BERAGAMA DALAM MASYARAKAT PLURAL
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas mata kuliah Aqidah Akhlaq di Madrasah
Dosen pengampu : Sangkot Sirait
Di susun oleh :
Minan Zuhri
(13410225)
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UIN SUNAN
KALIJAGA
YOGYAKARTA
2014/2015
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Agama
Para ahli antropolog seperti Geertz
memandang agama sebagai salah satu unsur kebudayaan. Menurutnya, manusia
mempunyai akal pikiran dan system pengetahuan yang digunakan untuk menafsirkan
berbagai gejala serta symbol-simbol agama[1].
Sementara pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakikat
dari ayat-ayat dalam kitab suci masing-masing agama. Manusia hanya dapat
menafsirkan ayat-ayat suci sesuai dengan kemampuan yang ada[2]. Dalam
konteks ini, Tibi dalam menguatkan pendapat Geertz menyatakan, bahwa agama
bersifat cultural dan oleh karena itu agama merupakan kumpulan dari
symbol-simbol dan system-sistem agama sebagai model of reality tidak bisa ditembus secara eksperimental tetapi
harus secara interpretative[3].
Agama
merupakan system keyakinan individu yang melibatkan emosi-emosi dan
pemikiran-pemikiran dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara,
ibadat, dan amal ibadat) yang bersifat pribadi maupun kelompok yang melibatkan
sebagian atau seluruh masyarakat[4].
2. Subtansi Agama
Sebenarnya,
secara horizontal, agama merupakan media untuk bersosialisasi, hal ini tidak
menemukan permasalahan pelik ketika berhadapan dengan orang-orang satu
ideology, permasalahan pelik muncul ketika berhadapan dengan orang-orang yang
berbeda ideology, karena masing-masing agama mempunyai prinsip-prinsip ajaran
yang berbeda satu sama lain, disinilah diperlukan pendidikan yang dapat
menumbuhkan sikap saling menghormati antara pemeluk agama satu dengan yang
lain. Dalam istilah teknisnya dikenal dengan toleransi terhadap keyakinan,
tingkah laku, dan adat istiadat yang berbeda dari apa yang dimiliki seseorang.[5]
Berbagai benturan terhadap ajaran
Agama banyak menjadi sebab kelumpuhan semangat untuk menemukan nilai-nilai
Islam yang dapat diterapkan dalam kehidupan modern yang selalu berubah. Lahirlah
perasaan waswas, bingung dan bahkan curiga terhadap perubahan dunia, sehingga
menimbulkan sikap mundur, kembali ke dunia salaf
dengan tujuan sebagai alternative dari perubahan masyarakat menuju modernisasi.
Di sini umat Islam disuguhi sikap yang ambivalens,
di satu pihak diajak hidup dengan gaya salaf,
tetapi di pihak lain diam-diam gaya khalaf
dinikmati sepenuhnya.
Seyogyanya perubahan dan benturan yang
terjadi dihadapi dengan sikap yang dewasa, yakni memahami bahwa interpretasi
terhadap ajaran agama yang kita warisi saat ini adalah interpretasi sekian
ratus tahun yang lalu yang mungkin saja perubahan, tantangan dan benturan yang
terjadi saat itu sangat berbeda dengan yang dihadapi ummat Islam saat ini.
Demikian pula sekian banyak definisi
terhadap lembaga-lembaga agama Islam disusun pada saat perkembangan ilmu
menjadi marak di dunia Islam sehingga segala sesuatu memerlukan penegasan
tentang hakekatnya secara ilmiah. Lahirlah definisi-definisi dari
lembaga-lembaga agama yang kita warisi sampai saat ini.
Dengan sikap dewasa tersebut
dimaksudkan agar ummat Islam saat ini mampu melakukan re-interpretasi dan re-definisi
terhadap penafsiran dan perumusan istilah yang ternyata tidak sesuai lagi dan
lebih-lebih yang kurang sejalan dengan jiwa Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Dengan
langkah tersebut diharapkan agar ummat tidak menghadapi jalan buntu untuk
menemukan nilai-nilai Islam dalam perkembangan dunia maupun peradaban
kebudayaan yang tidak lagi seperti saat ini.[6]
Dengan demikian, maka dapat dipahami
jika dialektika antara nilai-nilai Islam serta agama-agama lainnya dan nilai-nilai budaya memiliki pijakan yang cukup
mapan. Menurut Majdid dialektika di antara keduanya dilandasi oleh dua hal
yaitu; semangat humanitas dan universalitas Islam.[7] Indikasi
hubungan diantara keduanya nampak pada sinergisnya hubungan antara Islam
sebagai agama dan nilai-nilai budaya sebagai pemahaman manusia untuk tidak
menyebutnya antara teks dan pemikiran manusia. Pemikiran yang dipilih oleh
Madjid di atas mengilhami pola piker Amin, bahwa menurutnya apa yang disebut
budaya tidak lain adalah apa yang dipikirkan, dibuat dan dilakukan orang,
kelompok, atau masyarakat dengan mengatasnamakan rasial, suku, agama, gender,
dan sebagainya.
