau
keburukan maka keadilan akan membalasnya dengan kejelekan pula. Pada tujuan
akhirnya yang banyak berkelakuan baik akan masuk ke surga dan yang berkelakuan
buruk akan masuk neraka.
Keadilan yang ditawarkan oleh kaum Mu’tazilah sangat masuk akal juga. Mereka
mengatakan bahwa manusia mempunyai wewenang penuh terhadap apapun yang
diperbuatnya, adapun perbuatan baik atau perbuatan buruk. Tugas dari Tuhan
hanya memerintahkan untuk berbuat baik dan melarang berbuat keburukan.[12]
Oleh karenanya manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat apapun juga, kalau
manusia tidak merdeka di dalam perbuatan-perbuatannya maka tidak adil kalau
Tuhan meminta tanggung jawab mereka diakhirat kelak.
Jika didunia ini perbuatan kita direncanakan dan digerakkan oleh Allah
(termasuk perbuatan buruk) maka kelak pertanggung jawaban di akhirat tidaklah
adil, karena sesungguhnya itu juga perbuatan Allah sedangkan Allah mustahil
untuk melakukan keburukan. Pertanggung jawaban di akhirat kelak akan terasa
adil jika manusia melakukan apapun yang mereka kehendaki atas dasar keinginan
manusia murni tidak ada campur tangan Tuhan. Karena manusia akan bertanggung
jawab dengan perbuatannya sendiri bukan karena yang lain.
Seperti orang yang berbuat baik didunia namun hidupnya sengsara akan
mendapatkan balasan kebaikan diakhirat kelak untuk membalas kebaikannya. Namun
orang yang berbuat buruk akan disiksa diakhirat kelak sebagai bentuk
pertanggung jawaban perbuatannya didunia.
Jika ditarik garis kesimpulan maka paham Al-Adl yang dikemukakan
Mu’tazilah bertujuan untuk mensucikan Allah dari sifat dzalim. Karena Allah
tidak menghendaki keburukan, tidak juga menciptakan perbuatan manusia.[13]
Namun manusia itu sendiri dengan keinginannya sendiri untuk berbuat semau
mereka tanpa campur tangan yang lain.
3. Al-Wa’du wal-Wa’ied (Janji dan Ancaman)
Janji dan ancaman merupakan tindakan lanjutan keadilan yang sudah
dijelaskan. Dalam konsep al-adl sudah dijelaskan kalau manusia
bertanggung jawab penuh atas tindakan yang dia lakukan tanpa siapapun yang
mencampuri tindakannya. Dalam konsep Al-Wa’du wal Wa’id mereka yakin
bahwajanji Tuhan akan memberikan pahala berupa surga dan ancaman akan
menjatuhkan siksa yaitu neraka seperti yang sudah disebutkan di dalam Al-Quran.[14]
Mereka berkeyakinan pasti akan dilaksanakan karena Tuhan sendiri sudah
menjajikan yang demikian dan sesungguhnya Allah tidak akan pernah mengingkari janjinya.
Satu-satunya jalan pengampunan yang diyakini oleh Kaum Mu’tazilah adalah
hanya dengan Taubat. Barangsiapa yang berbuat dosa kecil ataupun besar akan
diampuni jika sebelum meninggal dia bertaubat kepada Allah. Oleh sebab itu
mereka tidak meyakini adanya Syafaat (pengampunan) pada hari kiamat.[15]
Akibatnya meraka mengesampingkan ayat-ayat seperti pada QS: Saba’ (23) dan QS:
Thoha (109) yang menyatakan adanya syafaat dihari akhir karena dianggap
melemahkan pendapat mereka. Namun mereka memegang teguh QS: Al-Baqoroh (254)
yang menunjukkan ketidakadanya syafaat dihari akhir kelak.
