AS-MA’UL
HUSNA: AS-SAMII’
Wasilah yang
paling agung, paling mulia, dan paling kuat untuk mendekatkan seorang hamba
kepada Allah adalah melalui Asma’ul Husna. Allah SWT. juga telah
memerintahkan dalam Al-Qur’an agar berdo’a dengan menyebut Asma’ul Husna
tersebut.[1]
Betapa agung
dan mulianya Allah SWT. yang memiliki nama-nama yang baik tersebut. Dan
nama-nama baik tersebut hanyalah milik-Nya, tidak ada satu pun makhluk-Nya yang
menyamai. Karena banyak manfaat dari Asma’ul Husna tersebut, Allah
memerintahkan kepada kita sebagai makhluk-Nya agar berdo’a melalui Asma’-Nya.
Perintah itu langsung di sampaikan-Nya di dalam Al-Qur’an, yakni dalam Q.S.
Al-A’raf: 180 yang artinya berbunyi :
“Hanya milik Allah Asma’ul Husna, maka
bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut Asma’ul Husna itu dan tinggalkanlah
orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya,
nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
(Q.S. Al-A’raf: 180)
Dalam kitab
Bukhari Muslim juga diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW.
bersabda:[2]
“Allah mempunyai 99 nama, seratus kurang satu,
siapa yang menghafalkannya maka dia masuk surga.” (HR. Bukhari no. 6957 dan
Muslim no. 26667)
Dari hadis diatas jelaslah bahwa
Allah SWT. mempunyai 99 nama yang baik (Asma’ul Husna). Dan bagi siapa
saja yang menghafalkan maka akan dimasukkan ke surga-Nya. Maksud menghafalkan
disini bukan hanya sebatas hafal nama-nama tersebut, namun kita juga harus
mengimani serta memahami makna yang terkandung di dalamnya yang nantinya akan
menuntun kita untuk masuk ke surga.
Dari sekian
banyak Asma’ul Husna, penulis hanya akan memaparkan satu nama saja dalam
makalah ini, yakni As-Samii’. Tentunya kita semua sudah tahu arti dari As-Samii’
tersebut, yakni Maha Mendengar. Di dalam Al-Qur’an nama As-Samii’
disebut sebanyak 42 (empat puluh dua) kali.[3]
Penulis akan mencoba menggali apa sebenarnya itu As-Samii’ yang dimiliki
oleh Allah SWT.
A.
Makna As-Samii’
Kata As-Samii’
berasal dari bahasa Arab yakni سَامِعٌ . سَمِيْعٌ . مُسْتَمِعٌ yang berarti pendengar, sedangkan تَسَمُّعٌ . اِسْتِمَاعٌ yang berarti pendengaran.[4]
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pendengar berarti orang yang mendengarkan
(pidato, musik,dsb), sedangkan pendengaran adalah hasil mendengar atau
mendengarkan.[5]
Pendengar atau pun pendengaran yang dimaksud disini sangatlah berbeda dengan
pendengar dan pendengaran yang kita miliki. Kita tidak akan sanggup menyamai
pendengaran Allah.
Allah Swt. dapat mendengar segala sesuatu yang ada, sekalipun pelan
suaranya. Bahkan, suara hati yang tak satu pun makhluk yang dapat mengetahui,
Allah tetap mendengarnya. Dia mendengar setiap detak jantung manusia. Mendengar
pula derap perbincangan semut di dalam perut bumi. Dia mendengar setiap untaian
kata pujian yang tertuju kepada-Nya. Dia mendengarkan bait-bait doa hamba-Nya
yang meminta, lalu mengabulkannya. Allah tidak merasa kesulitan dengan aneka
ragam suara yang tertuju kepada-Nya.[6] As-Samii’
berarti tiada apa pun
yang dapat didengar terlepas dari pendengaran-Nya meski tersembunyi atau gaib,
rahasia atau bisikan-bisikan.[7]
As
Samii’ artinya Maha Mendengar, dikaitkan dengan hak
Allah SWT, adalah suatu sifat tambahan atas ilmu-Nya. Maksudnya adalah bahwa
Allah SWT dapat mendengarkan segala sesuatu yang ada sekalipun pelan suaranya.
