ASMA AL-HUSNA
AL-MALIK
(Maha Raja/yang Maha
Berkuasa)
Oleh:
Eka Ilmi Utami
(13410053)
PAI / IV B
A. Pengertian
Asma Al-Husna
Asma
Al-husna adalah nama-nama Allahyang indah dan baik. Asma berarti nama dan husna
berarti yang baikatau yang indah,jadi asmaul husna adalah nama-nama milik Allah
yang baik lagi indah.
Asmaul
husna secara harfiah adalah nama-nama, sebutan, gelar dan agung sesuai dengan
sifat-sifat-Nya. Nama-nama Allah yang agung dan mulia itu merupakan suatu
kesatuanyang menyatu dalam kebesaran dankehebatan milik Allah.
Para
ulama berpendapat bahwa kebenaranadalahkonsistensidengan kebenaran yang lain.
Dengan cara ini,umat muslim tidak akan mudah menulis “Allah adalah.......... “ ,karena tidak ada satu hal pun yang dapat
disetarakan dengan Allah, akan tetapi harus mengerti dengan hati dan keterangan
Al-qur’an tentang Allah ta’ala. Pembahasan berikut hanyalah pembahasan yang
disesuaikan dengan konsep akal kita yang sangat terbatas ini. Semua kata yang
ditujukan pada Allah harus dipahami keberbedaannya dengan penggunaan wajar
kata-kata itu. Allah itu tidak dapat dimisalkan atau dimiripkan dengan segala
sesuatu, seperti tercantum dalam surat Al-Ikhlas : “ Katakanlah: Dia-lah allah, yang Maha esa. Allah adalah Tuhan yang
bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tiada pula
diperanakkan , dan tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia”.
(Al-Ikhlas 112 : 1-4)
Para
ulama menekankan bahwa Allah adalah sebuah nama kepada Dzat yang pasti ada
namanya. Semua nilai kebenaran mutlak hanya ada (dan bergantung) pada-Nya.
B. Al-Malik
Ø Pengertian Al-Malik
Setelah
Ar-rahman dan Ar-Rahim, sifat allah yang menyusul keduanya adalah Al-Malik,
yang secara umum diartikan raja atau penguasa. Kata “Malik” terdiri dari
huruf-huruf Mim, Lam, Kaf yang rangkaiannya mengandung makna kekuatan dan
keshahihan. Kata itu pada mulanya berarti ikatan dan penguatan. Kata ini
terulang dalam al-qur’an sebanyak lima kali.
Al-Malik
mengandung arti penguasaan terhadap sesuatu disebabkan oleh kekuatan
pengendaian dan keshahihannya. “Malik” yang biasa diterjemahkan dengan raja
adalah “yang menguasai dan menangani perintah dan larangan, anugerah dan
pencabutan” dan karena itu biasanya kerajaan terarah kepada manusia, tidak
kepada barang yang sifatnya tidak dapat menerima perintah dan larangan.
Dalam
Al-qur’an tanda-tanda kepamilikan kerajaan adalah kehadiran banyak pihak
kepada-Nya untuk memohon agar dipenuhi kebutuhannya atau untuk menyampaikan
persoalan-persoalan besar agar dapat tertanggulangi. Alla SWT melukiskan betapa
Yang Maha Kuasa itu melayani kebutuhan makhluknya. Firman-Nya : “Setiap yang dilangit dan di bumi bermohon
kepada-Nya. Setiap saat Dia dalam kesibukan (memenuhi kebutuhan mereka).”
(Q.s. Ar-Rahman: 55 : 29)
Allah
juga Penguasa dan raja dalam kehidupan dunia. Bukankah telah ditegaskan
oleh-Nya bahwa, “Allah yang
menganugerahkan kerajaan-Nya (di dunia ini) kepada siapa Dia kehendaki dan Dia
Maha luas anugerah-Nya lagi Maha Mengetahui” (Q.s. Al-Baqarah 2 :247).
Namun sekali lagi ditegaskan bahwa kekuasaan dan kerajaanNya di dunia ini,
tidak dirasakan oleh semua makhluk serta tidak menonjol di hari kemudian nanti.