Syafaat adalah pertolongan dari Nabi atau Tuhan yang ditujukan kepada
hambanya yang mempunyai dosa besar ataupun kecil. Syafaat bisa juga
disebut dengan dispensasi atau grasi pada tahanan. Hal ini tidak diyakini oleh
kaum Mu’tazilah karena dianggap menyalahi janji dan ancaman Allah. Jika menurut
janjinya orang yang berdosa akan masuk ke siksaan yang berada di Neraka namun
saat dia mendapat syafaat orang tersebut akan mendapat keringanan
siksanya bahkan hingga masuk surga, hal ini dianggap bertentangan dengan konsep
al-wa’du wal wa’ied padahal sesungguhnya Allah tidak pernah mengingkari
janjinya. Jika berbuat buruk Allah menjanjikan neraka dan jika berbuat baik dan
taat Allah sudah menjanjikan kenikmatan surga baginya.
4. Al-Manzilatu bainal Manzilataini (Tempat diantara dua
tempat)
Telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya pada lahirnya ajaran Mu’tazilah
bahwa pemikiran inilah yang menyebabkan Washil ibn Atha mendirikan ajarannya
yang kontroversial yakni Mu’tazilah. Pada dasarnya konsep ini membahas mengenai
status keislaman seseorang. Jika seseorang berbuat dosa besar yang selain
musyrik maka dia tidak lagi termasuk mu’min dan juga tidak termasuk kafir,
tetapi posisi antara mu’min dan kafir yang disebut fasik.[16]
Jika ditelisik secara nalar logis, konsep ini sangatlah masuk akal. Karena
dalam semua hal pasti ada jalan tengah diantara dua jalan yang ekstrim. Jika
dari segi perbuatan ini juga demikian. Seseorang yang berbuat dosa besar selain
syirik otomatis telah melanggar janji Allah dengan demikian seseorang tersebut
semakin menjauh dari Islam dan kemungkinan besar akan dibenci oleh Allah. Namun
dia belum keluar dari Islam karena perbuatan yang dilakukan belum cukup kuat
untuk mengeluarkan dari Islam. Jadi status orang tersbut berada ditengah-tengah
antara muslim dan kafir atau bisa disebut fasik. Sebagai konsekuensinya orang
tersebut tetap akan dimasukkan ke neraka namun siksaannya lebih ringan jika
dibandingkan kafir yang keluar dari Islam atau orang-orang syirik penyembah
selain Allah.
5. Al-Amru bil Ma’rufi wan Nahyu ‘anil Munkar
Konsep terakhir ini lebih fokus membahas masalah amaliyah, sebagai
manifestasi dari iman yang ada didalam hati. Telah banyak disebutkan secara
eksplisit mengenai perintah untuk berbuat kebaikan dan saling melarang dalam
hal kemungkaran.[17]
Jika konsep ini ditaati oleh semua orang maka dunia akan tercapai kedamaian dan
ketentraman yang sebenarnya.
Mu’tazilah sangat gencar melakukan konsep ini kepada masyarakat yang lain.
Namun sayangnya tidak jarang mereka melakukan ini dengan cara kekerasan.
Kebenaran yang hakiki dan diyakini benar hanyalah faham dan pendapat dari kaum
mu’tazilah sendiri. Jadi saat seseorang tidak menaati hukum mu’tazilah akan
dianggap sesat. Bagi kaum mu’tazilah kesesatan tidak bisa dibiarkan. Mereka
yang dianggap sesat harus diajak ke jalan yang benar jika tidak mau akan
dihukum dengan penjara. Sikap keras seperti inilah yang menjadi salah satu
faktor penyebab hancurnya ajaran mu’tazilah kelak.
Kelima ajaran pokok ini harus diyakini oleh setiap pengikut mu’tazilah.
Terlihat jelas bahwa pemikiran-pemikiran kaum mu’tazilah sangat dipengaruhi
oleh pendapat dari filsafat Yunani dan pemikiran-pemikiran yang bercorak
rasional. Dan saat ada dalil naqli yang dianggap bertentangan mereka
menakwilkannya atau mengesampingkannya untuk memperteguh ajarannya. Dengan
ajaran yang lebih masuk akal dan lebih menghargai kemampuan akalnya Mu’tazilah
banyak diminati dizamannnya. Namun selang beberapa abad karena kekerasannya
terhadap orang diluar ajarannya banyak orang yang meninggalkannya.