Sedangkan pendengaran yang ada pada makhluk adalah dengan perantaraan daun
telinga yang akan hilang daya dengarnya bila alat itu rusak. Tetapi keadaan
pendengaran yang ada pada Tuhan tidaklah demikian. Dia mendengar tanpa
perantaraan daun telinga, baik yang didengar-Nya itu bunyi suara, maupun warna
dan benda. Dia dapat mendengarkan suara langkah semut atas karang yang licin di
malam yang gelap gulita. Dan Dia mendengarkan pujian yang diucapkan seseorang
kepada-Nya lalu Dia mengganjar mereka; dan mendengarkan doa orang-orang yang meminta
kepada-Nya lalu Ia memperkenankan permintaan mereka. Pendengaran-Nya tidak
dapat ditembus oleh suatu peristiwa, karena Dia tidak mendengar dengan telinga
atau alat pendengaran. Jadi, pendengaran menurut hal Allah SWT itu ialah suatu
ibarat tentang sifat yang dengannya tersingkap kesempurnaan sifat-sifat
buatan-Nya.[8]
Seorang
hamba mempunyai bagian dari pendengaran itu, tetapi terbatas, sebab ia tidak
dapat mendengarkan semua yang dapat didengar, bahkan suara yang terdekat
sekalipun. Dan lagi, seperti yang telah di kemukakan, pendengarannya itu
dibantu dengan alat (indera pendengar) yang dapat rusak; dan kalau suaranya
terlalu pelan, maka si hamba tidak lagi bisa mendengarnya.[9]
Keberuntungan
seorang hamba yang beragama dengan ism ini mengharuskan adanya dua syarat. Pertama,
harus diketahui bahwa Allah SWT itu Maha Mendengar. Karenanya ia harus
memelihara lisannya. Kedua, hendaklah diketahui bahwa Allah tidaklah
menciptakan baginya pendengaran tersebut, melainkan agar ia mendengarkan Kalam
Allah dan isi Kitab-Nya yang telah diturunkan-Nya. Dengan demikian ia akan memperoleh
hidayah ke jalan Allah.[10]
Rasulullah
menegaskan dalam hadits Qudsi, bahwa sesungguhnya Allah berfirman:
“Seorang hamba yang terus-menerus mendekatkan
diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Dan
apabila Aku jatuh cinta kepadanya, Aku akan menjadi pendengarannya yang dipergunakan
untuk mendengar, Aku akan menjadi penglihatannya yang dipergunakan untuk
melihat, Aku akan menjadi tangannya yang dipergunakan untuk menghajar, dan Aku
akan menjadi kakinya yang dipergunakan untuk berjalan.” (HR. Bukhari).[11]
Indra yang dikaruniakan oleh Allah dapat mengantarkan
seorang hamba semakin dekat kepada-Nya apabila dipergunakan dengan semestinya.
Bukan untuk bermaksiat kepada Allah swt. Indra pendengaran misalnya, ia akan
dapat mengantarkan pemiliknya untuk menjemput ridha-Nya dengan cara
mendengarkan bacaan-bacaan al-Qur’an, mendengarkan nasihat-nasihat yang dapat
menghidupkan hati, atau mendengar penjelasan-penjelasan hadits Rasulullah
kemudian menyampaikannya kepada orang lain. Mendengarkan kebaikan dan
menyampaikannya kepada orang lain adalah perintah Rasulullah Saw. sebagaimana
sabdanya:[12]
“Sampaikanlah dariku
meskipun hanya satu ayat.”
Untuk mendapatkan sesuatu yang berasal dari al-Qur’an
da hadits tentu hal yang paling penting untuk digunakan ialah pendengaran.
Namun, indra yang diberikan Allah kepada seorang hamba juga dapat mengantarkan
kepada murka-Nya, yaitu orang yang mempergunakan indranya dalam hal yang tidak
diridhai-Nya, seperti mendengarkan fitnah dan gunjingan.[13]
Allah Swt. berfirman:
وَإِذَاسَمِعُوْااللَّغْوَأَعْرَضُوْاعَنْهُ
وَقَالُوْالَنَآأَعْمَلُنَاوَلَكُمْ أَعْمَلُكُمْ سَلَمٌ عَلَيْكُمْ لَانَبْتَغِى
الْجَهِلِيْنَ
“Dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak
bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: ‘Bagi kami
amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak
ingin bergaul dengan orang-orang jahil.” (QS. Al-Qashash: 55)
As-Samii’ adalah sifat
mendengar sebagai sifat Dzat, dan sifat mendengarkan sebagai sifat perbuatan.
Sifat mendengar adalah sifat Dzat yang hakiki, kita mengimaninya apa adanya
sebagaimana yang tersebut secara eksplisit dalam dalil yang sesuai dengan keagungan-Nya.
Akan tetapi, zhahir dalil berkenaan denga hak Allah berbeda dengan zhahir dalil
untuk manusia. Karena kita tidak melihat Allah Swt. tidak juga mengetahui
bagaimana cara Dia mendengar, dan tidak ada yang menyerupai Dzat maupun
sifat-Nya. Allah Swt, Maha Mendengar segala rahasia dan tersembunyi.[14]
Al-Samii’, Yang Maha Mendengar,
adalah sifat kesempurnaan karena lawan katanya, tuli, adalah sifat kekurangan.