Karena itu di dunia ini ada saja diantara mereka yang membangkang bahkan ada
saja yang mengaku sebagai Tuhan.
Allah
adalah Raja dn Penguasa lahir dan batin.
Imam
Ghozali menjelaskan arti “malik”yang merupakan salah satu asma’ Al-husna dengan
menyatakan bahwa “Malik” adalah, “Yang tidak butuh pada zat dan sifat-Nya
segala yang wujud, bahkan Dia adalah yang butuh kepada-Nya segala sesuatu yang
menyangkut segala sesuatu, baik pada zatnya, sifatnya, wujudnya dan
kesinambungan eksistensnya. Bahkan wujud segala sesuatu, bersumber dari-Nya.
Maka segala sesuatu selain-Nya menjadi milik-Nya dalam zat dan sifat-Nya dan
membutuhkan-Nya. Demikian itulah Raja yang mutlak”.
Di
sini terlihat kaitan yang erat antara kerajaan dan kekayaan.
Ada
perbedaan antara “Malik” yang berarti “raja” dan “Malik” yang diartikan
“pemilik”. Seorang pemilik, belum tentu seorang raja,sebaiknya pemilikan seramg
raja biasanya melebihi pemilikan pemilik yang bukan raja.[1]
Para
hamaba Allah yang mengenal mereka, dan menemukan makna nama Tuhan di dalam diri
mereka sendiri, akan tenang dalammenghadapi gejolakkarena memercayai nasib
mereka, kedudukan mereka yang tinggi, danketenaran yang mereka miliki.
Orang-orang yang menjadikan raja-raja duniawi sebagai tuhan tidak berharap pada
Tuan dari tuan mereka. Semuanya akan mengetahui bahwa mereka (raja-raja dunia)
tidak memiliki kekuasaan apa-apa di kerajaan ilahi ini, tetapi ada Penguasa
mutlak yang melihat “ seekor semut hitam yang merayap di atas batu hitam di
malam hari yang gelap gulita”,demikian perasaan tersembunyiyang melintas di
dalam akala dan hati. Segala yang ada pada kita dan segala yang kita lakukan
disaksikan dan dicatat; semuanya akan dierhitungkandi hri kiamat.
Orang
yang mengenal al-Malik, meskipun dia itu orang raja, akan menyadari bahwa dia
tidak lebih dari seorang penggembala yang untuk sementara ditugaskan menjaga
ternak yang bukan miliknya. Atas keikhlasan, kerja keras, da pengabdiannya dia
boleh berharap imbalan pada majikannya. Jika dia seorang pengembala yang buruk,
yang membunuh dan memakan anak domba, meminum semua susunya, membiarkan
serigala menyerang ternak itu, tentu dia akan dihukum. Jika tugasnya sebgai
penggembaa berakhir, dia harus memberikan pertanggungjawaban. Lebih baik
membereskan tugas sebelum tiba hari yang di dalamnya mereka harus tunduk.
‘Abd
Al-Malik adalah orang yang merasa cukup dengan Tuhannya. Di tidak membutuhkan
apapun dan siapapun kecuali dari Tuhannya. Manusia yang mencapai tingkatan
seperti itu diberikan kekuatan dan kekuasaan atas kehidupan dan perbuatan
mereka sendiri. Tuhan menetapkan mereka sebagai khalifah-Nya, penguasa di
wilayah mereka sendiri, karena kerejaan mereka adalah dirinya sendiri. Yang menjadi
urusan kita adalah lidah kita, mata kita, tangan kita, dan anggota badan kita
yang lain. Bala tentara kita adalah ambisi kita, hasrat kita, nafsu kita,
amarah kita. Jika kita mampu mengendalikannya, dan jika semua itu patuh kepada
kita, tentu Allah akan mengizinkan kita untuk menguasai kehidupan manusia lain.