D. Perkembangan Aliran Mu’tazilah
Kisah sejarah lahirnya aliran mu’tazilah sudah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya. Pada pembahasan kali ini akan dijelaskan secara singkat mengenai perkembangan
ajaran mu’tazilah didunia Islam mulai dari perkembangan dimasa awalnya sampai
pada pusat kejayaannya hingga masa kemunduran sampai hilangnya ajaran
mu’tazilah di dunia Islam.
1. Puncak Kejayaan
Pada awal perkembangannya Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang hanya
dianut oleh masyarakat biasa. Tapi kemudian teologi yang bercorak rasional dan
liberal ini menarik perhatian kalangan intelektual dan juga lingkungan
pemerintahan di kerajaan Abbasiyah. Hingga pada akhirnya khalifah Al-Makmun
(813-833 M) putra Harun Al Rasyid (766-809 M), pada tahun 827 M menjadikan
teologi Mu’tazilah menjadi satu-satunya aliran teologi yang boleh dianut oleh
umat Islam dalam wilayah kekuasaan dinasti Abbasiyah.[18]
Disaat seperti ini adalah zaman keemasan aliran mu’tazilah ini. Karena dunia
Islam sedang memperhatikan dan menyukai aliran dengan menghargai pemikiran
akal, disamping itu dukungan pemerintah akan sangat mendukung agar mereka bisa
bergerak bebas baik dalam segi pemikiran atau dari segi dakwah mereka. Ditambah
dengan dukungan dan perlindungan dari pihak pemerintah semakin memperkokoh
ajaran ini sehingga tidak seorangpun berani menentang bahkan menghancurkannya.
Namun bagi kaum Mu’tazilah sendiri mungkin merasa sudah terlampau kuat dari
segi apapun, mereka tidak segan segan untuk menyebarkan dakwahnya secara
pemaksaan dan kekerasan, bahkan kaum atau orang yang tidak sependapat dengan
mereka akan mereka anggap sesat dan akan dikenai sangsi berupa hukuman penjara
bahkan eksekusi mati.
Puncak pemaksaaan dan kekerasaan kaum mu’tazilah berkenaan dengan paham
“Al-Quran makhluk”. Masalah ini sampai menimbulkan peristiwa al-Mihnah
yaitu pemeriksaan terhadappara ulama ahli Hadist dan ahli fikih oleh Khalifah
Al Makmun pada Dinasti Abbasiyah.[19]
Kaum Mu’tazilah sangat mempercayai bahwa Al Quran adalah makhluk biasa seperti
makhluk pada umumnya bukannnya kalam Allah. Karena sesuai dengan faham yang
pertama bahwa Allah berbeda dari makhluknya dari segi apapun, jadi seharusnya
kalam Allah tidak berupa suara, huruf, aksara atau bahasa. Oleh karena itu
siapapun yang tidak meyakini Al-Quran adalah makhuk maka akan dihukum oleh kaum
Mu’tazilah.
Dalam peristiwa Al Mihnah ini terdapat 30 orang hakim ulama ahli
hadist dan ahli fikih sepakat mengakui kemakhlukan Al-Quran. Namun terdapat beberapa
ulama besar yang tidak mau mengakui dan akhirnya dihukum penjara oleh kaum
Mu’tazilah, diantaranya adalah Ahmad ibn Hanbal salah satu imam madzab yang
paling mashur.[20]
2. Masa Kemunduran Mu’tazilah
Penyebab kemunduran kejayaan mu’tazilah dikarenakan sikap mereka yang
terlalu keras dan memaksa ditambah melemahnya dukungan oleh pemerintah
setempat. Setelah masa pemerintahan khalifah Al-Makmun meninggal ia pun
digantikan oleh penerusnya yaitu al Mu’tashim, namun sebelum meninggal ia
berwasiat untuk meneruskan kebijakannya. Setelah beberapa lama memimpin dan
tetap mempertahankan konsep al Mihnah al Mu’tashim digantikan oleh Al
Wasiq (843-847 M). Kebijakan ini masih diberlakukan namun tidak sekeras dan
sekejam pendahulunya. Bahkan setelah bergantinya kholifah menjadi Al-Mutawakkil
(232-247 H) masalah al-mihnah tidak lagi diteruskan karena ia tidak
mendukung konsep ini.[21]
Dengan hilangnya dukungan pemerintahan secara resmi bahkan pemerintah
sendiri melakukan penolakan bahkan larangan untuk mengikuti aliran mu’tazilah
maka dengan ini aliran mu’tazilah lama kelamaan mulai hilang dan surut
pengikutnya. Ditambah kepercayaan masyarakat terhadap aliran ini semakin
menurun karena sikapnya yang keras dan sewenang-wenang terhadap para ulama.
