Header Ads

23 December 2016

BERAGAMA DALAM MASYARAKAT PLURAL

BERAGAMA DALAM MASYARAKAT PLURAL
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aqidah Akhlaq di Madrasah
Dosen pengampu : Sangkot Sirait


Di susun oleh :
Minan Zuhri (13410225)

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014/2015
PEMBAHASAN
1.     Pengertian Agama
Para ahli antropolog seperti Geertz memandang agama sebagai salah satu unsur kebudayaan. Menurutnya, manusia mempunyai akal pikiran dan system pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta symbol-simbol agama[1]. Sementara pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakikat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing-masing agama. Manusia hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci sesuai dengan kemampuan yang ada[2]. Dalam konteks ini, Tibi dalam menguatkan pendapat Geertz menyatakan, bahwa agama bersifat cultural dan oleh karena itu agama merupakan kumpulan dari symbol-simbol dan system-sistem agama sebagai model of reality tidak bisa ditembus secara eksperimental tetapi harus secara interpretative[3].
    Agama merupakan system keyakinan individu yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat, dan amal ibadat) yang bersifat pribadi maupun kelompok yang melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat[4].



2.     Subtansi Agama
Sebenarnya, secara horizontal, agama merupakan media untuk bersosialisasi, hal ini tidak menemukan permasalahan pelik ketika berhadapan dengan orang-orang satu ideology, permasalahan pelik muncul ketika berhadapan dengan orang-orang yang berbeda ideology, karena masing-masing agama mempunyai prinsip-prinsip ajaran yang berbeda satu sama lain, disinilah diperlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan sikap saling menghormati antara pemeluk agama satu dengan yang lain. Dalam istilah teknisnya dikenal dengan toleransi terhadap keyakinan, tingkah laku, dan adat istiadat yang berbeda dari apa yang dimiliki seseorang.[5]
          Berbagai benturan terhadap ajaran Agama banyak menjadi sebab kelumpuhan semangat untuk menemukan nilai-nilai Islam yang dapat diterapkan dalam kehidupan modern yang selalu berubah. Lahirlah perasaan waswas, bingung dan bahkan curiga terhadap perubahan dunia, sehingga menimbulkan sikap mundur, kembali ke dunia salaf dengan tujuan sebagai alternative dari perubahan masyarakat menuju modernisasi. Di sini umat Islam disuguhi sikap yang ambivalens, di satu pihak diajak hidup dengan gaya salaf, tetapi di pihak lain diam-diam gaya khalaf dinikmati sepenuhnya.
          Seyogyanya perubahan dan benturan yang terjadi dihadapi dengan sikap yang dewasa, yakni memahami bahwa interpretasi terhadap ajaran agama yang kita warisi saat ini adalah interpretasi sekian ratus tahun yang lalu yang mungkin saja perubahan, tantangan dan benturan yang terjadi saat itu sangat berbeda dengan yang dihadapi ummat Islam saat ini. Demikian pula sekian banyak definisi terhadap lembaga-lembaga agama Islam disusun pada saat perkembangan ilmu menjadi marak di dunia Islam sehingga segala sesuatu memerlukan penegasan tentang hakekatnya secara ilmiah. Lahirlah definisi-definisi dari lembaga-lembaga agama yang kita warisi sampai saat ini.
          Dengan sikap dewasa tersebut dimaksudkan agar ummat Islam saat ini mampu melakukan re-interpretasi dan re-definisi terhadap penafsiran dan perumusan istilah yang ternyata tidak sesuai lagi dan lebih-lebih yang kurang sejalan dengan jiwa Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dengan langkah tersebut diharapkan agar ummat tidak menghadapi jalan buntu untuk menemukan nilai-nilai Islam dalam perkembangan dunia maupun peradaban kebudayaan yang tidak lagi seperti saat ini.[6]
          Dengan demikian, maka dapat dipahami jika dialektika antara nilai-nilai Islam serta agama-agama lainnya dan  nilai-nilai budaya memiliki pijakan yang cukup mapan. Menurut Majdid dialektika di antara keduanya dilandasi oleh dua hal yaitu; semangat humanitas dan universalitas Islam.[7] Indikasi hubungan diantara keduanya nampak pada sinergisnya hubungan antara Islam sebagai agama dan nilai-nilai budaya sebagai pemahaman manusia untuk tidak menyebutnya antara teks dan pemikiran manusia. Pemikiran yang dipilih oleh Madjid di atas mengilhami pola piker Amin, bahwa menurutnya apa yang disebut budaya tidak lain adalah apa yang dipikirkan, dibuat dan dilakukan orang, kelompok, atau masyarakat dengan mengatasnamakan rasial, suku, agama, gender, dan sebagainya.




