Header Ads

23 December 2016

AL-BASHIR

Nama                     : Tinton Dwi Santoso
NIM                      : 13410077
Kelas/semester      : PAI A / 4

AL-BASHIR

A.    Pengertian Al-Bashir
Al-Bashir berasal dari kata ba-sha-ra, yang arti harfiahnya adalah “melihat”. Dalam pengertian yang lebih luas, bashara bisa berarti ilmu atau kejelasan. Nabi Yusuf, sebagaimana dikutip dalam al-Qur’an, senantiasa melakukan dakwah kepada para terpidana dan petugas di lingkungan penjara dengan mengatakan:
“Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kamu kepada Allah dengan bukti yang sangat jelas dan nyata (bashirah),” (QS. Yusuf: 108)
Arti lain, seperti yang sering dipakai oleh kaum sufi, adalah mata hati atau mata batin. Ada pula yang menyebutnya dengan indera keenam. Apa pun namanya, seseorang yang telah memiliki bashirah akan mampu melihat hal-hal yang ghaib. Ketika melihat sesuatu, ia tidak hanya melihat dengan mata kepalanya saja, tetapi menggunakan mata batinnya yang dapat menembus batas ruang dan waktu.
Bashirah dalam pengertian yang kedua tersebut hanya diberikan oleh Allah kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa berusaha mendekat atau melakukan taqarrub kepada Allah. Salah satu hamba-Nya yang jelas-jelas telah memiliki bashirah adalah Muhammad saw, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an:






“Telah diperlihatkan sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami.” (Al-Israa: 1).

“Tanda-tanda Kami” dalam ayat di atas tidak lain adalah sesuatu yang ghaib, terselubung, atau tersembunyi. Nabi Muhammad diberi kesempatan untuk menyaksikan peristiwa ghaib melalui mata batinnya. Tirai yang menyelubungi alam ghaib dibuka sehingga tidak ada lagi pembatas yang mengantarai Rasulullah saw dengan alam ghaib. Dengan begitu, peristiwa masa lalu, sekarang, dan yang akan datang, tertampang jelas di hadapannya. Bashirah itu tidak hanya diberikan oleh Allah kepada Nabi Muhammad saja, tapi dalam batas-batas tertentu juga dikaruniakan kepada para hamba-Nya yang senantiasa taqarrub kepada-Nya.
Dalam hadits Qudsi Allah berfirman: “Dan seorang hamba-Ku senantiasa mendekat kepada-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah sunnat sehingga Aku mencintainya. Maka apabila Aku telah mencintainya, Akulah yang menjadi pendengarannya, penglihatannya, dan sebagai tangan yang digunakannya, serta kaki yang dijalankannya. Apabila ia memohon kepada-Ku pasti Ku-kabulkan. Jika meminta perlindungan, maka pasti Aku lindungi.” (HR. Bukhari)
Sedangkan menurut sumber yang lain, Al-Bashir menurut bahasa artinya mencapai apa-apa yang dapat dilihat dengan pandangan mata. Sedangkan dalam hak Allah SWT adalah suatu ibarat tentang sifat yang dengannya tersingkap kesempurnaan perbedaan segala yang dapat dilihat. Sebab, Allah SWT menyaksikan dan melihat, sehingga tidak terlepas dari-Nya apa-apa yang terpendam di dalam tanah. Penglihatan Allah SWT itu terlepas dari adanya bola mata atau pelupuk mata. Gambaran dan warna-warni tercetak pada Dzat-Nya, sebagaimana tercetak pada mata manusia, tanpa memberikan bekas atau perubahan yang merusak.
Al-Bashir artinya maha melihat. Allah Maha Melihat segala sesuatu walaupun lembut dan kecil. Allah Swt. melihat apa saja yang ada di langit dan di bumi, bahkan seluruh alam semesta ini dapat dipantau. Hal ini sesuai dengan firman-Nya:


“Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang gaib di langit dan di bumi. dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (Surah al-hujurat/49: 18)[1]

Sebagai hamba Al-Bashir, kita harus menyadari bahwa seluruh aktifitas kita dilihat dan diawasi Allah. Bagi-Nya, tiada tempat yang tersembunyi. Dengan kesadaran itu, kita akan selalu memilih aktifitas yang baik dan mendatangkan manfaat. Sebaliknya, kita akan berusaha dengan sungguh-sungguh menghindari segala aktifitas yang sia-sia dan mendatangkan mudharat, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Ketika terbersit keinginan untuk berbuat maksiat, sekecil apa pun, kita segera menyadari bahwa Allah (Al-Bashir) sedang mengawasi kita. Timbul rasa malu, kemudian ada dorongan dalam diri untuk segera meninggalkannya.
Penglihatan Allah tidak dibatasi oleh hijab apapun. Penglihatannya tidak seperti manusia yang bergantung pada cahaya sehingga mampu melihat suatu bentuk benda : kasar-halus panjang-pendek, atau besar-kecil. Sifat Al-Bashir Allah Ta’ala mampu melihat sesuatu yang konkret atau pun abstrak; jangkauan denyut nadi dan jantung, apa yang tersembunyi dalam sanubari manusia pun Ia mengetahuinya. Sebagaimana firman Allah : Sesungguhnya Dia Maha Melihat segala sesuatu. (Q.S. Al-Mulk/67 : 19). [2]

