PEMBAHASAN
A.
Arti
“Asma’ul-husna”
Asma’ul-husna
terdiri dari dua suku kata, yaitu:
o
Asma’, yang merupakan jamak dari
ismun, yang artinya nama-nama.
o
Husna artinya baik.
Jadi,
‘Asma’ul-husna” ialah nama-nama Yang baik.
Sebagaimana
kita ketahui bahwa jumlah nama Allah tidaklah terbatas 99 saja, tetapi yang
termasuk “Asma’ul-husna” hanya 99. Ini bukan berarti bahwa nama-nama Allah
selain dari yang tergolong Asma’ul-husna itu mempunyai arti yang tidak atau
kurang baik. Semua nama Allah adalah baik, hanya saja yang termasuk
“Asma’ul-husna” adalah 99.[1]
Hal ini sebenarnya tidaklah terlalu penting untuk dipermasalahkan, karena yang
sangat prinsip ialah bahwa kita hendaknya merenungkan, meresapkan dan
mengamalkan apa-apa yang terkandung dalam “Asma’ul-husna”. Dan selanjutnya
dalam makalah ini akan dibahas salah satu Asma’ul-husan, yakni “Al-Muqoddim”.
B.
AL-MUQODDIM
(Yang Maha Mendahulukan)
Kata Al-Muqoddim terambil
dari akar kata yang huruf-hurufnya terdiri dari qaf, dal, dan mim,
yang maknanya berkisar pada “kedahuluan”, yakni “keberadaan di depan”.
Qadim adalah “yang berada pada waktu yang lebih dahulu”. Wajah dinamai “maqadim”,
karena wajah terdepan dalam mengenal seseorang. Yang datang paling dahulu dari
rombongan kafilah dinamai “qadimat”. Raja dinamai “Al-Quddam”
karena dia paling depan kedudukannya. Kaki adala “Qadam”, karena dia
adalah alat yang digunakan melaju ke depan. Yang mengedepankan dinamai “Muqoddim”,
baik dalam waktu, kedudukan, atau tempat.[2]
Al-Muqoddim
ialah Dzat yang mendahulukan sebagian dari sesuatu atas sebagian yang lainnya
dalam wujud, seperti mendahulukan sebab-sebab atas akibat-akibat. Atau dalam
pemuliaan dan pendekatan, seperti mendahulukan para nabi dan orang-orang saleh
daripada selain mereka. Atau dalam hal tempat, seperti mendahulukan periode
atau masa yang satu dari yang lainnya sebagai mana telah tertentu di dalam
hikmat-Nya yang azali.[3]
Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata
“Al-Muqoddim”, tetapi kata “Qaddama” yang menunjuk kepada Allah
sebagai pelaku, ditemukan hanya sekali yaitu firman-Nya,
قَالَ لا تَخْتَصِمُوا لَدَيَّ
وَقَدْ قَدَّمْتُ إِلَيْكُمْ بِالْوَعِيدِ
“Allah
berfirman,’Janganlah kamu bertengkar dihadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku
dahulu telah memberikan ancaman kepadamu” (QS. Qaf [50]: 28).
Kembali kepada sifat-Nya yang
dibahas ini, kita dapat berkata bahwa Allah adalah “Al-Muqaddim” dan atau
“Al-Mutakhir” dalam berbagai makna dan hal yang berkaitan dengan makhluk-Nya.
Dia mendahulukan peringatan sebelum siksa-Nya dan mendahulukan petunjuk sebelum
peringatan-Nya.”Adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk
tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, maka mereka
disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan”
(QS. Fushilat [41]:17).
Allah mendahulukan peringatan
tentang kehadiran kematian bagi setiap jiwa sebelum datangnya kematian, dan
tidak menetapkan keengganannya menunda sebelum datang peringatan-Nya tentang
keniscayaan kematian. “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan
menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang
sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” (QS.
Al-Anbiya’ [21]: 35).