Oleh karenanya, dapat dibenarkan untuk mengatakan bahwa telah ada hubungan dialektis antara agama dan budaya - untuk tidak menyebutnya dalam teks dan pemikiran manusia. Dengan lain ungkapan, agama dan budaya adalah merupakan hasil perpaduan yang kompleks antara yang bersifat “manusia” (human) dan yang bersifat “ketuhanan” (divine) atau dalam bahasa Amin perpaduan antara tulisan keagamaan (religions) dan factor-faktor social-budaya.[8] Demikian sinergisnya hubungan antara Islam sebagai agama dan nilai-nilai budaya seperti yang dipertegas oleh kerangka teoritik yang digunakan kedua ilmuan tersebut.
          Sebagaimana dipahami bersama, bangkitnya semangat multikulturalisme yang belakangan mulai merebak diberbagai lini kehidupan, tidak saja dikarenakan factor eksternal tetapi lebih disebabkan oleh factor internal.[9] Diantara factor internal yang mengemuka itu antara lain adanya pijakan dari sebuah kebangkitan yang mendasar, mengenai perjuangan untuk mendapatkan pengakuan identitas dan perjuangan ideology. Juga semangt patriotism yang secara legal-formal didasari antara lain oleh; Sumpah Pemuda, Pancasila, UUD 1945, peraturan, perundang-undangan yang berlaku, Bhinneka Tunggal Ika, dan nilai-nilai universal ajaran agama yang diterima bersama.
Asumsi-asumsi diatas semakin memperkuat sebuah persepsi bagwa, pendidikan multicultural mutlak diperlukan untuk membangun suatu karakter bangsa. Melalui pendidikan multicultural, sikap saling menghargai, saling pengertian, dan saling percaya terhadap perbedaan akan terbangun dan berkembang dengan baik.
Sehingga dapat mengurangi perselisihan-perselisihan yang terjadi antara sesama umat Islam maupun perselisihan antar umat beragama yang ada di Indonesia, dengan demikian maka akan terciptanya hubungan social yang baik, harmonis, saling toleran dan tidak adanya rasa saling memusuhi karena kekuatan dari karakter saling menghargai, saling pengertian, dan saling percaya.
          Kiai Sholeh menambahkan, bahwa dari saling mengenal (ta’aruf) lahirlah sikap saling mengerti. Jika hubungan antara sesame didasari adanya saling mengerti atau saling memahami, maka akan melahirkan sikap saling menghargai. Jika sudah mencapai tingkat saling menghargai, maka sikap saling percaya akan mendapat momentum yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan tidak mudah dinodai oleh sikap saling curiga yang dapat memicu konflik.
          Allah mengingatkan ummat Islam agar tidak jatuh pada permusuhan satu sama lain seperti yang terjadi diantara kelompok-kelompok Yahudi dan Nasrani. Setiap individu satu sama lainnya, akan saling memusuhi, jika mereka enggan menerima syariat Allah. Ketika meninggalkan sebagian perintah-Nya, maka mereka akan saling memusuhi dan membenci satu sama lain. Perpecahan akan membawa kerusakan dan kehancuran, persatuan akan membawa kebaikan dan kekuatan.[10]

Diantara sifat-sifat yang ditunjukkan oleh Allah swt berkaitan mengenai factor keharmonisan hubungan social antar beragam umat dalam suatu bangsa atau Negara adalah sifat akhlakul karimah (akhlak yang baik)
Seperti kata Nabi saw ketika beliau ditanya oleh seorang lelaki “Ya Rasulullah, apakah agama itu:” Rasulullah menjawab, “Akhlak yang baik.” Kemudian ia mendatangi Nabi dari sebelah kanannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?” Nabi menjawab, “akhlak yang baik.” Kemudian ia menghampiri Nabi dari sebelah kiri, “Apakah agama itu?” Dia bersabda, “Akhlak yang baik.”Kemudian ia mendatanginya dari belakang dan bertanya, “Apakah agama itu?” Rasulullah menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? Agama itu akhlak yang baik.”[11]
Hadis Nabi saw “Jejak-jejak akhlakku akan tetap berada di tengah-tengah umatku hingga hari kiamat. Satu-satunya alas an bagi kemuliaan dan kebanggaan bagi setiap orang adalah akhlak mereka. Dalam pekerjaan mereka, perolehan, kebiasaan, keadaan mereka saat ini, keberhasilan sejati hanya dicapai melalui akhlak yang baik, terutama jika akhlak itu disempurnakan dengan keadilan”
Beberapa prinsip pendidikan multicultural dalam agama Islam :
1.     Islam adalah agama yang universal, Islam bukan diperuntukkan bagi salah satu suku bangsa, etnis tertentu, atau golongan tertentu
2.     Islam menghargai agama-agama dan kepercayaan agama lain, Islam juga mengajarkan tidak ada pemaksaan dalam beragama
3.     Islam merupakan agama yang terbuka untuk diuji kebenarannya.
4.     Islam menegaskan bahwa keanekaragaman (plural) dalam kehidupan umat manusia adalah alamiah, perbedaan itu mulai dari jenis kelamin,suku, dan bangsa yang beranekaragam, justru dari perbedaan itu yang melahirkan sikap saling mengenal.
Oleh karena itu, sebagai ummat beragama Islam, kita harus mengamalkan apa yang diperintahkan oleh Allah swt dan seruan Nabi Muhammad saw untuk menerapkan akhlak yang baik dalam diri kita, agar terciptanya hubungan yang harmonis dengan sesama ummat Islam maupun ummat non-Islam. Saling mengenal adalah kata kunci pertama untuk mewujudkannya, setelah mengenal maka kita akan saling memahami satu sama lain kemudian terciptalah sikap saling toleran antar satu ummat dengan ummat lainnya.
 Dengan begitu kehidupan kita akan nyaman dan terhindar dari sikap saling mencurigai dan memandang remeh yang lainnya, meskipun kita hidup diantara keberagaman suku budaya, dan agama yang bermacam-macam. Hal itu tidak menghalangi kita mendapatkan ketentraman hidup dalam masyarakat plural selama sikap saling mengenal, memahami, dan percaya kita junjung tinggi dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.