Tidak lama setelah dari pemerintahan sudah mencabut aliran Mu’tazilah dari
madzhab resmi negara kaum muslimin pun mulai berani angkat bicara,
mendiskusikan, mengkritisi bahkan membantah ajaran-ajaran Mu’tazilah yang
dianggapnya terlalu rasionalis dan diyakini sesat tidak sesuai dengan aqidah
yang sesuai Al-Quran dan Hadist.
Hal ini didukung oleh munculnya ajaran Abu Hasan Al-Asy’ari (260-340H) yang
melahirkan faham Asy’ariyah. Dengan kharisma Al-Asy’ari ditambah ajaran moderat
yang dibawanya masyarakat lebih memilih ajaran ini daripada Mu’tazilah yang
keras. Semakin lama aliran mu’tazilah semakin sedikit pengikutnya sampai kepada
tahun 1258 M saat pasukan Mongolia yang meluluh lantahkan kota Baghdad dan
kota-kota lainnya membuat aliran mu’tazilah benar-benar lenyap tanpasisa,
bahkan banyak buku-buku sumber yang dibakar setelahnya.
E. Komentar dan Apresiasi Terhadap Mu’tazilah
Dibalik kekejaman dan kekerasan yang dibawakan oleh kaum Mu’tazilah,
ternyata mereka juga mempunyai sisi positif terhadap pemikiran Islam dan
perkembangan Islam masa itu hingga sekarang. Semangatnya yang gigih dan kuat
seakan memotivasi kita semua untuk terus melakukan pemikiran yang baru dan
kreatif namun kita tetap harus berdasar kepada dasar naqli yang jelas agar
pemikiran kita terarah.
Ahmad Hanafi pernah menyampaikan apresiasinya terhadap kaum Mu’tazilah, dia
menyebutkan “Lenyapnya aliran ini memang dirasakan sebagai suatu kerugian bagi
dunia Islam, karena dengan itu terjadilah kejumudan dan kemunduran. Dunia pikir
Islam berada di bawah golongan konservatif kurang lebih 1000 tahun lamanya.”[22]
Hal ini wajar dikatakan karena sebelum muncul aliran ini pemahaman tentang
ajaran keagamaan sangatlah teoritis dogmatis. Sedangkan porsi penggunaan akal
sangat rendah bahkan bisa dibilang tidak ada. Jika ajaran keagamaan yang disampaikan
hanya bersifat demikian niscaya agama Islam tidak akan maju karena umatnya
hanya pasif mempelajari doktrin-doktrin keagamaan tanpa menggunakan kemampuan
akal. Dengan lahirnya kaum Mu’tazilah ini mereka mempelopori penggunaan akal
logika serta metodologi filsfat Yunani untuk memikirkan permasalahan agama dan
teologi, sehingga pemikiran yang dilahirkan lebih bersifat rasional tanpa
menentang dalil naqli secara substansial.
Sependapat dengan Ahmad Hanafi, Al-Ghuraby juga mengapresiasi kehadiran
ajaran Mu’tazilah ini, dia mengatakan bahwa “Senadainya Mu’tazilah itu tidak
dibangkitkan Tuhan, niscaya Ilmu Kalam dengan kekayaannya yang besar tidak akan
muncul dan tidak mampu membela Islam dari serangan-serangan luar.”[23]
Al-Ghurabi berpendapat demikian karena memandang kaum mu’tazilah mempunyai
pendapat dibidang teologis yang paling rasional dan dapat dengan mudah
dijangkau oleh pemikiran akal manusia. Sedangkan serangan luar (kaum orientalis
barat) pasti menggunakan pemikiran rasional untuk menyerang muslimin. Jika kita
sudah mempunyai pendapat dengan pemikiran rasional otomatis kita sudah
selangkah lebih maju jika kaum orientalis barat menyerang.
