Nama : Tinton Dwi Santoso
NIM :
13410077
Kelas/semester : PAI A / 4
AL-BASHIR
A.
Pengertian Al-Bashir
Al-Bashir berasal dari kata
ba-sha-ra, yang arti harfiahnya adalah “melihat”. Dalam pengertian yang lebih
luas, bashara bisa berarti ilmu atau kejelasan. Nabi Yusuf, sebagaimana dikutip
dalam al-Qur’an, senantiasa melakukan dakwah kepada para terpidana dan petugas
di lingkungan penjara dengan mengatakan:
“Inilah
jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan
bukti yang sangat jelas dan nyata (bashirah),” (QS. Yusuf: 108)
Arti lain,
seperti yang sering dipakai oleh kaum sufi, adalah mata hati atau mata batin.
Ada pula yang menyebutnya dengan indera keenam. Apa pun namanya, seseorang yang
telah memiliki bashirah akan mampu melihat hal-hal yang ghaib. Ketika melihat
sesuatu, ia tidak hanya melihat dengan mata kepalanya saja, tetapi menggunakan
mata batinnya yang dapat menembus batas ruang dan waktu.
Bashirah dalam
pengertian yang kedua tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada
hamba-hamba-Nya yang senantiasa berusaha mendekat atau melakukan taqarrub
kepada Allah. Salah satu hamba-Nya yang jelas-jelas telah memiliki bashirah
adalah Muhammad saw, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an:
“Telah
diperlihatkan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (Al-Israa: 1).
“Tanda-tanda
Kami” dalam ayat di atas tidak lain adalah sesuatu yang ghaib, terselubung,
atau tersembunyi. Nabi Muhammad diberi kesempatan untuk menyaksikan peristiwa
ghaib melalui mata batinnya. Tirai yang menyelubungi alam ghaib dibuka sehingga
tidak ada lagi pembatas yang mengantarai Rasulullah saw dengan alam ghaib.
Dengan begitu, peristiwa masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, tertampang
jelas di hadapannya. Bashirah itu tidak hanya diberikan oleh Allah kepada Nabi
Muhammad saja, tapi dalam batas-batas tertentu juga dikaruniakan kepada para
hamba-Nya yang senantiasa taqarrub kepada-Nya.
Dalam hadits
Qudsi Allah berfirman: “Dan seorang hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku
dengan melakukan ibadah-ibadah sunnat sehingga Aku mencintainya. Maka apabila
Aku telah mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya, penglihatannya, dan
sebagai tangan yang digunakannya, serta kaki yang dijalankannya. Apabila ia
memohon kepada-Ku pasti Ku-kabulkan. Jika meminta perlindungan, maka pasti Aku
lindungi.” (HR. Bukhari)
Sedangkan
menurut sumber yang lain, Al-Bashir menurut bahasa artinya mencapai apa-apa
yang dapat dilihat dengan pandangan mata. Sedangkan dalam hak Allah SWT adalah
suatu ibarat tentang sifat yang dengannya tersingkap kesempurnaan perbedaan
segala yang dapat dilihat. Sebab, Allah SWT menyaksikan dan melihat, sehingga
tidak terlepas dari-Nya apa-apa yang terpendam di dalam tanah. Penglihatan
Allah SWT itu terlepas dari adanya bola mata atau pelupuk mata. Gambaran dan
warna-warni tercetak pada Dzat-Nya, sebagaimana tercetak pada mata manusia,
tanpa memberikan bekas atau perubahan yang merusak.
Al-Bashir artinya maha
melihat. Allah Maha Melihat segala sesuatu walaupun lembut dan kecil. Allah
Swt. melihat apa saja yang ada di langit dan di bumi, bahkan seluruh alam
semesta ini dapat dipantau. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah mengetahui apa
yang gaib di langit dan di bumi. dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.” (Surah al-hujurat/49: 18)[1]
Sebagai hamba
Al-Bashir, kita harus menyadari bahwa seluruh aktifitas kita dilihat dan
diawasi Allah. Bagi-Nya, tiada tempat yang tersembunyi. Dengan kesadaran itu,
kita akan selalu memilih aktifitas yang baik dan mendatangkan manfaat.