Selanjutnya, Allah juga mendahulukan
kepentingan makhluk-makhluk-Nya atas amalan-amalan untuk-Nya, “Adapun anak
yatim, maka janganlah sewenang-wenang (terhadapnya). Dan terhadap peminta maka
janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap ni’mat Tuhanmu maka hendaklah kamu
menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS. Ad-Dhuhaa [93]: 9-11)
Allah mempersiapkan terlebih dahulu
sarana kehidupan manusia, sebelum menciptakan manusia. Kemudian Allah
mendahulukan pemberian petunjuk atas penugasan manusia menjadi khalifah di muka
bumi. Allah Al-Muqoddim juga dalam arti mendekatkan hamba-Nya yang taat
ke sisi-Nya.[4]
Sebagaimana firman-Nya :
أُولَئِكَ
الْمُقَرَّبُونَ # وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ
“Orang-orang
yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). Mereka
itulah orang yang didekatkan (kedudukannya di sisi Allah)”. (QS.
Al-Waqi’ah [56]: 10-11).
Singkatnya,
Dialah Allah SWT yang mendahulukan dan mengakhirkan, Dia mendahulukan bagi
hamba-hamba-Nya segala yang dibutuhkan oleh mereka guna memelihara eksistensi
mereka dan mengakhirkan mereka ke ajal-ajal mereka. Atau, Dia yang mendahulukan
orang yang dikehendaki-Nya di dunia dan di akhirat dengan memberikan kepada
mereka derajat yang tinggi, dan Dia pula yang mengakhirkan siapapun yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah SWT sangat kuasa melakukan itu semua.
C.
Meneladani
Asma’ul-husna “Al-Muqoddim”
Yang dimaksud
meneladani-Nya dalam sifat ini, terlebih dahulu harus memenuhi perintah-Nya
untuk mentaqdimkan (mendahulukan) apa yang diperintahkan-Nya untuk
didahulukan, dan menta’khirkan (membelakangkan) apa yang diperintahkan untuk
dibelakangkan. Jangan sekali-kali bersikap sebaliknya. Maksudnya, jangan
melangkah berdasar pandangan dan pikiran kita sendiri bila telah ada petunjuk
Allah dan tuntunan Rasul saw. Kedepankanlah apa yang menjadi kemaslahatan hari
kemudian, bila tidak dapat memadukan kemaslahatan dunia dan akhirat. Jangan
sekali-kali mengedepankan kepentingan dunia dengan mengabaikan kepentingan
akhirat, karena ini berakibat buruk kelak di kemudian hari. Allah SWT berfirman
:
مَنْ كَانَ
يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ
جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا
“Barang siapa
menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia
itu apa yang Kami kehendaki bagi orang-orang yang Kami kehendaki dan Kami
tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan
terusir”. (QS. Al-Isra’ [17]: 18).
Yang meneladani-Nya juga dituntut
untuk mengedepankan dalam arti mendahulukan kepentingan kaum lemah dari
kepentingan dirinya sendiri. Dan ketika mengedepankan sesuatu atau
menempatkannya di belakang, mengganti atau membatalkan rencana baik, maka semua
itu hendaknya berdasarkan kemaslahatan yang terbesar, sebagaimana ia dituntut
pula untuk tidak menunda satu pekerjaan ke waktu yang lain, kecuali jika ada kemaslahatan
dan nilai tambah dalam penundaannya. Bukankah seperti firman-Nya, Allah tidak
membatalkan, mengganti atau menunda sesuatu kecuali mendatangkan yang lebih
baik atau paling tidak serupa dengannya setelah meraih hikmah dari penundaan?
Karena itu Dia berpesan agar yang diraih di dunia digunakan sebagai sarana
meraih akhirat tanpa harus melupakan dunia, “Carilah melalui apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu di dunia, kebahagiaan negeri akhirat dan janganlah
kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan)” (QS. Al-Qashash 2877, Ini karena
“Sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan” (QS. Ad-Dhuha [93]: 4)
Berakhlak dengan ism ini
mengharuskan kita bersikap antara takut dan harap, dan hendaklah selalu
bersikap waspada. Sebab, Rasulullah saw. Sendiri, yang telah diampuni oleh
Allah dari segala kesalahan, tidak melalaikan sama sekali ibadat kepada
Tuhannya, sehingga ketika ditanyakan orang kepadanya, “Bukankah Tuhan telah mengampuni
segala kesalahanmu ?” Beliau menjawab: “Apakah aku akan menjadi seorang hamba
yang tidak bersyukur?”[5]
D.