Pemikiran Mu’tazilah inilah yang menjadi embrio pemikiran kemajuan Islam
dizaman keemasannya. Karena pada saat zaman keemasan Islam banyak berbagai
studi Islam yang mengusung pemikiran rasional dan penelitian ilmiah untuk
mendukung pendapatnya selain juga tetap memegang teguh Al-Quran dan As Sunnah.
Mulai dari Imam syafii yang melahirkan madzab fiqh yang mayoritas dianut oleh
muslim Indonesia, Ibnu Sina yang menjadi dokter handal, Al-Ghozali dengan
pemikirannya dan masih banyak lagi ulama yang tetap menggunakan pemikiran
rasional dan penelitiannya untuk mendukung dan membuktikan Al-Quran dan As
Sunnah dari bidang yang mereka kuasai.
Namun bagi kebanyakan warga muslim Indonesia tidak terlalu mendukung adanya
ajaran Mu’tazilah ini, bahkan kaum ini malah dianggap sesat oleh warga muslim
Indonesia karena dianggap tidakpercaya kepada wahyu dan hanya mengakui
kebenaran yang diperoleh melalui rasio.[24]
Padahal seperti keterangan diatas, mereka juga menggunakan ayat Al Quran serta
As Sunnah sebagai dasar, tetapi dalil naqli yang mereka anggap bertentangan
kemudian mereka takwilkan menjadi makna yang lain supaya tetap mendukung pendapat
rasionalitas mereka.
F. Implikasi Pemikiran Mu’tazilah
Pemikiran Mu’tazilah dapat berjalan dalam setiap segi dalam kehidupan kita
jika kita memandang dari sudut pandang yang berbeda. Mu’tazilah bukan sebagai
kelima konsep dasar namun pemikiran dan semangat kaum Mu’tazilah yang gigih dan
pantang menyerah serta menghargai salah satu nikmat yang paling agung yaitu
akal manusia. Dengan kita memahami pemikiran kaum Mu’tazilah secara substansial
maka selayaknya kita dapat mengambil hikmah yang terkandung didalamnya dan
menggunakannya dikehidupan sehari-hari kita.
1. Implikasi dalam
ranah aqidah
Walaupun secara lahirnya aliran Mu’tazilah sudah hilang semenjak abad ke-13
M namun konsep pemikirannya masih saja terus ditulis dibuku-buku teologi Islam
sebagai penghormatan sejarah. Meskipun sebagian muslim masih bertentangan
mengenai kelima dasar pokok Mu’tazilah ini karena mungkin dianggap sesat atau
bertentangan dengan aliran sunni namun metodologi pemikiran mu’tazilah masih
tumbuh subur dikalangan masyarakat muslim dunia. Sehingga dewasa ini muncul
beberapa aliran Islam yang “neo-Mu’tazilah” atau mu’tazilah dimasa modern.
Mungkin secara konsep dan dasarnya berbeda dengan kelima konsep yang diajukan
oleh Mu’tazilah namun metodologi pemikiran dalam penggunaan akal sebagai dasar
bisa dibilang sama. Dewasa ini telah muncul banyak aliran seperti ini, seperti
ISIS, HT, NII, MTA, NU, Muhammadiyah, salafi, Sunni, Wahabi dan masih banyak
lagi. Bukannya mereka ini adalah ajaran yang sesat, namun mereka hanya
mempunyai tafsir yang berbeda yang dianggap benar oleh kaum mereka sendiri.
Dalam konsep multi kultural kita tidak bisa memandang sebelah mata terhadap
aliran yang berbeda dengan diri kita. Jika kita ingin mengkritisi mereka
selayaknya kita harus mengenal betul mulai dari lingkaan terluar (muamalah)
hingga kelingkaran terdalam (aqidah). Dalam mengkritisinya pun kita seharusnya
tidak boleh secara langsung dengan kekerasan dan pemaksaan, selayaknya kita
kritisi dengan jalur musyawarah yang sehat sehingga semua golongan sama-sama
mencapai gelombang alfa dimana orang bisa fokus dan berfikir jernih dan
akhirnya bisa memberikan hasil yang positif bagi keduanya.