KESIMPULAN
        Agama sebagai salah satu unsur kebudayaan. Manusia mempunyai akal pikiran dan system pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta symbol-simbol agama. Sementara pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakikat dari ayat-ayat dalam kitab suci masing-masing agama. Manusia hanya dapat menafsirkan ayat-ayat suci sesuai dengan kemampuan yang ada
Dengan sikap saling mengenal (ta’aruf) lahirlah sikap saling mengerti. Jika hubungan antara sesama didasari adanya saling mengerti atau saling memahami, maka akan melahirkan sikap saling menghargai. Jika sudah mencapai tingkat saling menghargai, maka sikap saling percaya akan mendapat momentum yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan tidak mudah dinodai oleh sikap saling curiga yang dapat memicu konflik.
Islam menegaskan bahwa keanekaragaman (plural) dalam kehidupan umat manusia adalah alamiah, perbedaan itu mulai dari jenis kelamin,suku, dan bangsa yang beranekaragam, justru dari perbedaan itu yang melahirkan sikap saling mengenal.





DAFTAR PUSTAKA
§  Sayid Sabiq, Akidah Islam, Surabaya: Al ikhlas 1996
§  Amr Khaled, Buku Pintar Akhlak, Jakarta: zaman 2012
§  Sulalah, Pendidikan Multikultural, Malang: UIN-MALIKI PRESS 2011
§  Ali Muhammad Ash-Shallabi, Iman Kepada Allah, Jakarta: Ummul Qura 2014




[1] Clifford Geertz, IKebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 8-9.
[2] Seperti kajian Geertz dengan, “Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa”, kajian Manan dalam, “Nilai-nilai Budaya Peninggalan Majapahit dalam kehidupan masyarakat di Trowulan Mojokerto”, kajian Robert W. Hefner dalam, “Hindi-hindu Javanece: Tengger Traditional and Islam”, Muhaimin AG dengan, “Islam dalam bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, dan seterusnya
[3] Suparlan, Parsudi “Agama sebagai Sasaran dan Penelitian” dalam Sujangi (ed), Kajian Agama dan Masyarakat (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI. 1991), 8
[4] Riaz Hasan, Keragaman Iman: Studi Komparatif Masyarakat Muslim (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 100
[5] Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English (Oxford: University Press, 1986), 909.
[6] H.M. Hasyim Manan,”Aqidah Islam dan Pembangunan Manusia”,dalam AL IKHLAS.1.
[7] Nurcholis Madjid,”Islamic Roots of Modern Pluralism, Indonesian Experiences”, dalam Studio Islamika. Vol.1.,1 (April-Juni, 1994). 10.
[8] M. Amin Abdullah,”Pengembangan Kajian Keislaman: Metode dan Pendekatannya” (makalah disampaikan pada Annual Conference pada Program Pacsasarjana UIN/IAIN/STAIN se-Indonesia di Padang pada tanggal 26-28 Desember 2002), 1-2.
[9] Berbeda dengan bangkitnya semangat multikulturalisme di Negara-negara Barat, hamper semua penyelenggara pendidikan multicultural dimotivasi oleh factor eksternal, yang berbeda secara subtansial dengan kondisi di Negara kita.
[10] Majmu’ Al-Fatawa (3/421)
[11] Al-Targhib wa al-Tarhib 3:405

0 Comments:

Post a Comment