Header Ads

23 December 2016

AL-MALIKU

PEMBAHASAN
AL-MALIKU
Tiap-tiap sesuatu yang ada di bumi ini mempunyai nama. Dan nama dari sesuatu itulah yang pertama-tama diajarkan Allah kepada Adam, sesudah Allah menciptakan Adam. Seperti yang terkandung dalam Surah Al-Baqarah: 31, “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada malaikat, seraya berkata, “Sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) itu, jika kamu yang benar!”. Kadang-kadang suatu benda memiliki 2, 3 atau lebih nama di dalam berbagai bahasa. Tiap-tiap nama itu adalah sekedar nama saja. Tidak mempunyai pengaruh atau khasiat apa-apa, sehingga pepatah Inggris mengatakan: “What’s a name?”. Dan sering nama-nama itu tidak sesuai dengan yang diberi nama. Seseorang yang bernama Arifin yang berarti “orang pintar” belum tentu pintar. Bumi yang dikatakan besar dan luas saja sebenarnya kecil jika dibandingkan dengan matahari.
Allah yang menciptakan seluruh alam ini pun mempunyai nama. Bukan hanya satu nama, tetapi banyak nama. Nama-nama Allah yang banyak itu di dalam Al-Qur’an disebut Al-Asmaul Husna. Artinya: Nama-nama yang bagus, nama-nama yang baik. Yaitu nama-nama yang 100% sesuai dengan yang mempunyai nama-nama itu.
Tuhan (Allah) dinamai dengan Ar-Rahman yang artinya Maha Pengasih, Ar-Rahim yang artinya Maha Penyayang. Begitu juga dengan nama-nama-Nya yang lain seperti Al-Qaadir (Yang Maha Kuasa), Al-‘Aliim (Yang Maha Mengetahui), termasuk Al-Malik yang artinya Maha Raja.
Namun makalah ini akan focus pada pembahasan salah satu Nama Allah, yakni Al-Malik (Maha Raja). Agar tertancap dalam hati kita, siapa hakikatnya Raja di atas raja, Maha Raja yang tiada bandingو tandingو dan serupa dengan-Nya.
Sebelum membahas Nama Allah yakni Al-Malik. Ada banyak pendapat ulama mengenai jumlah Nama Allah. Ada yang mengatakan jumlah nama-nama Allah ada 99, ada yang mengatakan 100, seribu atau lebih. Diantara Nama-nama Allah yang paling banyak disebut dalam Al-Qur’an adalah “Allah”, yaitu 2696 kali. Yang terpenting bagi kita bukanlah megetahui jumlahnya tetapi megetahui semua nama-nama itu, memahami dan menyadari, menghafalkan dan menyebutnya. Sebab menyebut Nama-nama Allah itu dengan paham dan yakin, mempunyai pengaruh dan manfaat yang hebat dan besar sekali bagi kita.
Surah Al- A’raf : 180
“Allah mempunyai nama-nama yang baik, maka serulah Dia dengan nama-nama itu; dan biarkanlah orang yang kufur tentang nama-nama-Nya itu. Mereka akan dibalas menurut apa yang mereka lakukan.”
Sabda Rasulullah SAW:
“Nama-nama Allah Yang Baik itu, kita disuruh berdo’a dengannya dan barangsiapa yang menghafalkannya masuk surga.”
“Sesungguhnya Allah mempunyai 99 nama, yaitu seratus kurang satu; siapa yang menghafalkannya akan masuk surga, sesungguhnya Allah itu witr (tidak genap) Ia menyukai witr.”  Hadits ini diriwayatkan oleh Baihaqi dan lain-lain.
Masih banyak hadits dan ayat Al-Qur’an yang membahas tentang nama-nama Allah. Namun ada beberapa poin penting yang harus kita ketahui, yakni:
1.      Allah mempunyai 99 nama atau lebih, dan setiap nama Allah disebut Asma’ul Husna, yaitu nama-nama yang baik, dan yang sesuai dengan-Nya.
2.      Perlunya nama-nama itu diajarkan Allah kepada kita ialah agar nama-nama itu dapat kita pakai untuk berdo’a kepada-Nya yaitu tempat bermohon manusia.
3.      Menyebut, mempelajari, dan menghafalkan nama-nama Allah itu semuanya menjadi jaminan masuk surga.
4.      Asma’ul Husna dapat menghilangkan kesedihan, kesusahan, dan kepiluan hati.
5.      Menyebut nama Allah dengan susunan tertentu, “Bismillaahil ladzi laa yadhurru ma’asmihi syaiun fil-ardhi wa laa fis-samaa’i wa huwas sami’ul ‘aliim”, sebanyak 3 kali pada pagi, sore, dan malam hari dapat menghindaran diri dari segala macam bahaya. [1]


Apa itu Al-Maliku?