Namun tidak semua bidang agama bisa dijangkau dengan nalar logika, menurut
KH. Achmad perintah perintah Tuhan dibagi menjadi dua; yang pertama disebut
perintah ta’abudi yang membahas perihal peribadatan, hal ini tidak bisa
dijangkau oleh pemikiran rasional karena sudah tertulis dengan jelas
hukum-hukumnya dalam dalil naqli. Dan yang kedua adalah ma’qulul ma’na yaitu
perintah tuhan yang bisa dimasuki pemikiran akal rasio.[25]
Dengan ini kita tidak perlu lagi mendebatkan permasalahan yang bersifat ta’budi
karena memang sudah tertulis jelas dalam dalil na’qlinya seperti perintah
sholat, puasa zakat dll. Namun perbedaan yang sering muncul hanya dalam wilayah
fiqh muamalah yang bersifat praktis saja tanpa mengurangi nilai substansial
dari perbuatan tersebut.
Dengan mengusung sifat saling menghargai akan perbedaan selayaknya kita akan
memetik buah rahmat yang terkandung didalamnya seperti dalam hadist Nabi
“Perbedaan pendapat di kalangan umatku membawa rahmat”. Konsep toleransi yang
diusung oleh Nabi Muhammad adalah sifat menghargai sesama golongan ataupun yang
berbeda pendapat diluar golongan kita. Bukannya malah dengan menyatukan semua
golongan menjadi satu wadah besar yang dianggap benar dengan cara pemaksaan dan
kekerasan.
2. Implikasi dalam
bidang pemikiran ilmiah
Kaum Mu’tazilah telah membuka pintu pemikiran rasio terhadap segala segi
dalam pemikiran Islam. Selayaknya kita juga harus melanjutkan metode pemikiran
ini dengan menggunakan rasio namun juga harus tetap berpegang teguh pada ajaran
Al Quran dan As Sunnah. Dan pada akhirnya kita tidak hanya terpaku pada
pemikiran keislaman saja, melainkan bidang lain juga membutuhkan sentuhan
pemikiran rasional dan ditambah pada ranah keagamaannya sehingga pada akhirnya
dapat menghasilkan suatu bidang keilmuan yang mengandung nilai agama dan moral
yang universal. Adapun bidang-bidang lain yang dimaksud antara lain seperti
bidang pendidikan, politik, pemerintahan, keuangan, keamanan, jual beli,
teknologi, fashion, arsitektur, dan lain lain.
Jika segala bidang sudah terkandung didalamnya unsur pemikiran Islam yang
modern dan rasional tanpa mengesampingkan dalil aqlinya, niscaya dunia secara
umum dan masyarakat muslim khususnya akan menjadi peradaban yang lebih maju,
aman, mudah serta tentram. Karena pada umumnya konsep Islam adalah konsep yang
sangat luas serta dapat digunakan dalam setiap masa dan dimanapun dia berada.
Disamping itu ditambah dengan pemikiran akal rasio yang selalu berkeinginan
untuk membuat manusia menjadi lebih mudah dalam bekerja dan beribadah, serta
membuat manusia sejahtera secara psikologis dan fisiologis.
3. Implikasi dalam segi pendidikan
Dalam segi pendidikan khususnya juga disarankan untuk menggunakan semangat
dan metode berfikir Mu’tazilah yang bebas dan berdasar. Sebagai pendidik maupun
peserta didik, diharapkan dapat berfikir kritis perihal kurikulum, bahan ajar
serta strategi yang ditawarkan pemerintah. Guru yang kreatif dan memiliki pola
fikir rasional akan memilah bahan ajar yang tepat untuk disampaikan kepada
muridnya dan menambahkan beberapa nilai afeksi sebagai bekal anak didiknya
untuk menjadi pribadi yang lebih santun. Misalnya dalam mata pelajaran aqidah
akhlak, sang guru diharapkan mempelajari suatu materi secara komprehensif dan
dilihat dari berbagai sudut, dengan demikian diharapkan guru dapat memberikan
wawasan yang luas mengenai pengetahuan aqidah namun juga mendapatkan nilai
kesopanan.