Ada dua tingkat kesempurnaan: yang mutlak dan yang relatif. Kesempurnaan mutlak
tidak bergantung pada alat, keadaan, atau batasan. Sedangkan kesempurnaan relatif
bergantung pada alat, keadaan dan bersifat terbatas. Di dalam alam semesta,
sejak awal hingga akhir, dari satu sisi ke sisi yang lain, tanpa terputus,
sejumlah suara dan bunyi yang nyaris tanpa akhir bermunculan. Sebagian di
antaranya sekeras ledakan terbesar; sebagian lainnya sangat kecil dan
hampir-hampir tak bisa didengar. Semuanya didengar oleh Yang Maha Mendengar,
satu persatu pada saat yang sama dan sama jelasnya. Pendengaran ini tidak sia-sia
karena semuanya dicatat: makna dimengerti, kebutuhan dipenuhi, jawaban
diberikan, seruan dijawab, yang salah dibetulkan.[15]
As-Sa’di mengatakan bahwa di antara asma’ul husna-Nya adalah as-Samii’,
yaitu yang mendengar segala suara dengan berbagai bahasa dan beragam kebutuhan.
Yang rahasia bagi-Nya adalah nyata, yang jauh bagi-Nya adalah dekat.
Pendengaran Allah ada dua macam:
Pertama:
pendengaran-Nya yang umum terhadap seluruh suara yang lahir dan yang batin,
yang tersembunyi dan yang jelas, sehinnga Allah meliputi seluruhnya secara
sempurna.
Kedua:
pendengaran yang khusus. Yaitu pendengaran beserta ijabah dari-Nya. Pendengaran
bagi orang-orang yang berdoa kepada-Nya serta hamba-hamba yang beribadah
kepada-Nya. Maka Allah akan mengijabahi mereka dan memberi mereka pahala
seperti dalam firman-Nya:
“Ya Rabb kami, kami telah beriman kepada apa
yang telah Engkau turunkan dan kami telah mengikuti rasul, karena itu
masukkamlah kami ke dalam golongan orang-orang yang menjadi saksi (tentang
keesaan Allah).” (Ali Imran: 35)
dan firman-Nya melalui lisan Ibrahim,
kekasih-Nya:
“Segala puji bagi
Allah yang telah menganugerahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq.
Sesungguhnya Rabbku, benar-benar Maha Mendengar (memperkenankan) doa.” (Ibrahim: 39)
Termasuk dalam hal ini ucapan
seorang yang shalat, “Sami’allahu liman hamidah” (yakni Allah mendengar
dan mengijabahi orang yang memuji-Nya).[16]
B. Implikasi As-Samii’
Terhadap Orang Beriman
Lantas bagaimanakah dengan kita sebagai orang yang mengimani bahwa Allah
Maha Mendengar ? Apa yang seharusnya kita lakukan ? Ya, inilah yang perlu kita
kaji. Sebagai orang yang mengaku beriman atau percaya bahwa Allah Maha
Mendengar, tentu saja kita harus pandai-pandai menjaga lisan kita. Karena
sebagaimana kita ketahui bahwasannya Allah tidak hanya saja mendengar hal-hal
yang jelas, tapi yang samar dan hal-hal yang tidak dapat di dengar oleh telinga
manusia pun dapat di dengar oleh Allah. Dan pendengarannya tidak terbatas,
maksudnya apa saja yang ada di dunia ini Allah akan mendengar semua, dan Dia
tahu siapa yang mengucapkan, Dia tidak akan salah. Untuk itu, marilah kita
banyak memuji, memohon dan meminta (berdo’a) kepada Allah, karena Allah akan
mendengarkan semua. Serta kita harus menghindari pembicaraan yang kurang
bermanfaat karena hal tersebut akan merugikan diri kita sendiri.
Dalam menjaga lisan selain karena hal tersebut dapat di dengar oleh
Allah, hal tersebut juga sangat bermanfaat bagi kita sebagai makhluk sosial
dalam bermasyarakat. Karena apabila kita tidak pandai mengatur lisan kita,
orang-orang di sekeliling kita akan merasa tidak nyaman. Sebagai contoh,
apabila kita bertemu dengan teman, lalu kita mengatakan “Wah, kamu bagi ini
sangat cantik sekali”, tentu saja orang yang kita puji akan merasa senang
dan kita juga akan mendapatkan pahala dari Allah. Namun, apabila kita berkata “Kamu
ini jadi orang bodoh sekali !”, tentu saja orang tersebut akan sakit hati
terhadap kita dan bisa jadi dia akan menyimpan dendam dan kita akan disakiti
balik. Tentu kita semua tidak menginginkan hal tersebut bukan ? Untuk itu,
marilah kita menjaga lisan kita denga sebaik mungkin. Sebagaimana pepatah “Mulutmu
harimau mu”.