             المَلِكُ (Al-Maliku), artinya raja, pemilik. Berasal dari kata- يَمْلِكُ مُلْكًا مَلَكَةً مَمْلَكَةً "  مَلَكَ" , artinya memiliki.[2] Jadi, Al-Maliku artinya Allah Maha Raja, Allah Maha Memiliki semua yang ada dalam alam ini. Dia pula yang memerintah, mengatur, dan memelihara milik-Nya. Allah dapat berbuat sekehendak-Nya atas segala milik-NyaMalikul Mulki. Namun tidak terlepas dari sifat-sifat Allah lainnya, seperti Rahman-Nya, Rahim-Nya, Hakim-Nya, dan Adil-Nya.
Allah bukan sekedar memiliki seperti seorang manusia memiliki radio umpamanya, dimana sebuah radio dimilikinya dengan jalan membelinya atau  mendapat hadiah dari seorang lainnya. Ada juga kemungkinan radio itu dirakit atau dibuat sendiri, karena ada keahlian di bidngnya. Namun bahan-bahannya (suku cadangnya) tidak dapat dibuatnya dari tidak ada menjadi ada tanpa tersedia materinya. Berbeda dengan Allah, semua yang dimiliki (alam semesta) dibuat sendiri, menurut kehendak-Nya. Artinya, Allah memiliki dengan pengertian memiliki 100%.
Kata “Al-Malik” terdiri dari huruf-huruf Mim, Lam, Kaf yang rangkainnya mengandung makna kekuatan dan keshahihan. Kata itu pada mulanya berarti ikatan dan penguatan. Kata ini terulang di dalam Al-Qur’an sebanyak lima kali.
Al-Maliku lebih banyak diartikan “raja”, sedangkan Al-Maaliku diartinya “pemilik” adapun perbedaannya, seorang pemilik belum tentu raja, sebaliknya pemilikan seorang raja biasanya melebihi pemilikan pemilik yang bukan raja. Dan Allah adalah Raja sekaligus Pemilik.
Al-Maliku adalah merajai atau memerintah alam semesta ini dan hanya satu Raja saja yang ada, karena itu disebut Maha Raja. Sebagai contoh, seorang raja (manusia) memerintah sebuah negara dan itu pun terbatas waktunya, paling lama sebatas umurnya dan sesudah itu berpindah lagi ke tangan orang lain. Jika di Indonesia, contohnya adalah kerajaan Majapahit dan Sriwijaya yang hanya memerintah kerajaannya saja, dan tidak ada bandingnya dengan kerajaan yang dimiliki, dan yang dikuasai oleh Allah.[3]
Dalam Al-Qur’an tanda-tanda kepemilikan kerajaan adalah kehadiran banyak pihak kepada-Nya untuk bermohon agar dipenuhi kebutuhannya atau untuk menyampaikan persoalan-persoalan besar agar dapat tertanggulangi. Allah swt melukiskan betapa Dia Maha Kuasa  melayani kebutuhan makhluk-Nya. Firmannya:[4]
“Setiap yang di langit dan di bumi bermohon kepada-Nya. Setiap saat Dia dalam kesibukan (memenuhi kebutuhan mereka). (QS Ar-Rahman: 55-59)

Allah adalah Maha Raja di dunia dan akhirat, yaitu Raja yang sebenarnya dan yang sempura, sebagaimana firman Allah:
اللَّهُ المَلِكُ الحَقُّ لآ اِلَهَ اِلاَّ هُوَ رَبُّ العَرْشِ الكَرِيْمِ. (المؤمنون: 116) فَتَعَلَى
“Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenarnya, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Tuhan (yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia”. (Al-Mu’minun: 116)
“ Dan Maha Suci (Allah) yang Memiliki kerajaan di langit dan bumi, dan apa yang ada di antara keduanya; dan sisi-Nya lah ilmu tentang hari kiamat, dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan” (QS. Al-Zukhruf: 85)
Adapun ayat penegasan bahwa Dia adalah pemilik hari pembalasan atau hari kiamat dimana tak ada seorang pun yang berani membangkang , berbohong, atau mengingkari, bahkan berbicaara baik-baik pun harus seizin-Nya (QS. An-Nabaa’: 38), adalah:
مَالِكِ يَوْمِ الدِّيْنِ ( الفاتحة: 4)
“Pemilik hari pembalasan” (QS. Al-Fatihah: 4)
Semua yang ada di langit dan bumi tunduk dan patuh kepada Allah dan senantiasa bertasbih  kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَ  مَا فِي الاَرْضِ المَلِكِ القُدُّوْسِ العَزِيْزِ الحَكِيْمِ. (الجمعة: 1)
“Senantiasa bertasbih kepada Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Raja Yang Maha Suci, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Jumu’ah: 1)
Dalam ayat di atas dapat kita pahami, bahwa Allah itu benar-benar sebagai Raja Yang Maha Suci, Perkasa, dan Bijaksana. Hal ini tidak mungkin kita temukan pada seorang penguasa manapun.