Begitu halnya dengan peserta didik. Saat seseorang ingin mempelajari suatu
hal dan menginginkan bercita-cita menjadi ilmuan, cendekiawan bahkan ulama kata
KH. Achmad diharuskan memiliki 3 syarat utama, yaitu pertama, memiliki
pengetahuan dasar yang luas yang didapat dari membaca refrensi atau mengikuti
alur perkembangan zaman. kedua, kemurnian niat untuk menjadi ilmuan yang
suci dari sifat-sifat keserakahan dunia, jadi mencari ilmu hanya untuk
kepentingan keilmuan. Ketiga, penguasaan metodologi pemikiran, logika
serta ketajaman menganalisis suatu masalah.[26]
Dengan pemaparan seperti ini diharap peserta didik dapat meniru jejak
langkah metodologi pemikiran mu’tazilah beserta semangatnya untuk memikirkan
kemajuan dunia Islam dan keilmuan. Jika semua peserta didik mempunyai pemikiran
yang luas dan komprehensif maka suasana dikelas akan selalu terjadi
perbincangan ilmiah yang menarik untuk dibahas, baik itu dalam segi keagamaan
ibadah, muamalah, aqidah ataupun keilmuan kontemporer seiring perkembangan
zaman.
Dalam segi pembuatan kurikulum diharapkan pemerintah atau pihak yang
bersangkutan untuk membuat kurikulum serta bahan ajar yang memacu peserta didik
untuk mengembangkan sikap berfikirnya, tidak hanya dijejali latihan-latihan
soal yang bersifat pilihan ganda. Hal ini akan menghambat daya fikirnya dan
membunuh potensi berfikir pada anak tersebut. Dalam bukunya Munfi Chatib
menyatakan bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang memanusiakan manusia, dalam
arti menghargai setiap potensi yang ada pada diri siswa.[27]
Dengan demikian seharusnya kurikulum yang didesain adalah memanfaatkan seluruh
potensi yang dimiliki oleh anak didiknya sehingga dapat mencapai output yang
maksimal
DAFTAR
PUSTAKA
Chatib, Munif. 2014. Sekolahnya Manusia. Bandung: Kaifa
Faud, Munawar Noeh. 1999. Menghidupkan Ruh Pemikiran. Jakarta:
Logos
Hatta, Mawardi. 2012. Aliran Mu’tazilah dalam Lintasan Sejarah
Pemikiran Islam, Vol. 12, No.1. Banjarmasin: IAIN Antasari Banjarmasin.
Khad, Nur. 2005. Sejarah Lahirnya Mu’tazilah dan Ajarannya. Pati:
IAIN Walisongo.
[1]
Mawardi Hatta, Aliran Mu’tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam,
Vol. 12, No.1, (Banjarmasin: IAIN Antasari Banjarmasin, 2012), hlm 2.
[2]
Ibid.
[3]
Ibid.
[4]
Abu Aanisah Aslam, Kamus Munawir.apk, 2015
[5]
Mawardy Hatta, Op.Cit., hlm 3.
[6]
Ibid., hlm 7.
[7]
Ibid., hlm 8.
[8]
Ibid., hlm 9.
[9]
Muhammad Rashidi Wahab, Kedudukan Akal dalam Pendalilan Aqidah, (Terengganu:
Universiti Sultan Zainal Abidin, 2013), hlm 6.
[10]
Nur Khad, Sejarah Lahirnya Mu’tazilah dan Ajarannya, (Pati: IAIN
Walisongo, 2005) hlm 8
[11]
Ibid., hlm 9.
[12]
Ibid., hlm 12.
[13]
Ibid.
[14]
Ibid., hlm 13
[15]
Ibid.
[16]
Ibid., hlm 14
[17]
Ibid., hlm 16
[18]
Mawardi Hatta, Op.Cit., hlm 18.
[19]
Ibid.
[20]
Ibid., hlm 11
[21]
Ibid., hlm 12
[22]
Ibid., hlm 13
[23]
Ibid.
[24]
Ibd., hlm 18
[25]
Munawar Fuad Noeh, Menghidupkan Ruh Pemikiran KH. Achmad Siddiq,
(Jakarta: Logos, 1999) hlm 61
[26]
Ibid., hlm 60
[27]
Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, (Bandung: Kaifa, 2014) hlm 96
0 Comments:
Post a Comment