Sebaliknya, kita akan berusaha dengan sungguh-sungguh menghindari segala
aktifitas yang sia-sia dan mendatangkan mudharat, baik bagi diri sendiri maupun
bagi orang lain. Ketika terbersit keinginan untuk berbuat maksiat, sekecil apa
pun, kita segera menyadari bahwa Allah (Al-Bashir) sedang mengawasi kita.
Timbul rasa malu, kemudian ada dorongan dalam diri untuk segera
meninggalkannya.
Penglihatan Allah tidak dibatasi oleh hijab
apapun. Penglihatannya tidak seperti manusia yang bergantung pada cahaya
sehingga mampu melihat suatu bentuk benda : kasar-halus panjang-pendek, atau
besar-kecil. Sifat Al-Bashir Allah Ta’ala mampu melihat sesuatu yang konkret
atau pun abstrak; jangkauan denyut nadi dan jantung, apa yang tersembunyi dalam
sanubari manusia pun Ia mengetahuinya. Sebagaimana firman Allah : Sesungguhnya
Dia Maha Melihat segala sesuatu. (Q.S. Al-Mulk/67 : 19). [2]
B.
Al-Bashir Menurut Al-Qur’an dan
para Ulama
Kata
“Al-Bashir” terambil dari akar kata “bashara”, yang tersusun dari huruf-huruf
“ba”, “shad”, dan “ra”, dan pada dasarnya mengandung dua makna. Pertama, “ilmu
atau pengertahuan tentang sesuatu”. Dari segi bahasa, kata “ilm” dalam berbagai
bentuknya -sebagaimana diuraikan dalam sifat Al-‘Alim- mengandung makna
“kejelasan”. Itu juga sebabnya kata bashirah yang tersusun dari akar kata yang
sama, diartikan dengan “bukti yang sangat jelas dan nyata”. Kedua, bermakna
“kasar”, seperti kata “bashrah” yang berarti “tanah yang kasar”, atau juga
berarti “batu, tetapi yang lunak dan mengandung warna keputih-putihan”. Salah
satu kota besar di irak dinamai “bashrah” karena sifat tanah dan batu-batuannya
demikian. Begitu keterangan Almunjid.[3]
Di dalam
Al-Qur’an kata “Bashir” dan “Bashira” terulang sebanyak 51 kali, sebagian di
antaranya merupakan sifat manusia. Pada umumnya objek dari “bashira” yang
menunjuk sifat Allah adalah “apa yang kamu kerjakan”, tetapi ada juga yang
objeknya adalah “segala sesuatu”. Di sisi lain sifat Allah ini pada umumnya
dikaitkan dan didahului oleh kata sami’ (Maha Mendengar) dan ada juga yang
didahului oleh sifat Khabir.[4]
Di atas
dikemukakan bahwa akar kata Bashir mengandung makna pengetahuan, karena itu
sebagian ulama menyatakan bahwa sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat Allah
adalah dua sifat yang identik dengan ilmu, tetapi ada juga kelompok Ahlussunnah
yang menyatakan bahwa keduanya adalah dua sifat yang masing-masing berdiri
sendiri , dan tidak menyatu dengan sifat Maha Mengetahui. Penganut pendapat
pertama, yakni kelompok Mu’tazilah, menyatakan bahwa ilmu mempunyai dua kaitan.
Kaitan pertama dari sisi yang didengar dan dilihat, sebelum wujudnya; dan
kaitan kedua setelah wujudnya.[5]
Sementara
ulama menjelaskan makna sifat yang disandang Allah ini bahwa Dia yang
menyaksikan segala sesuatu lahir dan batinnya, besar dan kecilnya, sehingga apa
yang tersembunyi di bawah dasar lautanpun dijangkaunya.
