AL-BASHIR
1.
Pengertian
Kata
“Al-Bashir” terambil dari akar kata “bashara”, yang tersusun dari huruf-huruf
“ba”, “shad” , “Ra”, dan pada dasarnya mengandung dua makna: Pertama, “ilmu
atau pengetahuan sesuatu” . Dari segi bahasa, kata “ilm” dalam berbagai
bentuknya sebagaimana diuraikan dalam sufat Al-‘Alim yang mengandung makna
“kejelasan”. Itu juga sebabnya kata Bashiirah yang tersusun dari akar kata yang sama, diartikan dengan “bukti
yang sangat jelas dan nyata”. Kedua, bermakna “kasar”, seperti kata “Basrah”
yang berarti “tanah yang kasar” atau juga berarti “batu”, tetapi yang lunak dan
mengandung warna keputih-putihan”. Salah satu kota besar di Irak dinamai
“Basrah” karena sifat tanah dan batu-batuannya demikian. Begitu keterangan
Al-Munjid.
Jadi
Al-bashiir menurut bahasa artinya mencapai apa-apa yang dapat dilihatdengan
pandangan mata[1].
Sedangkan menurut istilah Al-bashiiru berarti (Allah) Maha Melihat
segala-galanya, baik yang besar maupun yang kecil, baik yang dekat maupun yang
jauh. Allah melihat semua peristiwa dan kejadian yang terjadi di muka bumi ini.
Tidak ada satupun yang terlepas dari penglihatan Allah. Semua perbuatan dan
perilaku hamba-Nya telah terekam dan terlihat dengan nyata oleh Allah.[2]
Di
dalam Al Qur’an kata “Bashiir” dan “Bashiira” terulang sebanyak 51 kali,
sebagian diantaranya merupakan sifat manusia. Pada umumnya objek dari “bashiira”
yang menunjuk sifat Allah adalah “Apa yang kamu kerjakan”, tetapi ada juga
objeknya adalah “Segala sesuatu” Disisi lain sifat Allah ini pada umumnya
dikaitkan dan didahului oleh kata sami’
(Maha Mendengar) dan ada juga yang didahului oleh sifat Khabir.[3]
Di
atas dikemukakan bahwa akar kata Bashir mengandung makna pengetahuan, karena
itu sebagian ulama menyatakan bahwa sifat Maha Mendengar dan Melihat Allah
adalah dua sifat yang identik dengan ilmu, tetapi ada juga yakni kelompok
Ahlussunnah yang menyatakan bahwa keduanya maha Mendengar dan melihat adalah
dua sifat yang masing-masing berdiri sendri, dan tidak menyatu dengan sifat
Maha Mengetahui. Penganut pendapat pertama, yakni kelompok Mu’tazilah,
menyatakan bahwa ilmu mempunyai dua kaitan. Kaitan pertama dari sisi yang didengar
dan dilihat, sebelum wujudnya dan kaitan kedua setelah wujudnya.
Memang
seperti yang dikemukakan ketika membahas sifat ‘ilmu, Allah mengetahui segala
sesuatu sebelum, pada saat dan sesudah terjadinya sesuatu dan karena itu tidak
ada “kebetulan” di sisi-Nya
Sementara
ulama menjelaskan makna sifat yang disandang Allah ini bahwa Dia yang
menyaksikan segala sesuatu lahir dan batinnya, besar dan kecilnya, sehingga apa
yang tersembunyi di bawah dasar lautpun dijangkaunya.
Allah
melihat bukan dengan indra mata sebagai mana halnya makhluk dan karena itu,
Maha Melihat bagi Allah difahami dalam arti sifat yang azali yang dengan sifat
itu terungkap bagi-Nya segala sesuatu. Alqur’an menegaskan bahwa, “Dia tidak
dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala penglihatan itu
dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”. (Q.S. Al-An’am 6 :
103).
Pernyataan
ayat di atas bahwa “Dia dapat melihat segala penglihatan”, memberi isyarat
bahwa makhluk-Nya tidak demikian, bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa
hakekat penglihatanpun tidak diketahui dan dilihat secara sempurna oleh
manusia, walaupun ia mampu melihat. Di sisi lain, wujud makhluk yang adapun
tidak semua dapat dijangkaunya, maka bagaimana mungkin ia dapat menjangkau dan
melihat Tuhan? Namun demikian, sebagaimana halnya dengan sifat As-Sami’ yang
dapat dianugerahkan Allah sekelumit kepada hamba-hamba yang dicintai-Nya, maka
demikian pula dengan sifat ini.
Seorang hamba yang meneladani Allah dalam sifat ini,
terlebih dahulu harus meyadari bahwa mata yang dianugerahkan kepadanya adalah
untuk digunakan melihat hal-hal yang baik, serta melihat tanda-tanda kebesaran
Allah yang terbentang dialam raya. Imam Ghazali menuturkan ketika menjelaskan
sifat ini bahwa konon Isa a.s. pernah di tanya, “Adakah yang sama degan
engkau?” Beliau menjawab, “siapa yang pandangannya adalah pelajaran, diamnya
adalah renungan dan ucapan-ucapannya adalah zikir, maka dia sama dengan saya”.
