Header Ads

23 December 2016

MU’TAZILAH SERTA IMPLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN



MU’TAZILAH SERTA IMPLIKASINYA DALAM KEHIDUPAN


Makalah ini dibuat guna memenuhi tugas mata Aqidah Akhlak
Dosen pengampu: Sangkot Sirait, M.Pd.






NAMA :
Achmad Siddicq                     NIM: 13410171





FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014/ 2015

DAFTAR ISI



Allah memberikan kenikmatan yang sangat berharga dan hanya dimiliki oleh manusia saja, yaitu Otak. Ditempat inilah lahirnya pemikiran pemikiran rasional logis yang dapat mengubah hidup diri sendiri, orang lain disekitarnya atau bahkan seluruh warga negara tersebut bisa terpengaruhi oleh pemikiran seseorang. Lebih lagi seseorang akan kekal abadi disetiap zaman jika pemikiran yang dilahirkan adalah pemikiran yang bermanfaat dan dapat menginspirasi orang banyak. Seperti Washil ibn Atha (80-131 H/ 699-749 M) yang menjadi perintis untuk membuka fikiran rasionalnya untuk berijtihad memikirkan persoalan agama. Melalui ajarannya yang dikenal dengan nama mu’tazilah Washil memulai berbagai pemikiran agamanya dengan menelaah ulang kajian Al-Quran As-Sunnah serta pemikiran ulama semasa itu dengan dikaitkan persolan agama, muamalah, syariah, akidah bahkan hingga kepada politik.
Menurut sejarah aliran ini memang pernah mencapai masa keemasannya dan melahirkan beberapa gagasan pemikiran yang cukup kontroversial. Namun setelah memasuki abad ke-3 Hijriah aliran ini mulai menurun ketenarannya dan akhirnya lenyap secara fisik aliran yang mengatasnamakan Mu’tazilah. Namun corak pemikiran dan semangat berijtihad hingga kini masih terasa.
Sebelum memasuki corak pemikiran serta khazanah yang dapat diambil dari aliran ini, sebaiknya dibahas dahulu studi histotis dari aliran ini sehingga dapat memahami secara keseluruhan pemikiran Washil ibn Atha dan pemeluk ajaran Mu’tazilah lainnya.

A. Kajian Sosio-Historis Ajaran Mu’tazilah

Pada penghujung abad I Hijriah terdapat suatu permasalahan yang cukup hangat diperbincangkan oleh kalangan cendekiawan muslim mengenai status keislaman seseorang, apakah ia tetap mukmin atau menjadi kafir jika orang mukmin melakukan dosa besar. Persoalan tersebut dibahas dibanyak majlis taklim, begitu juga majlis di masjid Bashrah yang dipimpin oleh Hasan Al-Bashri (21-110 H/ 642-748 M).[1] Pada suatu hari seseorang jamaah majlis tersebut bertanya kepada Hasan Al-Bashri mengenai permasalahan tersebut. Disaat Hasan Al-Bashri masih berfikir untuk menjawab, secara spontan Washil ibn Atha yang menjadi peserta jamaah majlis taklim memberikan jawaban. Menurut pendapat washil orang mukmin yang berbuat dosa besa rmaka statusnya tidak lagi mukmin sempurna, namun juga tidak kafir sempurna. Dia berada diatara dua posisi yang disebutnya al-Manzilah bayn al-manzilatain (tempat diantara dua tempat). Sesudah mengemukakan pendapat tersebut, Washil ibn Atha langsung meninggalkan forum pengajian Hasan Al-Bashri dan diikuti oleh temannya yang bernama ‘Amr ibn Ubaid. Mereka langsung menuju salah satu tempat lain didalam masjid tersebut.[2]
Melihat tindakan Washil dantemannya itu, Hasan pun berkomentar dengan kata: I’tazala ‘Annda Washil (Washil telah memisahkan diri dari kita). Semenjak itulah Washil dan kawannya dinamai dengan sebutan Mu’tazilah.[3] Peristiwa inilah yang melatarbelakangi lahirnya ajaran mu’tazilah berikut penamaannya yang paling mashur dikalangan ulama pada masa tersbut.
Secara bahasa menurut Abu Aanisah Aslam dalam kamus Muawwir menyebutkan bahwa kata mu’tazilah berasalah dari akar kata i’tazala ya’tazilu yang berarti mengundurkandiri, menarik diri dan menyingkir.[4] Dalam persoalan Washil kata mu’tazilah pada awalnya memang mengundurkan diri, menarik dan menyingkir dari majlis Hasan Al Bashri baik itu secara fisik karena telah berpindah tempat menuju sisi masjid yang lain ataupun dari segi pendapat yang telah berbeda dari Hasan Al Bashri
Sebenarnya istilah Mu’tazilah juga sudah pernah muncul pada abad pertama hijriah. Namun ketika itu julukan mu’tazilah merupakan julukan bagi kelompok tertentu yang tidak mau terlibat dengan urusan politik dan hanya menekuni kegiatan dakwah dan ibadah semata.[5] Persoalan potilik pada masa itu bisa jadi berupa perebutan kursi kekuasaan, ataupun perang antar kaum muslim yang berlandaskan persoalan politik seperti perang jamal dan perang siffin.
Dari deskripsi penamaan Mu’tazilah tersebut memiliki kesamaan arti dan maksud dari ajaran Mu’tazilah yang didirikan Washil ibn Atha. Ajaran Mu’tazilah yang didirikan Washil ibn Atha juga bermaksud untuk menarik diri dan menyingkir dari pemikiran ulama pada umumnya di masa tersebut kemudian merintis ajaran sendiri yang memikirkan segala ajaran Islam dengan rasio dan akalnya sebagai acuan pokoknya disamping Al Quran dan As Sunnah
Sejalan dengan berjalannya waktu Ajaran Mu’tazilah selain berkembang di tanah kelahirannya di Bashrah, ajaran ini juga berkemban ditanah Baghdad pada abad ke 2 Hijriyah. Namun jika ditelisik lebih lanjut terdapat perbedaan kecenderungan diantara dua tempat tersebut. Kaum Mu’tazilah di Bashrah tidak terlalu mengindahkan ikut campur dengan pemerintah sehingga dapat berfokus pada lahirnya pemikiran-pemikiran agama. Sebaliknya kaum Mu’tazilah yang di Bagdad malah menggandeng pemerintah untuk mendapatkan kekuatan lebih untuk menambah jamaah diajarannya, sehingga pada masa itu pemerintah menetapkan ajaran Mu’tazilah sebagai ajaran resmi negara yang sah.[6]