Oleh karena itu, ‘Abd al- Malik seorang hamba yang telah diberikan kekuatan dan
kekuasaan atas kehidupan dan perbuatanmereka sendiri maupun atas kehidupan
orang lain sesuai dengan aturan dan kehendak Allah. Manifestasi nama ya Malik,
Raja seluruh alam semesta, pada diri seorang hamba Allah adalah sifat paling
itabah dan paling kuat yang ada dalam diri manusia.
Jika
seseorang benar-benar mencapai tingkatan dimana Tuhan sudah cukup baginya dan
tetap mengingat nama ini, niscaya dia akan dikagumi dan dihormati oleh setiap
orang.[2]
Ø Alasaan mengapa Dia lebih berhak menjadi Raja di
hari kiamat.
Allah
telah mengkhususkan diri-Nya bahwa Dia adalah zat yang merajai pada hari kiamat
dalam surat al-Fatikhah. Allah berfirman: “Maliki yaum ad-diin.” Dalam qiraat
yang lain “Maliki yaum ad-diin.” Dua qiraat tersebut sama benarnya.
Adapun
alasan yang membuatAllah melebihkan diri-Nya sebagai Raja pada hari kiamat
adalah:
Pertama:
Karena pada hari itu Allah menggantikan langit dan bumi dengan langit dan bumi
lainnya. “(Yaitu) pada hari ketika bumi diganti dengan bumi yang lain (demikian
pula) dan mereka semuanya (di padang Makhsyar) berkumpul menghadap kehadirat
Allah yang Maha Esa lagi Maha Perkasa.” (Q.Sibrahim : 48) sampai Allah
mengingatkan kepada para hamba bahwalangit dan bumi adalah kepunyaan-Nya, Allah
yang memiliki keduanya.
Kedua:
Di kehidupan dunia ini, manusia mempunyai kesamaan sifat (dengan Allah) yaitu
memiliki. Manusia memiliki barang dagangan, istana-istana, kebun-kebun,emaas
dan perak, tapi masalahnya mereka akan kehilangan yang mereka miliki itu, atau
semua barang milik itu akan hilang dengan meninggalkannya. Dengan demikian ia
adalah pemilik yang semu, sebagai pinjaman dan harus dikembalikan. Di hari
kiamat, semua itu bukan lagi miliknya.pada hari itu manusia akan dikumpulkan
dalam keadaan telanjang, tak beralas kaki, dan belum khitan.
Ø Orang yang Paling Sombong di Hadapan Allah adalah
yang Menamakan Dirinya Raja Diraja.
Hal
yang wajib dilakukan oleh orang yang mengetahui bahwa Allah adalah Zat yang
mempunyai segala sesuatu adalah tunduk kepada keagungan dan kekuasaan Allah.
Oleh karena itu Allah akan murka kepada setiap orang yang menamakan dirinya
dengan raja diraja, hakim dari segala hakim, atau penguasa dari semua penguasa.
Karena yang berhak mendapatkan julukan tersebut hanyalah Allah sendiri. Telah
dijelaskan dalam dua kitab Shahih Bukhari dan Muslim, diriwayatkan dari Abu
Hurairah: Rasullulah SAW bersabda, “Sesungguhnya nama yang paling jelek yang
dipakai oleh seseorang besok pada hari kiamat adalah nama raja diraja.” (HR.
Bukhari: 6205 dan 6206)[3]
Ø Pujian Rosullulah saw kepada Tuhannya dengan
Menggunakan Nama al-Mulk (Raja)
Rasullulah
saw selalu memuji Allah dengan menggunakan nama al-Mulk, seakan-akan hal itu
adalah merupakan pengakuan beliau bahwa Dia adalah Zat yang mempunya seluruh
kerajaan.[4]
Ø Manfaat Al-Malik
Tidak
ada yang berkuasa daripada-Nya. Jika didunia ini kita banyak menjumpai orang
yang berkuasa, memiliki kewenangan dan jabatan 6yang tinggi, memiliki
kewenangan dan kekuasaan mengatur segala sesuatu, maka Allah lebih kuat dan
lebih berkuasa dari semua itu.
Manfaat
dari Al-Malik diantaranya:
1.
Meningkatkan
wibawa dan daya kepemimpinan.