Oleh
karenanya, dapat dibenarkan untuk mengatakan bahwa telah ada hubungan dialektis
antara agama dan budaya - untuk tidak menyebutnya dalam teks dan pemikiran
manusia. Dengan lain ungkapan, agama dan budaya adalah merupakan hasil
perpaduan yang kompleks antara yang bersifat “manusia” (human) dan yang bersifat “ketuhanan” (divine) atau dalam bahasa
Amin perpaduan antara tulisan keagamaan (religions) dan factor-faktor
social-budaya.[8]
Demikian sinergisnya hubungan antara Islam sebagai agama dan nilai-nilai budaya
seperti yang dipertegas oleh kerangka teoritik yang digunakan kedua ilmuan
tersebut.
Sebagaimana dipahami bersama,
bangkitnya semangat multikulturalisme yang belakangan mulai merebak diberbagai
lini kehidupan, tidak saja dikarenakan factor eksternal tetapi lebih disebabkan
oleh factor internal.[9] Diantara
factor internal yang mengemuka itu antara lain adanya pijakan dari sebuah
kebangkitan yang mendasar, mengenai perjuangan untuk mendapatkan pengakuan
identitas dan perjuangan ideology. Juga semangt patriotism yang secara
legal-formal didasari antara lain oleh; Sumpah Pemuda, Pancasila, UUD 1945,
peraturan, perundang-undangan yang berlaku, Bhinneka Tunggal Ika, dan
nilai-nilai universal ajaran agama yang diterima bersama.
Asumsi-asumsi
diatas semakin memperkuat sebuah persepsi bagwa, pendidikan multicultural
mutlak diperlukan untuk membangun suatu karakter bangsa. Melalui pendidikan
multicultural, sikap saling menghargai, saling pengertian, dan saling percaya
terhadap perbedaan akan terbangun dan berkembang dengan baik.
Sehingga
dapat mengurangi perselisihan-perselisihan yang terjadi antara sesama umat
Islam maupun perselisihan antar umat beragama yang ada di Indonesia, dengan
demikian maka akan terciptanya hubungan social yang baik, harmonis, saling
toleran dan tidak adanya rasa saling memusuhi karena kekuatan dari karakter
saling menghargai, saling pengertian, dan saling percaya.
Kiai Sholeh menambahkan, bahwa dari
saling mengenal (ta’aruf) lahirlah
sikap saling mengerti. Jika hubungan antara sesame didasari adanya saling
mengerti atau saling memahami, maka akan melahirkan sikap saling menghargai.
Jika sudah mencapai tingkat saling menghargai, maka sikap saling percaya akan
mendapat momentum yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan
tidak mudah dinodai oleh sikap saling curiga yang dapat memicu konflik.
Allah mengingatkan ummat Islam agar
tidak jatuh pada permusuhan satu sama lain seperti yang terjadi diantara
kelompok-kelompok Yahudi dan Nasrani. Setiap individu satu sama lainnya, akan
saling memusuhi, jika mereka enggan menerima syariat Allah. Ketika meninggalkan
sebagian perintah-Nya, maka mereka akan saling memusuhi dan membenci satu sama
lain. Perpecahan akan membawa kerusakan dan kehancuran, persatuan akan membawa
kebaikan dan kekuatan.[10]
Diantara
sifat-sifat yang ditunjukkan oleh Allah swt berkaitan mengenai factor
keharmonisan hubungan social antar beragam umat dalam suatu bangsa atau Negara
adalah sifat akhlakul karimah (akhlak yang baik)
Seperti
kata Nabi saw ketika beliau ditanya oleh seorang lelaki “Ya Rasulullah, apakah
agama itu:” Rasulullah menjawab, “Akhlak yang baik.” Kemudian ia mendatangi
Nabi dari sebelah kanannya dan bertanya, “Ya Rasulullah, apakah agama itu?”
Nabi menjawab, “akhlak yang baik.” Kemudian ia menghampiri Nabi dari sebelah
kiri, “Apakah agama itu?” Dia bersabda, “Akhlak yang baik.”Kemudian ia
mendatanginya dari belakang dan bertanya, “Apakah agama itu?” Rasulullah
menoleh kepadanya dan bersabda, “Belum jugakah engkau mengerti? Agama itu
akhlak yang baik.”[11]
Hadis
Nabi saw “Jejak-jejak akhlakku akan tetap berada di tengah-tengah umatku hingga
hari kiamat. Satu-satunya alas an bagi kemuliaan dan kebanggaan bagi setiap
orang adalah akhlak mereka. Dalam pekerjaan mereka, perolehan, kebiasaan,
keadaan mereka saat ini, keberhasilan sejati hanya dicapai melalui akhlak yang
baik, terutama jika akhlak itu disempurnakan dengan keadilan”
Beberapa
prinsip pendidikan multicultural dalam agama Islam :
1.
Islam adalah
agama yang universal, Islam bukan diperuntukkan bagi salah satu suku bangsa,
etnis tertentu, atau golongan tertentu
2.
Islam menghargai
agama-agama dan kepercayaan agama lain, Islam juga mengajarkan tidak ada
pemaksaan dalam beragama
3.