B. Metode Pemikiran Teologi Mu’tazilah

Setelah kita telah mengenal Mu’tazilah dari kajian sosial masyarakat kala itu dan sejarah lahirnya ajaran ini, sekarang mulai membahas mengenai metode berfikir ajaran yang diampu oleh Washil ini. Menurut banyak sejarawan aliran Mu’tazilah terkenal dengan pemkirannya yang rasional dan liberal. Maksudnya semua permasalahan agama termasuk dalam hal aqidah juga harus berpegang pada premis premis logika. Mereka sangat mempercayai kemampuan akal yang dapat memikirkan segala hal yang ada didunia ini, bahkan jika mereka menemui sesuatu yang tidak dapat dijangkau akalnya, mereka tidak akan menerimanya sebagai ajaran yang benar.
Pemikiran kaum mu’tazilah ternyata juga sedikit banyak dipengaruhi oleh filsafat yunani dan menggunakan logika dalam menemukan landasan-landasan paham mereka dengan alasan bahwa mereka menemukan keserasian pola pemikiran dengan filsafat Yunani.[7] Kemudian mereka jadikan pola pemikiran ini sebagai metode berfikir ajaran Mu’tazilah sehingga mereka lebih lancar dan kuat dalam mengemukakan argumentasi rasionalnya. Selain itu buah fikir kaum Mu’tazilah ini merupakan aliran teologi yang paling bersifat filosofis jika dibandingkan dengan aliran-aliran teologi lain. Oleh karena itu tidak sedikit orang yang menyebut kaum Mu’tazilah sebagai filosof muslim yang sangat kuat baik dalam segi argumentasi juga dari segi dukungan pemerintahan.

Seperti yang sudah disinggung pada pembahasan sebelumnya ajaran Mu’tazilah lebih menggunakan rasio fikirannya dengan metode logika murni untuk memikirkan permasalahan yang dihadapi, namun mereka tetap berusaha agar tidak menyimpang dari nas-nas Al-Quran.[8] Jika ternyata terdapat beberapa ayat Al-Quran yang dikira berbeda, tidak mendukung bahkan bertentangan dengan ajaran mereka, maka mereka takwilkan sehingga tidak bertentangan dengan pemikiran mereka dan juga tetap menjaga keutuhan makna Al Quran.
Lebih ekstrim lagi kaum Mu’tazilah berpandangan bahwa akal tidak sekali-kali akan melakukan kesalahan dan tidak akan membawa kepada kesesatan berasaskan kaedah-kaedah berfikir ahli filsafat Yunani.[9] Dengan keyakinan seperti ini bisa dikatakan bahwa kaum Mu’tazilah sangat memuja kebenaran dan kemampuan akal melebihi segalanya. bahkan dengan keyakinannya mereka mampu untuk memikirkan kewujudan Allah beserta sifat-sifatnya dan beberapa makhluk gaib dan kejadian akhirat yang lainnya.

C. Ajaran-Ajaran Pokok Mu’tazilah

Mu’tazilah sebagai golongan pemikiran agama Islam yang mementingkan akal (rasionalist) ini sangatlah kritis terhadap apapun. Mereka tidak hanya mengkritisi Al-Quran dan As-Sunah namun juga pemikiran ulama muslim dan beberapa buah fikir filosof Yunani juga ikut dikritisi. Jiwa kritis inilah yang membuat ajaran Mu’tazilah mempunyai banyak pengikut dan dapat bertahan cukup lama.
Ilmu, menurut pandangan Mu’tazilah hanya dapat diperoleh melalui pemikiran akal dan tidak bisa dilakukan dengan menggunakan jalan lain. Baik itu pemikiran mengenai ketuhanan ataupun makhluknya. Dalil Al Quran dan As Sunnah hanya digunakan untuk menguatkan saja, namun yang paling penting tetaplah pemikirannya. Terdapat 5 pokok ajaran yang merupakan hasil buah fikir dari kaum Mu’tazilah. Semua yang menjadi pengikut Mu’tazilah harus yaqin dan percaya dengan ke-5 ajaran pokok ini tanpa terkecuali, ke-5 ajaran pokok Mu’tazilah antara lain:

1. At-Tauhid (Keesaan Tuhan)

At-Tauhid merupakan dasar pokok yang dijadikan fondasi keimanan bagi orang Islam pada umumnya. Untuk kalangan khusus kaum Mu’tazilah mereka membuat tafsirnya sendiri mengenai At-Tauhid yang berlandaskan pemikiran akal rasio. Jika mereka menemukan dalil naqli dari Al-Quran dan As-Sunah yang secara arti kata menyimpang dan tidak dapat masuk akal mereka, maka akan mereka takwilkan sehingga dapat masuk akal sekaligus tidak merubah makna dari Al-Quran.
Berikut pengertian Tauhid menurut ajaran kaum Mu’tazilah seperti yang tertuang dalam kitab Maqolat al Islamiyyin karya Imam Al Asy’ari seperti yang dikutip langsung dari salah satu skripsi karya Nur Khad mahasiswa IAIN Walisongo:
Allah itu Esa, tidak ada yang menyamai-Nya, bukan jisim (benda), bukan syahs (pribadi), bukan jauhar (substansi), bukan juga aradl (non essential property). Tidak berlaku padanya masa, tiada tempat baginya, tiada bisa disifati dengan sifat-sifat yang ada pada makhluk yang menunjukkan ketidak azaliannya, tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan tidak bisa digambarkan dengan akal pikiran. Ia Maha mengetahui, yang berkuasa dan Yang Hidup. Hanya Ia sendiri Yang Qodim, tiada yang Qodim selain-Nya tiada pembantu bagi-Nya dalam menciptakan[10]
Setelah melihat dari definisi tersebut sudah terlihat jika Mu’tazilah lebih menggunakan akal logika dalam mendefinisikan tauhid. Hal ini disebabkan karena semua pendapatnya dapat diterima akal sehat, selain itu kata-kata yang digunakan juga mengambil dari istilah filsafat seperti jisim, syahs, jauhar, dan aradl.
Telah dikatakan bahwa Allah tidak mempunyai bentuk, tidak bertempat dan tidak berlaku masa pada-Nya, oleh karena itu mereka menakwilkan beberapa ayat yang secara arti kata menyebutkan kalau Allah mempunyai bentuk dan bertempat, seperti kata yaad (tangan) diganti dengan makna kekuasaan dan juga kata istawa (bertempat) dirubah menjadi menguasai.[11] Dengan ini pendapat mereka tidak saling berlawanan dan dapat diterima oleh akal sehat sekaligus tidak menyalahai makna dari Al-Quran.
Jika kita lihat lagi, kaum Mu’tazilah juga tidak meyakini adanya nikmat agung untuk melihat Allah di Surga kelak. Pasalnya sesuatu yang dapat dilihat harus mempunyai bentuk yang jelas dan bertempat disuatu tempat. Namun menurut pandangan Mu’tazilah Allah tidak mempunyai jisim dan tidak bertempat juga tidak berlaku masa pada-Nya. Layaknya kita melihat sebuah kursi dipojok kelas, kita dapat melihat kursi tersbut karena kursi tersebut mempunyai bentuk yang jelas dan sudah kita ketahui kemudian kursi tersebut terletak dipojok kelas yang bisa kita lihat. Oleh karena itu mereka tidak meyakini kalau mereka bisa melihat Allah di Surga kelak.
Inti dari ajaran At-Tauhid bagi Mu’tazilah adalah menegaskan untuk mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluknya. Allah adalah Allah yang berbeda sama sekali dengan makhluknya baik dari segi apapun.

2. Al-Adl (Keadilan)

Keadilan merupakan suatu statement yang diidam-idamkan setiap orang. Keadilan adalah saat suatu perkara mendapat balasan yang sesuai seperti yang diperbuatnya. Jika seseorang berbuat baik maka keadilan akan membalas dengan kebaikan pula, begitu juga sebaliknya saat seseorang melakukan kejelekan atau keburukan maka keadilan akan membalasnya dengan kejelekan pula. Pada tujuan akhirnya yang banyak berkelakuan baik akan masuk ke surga dan yang berkelakuan buruk akan masuk neraka.
Keadilan yang ditawarkan oleh kaum Mu’tazilah sangat masuk akal juga. Mereka mengatakan bahwa manusia mempunyai wewenang penuh terhadap apapun yang diperbuatnya, adapun perbuatan baik atau perbuatan buruk. Tugas dari Tuhan hanya memerintahkan untuk berbuat baik dan melarang berbuat keburukan.[12] Oleh karenanya manusia mempunyai kebebasan untuk berbuat apapun juga, kalau manusia tidak merdeka di dalam perbuatan-perbuatannya maka tidak adil kalau Tuhan meminta tanggung jawab mereka diakhirat kelak.
Jika didunia ini perbuatan kita direncanakan dan digerakkan oleh Allah (termasuk perbuatan buruk) maka kelak pertanggung jawaban di akhirat tidaklah adil, karena sesungguhnya itu juga perbuatan Allah sedangkan Allah mustahil untuk melakukan keburukan. Pertanggung jawaban di akhirat kelak akan terasa adil jika manusia melakukan apapun yang mereka kehendaki atas dasar keinginan manusia murni tidak ada campur tangan Tuhan. Karena manusia akan bertanggung jawab dengan perbuatannya sendiri bukan karena yang lain.
Seperti orang yang berbuat baik didunia namun hidupnya sengsara akan mendapatkan balasan kebaikan diakhirat kelak untuk membalas kebaikannya. Namun orang yang berbuat buruk akan disiksa diakhirat kelak sebagai bentuk pertanggung jawaban perbuatannya didunia.
Jika ditarik garis kesimpulan maka paham Al-Adl yang dikemukakan Mu’tazilah bertujuan untuk mensucikan Allah dari sifat dzalim. Karena Allah tidak menghendaki keburukan, tidak juga menciptakan perbuatan manusia.[13] Namun manusia itu sendiri dengan keinginannya sendiri untuk berbuat semau mereka tanpa campur tangan yang lain.