Setelah kita mengkaji apa yang seharusnya kita lakukan sebagai orang
yang beriman terhadap asma’ Allah As-Samii’ ini, timbul
pertanyaan lagi yang harus kita pecahkan. Mengapa masih banyak orang yang tidak
beriman padahal Allah Maha Mendengar ? Pertanyaan yang sangat menarik bukan ?
Menurut saya, hal tersebut terjadi karena masih minimnya pengetahuan mereka
tentang apa sebenarnya makna Maha Mendengar itu. Kebanyakan kita hanya sebatas
hapal dan mengetahui saja dan tidak tahu maksud dan tujuannya. Ya, kita hanya
tahu bahwa Allah itu Maha Mendengar, tapi mendengar yang bagaimana yang banyak
dari kita tidak mengetahuinya. Apa penyebabnya ? Banyak dari kita sewaktu masih
kecil hanya diajarkan oleh guru-guru kita untuk menghapal saja. Kita tidak
mendapatkan penjelasan yang gamblang. Dan sampai dewasa kita ya hanya sebatas
hapal saja tanpa mau menggali lagi tentang pengetahuan tersebut.
Apa yang akan terjadi jika Allah itu tuli dan apa implikasinya bagi kita
? Dalam benak saya sudah tergambarkan sebuah kehancuran yang luar biasa.
Mengapa saya berkata seperti itu ? Mungkin kita semua akan mempunyai pemikiran
yang sama. Dalam keadaan Allah Maha Mendengar saja masih banyak orang yang
berbuat kerusakan bahkan mereka juga berani menyekutukan Allah. Nah, bagaimana
jika Allah tuli, dunia ini akan hancur, kita akan semaunya sendiri. Perbuatan
dosa merajalela, permohonan tidak akan terkabul karena Allah tidak mendengar
apa yang kita bicarakan. Tidak akan ada tempat mengadu dan akhirnya akan timbul
kekafiran dimana-mana karena akan banyak orang berdatangan ke tempat-tempat
orang-orang yang dianggap pintar. Akhirnya banyak tempat pemujaan setan, serta
pertumpahan darah.
Referensi:
Al-Jerrahi, Syekh Tosun Bayrak. 2004. Asmaul
Husna Makna dan Khasiat. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Ar-Ridhwani, Mahmud Abdur Raziq Dr. 2009. Do’a
& Dzikir 99 Asma’ul Husna. Jogjakarta: Hikam Pustaka.
Http://asysyariah.com/as-sami/. Diunggah pada
tanggal 17 Februari 2015, pukul 10:57 WIB.
Http://kbbi.web.id/dengar,
diunggah pada tanggal 19 Februari 2015, pukul 23:38 WIB.
Http://horee.us/content/ar-rahman/asmaul-husna/as-sami/,
diunggah pada tanggal 17 Februari 2015, pukul 10:57 WIB.
Http://sejukku.blogspot.com/2013/10/penjelasan-asmaul-husna-27-as-sami-yang.html,
diunggah pada tanggal 17 Februari 2015, pukul 10:57 WIB.
M, Sadirman Endin. 2009. Keajaiban Asma’ul
Husna dan Cara-cara Amaliah Meraih Kemanfaatannya dalam Kehidupan Anda.
Yogyakarta: Garailmu.
Najieh, Ahmad.
2010. Kamus Arab-Indonesia.
Indonesia: Nur Ilmu.
Ruba’i, HM Hamim S.H. 1993. Meneliti Asma’ul Husna dalam Al-Qur’an.
Bandung: Al-Ma’arif.
[1] Dr. Mahmud
Abdur Raziq Ar-Ridhwani, Do’a & Dzikir 99 Asma’ul Husna,
(Jogjakarta: Hikam Pustaka, 2009), hal. 1.
[3] HM Hamim
Ruba’i, S.H., Meneliti Asma’ul Husna dalam Al-Qur’an, (Bandung: Al-Ma’arif,
1993), hal. 72.
[6] Sadirman Endin
M., Keajaiban Asma’ul Husna dan Cara-cara Amaliah Meraih Kemanfaatannya
dalam Kehidupan Anda, (Yogyakarta: Garailmu, 2009), hal. 107.
[7] Http://sejukku.blogspot.com/2013/10/penjelasan-asmaul-husna-27-as-sami-yang.html,
diunggah pada tanggal 17 Februari 2015, pukul 10:57 WIB.
[8] Http://horee.us/content/ar-rahman/asmaul-husna/as-sami/,
diunggah pada tanggal 17 Februari 2015, pukul 10:57 WIB.
[15] Syekh Tosun
Bayrak Al-Jerrahi, Asmaul Husna Makna dan Khasiat, (Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta, 2004), hal. 86-87.
0 Comments:
Post a Comment