Tetapi, Allah
melihat bukan dengan indra mata –sebagaimana halnya makhluk- dank arena itu,
Maha Melihat bagi Allah difahami dalam arti sifat yang azali yang dengan sifat
itu terungkap bagi-Nya segala sesuatu.
Alqur’an menegaskan
bahwa, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat
segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (Q.S,
Al-An’am 6 : 103)
Pernyataan
ayat di atas bahwa “Dia dapat melihat segala penglihatan”, member isyarah bahwa
makhluk-Nya tidak demikian, bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa hakekat
penglihatanpun tidak diketahui dan dilihat secara sempurna oleh manusia,
walaupun ia mampu melihat. Di sisi lain, wujud makhluk yang adapun tidak semua
dapat dijangkaunya, maka bagaimana mungkin ia dapat mengjangkau dan melihat
Tuhan? Namun demikian, sebagaimana halnya dengan sifat As-Sami’ yang dapat
dianugerahan Allah sekelumit kepada hamba-hamba yang dicintai-Nya, maka
demikian pula dengan sifat ini.
C.
Hikmah Meneladani Sifat Al-Bashir
Seorang hamba
yang meneladani Allah dalam sifat ini, terlebih dahulu harus menyadari bahwa
mata yang dianugerahkan kepadanya adalah untuk digunakan melihat hal-hal yang
baik, serta melihat tanda-tanda kebesaran Allah yang terbentang di alam raya.
Imam Ghazali menuturkan ketika menjelaskan sifat ini bahwa konon Isa a.s.
pernah ditanya, “ Adakah yang sama dengan engkau?” beliau menjawab “siapa yang
padangannya adalah pelajaran, diamnya dalah renungan dan ucapan-ucapannya
adalah dzikir, maka dia sama dengan saya”. Selanjutnya, hamba yang ingin
meneladani Allah dalam sifat ini, juga harus menyadari bahwa Allah selalu
melihatnya dalam keadaan apapun. Siapa yang melakukan kedurhakaan padahal dia
tahu bahwa Allah melihatnya, maka sungguh berani bahkan ceroboh dia, dan siapa yang
menduga bahwa Allah tidak melihatnya maka sungguh besar kekufurannya. Al-Qur’an
mengecam Fir’aun umat Muhammad yakni, Abu Jahal yang menduga bahwa Allah tidak
melihatnya, dengan Firman-Nya , “Apakah dia tidak mengetahui bahwa sesungguhnya
Allah melihatnya?” (Q.S. Al-‘Alaq 96 : 14). Tuhan mengantarnya dan mengantar
semua manusia untuk menyadari bahwa tidak satupun yang luput dari penglihatan
Allah. Kesadaran tentang hal inilah yang hendaknya menjadi akhlak manusia dalam
upayanya meneladani Allah SWT.[6]
Perilaku yang mencerminkan keyakinan bahwa
Allah Maha Melihat adalah hendaklah kita berusaha semaksimal mungkin untuk
dapat melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam ini sebagai bahan
renungan akan kebesaran Allah Swt. Kita diajarkan untuk pandai dan cermat dalam
memandang berbagai persoalan di sekeliling kita. Namun jangan lupa, kita juga
harus selalu introspeksi diri untuk melihat kelebihan dan kekurangan kita
sendiri agar hidup menjadi lebih terarah. Sungguh hal ini sangat indah untuk
diamalkan.[7]
Selain pelajaran yang kita dapat dari
meneladani slah satu sifat Allah ini, Al-Bashir juga mempunya khasiat untuk
manusia jika diamalkan dengan benar. Khasiatnya antara lain :
1.
Mencerdaskan akal dan membersihkan
hati sehingga menjadi orang yang bijaksana dan terpercaya.
2.
Terjaga dari ancaman jahat musuh.