3. Al-Wa’du wal-Wa’ied (Janji dan Ancaman)

Janji dan ancaman merupakan tindakan lanjutan keadilan yang sudah dijelaskan. Dalam konsep al-adl sudah dijelaskan kalau manusia bertanggung jawab penuh atas tindakan yang dia lakukan tanpa siapapun yang mencampuri tindakannya. Dalam konsep Al-Wa’du wal Wa’id mereka yakin bahwajanji Tuhan akan memberikan pahala berupa surga dan ancaman akan menjatuhkan siksa yaitu neraka seperti yang sudah disebutkan di dalam Al-Quran.[14] Mereka berkeyakinan pasti akan dilaksanakan karena Tuhan sendiri sudah menjajikan yang demikian dan sesungguhnya Allah tidak akan pernah mengingkari janjinya.
Satu-satunya jalan pengampunan yang diyakini oleh Kaum Mu’tazilah adalah hanya dengan Taubat. Barangsiapa yang berbuat dosa kecil ataupun besar akan diampuni jika sebelum meninggal dia bertaubat kepada Allah. Oleh sebab itu mereka tidak meyakini adanya Syafaat (pengampunan) pada hari kiamat.[15] Akibatnya meraka mengesampingkan ayat-ayat seperti pada QS: Saba’ (23) dan QS: Thoha (109) yang menyatakan adanya syafaat dihari akhir karena dianggap melemahkan pendapat mereka. Namun mereka memegang teguh QS: Al-Baqoroh (254) yang menunjukkan ketidakadanya syafaat dihari akhir kelak.
Syafaat adalah pertolongan dari Nabi atau Tuhan yang ditujukan kepada hambanya yang mempunyai dosa besar ataupun kecil. Syafaat bisa juga disebut dengan dispensasi atau grasi pada tahanan. Hal ini tidak diyakini oleh kaum Mu’tazilah karena dianggap menyalahi janji dan ancaman Allah. Jika menurut janjinya orang yang berdosa akan masuk ke siksaan yang berada di Neraka namun saat dia mendapat syafaat orang tersebut akan mendapat keringanan siksanya bahkan hingga masuk surga, hal ini dianggap bertentangan dengan konsep al-wa’du wal wa’ied padahal sesungguhnya Allah tidak pernah mengingkari janjinya. Jika berbuat buruk Allah menjanjikan neraka dan jika berbuat baik dan taat Allah sudah menjanjikan kenikmatan surga baginya.

4. Al-Manzilatu bainal Manzilataini (Tempat diantara dua tempat)

Telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya pada lahirnya ajaran Mu’tazilah bahwa pemikiran inilah yang menyebabkan Washil ibn Atha mendirikan ajarannya yang kontroversial yakni Mu’tazilah. Pada dasarnya konsep ini membahas mengenai status keislaman seseorang. Jika seseorang berbuat dosa besar yang selain musyrik maka dia tidak lagi termasuk mu’min dan juga tidak termasuk kafir, tetapi posisi antara mu’min dan kafir yang disebut fasik.[16]
Jika ditelisik secara nalar logis, konsep ini sangatlah masuk akal. Karena dalam semua hal pasti ada jalan tengah diantara dua jalan yang ekstrim. Jika dari segi perbuatan ini juga demikian. Seseorang yang berbuat dosa besar selain syirik otomatis telah melanggar janji Allah dengan demikian seseorang tersebut semakin menjauh dari Islam dan kemungkinan besar akan dibenci oleh Allah. Namun dia belum keluar dari Islam karena perbuatan yang dilakukan belum cukup kuat untuk mengeluarkan dari Islam. Jadi status orang tersbut berada ditengah-tengah antara muslim dan kafir atau bisa disebut fasik. Sebagai konsekuensinya orang tersebut tetap akan dimasukkan ke neraka namun siksaannya lebih ringan jika dibandingkan kafir yang keluar dari Islam atau orang-orang syirik penyembah selain Allah.