Selanjutnya, hamba yang ingin meneladani Allah dalam sifat ini, juga harus
menyadari bahwa Allah selalu melihatnya dalam keadaan apa pun. Siapa yang
menyembunyikan sesuatu dari pandangan makhluk, padahal dia tidak menyembunyikan
dari pandangan Allah, maka dia telah meremehkan sifat Allah ini. Siapa yang
melakukan kedurhakaan padahal dia tahu
bahwa Allah melihatnya, maka sungguh berani bahkan ceroboh ia, dan siapa
yang menduga bahwa Allah tidak melihatnya maka sungguh besar kekufurannya.
Alqur’an mengecam Fir’aun umat Muhammad yakni, Abu Jahal yang menduga bahwa
Allah tidak melihatnya, dengan Firman-Nya, “Apakah dia tidak mengetahui bahwa
sesungguhnya Allah melihatnya?”
(Q.S. Al-‘Alaq 96 : 14). Tuhan mengantarnya dan mengantar semua manusia
untuk menyadari bahwa tidak satupun yang luput dari penglihatan Allah.
Kesadaran tentang hal inilah yang hendaknya menjadi aklhak manusia dalam
upayanya meneladani Allah SWT. Demikian wa Allah ‘Alam.[4]
2.
Sudut Pandang dari AL-Qur’an dan Hadits
Surat
Al-Baqarah ayat 110
“Dan
dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat, dan kebaikan apa saja yang kamu
usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat
pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah melihat apa saja yang kamu
kerjakan”.
Surat
Fathiir ayat 45
“Dan
sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan
meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun, akan tetapi
Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka sampai waktu tertentu, maka apabila
datang ajal mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Melihat (keadaan
hamba-hamba-Nya)”.
Dari
kedua ayat tersebut dapat kita pahami, bahwa apapun yang kita perbuat, apakah
perbuatan baik atau jahat, tidak luput dari penglihatan Allah. Namun kita
sadari atau tidak, bahwa kita merasa apa yang kita lakukan itu tidak diketahui
oleh Allah, karena kita melakukaan perbuatan dengan cara menghindar dari
penglihatan manusia. Kita merasa aman karena tidak ada yang melihat dan dengan
demikian bebas berbuat apa saja yang dikehendaki. Padahal semuanya telah
terekam dengan jelas, Allah Maha Melihat apa yang kita kerjakan dan begitu juga
para malaikat yang selalu mendampingi kita. Tetapi hamba-hambaNya ini memandang
sepi tentang kebenaran Firman Allahtersebut, sehingga terjadi, selama perbuatan
ini luput dari penglihatan manusia.
Dalam
Hadits Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Malaikat
Jibril mengatakan kepada Nabi: “Apakah Ihsan itu? Beliau menjawab: “Yaitu
engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jika engkau
tidak melihat-Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu. (Hadits Riwayat
Al-Bukharidan Muslim)”.
Dari
hadits tersebut, menjelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan baginya sepasang
mata guna melihat tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terdapat di alam semesta ini.
Manusia haruslah mengetahui pula bahwa ia selalu berada dalam penglihatan Allah
SWT. Karena itu ia tidak boleh meremehkan pandangan Allah tersebut. Alangkah
lancang dan meruginya orang yang mengetahui bahwa Allah melihatnya, namun
dikerjakannya juga pebuatan maksiat. Dan kalau ia mengira bahwa Allah tidak
melihatnya, maka alangkah kufurnya ia.[5]
3.
Meneladani Sifat Allah “Al-Bashiir”
Manusia
penglihatannya sangat terbatas dan kita semua dapat merasakan dan
membuktikannya dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita ingin melihat benda yang
kecil harus dengan alat, bahkan ada bakteri atau virus yang tidak atau belum
dapat dilihat dengan alat tersebut. Demikian juga melihat benda yang jauh dan
kecil, lebih-lebih tidak mungkin melihatnya.
Kalau
manusia dihadapkan kepada persoalan seperti ini, tentu tidak mungkin
melakukannya dan tidak mungkin pula meneladani sifat Allah itu.
Sebenarnya
yang perlu dilihat adalah perbuatan, tingkah laku manusia atau situasi pada
suatu tempat oleh seorang pemimpin. Karena penglihatan manusia sangat jauh
berbeda dengan penglihatan Allah, maka lihatlah apa yang dapat dan mungkin
dilihat yang besar dan yang dekat. Untuk melihat tempat-tempat yang jauh
terutama yang berkenaan dengan keadaan tempat itu, harus ada orang lain yang
dapat dipercaya sebagai pengganti mata kita.
4.
Publik
Al-Bashiir
dirangkai dengan asma (sifat) As sami’, artinya Allah Maha Mendengar dan
Melihat. Hamba Allah ini tidak boleh ceroboh melaksanakan sesuatu perbuatan
karena Allah mendengar dan melihatnya. Seperti tokoh masyarakat seharusnya mau
melihat (memperhatikan) dan mau mendengar keluhan rakyat kecil yang tidak
berdaya. Hal ini berarti, bahwa tokoh masyarakat (pemimpin) itu telah
meneladani sifat Allah.