B.     Al-Bashir Menurut Al-Qur’an dan para Ulama
Kata “Al-Bashir” terambil dari akar kata “bashara”, yang tersusun dari huruf-huruf “ba”, “shad”, dan “ra”, dan pada dasarnya mengandung dua makna. Pertama, “ilmu atau pengertahuan tentang sesuatu”. Dari segi bahasa, kata “ilm” dalam berbagai bentuknya -sebagaimana diuraikan dalam sifat Al-‘Alim- mengandung makna “kejelasan”. Itu juga sebabnya kata bashirah yang tersusun dari akar kata yang sama, diartikan dengan “bukti yang sangat jelas dan nyata”. Kedua, bermakna “kasar”, seperti kata “bashrah” yang berarti “tanah yang kasar”, atau juga berarti “batu, tetapi yang lunak dan mengandung warna keputih-putihan”. Salah satu kota besar di irak dinamai “bashrah” karena sifat tanah dan batu-batuannya demikian. Begitu keterangan Almunjid.[3]
Di dalam Al-Qur’an kata “Bashir” dan “Bashira” terulang sebanyak 51 kali, sebagian di antaranya merupakan sifat manusia. Pada umumnya objek dari “bashira” yang menunjuk sifat Allah adalah “apa yang kamu kerjakan”, tetapi ada juga yang objeknya adalah “segala sesuatu”. Di sisi lain sifat Allah ini pada umumnya dikaitkan dan didahului oleh kata sami’ (Maha Mendengar) dan ada juga yang didahului oleh sifat Khabir.[4]
Di atas dikemukakan bahwa akar kata Bashir mengandung makna pengetahuan, karena itu sebagian ulama menyatakan bahwa sifat Maha Mendengar dan Maha Melihat Allah adalah dua sifat yang identik dengan ilmu, tetapi ada juga kelompok Ahlussunnah yang menyatakan bahwa keduanya adalah dua sifat yang masing-masing berdiri sendiri , dan tidak menyatu dengan sifat Maha Mengetahui. Penganut pendapat pertama, yakni kelompok Mu’tazilah, menyatakan bahwa ilmu mempunyai dua kaitan. Kaitan pertama dari sisi yang didengar dan dilihat, sebelum wujudnya; dan kaitan kedua setelah wujudnya.[5]
Sementara ulama menjelaskan makna sifat yang disandang Allah ini bahwa Dia yang menyaksikan segala sesuatu lahir dan batinnya, besar dan kecilnya, sehingga apa yang tersembunyi di bawah dasar lautanpun dijangkaunya.
Tetapi, Allah melihat bukan dengan indra mata –sebagaimana halnya makhluk- dank arena itu, Maha Melihat bagi Allah difahami dalam arti sifat yang azali yang dengan sifat itu terungkap bagi-Nya segala sesuatu.
Alqur’an menegaskan bahwa, “Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (Q.S, Al-An’am 6 : 103)
Pernyataan ayat di atas bahwa “Dia dapat melihat segala penglihatan”, member isyarah bahwa makhluk-Nya tidak demikian, bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa hakekat penglihatanpun tidak diketahui dan dilihat secara sempurna oleh manusia, walaupun ia mampu melihat. Di sisi lain, wujud makhluk yang adapun tidak semua dapat dijangkaunya, maka bagaimana mungkin ia dapat mengjangkau dan melihat Tuhan? Namun demikian, sebagaimana halnya dengan sifat As-Sami’ yang dapat dianugerahan Allah sekelumit kepada hamba-hamba yang dicintai-Nya, maka demikian pula dengan sifat ini.