Implikasi Bagi Orang Yang Mengimani Asma Allah Al-Muqoddim
Dari penjelasan di atas, maka
kita akan terdorong untuk membiasakan diri untuk berperilaku yang kurang lebih
sebagai berikut:
1.
Selalu mendahulukan diri dalam
berbuat kebaikan, karena Allah telah mendahulukan petunjuk
sebelum peringatan-Nya dan mendahulukan peringatan sebelum siksa-Nya. Semisal
Allah mendahulukan peringatan tentang kehadiran kematian bagi setiap jiwa
sebelum datangnya kematian.
2.
Segera bertaubat kepada Allah ketika melakukan
perbuatan dosa, bertekad tidak pernah mengulanginya lagi,serta senantiasa
berbuat kebajikan.
3.
Tidak suka menunda-nunda baik
dalam urusan dunia maupun urusan akhirat.
4.
Tidak mengerjakan sesuatu yang
sia-sia tanpa tujuan yang bermanfaat.
5.
Tidak mengedepankan kepentingan dunia dengan
mengabaikan kepentingan akhirat, karena ini berakibat buruk kelak di kemudian
hari.
6.
Tidak mendahulukan kepentingan
satu orang dengan merugikan kepentingan orang banyak.
E.
Pengamalan
Asmaul Husna Al-Muqoddim Dalam Kehidupan Sehari-hari
Dialah zat yang mendahulukan sesuatu atas
lainnya. Lebih dahulu keberadaan-Nya, lebih dahulu terjadinya, lebih dahulu
kemuliaannya, lebih dahulu dalam masanya atau tempatnya dibandingkan makhluk lainnya.
Khasiatnya :
1.
Semua yang sedang diusahakan dan
dirintis akan cepat memperoleh kemajuan.
2.
Terlepas dari bahaya sewaktu
terjadi peperangan.
Cara mengamalkannya :
1.
Untuk khasiat yang pertama,
berzikirlah dengan membaca “Ya Muqaddimu” sebanyak 284 kali setiap hari,
terutama dibaca sehabis shalat Maghrib atau Subuh.
2.
Untuk khasiat yang kedua, bila
terjadi peperangan atau bagi tentara yang sedang berperang, sempatkan membaca
“Ya Muqaddimu” semampu mungkin. Insya Allah, akan selamat.[6]
DAFTAR PUSTAKA
Abidin,
Zainal. 2001. Pengamalan Asmaul Husna dalam Kehidupan Sehari-hari. Jakarta:
Pertja.
Hamim Ruba’I,
H. M. 1993. Meneliti Asma’ul Husna dalam Al-Qur’an, Bandung: Al-Ma’arif.
Quraish
Shihab, M. 2005. Menyingkap Tabir Ilahi: Asma Al Husna dalam Perspektif Al-Qur’an,
Jakarta: Lentera Hati.
Samiy, Mahmud.
1993. Menyelam Rahasia Nama-nama Allah yang Indah. Jakarta: Pustaka
Hidayah.
[1]
H. M. Hamim Ruba’I, Meneliti Asma’ul Husna dalam Al-Qur’an, Bandung:
Al-Ma’arif, 1993, hal 19
[2]
M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asma Al Husna dalam Perspektif
Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2005, hal 321
[3]
Al-Ustadz Mahmud Samiy, Menyelam Rahasia Nama-nama Allah yang Indah,
Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993, hal 87
[4]
M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asma Al Husna dalam Perspektif
Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2005, hal 324
[5]
Al-Ustadz Mahmud Samiy, Menyelam Rahasia Nama-nama Allah yang Indah,
Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993, hal 88
[6]
K.H. Zainal Abidin, Pengamalan Asmaul Husna dalam Kehidupan Sehari-hari, Jakarta:
Pertja, 2001, hal 76
0 Comments:
Post a Comment