Header Ads

23 December 2016

Arti “Asma’ul-husna”

PEMBAHASAN

A.           Arti “Asma’ul-husna”
Asma’ul-husna terdiri dari dua suku kata, yaitu:
o   Asma’, yang merupakan jamak dari ismun, yang artinya nama-nama.
o   Husna artinya baik.
Jadi, ‘Asma’ul-husna” ialah nama-nama Yang baik.
Sebagaimana kita ketahui bahwa jumlah nama Allah tidaklah terbatas 99 saja, tetapi yang termasuk “Asma’ul-husna” hanya 99. Ini bukan berarti bahwa nama-nama Allah selain dari yang tergolong Asma’ul-husna itu mempunyai arti yang tidak atau kurang baik. Semua nama Allah adalah baik, hanya saja yang termasuk “Asma’ul-husna” adalah 99.[1] Hal ini sebenarnya tidaklah terlalu penting untuk dipermasalahkan, karena yang sangat prinsip ialah bahwa kita hendaknya merenungkan, meresapkan dan mengamalkan apa-apa yang terkandung dalam “Asma’ul-husna”. Dan selanjutnya dalam makalah ini akan dibahas salah satu Asma’ul-husan, yakni “Al-Muqoddim”.
B.            AL-MUQODDIM (Yang Maha Mendahulukan)
            Kata Al-Muqoddim terambil dari akar kata yang huruf-hurufnya terdiri dari qaf, dal, dan mim, yang maknanya berkisar pada “kedahuluan”, yakni “keberadaan di depan”. Qadim adalah “yang berada pada waktu yang lebih dahulu”. Wajah dinamai “maqadim”, karena wajah terdepan dalam mengenal seseorang. Yang datang paling dahulu dari rombongan kafilah dinamai “qadimat”. Raja dinamai “Al-Quddam” karena dia paling depan kedudukannya. Kaki adala “Qadam”, karena dia adalah alat yang digunakan melaju ke depan. Yang mengedepankan dinamai “Muqoddim”, baik dalam waktu, kedudukan, atau tempat.[2]
Al-Muqoddim ialah Dzat yang mendahulukan sebagian dari sesuatu atas sebagian yang lainnya dalam wujud, seperti mendahulukan sebab-sebab atas akibat-akibat. Atau dalam pemuliaan dan pendekatan, seperti mendahulukan para nabi dan orang-orang saleh daripada selain mereka. Atau dalam hal tempat, seperti mendahulukan periode atau masa yang satu dari yang lainnya sebagai mana telah tertentu di dalam hikmat-Nya yang azali.[3]
            Dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata “Al-Muqoddim”, tetapi kata “Qaddama” yang menunjuk kepada Allah sebagai pelaku, ditemukan hanya sekali yaitu firman-Nya,
قَالَ لا تَخْتَصِمُوا لَدَيَّ وَقَدْ قَدَّمْتُ إِلَيْكُمْ بِالْوَعِيدِ
“Allah berfirman,’Janganlah kamu bertengkar dihadapan-Ku, padahal sesungguhnya Aku dahulu telah memberikan ancaman kepadamu” (QS. Qaf [50]: 28).
            Kembali kepada sifat-Nya yang dibahas ini, kita dapat berkata bahwa Allah adalah “Al-Muqaddim” dan atau “Al-Mutakhir” dalam berbagai makna dan hal yang berkaitan dengan makhluk-Nya. Dia mendahulukan peringatan sebelum siksa-Nya dan mendahulukan petunjuk sebelum peringatan-Nya.”Adapun kaum Tsamud maka mereka telah Kami beri petunjuk tetapi mereka lebih menyukai buta (kesesatan) dari petunjuk itu, maka mereka disambar petir azab yang menghinakan disebabkan apa yang telah mereka kerjakan” (QS. Fushilat [41]:17).
            Allah mendahulukan peringatan tentang kehadiran kematian bagi setiap jiwa sebelum datangnya kematian, dan tidak menetapkan keengganannya menunda sebelum datang peringatan-Nya tentang keniscayaan kematian. “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan” (QS. Al-Anbiya’ [21]: 35).
            Selanjutnya, Allah juga mendahulukan kepentingan makhluk-makhluk-Nya atas amalan-amalan untuk-Nya, “Adapun anak yatim, maka janganlah sewenang-wenang (terhadapnya). Dan terhadap peminta maka janganlah kamu menghardiknya. Dan terhadap ni’mat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur)” (QS. Ad-Dhuhaa [93]: 9-11)
            Allah mempersiapkan terlebih dahulu sarana kehidupan manusia, sebelum menciptakan manusia. Kemudian Allah mendahulukan pemberian petunjuk atas penugasan manusia menjadi khalifah di muka bumi. Allah Al-Muqoddim juga dalam arti mendekatkan hamba-Nya yang taat ke sisi-Nya.[4] Sebagaimana firman-Nya :
أُولَئِكَ الْمُقَرَّبُونَ # وَالسَّابِقُونَ السَّابِقُونَ
“Orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dulu (masuk surga). Mereka itulah orang yang didekatkan (kedudukannya di sisi Allah)”. (QS. Al-Waqi’ah [56]: 10-11).
Singkatnya, Dialah Allah SWT yang mendahulukan dan mengakhirkan, Dia mendahulukan bagi hamba-hamba-Nya segala yang dibutuhkan oleh mereka guna memelihara eksistensi mereka dan mengakhirkan mereka ke ajal-ajal mereka. Atau, Dia yang mendahulukan orang yang dikehendaki-Nya di dunia dan di akhirat dengan memberikan kepada mereka derajat yang tinggi, dan Dia pula yang mengakhirkan siapapun yang dikehendaki-Nya. Dan Allah SWT sangat kuasa melakukan itu semua.