C.     Hikmah Meneladani Sifat Al-Bashir
Seorang hamba yang meneladani Allah dalam sifat ini, terlebih dahulu harus menyadari bahwa mata yang dianugerahkan kepadanya adalah untuk digunakan melihat hal-hal yang baik, serta melihat tanda-tanda kebesaran Allah yang terbentang di alam raya. Imam Ghazali menuturkan ketika menjelaskan sifat ini bahwa konon Isa a.s. pernah ditanya, “ Adakah yang sama dengan engkau?” beliau menjawab “siapa yang padangannya adalah pelajaran, diamnya dalah renungan dan ucapan-ucapannya adalah dzikir, maka dia sama dengan saya”. Selanjutnya, hamba yang ingin meneladani Allah dalam sifat ini, juga harus menyadari bahwa Allah selalu melihatnya dalam keadaan apapun. Siapa yang melakukan kedurhakaan padahal dia tahu bahwa Allah melihatnya, maka sungguh berani bahkan ceroboh dia, dan siapa yang menduga bahwa Allah tidak melihatnya maka sungguh besar kekufurannya. Al-Qur’an mengecam Fir’aun umat Muhammad yakni, Abu Jahal yang menduga bahwa Allah tidak melihatnya, dengan Firman-Nya , “Apakah dia tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihatnya?” (Q.S. Al-‘Alaq 96 : 14). Tuhan mengantarnya dan mengantar semua manusia untuk menyadari bahwa tidak satupun yang luput dari penglihatan Allah. Kesadaran tentang hal inilah yang hendaknya menjadi akhlak manusia dalam upayanya meneladani Allah SWT.[6]
Perilaku yang mencerminkan keyakinan bahwa Allah Maha Melihat adalah hendaklah kita berusaha semaksimal mungkin untuk dapat melihat peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam ini sebagai bahan renungan akan kebesaran Allah Swt. Kita diajarkan untuk pandai dan cermat dalam memandang berbagai persoalan di sekeliling kita. Namun jangan lupa, kita juga harus selalu introspeksi diri untuk melihat kelebihan dan kekurangan kita sendiri agar hidup menjadi lebih terarah. Sungguh hal ini sangat indah untuk diamalkan.[7]
Selain pelajaran yang kita dapat dari meneladani slah satu sifat Allah ini, Al-Bashir juga mempunya khasiat untuk manusia jika diamalkan dengan benar. Khasiatnya antara lain :
1.      Mencerdaskan akal dan membersihkan hati sehingga menjadi orang yang bijaksana dan terpercaya.
2.      Terjaga dari ancaman jahat musuh.
3.      Mempertajam penglihatan mata dan hati.

Sedangkan cara mengamalkannya adalah sebagai berikut :
1.      Untuk khasiat yang pertama, bacalah “Ya Bashiru” sebayak 100 kali setiap sebelum mengerjakan slat Jum’at.
2.      Untuk khasiat yang kedua, bacalah “Ya Bashiru” sebanyak 100 kali setiap akan mengerjakan salat Subuh.
3.      Untuk khasiat yang ketiga, bacalah “Ya Bashiru” sebanyak 100 kali pada iar besih yang ditaruh dalam piring. Selesai membaca, tiuplah air tersebut 3 kali. Kemudian rendam kedua mata ke dalam air tersebut dengan dikedip-kedipkan. Insya Allah, apa yang kita maksudkan segera tercapai.[8]










Contoh perilaku yang mencerminkan sifat Al-Bashir.

Kisah Si Penggembala Kambing
Abdullah bin Dinar berjalan bersama Khalifah Umar bin Khathab dari Madinah menuju Mekah. Di tengah perjalanan, bertemulah mereka berdua dengan anak gembala. Khalifah hendak mencoba menguji si gembala itu.

"Wahai anak gembala, juallah kepadaku seekor anak kambing dari ternakmu itu!" ujar Amirul Mukminin.

"Aku hanya seorang budak," jawab si gembala. Khalifah pun membujuk: "Kambing itu amat banyak. Apakah majikanmu tahu?"

"Tidak, majikanku tidak tahu berapa ekor jumlah kambingnya. Dia tidak tahu berapa kambing yang mati dan berapa yang lahir. Dia tidak pernah memeriksa dan menghitungnya."

Khalifah terus mencoba membujuk: "Kalau begitu hilang satu ekor kambing, majikanmu tidak akan tahu. Atau Katakan saja nanti pada tuanmu, anak kambing itu dimakan serigala. Ini uangnya, terimalah! Ambil saja buat kamu untuk membeli baju atau roti."

Anak gembala tetap tidak terbujuk dan mengabaikan uang yang disodorkan oleh Umar.

Si pengembala diam sejenak. Ditatapnya wajah Amirul Mukminin. Dari bibirnya terucaplah kata-kata yang menggetarkan hati Khalifah Umar, ‘’Jika Tuan menyuruh saya berbohong, lalu di mana Allah? Bukankah Allah Maha Melihat? Apakah Tuan tidak yakin bahwa Allah pasti mengetahui siapa yang berdusta?’’

Umar bin Khathab gemetar mendengar ucapan si gembala itu. Rasa takut menjalari seluruh tubuhnya, persendian tulangnya terasa lemah. Dia menangis. Mendengar kalimat tauhid itu yang mengingatkannya kepada keagungan Allah Swt. dan tanggung jawabnya di hadapan-Nya kelak.

Lalu dibawanya anak gembala yang berstatus budak itu kepada tuannya, Khalifah menebusnya, dan berkatanya, ‘’Telah kumerdekakan kamu, Nak.”[9]




[1] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk SMP/MTs VII. (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013), hlm. 20
[2] Ahmad Taufik Nasution, Melejitkan sq Dengan Prinsip 99 Asmaul Husna, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), hlm. 191
[3] M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi : Asma Al-Husna dalam Perspektif al-Quar’an , (Jakarta : Lentera Hati, 2005), hlm. 140
[4] Ibid., hlm. 141
[5] Ibid., hlm. 141
[6] Ibid., hlm. 142
[7] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk SMP/MTs VII. (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013), hlm. 20
[8] Zainal Abidin, Pengamalan Asmaul Husna dalam Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta : PT.Pertja, 2001), hlm. 47
[9] Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti untuk SMP/MTs VII. (Jakarta: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013), hlm. 21

0 Comments:

Post a Comment