5. Al-Amru bil Ma’rufi wan Nahyu ‘anil Munkar

Konsep terakhir ini lebih fokus membahas masalah amaliyah, sebagai manifestasi dari iman yang ada didalam hati. Telah banyak disebutkan secara eksplisit mengenai perintah untuk berbuat kebaikan dan saling melarang dalam hal kemungkaran.[17] Jika konsep ini ditaati oleh semua orang maka dunia akan tercapai kedamaian dan ketentraman yang sebenarnya.
Mu’tazilah sangat gencar melakukan konsep ini kepada masyarakat yang lain. Namun sayangnya tidak jarang mereka melakukan ini dengan cara kekerasan. Kebenaran yang hakiki dan diyakini benar hanyalah faham dan pendapat dari kaum mu’tazilah sendiri. Jadi saat seseorang tidak menaati hukum mu’tazilah akan dianggap sesat. Bagi kaum mu’tazilah kesesatan tidak bisa dibiarkan. Mereka yang dianggap sesat harus diajak ke jalan yang benar jika tidak mau akan dihukum dengan penjara. Sikap keras seperti inilah yang menjadi salah satu faktor penyebab hancurnya ajaran mu’tazilah kelak.
Kelima ajaran pokok ini harus diyakini oleh setiap pengikut mu’tazilah. Terlihat jelas bahwa pemikiran-pemikiran kaum mu’tazilah sangat dipengaruhi oleh pendapat dari filsafat Yunani dan pemikiran-pemikiran yang bercorak rasional. Dan saat ada dalil naqli yang dianggap bertentangan mereka menakwilkannya atau mengesampingkannya untuk memperteguh ajarannya. Dengan ajaran yang lebih masuk akal dan lebih menghargai kemampuan akalnya Mu’tazilah banyak diminati dizamannnya. Namun selang beberapa abad karena kekerasannya terhadap orang diluar ajarannya banyak orang yang meninggalkannya.

D. Perkembangan Aliran Mu’tazilah

Kisah sejarah lahirnya aliran mu’tazilah sudah dijelaskan pada sub bab sebelumnya. Pada pembahasan kali ini akan dijelaskan secara singkat mengenai perkembangan ajaran mu’tazilah didunia Islam mulai dari perkembangan dimasa awalnya sampai pada pusat kejayaannya hingga masa kemunduran sampai hilangnya ajaran mu’tazilah di dunia Islam.

1. Puncak Kejayaan

Pada awal perkembangannya Mu’tazilah merupakan aliran teologi yang hanya dianut oleh masyarakat biasa. Tapi kemudian teologi yang bercorak rasional dan liberal ini menarik perhatian kalangan intelektual dan juga lingkungan pemerintahan di kerajaan Abbasiyah. Hingga pada akhirnya khalifah Al-Makmun (813-833 M) putra Harun Al Rasyid (766-809 M), pada tahun 827 M menjadikan teologi Mu’tazilah menjadi satu-satunya aliran teologi yang boleh dianut oleh umat Islam dalam wilayah kekuasaan dinasti Abbasiyah.[18]
Disaat seperti ini adalah zaman keemasan aliran mu’tazilah ini. Karena dunia Islam sedang memperhatikan dan menyukai aliran dengan menghargai pemikiran akal, disamping itu dukungan pemerintah akan sangat mendukung agar mereka bisa bergerak bebas baik dalam segi pemikiran atau dari segi dakwah mereka. Ditambah dengan dukungan dan perlindungan dari pihak pemerintah semakin memperkokoh ajaran ini sehingga tidak seorangpun berani menentang bahkan menghancurkannya.
Namun bagi kaum Mu’tazilah sendiri mungkin merasa sudah terlampau kuat dari segi apapun, mereka tidak segan segan untuk menyebarkan dakwahnya secara pemaksaan dan kekerasan, bahkan kaum atau orang yang tidak sependapat dengan mereka akan mereka anggap sesat dan akan dikenai sangsi berupa hukuman penjara bahkan eksekusi mati.
Puncak pemaksaaan dan kekerasaan kaum mu’tazilah berkenaan dengan paham “Al-Quran makhluk”. Masalah ini sampai menimbulkan peristiwa al-Mihnah yaitu pemeriksaan terhadappara ulama ahli Hadist dan ahli fikih oleh Khalifah Al Makmun pada Dinasti Abbasiyah.[19] Kaum Mu’tazilah sangat mempercayai bahwa Al Quran adalah makhluk biasa seperti makhluk pada umumnya bukannnya kalam Allah. Karena sesuai dengan faham yang pertama bahwa Allah berbeda dari makhluknya dari segi apapun, jadi seharusnya kalam Allah tidak berupa suara, huruf, aksara atau bahasa. Oleh karena itu siapapun yang tidak meyakini Al-Quran adalah makhuk maka akan dihukum oleh kaum Mu’tazilah.

Dalam peristiwa Al Mihnah ini terdapat 30 orang hakim ulama ahli hadist dan ahli fikih sepakat mengakui kemakhlukan Al-Quran. Namun terdapat beberapa ulama besar yang tidak mau mengakui dan akhirnya dihukum penjara oleh kaum Mu’tazilah, diantaranya adalah Ahmad ibn Hanbal salah satu imam madzab yang paling mashur.[20]