C.           Meneladani Asma’ul-husna “Al-Muqoddim” 
Yang dimaksud meneladani-Nya dalam sifat ini, terlebih dahulu harus memenuhi perintah-Nya untuk mentaqdimkan (mendahulukan) apa yang diperintahkan-Nya untuk didahulukan, dan menta’khirkan (membelakangkan) apa yang diperintahkan untuk dibelakangkan. Jangan sekali-kali bersikap sebaliknya. Maksudnya, jangan melangkah berdasar pandangan dan pikiran kita sendiri bila telah ada petunjuk Allah dan tuntunan Rasul saw. Kedepankanlah apa yang menjadi kemaslahatan hari kemudian, bila tidak dapat memadukan kemaslahatan dunia dan akhirat. Jangan sekali-kali mengedepankan kepentingan dunia dengan mengabaikan kepentingan akhirat, karena ini berakibat buruk kelak di kemudian hari. Allah SWT berfirman :
مَنْ كَانَ يُرِيدُ الْعَاجِلَةَ عَجَّلْنَا لَهُ فِيهَا مَا نَشَاءُ لِمَنْ نُرِيدُ ثُمَّ جَعَلْنَا لَهُ جَهَنَّمَ يَصْلاهَا مَذْمُومًا مَدْحُورًا
“Barang siapa menghendaki kehidupan sekarang (duniawi), maka Kami segerakan baginya di dunia itu apa yang Kami kehendaki bagi orang-orang yang Kami kehendaki dan Kami tentukan baginya neraka Jahannam; ia akan memasukinya dalam keadaan tercela dan terusir”. (QS. Al-Isra’ [17]: 18).
            Yang meneladani-Nya juga dituntut untuk mengedepankan dalam arti mendahulukan kepentingan kaum lemah dari kepentingan dirinya sendiri. Dan ketika mengedepankan sesuatu atau menempatkannya di belakang, mengganti atau membatalkan rencana baik, maka semua itu hendaknya berdasarkan kemaslahatan yang terbesar, sebagaimana ia dituntut pula untuk tidak menunda satu pekerjaan ke waktu yang lain, kecuali jika ada kemaslahatan dan nilai tambah dalam penundaannya. Bukankah seperti firman-Nya, Allah tidak membatalkan, mengganti atau menunda sesuatu kecuali mendatangkan yang lebih baik atau paling tidak serupa dengannya setelah meraih hikmah dari penundaan? Karena itu Dia berpesan agar yang diraih di dunia digunakan sebagai sarana meraih akhirat tanpa harus melupakan dunia, “Carilah melalui apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu di dunia, kebahagiaan negeri akhirat dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan)” (QS. Al-Qashash 2877, Ini karena “Sesungguhnya akhir itu lebih baik bagimu dari permulaan” (QS. Ad-Dhuha [93]: 4)
            Berakhlak dengan ism ini mengharuskan kita bersikap antara takut dan harap, dan hendaklah selalu bersikap waspada. Sebab, Rasulullah saw. Sendiri, yang telah diampuni oleh Allah dari segala kesalahan, tidak melalaikan sama sekali ibadat kepada Tuhannya, sehingga ketika ditanyakan orang kepadanya, “Bukankah Tuhan telah mengampuni segala kesalahanmu ?” Beliau menjawab: “Apakah aku akan menjadi seorang hamba yang tidak bersyukur?”[5]
D.           Implikasi Bagi Orang Yang Mengimani Asma Allah Al-Muqoddim
Dari penjelasan di atas, maka kita akan terdorong untuk membiasakan diri untuk berperilaku yang kurang lebih sebagai berikut:
1.             Selalu mendahulukan diri dalam berbuat kebaikan, karena Allah telah mendahulukan petunjuk sebelum peringatan-Nya dan mendahulukan peringatan sebelum siksa-Nya. Semisal Allah mendahulukan peringatan tentang kehadiran kematian bagi setiap jiwa sebelum datangnya kematian.
2.             Segera bertaubat kepada Allah ketika melakukan perbuatan dosa, bertekad tidak pernah mengulanginya lagi,serta senantiasa berbuat kebajikan.
3.             Tidak suka menunda-nunda baik dalam urusan dunia maupun urusan akhirat.
4.             Tidak mengerjakan sesuatu yang sia-sia tanpa tujuan yang bermanfaat.
5.             Tidak mengedepankan kepentingan dunia dengan mengabaikan kepentingan akhirat, karena ini berakibat buruk kelak di kemudian hari.
6.             Tidak mendahulukan kepentingan satu orang dengan merugikan kepentingan orang banyak.
E.            Pengamalan Asmaul Husna Al-Muqoddim Dalam Kehidupan Sehari-hari
Dialah zat yang mendahulukan sesuatu atas lainnya. Lebih dahulu keberadaan-Nya, lebih dahulu terjadinya, lebih dahulu kemuliaannya, lebih dahulu dalam masanya atau tempatnya dibandingkan makhluk lainnya.
Khasiatnya :
1.        Semua yang sedang diusahakan dan dirintis akan cepat memperoleh kemajuan.
2.        Terlepas dari bahaya sewaktu terjadi peperangan.
Cara mengamalkannya :
1.        Untuk khasiat yang pertama, berzikirlah dengan membaca “Ya Muqaddimu” sebanyak 284 kali setiap hari, terutama dibaca sehabis shalat Maghrib atau Subuh.
2.        Untuk khasiat yang kedua, bila terjadi peperangan atau bagi tentara yang sedang berperang, sempatkan membaca “Ya Muqaddimu” semampu mungkin. Insya Allah, akan selamat.[6]



DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Zainal. 2001. Pengamalan Asmaul Husna dalam Kehidupan Sehari-hari. Jakarta: Pertja.
Hamim Ruba’I, H. M. 1993. Meneliti Asma’ul Husna dalam Al-Qur’an, Bandung: Al-Ma’arif.
Quraish Shihab, M. 2005. Menyingkap Tabir Ilahi: Asma Al Husna dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati.
Samiy, Mahmud. 1993. Menyelam Rahasia Nama-nama Allah yang Indah. Jakarta: Pustaka Hidayah.




[1] H. M. Hamim Ruba’I, Meneliti Asma’ul Husna dalam Al-Qur’an, Bandung: Al-Ma’arif, 1993, hal 19
[2] M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asma Al Husna dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2005, hal 321
[3] Al-Ustadz Mahmud Samiy, Menyelam Rahasia Nama-nama Allah yang Indah, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993, hal 87
[4] M. Quraish Shihab, Menyingkap Tabir Ilahi: Asma Al Husna dalam Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2005, hal 324
[5] Al-Ustadz Mahmud Samiy, Menyelam Rahasia Nama-nama Allah yang Indah, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993, hal 88
[6] K.H. Zainal Abidin, Pengamalan Asmaul Husna dalam Kehidupan Sehari-hari, Jakarta: Pertja, 2001, hal 76

0 Comments:

Post a Comment