Seperti apakah Raja yang mutlak itu?
Raja yang pada esensi dan sifat-sifat-Nya tidak membutuhkan wujud apapun, sementara setiap wujud membutuhkan Dia. Tidak ada yang dapat melepaskan diri dari Dia, apakah itu dalam esensinya atau sifat-sifatnya, keberadaannya, kelangsungan hidupnya, namun keberadaan setiap sesuatu itu adalah dari Dia, atau dari sesuatu yang berasal dari Dia, baik itu esensinya maupun sifat-sifatnya, sementara Dia terlepas dari segala sesuatu.[5]
مَلِكِ النَّاسِ (الاخلاص: 2)
“Raja manusia” (Q.S. Al-Ikhlas: 2)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah adalah raja bagi manusia, Dia menguasai dan menangani perintah dan larangan, anugerah dan pencabutan. Dan biasanya kerajaan terarah kepada manusia, tidak kepada barang yang sifatnya tidak dapat menerima perintah dan larangan.
Nasihat, makhluk tidak dapat dipandang sebagai benar-benar raja, karena dia tidak dapat melepaskan diri dari segala sesuatu. Dia akan selalu membutuhkan Allah swt. Namun, sepanjang bahwa mungkin bagi kita untuk bebas dari segala sesuatu, sementara segala sesuatu membutuhkan kita, maka kita bisa saja merasa sebagai raja.
Karena raja dikalanngan manusia adalah orang yang tidak diperintah oleh siapapun kecuali Allah swt, dan tidak membutuhkan apa-apa kecuali Allah swt. Dan dengan begitu dia memerintah kerajaannya sejauh tentara dan rakyatnya menaatinya.
Beginilh tingkat para nabi (semoga rahmat Allah selalu tercurah atas mereka semua), karena mereka tidak membutuhkan petunjuk menuju akhirat dari siapa pun kecuali dari Allah, sementara semua orang membutuhkan petunjuk mereka. 
Melalui sifat-sifat ini manusia menjadi dekat dengan sifat-sifat malaikat, dan melalui sifat-sifat ini pula manusia mendekati Allah swt. Martabat sebagai raja ini merupakan karunia untuk manusia dari Raja Sejati (Allah) yang kedaulatan-Nya tidak ada tandingannya.
Kesimpulan sekaligus Implemenstasinya dalam pendidikan?
Pendidikan adalah suatu lembaga yang memilki struktur pemerintahan baik tigkat nasional, daerah, sekolah dan lain sebagainya, atau bisa juga dikatakan mulai dari yang memegang/memangku jabatan/kekuasaan tertinggi sampai yang memegang kekuasaan terendah, seperti seorang siswa yang memegang tanggung jawab untuk mengatur kelasnya, semua itu disebut dengan penguasa.
Namun, kekuasaan, kepemilikan makhluk/ manusia tiada bandingnya dengan kekuasaan Allah sedikit pun. Allah swt berwenang penuh untuk melakukan apa saja terhadap yang dimiliki-Nya, Dia tidak dikecam atas apapun yang dilakukan-Nya, karena pertimbangan manusia pikiran manusia tidak dapat menjadi ukuran yang pasti terhadap perbuatan-perbuatan-Nya, “Dia tuhan tidak dituntut untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan-Nya, sedang mereka manusia dituntut”. (QS. Al-Anbiya’: 23).
Perlu digarisbawahi, bahwa seorang pemimpin, penguasa, raja (manusia), baik itu dalam pendidikan atau bidang lainnya dituntut untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan-Nya. Jadi, pemimpin harus memiliki rasa tanggung jawab.
Allah memiliki nama-nama sekaligus sifat-sifat yang baik, seperti Rahman-Nya, Rahim-Nya, dan Adl-Nya. Artinya, Allah memiliki sifat rahmat, Pengasih, Penyayang, dan Adil.
Manusia sebagai pemimpin juga harus memiliki rasa kasih dan sayang, dan juga adil. Seluruh makhluk di jagat raya ini butuh keadilan, mengagung-agungkan keadilan, mencari keadilan, inilah tuntutan manusia sebagai pemimpin harus bersikap adil (tanpa pandang bulu) kepada siapa saja.