Al-Bashiir
dirangkai dengan asma AL-Khobir, artinya Allah Maha Mengetahui Lagi Maha
Melihat. Dia mengetahui betul mengenai semua di alam semesta ini. Berbeda
dengan manusia, pengetahuannya amat terbatas. Seperti pemimpin yang mendapatkan
laporan tentang anggota nya melakukan korupsi, pengetahuan pemimpin itu hanya
sebatas laporan (pendengaran) saja, jadi ketika akan memutuskan perlu diadakan
penelitian terlebih dahulu.
6. Implikasi
Kita sebagai seorang hamba Allah, wajib
hukumnya untuk merasa diawasi oleh Allah, dalam menjalankan ketaatan, dan yakin
bahwa Allah dari atas ‘Arsy melihat ibadah kita. Dengan memahami bahwa Allah
selalu melihat kita, kita harus selalu menjalankan perintahNya karena
ketika kita menjalankan perintahNya,
kita dilihat oleh Allah dan akan dicatat amal baik untuk tabungan diakhirat
nanti. Dan kita tidak boleh berbuat seenaknya, ketika tidak ada seseorang, seperti
mencuri atau melakukan hal-hal yang tidak baik, karena ada Allah yang selalu
melihat kita.
Dengan menulis asma Al-Bashir ini saya
jadi lebih berhati-hati ketika akan melakukan sesuatu bahkan hanya dengan niat
saja, karena kita selalu di lihat oleh Allah. Dengan merasa seperti itu InsyaAllah
kita akan selalu melakukan hal-hal yang baik dan menjauhi segala perintahNya.
Dilihat dari sosial, ketika dikampung
ada kegiatan gotong-royong, kita harus ikut gotong-royng, tidak boleh mengelak
dengan alasan ada kesibukan, padahal tidak ada. Karena Allah Maha Melihat apa
yang kita lakukan, bahkan ketika tak ada seseorang yang melihatnya.
Dengan asma Al-Bashir ini, kerna selalu
merasa diawasi oleh Allah, implikasinya saya selalu merasa hati-hati dalam
melakukan sesuatu, karena Allah akan memberikan ganjaran yang baik berupa
pahala jika saya melakukan suatu kebajikan, meskipun itu sebesar biji sawi, dan
begitupun sebliknya, jika saya melakukan sesuatu yang melanggar syari’at, maka
Allah akan memberikan laknat atau hukuman di akhirat nanti.
Dengan asma Al-Bashir ini, selalu merasa
bahwa kita melihat Allah dimanapun saya berda, karena Allah itu melihat semua
apa yang ada di alam semesta ini. Dan dengan mrasa melihat Allah dimanapun
berada, saya selalu ingin menunjukkan sesuatu yang baik, agar Allah menjadikan
saya hamba diantara hamba-hamba yang shaleh.
Dengan menulis asma Al-Bashir ini saya
selalu merasa diawasi, dengan begitu saya selalu ingin melakukan kebajikan
menurut Allah. Dan saya juga berharap bagi pembaca agar dapat melakukan sesuatu
yang baik-baik karena kia selalu diawaasi olehNya, dan dengan kebajikan itu
kita akan mendapatkan balasan, kelak di yaumul qiyamah nanti.
Diskusi
1.
Muhammad
Maulana (13410040) : Apa bedanya Al-Bashir dengan Nadhir?
Jawab:
Kalo Al-Bashir penglihatannya lebih luas daripada Nadhir. Allah melihat semua
apa yang ada, kalau Nadhir hanya sebatas manusia dalam melihat.
2.
Yudefrizal
() Apa Implikasi dari Al-Bashir?
Jawab:
Kita sebagai
seorang hamba Allah, wajib hukumnya untuk merasa diawasi oleh Allah, dalam
menjalankan ketaatan, dan yakin bahwa Allah dari atas ‘Arsy melihat ibadah
kita. Dengan memahami bahwa Allah selalu melihat kita, kita harus selalu
menjalankan perintahNya karena ketika
kita menjalankan perintahNya, kita dilihat oleh Allah dan akan dicatat
amal baik untuk tabungan diakhirat nanti. Dan kita tidak boleh berbuat
seenaknya, ketika tidak ada seseorang, seperti mencuri atau melakukan hal-hal
yang tidak baik, karena ada Allah yang selalu melihat kita.
DAFTAR
PUSTAKA
Mahmud, Samiy 1993. Menyelami Rahasia Nama-Nama Allah Yang
Indah. Jakarta : Pustaka Hidayah
Hasan, Ali 1997. Memahami dan
Meneladani Asmaul Husna. Jakarta : PT Grafindo
Shihab, Quraish 2005. Menyingkap
Tabir Ilahi. Jakarta : Lentera Hati
Sadirman, Endim
2010. Keajaiban Asmaul Husna. Jogjakarta : Garnilmu
0 Comments:
Post a Comment