2. Masa Kemunduran Mu’tazilah

Penyebab kemunduran kejayaan mu’tazilah dikarenakan sikap mereka yang terlalu keras dan memaksa ditambah melemahnya dukungan oleh pemerintah setempat. Setelah masa pemerintahan khalifah Al-Makmun meninggal ia pun digantikan oleh penerusnya yaitu al Mu’tashim, namun sebelum meninggal ia berwasiat untuk meneruskan kebijakannya. Setelah beberapa lama memimpin dan tetap mempertahankan konsep al Mihnah al Mu’tashim digantikan oleh Al Wasiq (843-847 M). Kebijakan ini masih diberlakukan namun tidak sekeras dan sekejam pendahulunya. Bahkan setelah bergantinya kholifah menjadi Al-Mutawakkil (232-247 H) masalah al-mihnah tidak lagi diteruskan karena ia tidak mendukung konsep ini.[21]
Dengan hilangnya dukungan pemerintahan secara resmi bahkan pemerintah sendiri melakukan penolakan bahkan larangan untuk mengikuti aliran mu’tazilah maka dengan ini aliran mu’tazilah lama kelamaan mulai hilang dan surut pengikutnya. Ditambah kepercayaan masyarakat terhadap aliran ini semakin menurun karena sikapnya yang keras dan sewenang-wenang terhadap para ulama. Tidak lama setelah dari pemerintahan sudah mencabut aliran Mu’tazilah dari madzhab resmi negara kaum muslimin pun mulai berani angkat bicara, mendiskusikan, mengkritisi bahkan membantah ajaran-ajaran Mu’tazilah yang dianggapnya terlalu rasionalis dan diyakini sesat tidak sesuai dengan aqidah yang sesuai Al-Quran dan Hadist.
Hal ini didukung oleh munculnya ajaran Abu Hasan Al-Asy’ari (260-340H) yang melahirkan faham Asy’ariyah. Dengan kharisma Al-Asy’ari ditambah ajaran moderat yang dibawanya masyarakat lebih memilih ajaran ini daripada Mu’tazilah yang keras. Semakin lama aliran mu’tazilah semakin sedikit pengikutnya sampai kepada tahun 1258 M saat pasukan Mongolia yang meluluh lantahkan kota Baghdad dan kota-kota lainnya membuat aliran mu’tazilah benar-benar lenyap tanpasisa, bahkan banyak buku-buku sumber yang dibakar setelahnya.

E. Komentar dan Apresiasi Terhadap Mu’tazilah

Dibalik kekejaman dan kekerasan yang dibawakan oleh kaum Mu’tazilah, ternyata mereka juga mempunyai sisi positif terhadap pemikiran Islam dan perkembangan Islam masa itu hingga sekarang. Semangatnya yang gigih dan kuat seakan memotivasi kita semua untuk terus melakukan pemikiran yang baru dan kreatif namun kita tetap harus berdasar kepada dasar naqli yang jelas agar pemikiran kita terarah.
Ahmad Hanafi pernah menyampaikan apresiasinya terhadap kaum Mu’tazilah, dia menyebutkan “Lenyapnya aliran ini memang dirasakan sebagai suatu kerugian bagi dunia Islam, karena dengan itu terjadilah kejumudan dan kemunduran. Dunia pikir Islam berada di bawah golongan konservatif kurang lebih 1000 tahun lamanya.”[22] Hal ini wajar dikatakan karena sebelum muncul aliran ini pemahaman tentang ajaran keagamaan sangatlah teoritis dogmatis. Sedangkan porsi penggunaan akal sangat rendah bahkan bisa dibilang tidak ada. Jika ajaran keagamaan yang disampaikan hanya bersifat demikian niscaya agama Islam tidak akan maju karena umatnya hanya pasif mempelajari doktrin-doktrin keagamaan tanpa menggunakan kemampuan akal. Dengan lahirnya kaum Mu’tazilah ini mereka mempelopori penggunaan akal logika serta metodologi filsfat Yunani untuk memikirkan permasalahan agama dan teologi, sehingga pemikiran yang dilahirkan lebih bersifat rasional tanpa menentang dalil naqli secara substansial.
Sependapat dengan Ahmad Hanafi, Al-Ghuraby juga mengapresiasi kehadiran ajaran Mu’tazilah ini, dia mengatakan bahwa “Senadainya Mu’tazilah itu tidak dibangkitkan Tuhan, niscaya Ilmu Kalam dengan kekayaannya yang besar tidak akan muncul dan tidak mampu membela Islam dari serangan-serangan luar.”[23] Al-Ghurabi berpendapat demikian karena memandang kaum mu’tazilah mempunyai pendapat dibidang teologis yang paling rasional dan dapat dengan mudah dijangkau oleh pemikiran akal manusia. Sedangkan serangan luar (kaum orientalis barat) pasti menggunakan pemikiran rasional untuk menyerang muslimin. Jika kita sudah mempunyai pendapat dengan pemikiran rasional otomatis kita sudah selangkah lebih maju jika kaum orientalis barat menyerang.
Pemikiran Mu’tazilah inilah yang menjadi embrio pemikiran kemajuan Islam dizaman keemasannya. Karena pada saat zaman keemasan Islam banyak berbagai studi Islam yang mengusung pemikiran rasional dan penelitian ilmiah untuk mendukung pendapatnya selain juga tetap memegang teguh Al-Quran dan As Sunnah. Mulai dari Imam syafii yang melahirkan madzab fiqh yang mayoritas dianut oleh muslim Indonesia, Ibnu Sina yang menjadi dokter handal, Al-Ghozali dengan pemikirannya dan masih banyak lagi ulama yang tetap menggunakan pemikiran rasional dan penelitiannya untuk mendukung dan membuktikan Al-Quran dan As Sunnah dari bidang yang mereka kuasai.
Namun bagi kebanyakan warga muslim Indonesia tidak terlalu mendukung adanya ajaran Mu’tazilah ini, bahkan kaum ini malah dianggap sesat oleh warga muslim Indonesia karena dianggap tidakpercaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh melalui rasio.[24] Padahal seperti keterangan diatas, mereka juga menggunakan ayat Al Quran serta As Sunnah sebagai dasar, tetapi dalil naqli yang mereka anggap bertentangan kemudian mereka takwilkan menjadi makna yang lain supaya tetap mendukung pendapat rasionalitas mereka.