3.
Mempertajam penglihatan mata dan
hati.
Sedangkan cara mengamalkannya
adalah sebagai berikut :
1.
Untuk khasiat yang pertama, bacalah
“Ya Bashiru” sebayak 100 kali setiap sebelum mengerjakan slat Jum’at.
2.
Untuk khasiat yang kedua, bacalah
“Ya Bashiru” sebanyak 100 kali setiap akan mengerjakan salat Subuh.
3.
Untuk khasiat yang ketiga, bacalah
“Ya Bashiru” sebanyak 100 kali pada iar besih yang ditaruh dalam piring.
Selesai membaca, tiuplah air tersebut 3 kali. Kemudian rendam kedua mata ke
dalam air tersebut dengan dikedip-kedipkan. Insya Allah, apa yang kita
maksudkan segera tercapai.[8]
Contoh perilaku yang mencerminkan
sifat Al-Bashir.
Kisah Si Penggembala Kambing
Abdullah bin Dinar berjalan bersama Khalifah
Umar bin Khathab dari Madinah menuju Mekah. Di tengah perjalanan, bertemulah
mereka berdua dengan anak gembala. Khalifah hendak mencoba menguji si gembala
itu.
"Wahai anak gembala, juallah kepadaku
seekor anak kambing dari ternakmu itu!" ujar Amirul Mukminin.
"Aku hanya seorang budak," jawab si
gembala. Khalifah pun membujuk: "Kambing itu amat banyak. Apakah majikanmu
tahu?"
"Tidak, majikanku tidak tahu berapa ekor
jumlah kambingnya. Dia tidak tahu berapa kambing yang mati dan berapa yang
lahir. Dia tidak pernah memeriksa dan menghitungnya."
Khalifah terus mencoba membujuk: "Kalau
begitu hilang satu ekor kambing, majikanmu tidak akan tahu. Atau Katakan saja
nanti pada tuanmu, anak kambing itu dimakan serigala. Ini uangnya, terimalah!
Ambil saja buat kamu untuk membeli baju atau roti."
Anak gembala tetap tidak terbujuk dan
mengabaikan uang yang disodorkan oleh Umar.
Si pengembala diam sejenak. Ditatapnya wajah
Amirul Mukminin. Dari bibirnya terucaplah kata-kata yang menggetarkan hati
Khalifah Umar, ‘’Jika Tuan menyuruh saya berbohong, lalu di mana Allah?
Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan tidak yakin bahwa Allah pasti
mengetahui siapa yang berdusta?’’
Umar bin Khathab gemetar mendengar ucapan si
gembala itu. Rasa takut menjalari seluruh tubuhnya, persendian tulangnya terasa
lemah. Dia menangis. Mendengar kalimat tauhid itu yang mengingatkannya kepada
keagungan Allah Swt. dan tanggung jawabnya di hadapan-Nya kelak.
Lalu dibawanya anak gembala yang berstatus
budak itu kepada tuannya, Khalifah menebusnya, dan berkatanya, ‘’Telah
kumerdekakan kamu, Nak.”[9]
[1]
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk SMP/MTs VII. (Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013), hlm. 20
[2]
Ahmad
Taufik Nasution, Melejitkan sq Dengan Prinsip 99 Asmaul Husna, (Jakarta :
PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 191
[3]
M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi : Asma Al-Husna dalam Perspektif
al-Quar’an , (Jakarta : Lentera Hati, 2005), hlm. 140
[4]
Ibid., hlm. 141
[5]
Ibid., hlm. 141
[6]
Ibid., hlm. 142
[7] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Agama
Islam dan Budi Pekerti untuk SMP/MTs VII. (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2013), hlm. 20
[8]
Zainal Abidin, Pengamalan Asmaul Husna dalam Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta :
PT.Pertja, 2001), hlm. 47
[9]
Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk SMP/MTs VII. (Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013), hlm. 21
0 Comments:
Post a Comment