Apabila
seseorang mewiridkan membaca Yaa Malik sebanyak-banyknya atau minimal 100 x
secara ritin setiap hari sesudah sholat wajib, niscaya Allah akan membangkitkan
sifat kepemimpinan padanya. Setiap orang akan merasa segan dan tunduk padanya,
gerak geriknya berwibawa, ucapannya mengandung pengaruh yang menyebabkan
orangcenderung untuk tunduk dan mematuhinya.
2.
Memudahkan
meniti karir atau meraih jabatan tertentu.
3.
Mendapat
kemuliaan di hari kebangkitan.
Orang
yang mewiridkan alimat “Yaa Malik”, di
hari berbangkit atau padang mahsyar kelak akan dijadikan Allah sebagai orang
yang mulia dan terhormat, Allah akan memperlakukannya sebagai raja yang mulia,
bebas dari kekalutan, kehinaan dan kepanikan yang banyak dialami manusia di
hari itu. Allah memuliakannya sebagaimana ia memuliakan Allah selama hidup di
dunia. Jika di dunia ini kita banyak menjumpaiorang yang berkuasa dan memiliki
kewenangna melakukan sesuatu, maka di padang Mahsyar Dialah Allah penguasa
tunggal, tidak ada yang berkuasa selain Dia, di hari itu Dia akan memberi
kemuliaan dan penghormatan kepada siapa yang Ia kehendaki.
Ø Implikasi Al-Malik
Dia
lah Pemilik alam semesta, Pemilik selurh makhluk, dan Mahakuasa. Allah satu-satunya
Penguasa seluruh alam semesta, baik alam nyata maupun alam ghaib, dan Penguasa
seluruh makhluk sejak awal hingga akhir. Tak ada yang serupa dengan-Nya karena
Dia-lah Pencipta Kerajaan-Nya yang diciptakan-Nya dari ketiadaan. Hanya Dialah
yang mengetahui luas Kerajaan-Nya, jumlah penduduk-Nya, dan kekuatan
pasukan-Nya.
Implikasi
dari Al-Malik bagi seorang hamba Allah yang mengenal Tuan mereka, denagn
menemukan nama Tuhan di dalam diri mereka sendiri, akan bersikap tenang, dalam
menghadapi gejolak karena memercayai nasib mereka, kedudukan mereka yang
tinggi, dan ketenaran yang mereka miliki. Serta dalam diri mereka akan merasa
bahwa semua hanya milik Allah, Dialah penguasa satu-satunya. Oleh sebab itu
mereka akan senantiasa tetap bertawakkal kepada Allah walaupun terdapat banyak
harta, jabata, kekuasaan yang dimilikinya, karena mereka menyadari bahwa itu
semua adalah titipan Allah yang perlu dipertanggungjawabkan kelak di akhirat,
sehingga mereka tidak terlena dengan gemerlap dunia yang fana ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Shihab,
M. Quraish. Menyingkap Tabir Ilahi.
Jakarta: Lentera Hati, cet. ke-7, 2005.
Al-Jerrahi,
Syekh Tosun Basyrak.Asmaul Husna Makna
dan Khasiat. Jakarta: SERAMBI ILMU SEMESTA, cet. ke-3, 2004
Al-Asyqar,
Umar Sulaiman.Asma’ al-Husna al-Hadiyah
ila Allah wa al-Ma’rifah bihi. Jakarta: Qisthi Press, cet. ke-17, 2010),
[1] M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Illah, (Jakarta: Lentera Hati,
2005), cet. ke-7, hal. 27-30.
[2] Syekh Tosun Basyrak al-Jerrahi ,Asmaul
Husna Makna dan Khasiat, (Jakarta: SERAMBI ILMU SEMESTA, 2004), cet. ke-3,
hal. 37-39.
[3] Prof. Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar, Asma’
al-Husna al-Hadiyah ila Allah wa al-Ma’rifah bihi, (Jakarta: Qisthi Press,
2010), cet. ke-17, hal. 46-47.
[4] Ibid, hal.47
0 Comments:
Post a Comment