F. Implikasi Pemikiran Mu’tazilah

Pemikiran Mu’tazilah dapat berjalan dalam setiap segi dalam kehidupan kita jika kita memandang dari sudut pandang yang berbeda. Mu’tazilah bukan sebagai kelima konsep dasar namun pemikiran dan semangat kaum Mu’tazilah yang gigih dan pantang menyerah serta menghargai salah satu nikmat yang paling agung yaitu akal manusia. Dengan kita memahami pemikiran kaum Mu’tazilah secara substansial maka selayaknya kita dapat mengambil hikmah yang terkandung didalamnya dan menggunakannya dikehidupan sehari-hari kita.

1. Implikasi dalam ranah aqidah

Walaupun secara lahirnya aliran Mu’tazilah sudah hilang semenjak abad ke-13 M namun konsep pemikirannya masih saja terus ditulis dibuku-buku teologi Islam sebagai penghormatan sejarah. Meskipun sebagian muslim masih bertentangan mengenai kelima dasar pokok Mu’tazilah ini karena mungkin dianggap sesat atau bertentangan dengan aliran sunni namun metodologi pemikiran mu’tazilah masih tumbuh subur dikalangan masyarakat muslim dunia. Sehingga dewasa ini muncul beberapa aliran Islam yang “neo-Mu’tazilah” atau mu’tazilah dimasa modern. Mungkin secara konsep dan dasarnya berbeda dengan kelima konsep yang diajukan oleh Mu’tazilah namun metodologi pemikiran dalam penggunaan akal sebagai dasar bisa dibilang sama. Dewasa ini telah muncul banyak aliran seperti ini, seperti ISIS, HT, NII, MTA, NU, Muhammadiyah, salafi, Sunni, Wahabi dan masih banyak lagi. Bukannya mereka ini adalah ajaran yang sesat, namun mereka hanya mempunyai tafsir yang berbeda yang dianggap benar oleh kaum mereka sendiri.
Dalam konsep multi kultural kita tidak bisa memandang sebelah mata terhadap aliran yang berbeda dengan diri kita. Jika kita ingin mengkritisi mereka selayaknya kita harus mengenal betul mulai dari lingkaan terluar (muamalah) hingga kelingkaran terdalam (aqidah). Dalam mengkritisinya pun kita seharusnya tidak boleh secara langsung dengan kekerasan dan pemaksaan, selayaknya kita kritisi dengan jalur musyawarah yang sehat sehingga semua golongan sama-sama mencapai gelombang alfa dimana orang bisa fokus dan berfikir jernih dan akhirnya bisa memberikan hasil yang positif bagi keduanya.
Namun tidak semua bidang agama bisa dijangkau dengan nalar logika, menurut KH. Achmad perintah perintah Tuhan dibagi menjadi dua; yang pertama disebut perintah ta’abudi yang membahas perihal peribadatan, hal ini tidak bisa dijangkau oleh pemikiran rasional karena sudah tertulis dengan jelas hukum-hukumnya dalam dalil naqli. Dan yang kedua adalah ma’qulul ma’na yaitu perintah tuhan yang bisa dimasuki pemikiran akal rasio.[25] Dengan ini kita tidak perlu lagi mendebatkan permasalahan yang bersifat ta’budi karena memang sudah tertulis jelas dalam dalil na’qlinya seperti perintah sholat, puasa zakat dll. Namun perbedaan yang sering muncul hanya dalam wilayah fiqh muamalah yang bersifat praktis saja tanpa mengurangi nilai substansial dari perbuatan tersebut.
Dengan mengusung sifat saling menghargai akan perbedaan selayaknya kita akan memetik buah rahmat yang terkandung didalamnya seperti dalam hadist Nabi “Perbedaan pendapat di kalangan umatku membawa rahmat”. Konsep toleransi yang diusung oleh Nabi Muhammad adalah sifat menghargai sesama golongan ataupun yang berbeda pendapat diluar golongan kita. Bukannya malah dengan menyatukan semua golongan menjadi satu wadah besar yang dianggap benar dengan cara pemaksaan dan kekerasan.

2. Implikasi dalam bidang pemikiran ilmiah

Kaum Mu’tazilah telah membuka pintu pemikiran rasio terhadap segala segi dalam pemikiran Islam. Selayaknya kita juga harus melanjutkan metode pemikiran ini dengan menggunakan rasio namun juga harus tetap berpegang teguh pada ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan pada akhirnya kita tidak hanya terpaku pada pemikiran keislaman saja, melainkan bidang lain juga membutuhkan sentuhan pemikiran rasional dan ditambah pada ranah keagamaannya sehingga pada akhirnya dapat menghasilkan suatu bidang keilmuan yang mengandung nilai agama dan moral yang universal. Adapun bidang-bidang lain yang dimaksud antara lain seperti bidang pendidikan, politik, pemerintahan, keuangan, keamanan, jual beli, teknologi, fashion, arsitektur, dan lain lain.
Jika segala bidang sudah terkandung didalamnya unsur pemikiran Islam yang modern dan rasional tanpa mengesampingkan dalil aqlinya, niscaya dunia secara umum dan masyarakat muslim khususnya akan menjadi peradaban yang lebih maju, aman, mudah serta tentram. Karena pada umumnya konsep Islam adalah konsep yang sangat luas serta dapat digunakan dalam setiap masa dan dimanapun dia berada. Disamping itu ditambah dengan pemikiran akal rasio yang selalu berkeinginan untuk membuat manusia menjadi lebih mudah dalam bekerja dan beribadah, serta membuat manusia sejahtera secara psikologis dan fisiologis.