Islam merupakan
agama yang terbuka untuk diuji kebenarannya.
4.
Islam menegaskan
bahwa keanekaragaman (plural) dalam kehidupan umat manusia adalah alamiah,
perbedaan itu mulai dari jenis kelamin,suku, dan bangsa yang beranekaragam,
justru dari perbedaan itu yang melahirkan sikap saling mengenal.
Oleh
karena itu, sebagai ummat beragama Islam, kita harus mengamalkan apa yang
diperintahkan oleh Allah swt dan seruan Nabi Muhammad saw untuk menerapkan
akhlak yang baik dalam diri kita, agar terciptanya hubungan yang harmonis
dengan sesama ummat Islam maupun ummat non-Islam. Saling mengenal adalah kata
kunci pertama untuk mewujudkannya, setelah mengenal maka kita akan saling
memahami satu sama lain kemudian terciptalah sikap saling toleran antar satu
ummat dengan ummat lainnya.
Dengan begitu kehidupan kita akan nyaman dan
terhindar dari sikap saling mencurigai dan memandang remeh yang lainnya,
meskipun kita hidup diantara keberagaman suku budaya, dan agama yang
bermacam-macam. Hal itu tidak menghalangi kita mendapatkan ketentraman hidup
dalam masyarakat plural selama sikap saling mengenal, memahami, dan percaya kita
junjung tinggi dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
KESIMPULAN
Agama sebagai salah satu unsur
kebudayaan. Manusia mempunyai akal pikiran dan system pengetahuan yang
digunakan untuk menafsirkan berbagai gejala serta symbol-simbol agama. Sementara
pemahaman manusia sangat terbatas dan tidak mampu mencapai hakikat dari
ayat-ayat dalam kitab suci masing-masing agama. Manusia hanya dapat menafsirkan
ayat-ayat suci sesuai dengan kemampuan yang ada
Dengan
sikap saling mengenal (ta’aruf)
lahirlah sikap saling mengerti. Jika hubungan antara sesama didasari adanya
saling mengerti atau saling memahami, maka akan melahirkan sikap saling
menghargai. Jika sudah mencapai tingkat saling menghargai, maka sikap saling
percaya akan mendapat momentum yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara dan tidak mudah dinodai oleh sikap saling curiga yang dapat memicu
konflik.
Islam
menegaskan bahwa keanekaragaman (plural) dalam kehidupan umat manusia adalah
alamiah, perbedaan itu mulai dari jenis kelamin,suku, dan bangsa yang
beranekaragam, justru dari perbedaan itu yang melahirkan sikap saling mengenal.
DAFTAR
PUSTAKA
§ Sayid
Sabiq, Akidah Islam, Surabaya: Al
ikhlas 1996
§ Amr
Khaled, Buku Pintar Akhlak, Jakarta:
zaman 2012
§ Sulalah,
Pendidikan Multikultural, Malang:
UIN-MALIKI PRESS 2011
§ Ali
Muhammad Ash-Shallabi, Iman Kepada Allah,
Jakarta: Ummul Qura 2014
[1]
Clifford Geertz, IKebudayaan dan Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 8-9.
[2]
Seperti kajian Geertz dengan, “Abangan, Santri, Priyayi dalam masyarakat Jawa”,
kajian Manan dalam, “Nilai-nilai Budaya Peninggalan Majapahit dalam kehidupan
masyarakat di Trowulan Mojokerto”, kajian Robert W. Hefner dalam, “Hindi-hindu
Javanece: Tengger Traditional and Islam”, Muhaimin AG dengan, “Islam dalam
bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon, dan seterusnya
[3]
Suparlan, Parsudi “Agama sebagai Sasaran
dan Penelitian” dalam Sujangi (ed), Kajian
Agama dan Masyarakat (Jakarta: Badan Litbang Departemen Agama RI. 1991), 8
[4]
Riaz Hasan, Keragaman Iman: Studi
Komparatif Masyarakat Muslim (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 100
[5]
Hornby, Oxford Advanced Learner’s
Dictionary of Current English (Oxford: University Press, 1986), 909.
[6]
H.M. Hasyim Manan,”Aqidah Islam dan
Pembangunan Manusia”,dalam AL
IKHLAS.1.
[7]
Nurcholis Madjid,”Islamic Roots of Modern Pluralism, Indonesian Experiences”,
dalam Studio Islamika. Vol.1.,1
(April-Juni, 1994). 10.
[8]
M. Amin Abdullah,”Pengembangan Kajian Keislaman: Metode dan Pendekatannya”
(makalah disampaikan pada Annual
Conference pada Program Pacsasarjana UIN/IAIN/STAIN se-Indonesia di Padang
pada tanggal 26-28 Desember 2002), 1-2.
[9]
Berbeda dengan bangkitnya semangat multikulturalisme di Negara-negara Barat,
hamper semua penyelenggara pendidikan multicultural dimotivasi oleh factor
eksternal, yang berbeda secara subtansial dengan kondisi di Negara kita.
[10]
Majmu’ Al-Fatawa (3/421)
[11]
Al-Targhib wa al-Tarhib 3:405
0 Comments:
Post a Comment