3. Implikasi dalam segi pendidikan

Dalam segi pendidikan khususnya juga disarankan untuk menggunakan semangat dan metode berfikir Mu’tazilah yang bebas dan berdasar. Sebagai pendidik maupun peserta didik, diharapkan dapat berfikir kritis perihal kurikulum, bahan ajar serta strategi yang ditawarkan pemerintah. Guru yang kreatif dan memiliki pola fikir rasional akan memilah bahan ajar yang tepat untuk disampaikan kepada muridnya dan menambahkan beberapa nilai afeksi sebagai bekal anak didiknya untuk menjadi pribadi yang lebih santun. Misalnya dalam mata pelajaran aqidah akhlak, sang guru diharapkan mempelajari suatu materi secara komprehensif dan dilihat dari berbagai sudut, dengan demikian diharapkan guru dapat memberikan wawasan yang luas mengenai pengetahuan aqidah namun juga mendapatkan nilai kesopanan.
Begitu halnya dengan peserta didik. Saat seseorang ingin mempelajari suatu hal dan menginginkan bercita-cita menjadi ilmuan, cendekiawan bahkan ulama kata KH. Achmad diharuskan memiliki 3 syarat utama, yaitu pertama, memiliki pengetahuan dasar yang luas yang didapat dari membaca refrensi atau mengikuti alur perkembangan zaman. kedua, kemurnian niat untuk menjadi ilmuan yang suci dari sifat-sifat keserakahan dunia, jadi mencari ilmu hanya untuk kepentingan keilmuan. Ketiga, penguasaan metodologi pemikiran, logika serta ketajaman menganalisis suatu masalah.[26]
Dengan pemaparan seperti ini diharap peserta didik dapat meniru jejak langkah metodologi pemikiran mu’tazilah beserta semangatnya untuk memikirkan kemajuan dunia Islam dan keilmuan. Jika semua peserta didik mempunyai pemikiran yang luas dan komprehensif maka suasana dikelas akan selalu terjadi perbincangan ilmiah yang menarik untuk dibahas, baik itu dalam segi keagamaan ibadah, muamalah, aqidah ataupun keilmuan kontemporer seiring perkembangan zaman.
Dalam segi pembuatan kurikulum diharapkan pemerintah atau pihak yang bersangkutan untuk membuat kurikulum serta bahan ajar yang memacu peserta didik untuk mengembangkan sikap berfikirnya, tidak hanya dijejali latihan-latihan soal yang bersifat pilihan ganda. Hal ini akan menghambat daya fikirnya dan membunuh potensi berfikir pada anak tersebut. Dalam bukunya Munfi Chatib menyatakan bahwa sekolah unggul adalah sekolah yang memanusiakan manusia, dalam arti menghargai setiap potensi yang ada pada diri siswa.[27] Dengan demikian seharusnya kurikulum yang didesain adalah memanfaatkan seluruh potensi yang dimiliki oleh anak didiknya sehingga dapat mencapai output yang maksimal


DAFTAR PUSTAKA

Chatib, Munif. 2014. Sekolahnya Manusia. Bandung: Kaifa
Faud, Munawar Noeh. 1999. Menghidupkan Ruh Pemikiran. Jakarta: Logos
Hatta, Mawardi. 2012. Aliran Mu’tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Vol. 12, No.1. Banjarmasin: IAIN Antasari Banjarmasin.
Khad, Nur. 2005. Sejarah Lahirnya Mu’tazilah dan Ajarannya. Pati: IAIN Walisongo.








[1] Mawardi Hatta, Aliran Mu’tazilah dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Islam, Vol. 12, No.1, (Banjarmasin: IAIN Antasari Banjarmasin, 2012), hlm 2.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Abu Aanisah Aslam, Kamus Munawir.apk, 2015
[5] Mawardy Hatta, Op.Cit., hlm 3.
[6] Ibid., hlm 7.
[7] Ibid., hlm 8.
[8] Ibid., hlm 9.
[9] Muhammad Rashidi Wahab, Kedudukan Akal dalam Pendalilan Aqidah, (Terengganu: Universiti Sultan Zainal Abidin, 2013), hlm 6.
[10] Nur Khad, Sejarah Lahirnya Mu’tazilah dan Ajarannya, (Pati: IAIN Walisongo, 2005) hlm 8
[11] Ibid., hlm 9.
[12] Ibid., hlm 12.
[13] Ibid.
[14] Ibid., hlm 13
[15] Ibid.
[16] Ibid., hlm 14
[17] Ibid., hlm 16
[18] Mawardi Hatta, Op.Cit., hlm 18.
[19] Ibid.
[20] Ibid., hlm 11
[21] Ibid., hlm 12
[22] Ibid., hlm 13
[23] Ibid.
[24] Ibd., hlm 18
[25] Munawar Fuad Noeh, Menghidupkan Ruh Pemikiran KH. Achmad Siddiq, (Jakarta: Logos, 1999) hlm 61
[26] Ibid., hlm 60
[27] Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, (Bandung: Kaifa, 2014) hlm 96

0 Comments:

Post a Comment