Sa’ad Bin Ubadah (pemimpin terpandang di masa jahiliyah dan salah satu di antara 12 pemimpin Anshar yang terpilih dalam Bai’at Aqabah II) meriwayatkan 21 hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi Wasassala. Di antaranya, Nabi bersabda, “Tidak satupun di antara sepuluh orang amir (penguasa), melainkan ia akan menjumpai Allah dalam keadaan terbelenggu pada hari kiamat kelak. Dia tidak dibebaskan dari belenggu itu kecuali dengan keadilan.” (HR. Ahmad)[6]
Jabatan/kekuasaan bukanlah segalanya, karena kekuasaan dan kerajaan yang sesungguhnya hanyalah miliki Allah. Banyak manusia berlomba-lomba, mendamba-dambakan bahkan melakukan segala cara hanya untuk mencari atau mendapatkan kekuasaan. Mereka tidak sadar, bahwa kekuasaan di tangan manusia hanyalah sebagai cobaan dari Allah yang kelak akan diminta pertanggunjawaban.
Ada sebuah cerita, yakni ketika salah seorang penguasa berkata kepada seorang arif, “Mintalah apa yang engkau butuhkan?”. Sang arif menjawab, “Apakah kepadaku engkau berate demikian, padahal aku mempunyai dua orang hamba yang keduanya adalah  tuanmu?, “Siapa mereka?”, Tanya Sang Penguasa. “Mereka adalah ketamakan dan hawa nafsu. Keduanya telah ku kalahkan namun keduanya mengalahkanmu, keduanya pula telah aku kuasai tetapi keduanya menguasaimu”.
Pada era zaman modern ini, banyak penguasa yang tak layak dianggap sebagai pemimpin yang baik. Artinya, mereka hanya berorientasi pada kekuasaan saja, tidak memperdulikan rakyat. Berbeda jauh dengan Rasulullah sebagai teladan atau sahabat-sahabat Nabi yang mengutamakan kepentingan dan sangat memperdulikan kesejahteraan rakyat. Maka dari itu, akankah kita mengikuti jejak sosok pemimpin yang tamak tanpa kepekaan?
Allah yang menganugerahkkan kerajaan-Nya (di dunia ini) keepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia Maha Luas anugerah-Nya lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 247)
Nabi Muhammad saw adalah salah satu manusia yang dianugerahi kerajaan/kekuasan oleh Allah. Dia tidak membutuhkan petunjuk dari manusia melainkan hanya kepada Allah. Maka dari itu, dan Rasulullah adalah salah satu raja yang patut kita teladani, sebagai penerus bangsa dan khalifah yang baik dan benar di muka bumi ini.
Allah Pemilik dan Raja di langit dan bumi, apa yang ada di antara keduanya, juga di dunia dan akhirat.
AL-MALIKU
(MAHA RAJA)
Arti Al-Maliku itu sendiri sudah ter-maktub dalam pembahasan  sebelumnya, yakni pada pertanyaan “Apa itu Al-Maliku?”, mulai dari asal kata al-maliku, berupa kata kerja dan mashdarnya.
Kata “Malik” terulang dalam Al-Qur’an sebanyak lima kali, dua diantaranya dirangkaikan dengan kata “hak” dalam arti “pasti dan sempurna”, yakni firman-Nya pada QS. Thaha 20: 114 dan Al-Mukminun 23: 122. Memang, kerajaan Allah adalah yang sempurna dan hak, sedang raja atau kerajaan lainnya tidak demikian. Kerajaan Allah mencakup langit dan bumi.
Q.S. Thaha 20: 114
فَتَعَلَى اللَّهُ المَلِكُ الحَقُّ وَ لَا تَعْجَلْ بِالقُرْآنِ مَنْ قَبْلِ اَنْ يُقْضَى اِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْماً. (طه 20: 114)
“Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan janganlah engkau (Muhammad) tergesa-gesa (membaca) Al-Qur’an sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.”
Q.S. Al-Mukminun 23: 116
اللَّهُ المَلِكُ الحَقُّ لآ اِلَهَ اِلاَّ هُوَ رَبُّ العَرْشِ الكَرِيْمِ. (المؤمنون: 116) فَتَعَلَى
“Maka Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenarnya, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Tuhan (yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia”. (Al-Mukminun: 116)
Q.S. Az-Zukhruf 43:85
Maha Suci Allah yang milik-Nya kerajaan/kekuasaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya. Disisi-Nya pengetahuan tentang kiamat dan hanya kepada-Nya kamu dikembalikan.”
Seperti ayat-ayat yang sudah ditulis sebelumnya, bahwa Allah adalah Raja di atas raja, penguasa dan pemilik dunia, langit, apa yang ada diantara keduanya, juga pemilik hari pembalasan, dan akhirat. Dia adalah raja segalanya.
Menurut penulis sendiri, sebenarnya kata-kata Malik lebih dari lima kali disebut dalam Al-Qur’an, hanya saja bentuk kata Malik disitu berupa Al-Mulku, Al-Maaliku, dan Malakut, sehingga ada sedikit pergeseran arti atau makna. Seperti “Maaliki yaumiddin” yang artinya “Pemilik hari pembalasan”.
Implikasinya bagi diri sendiri:
Membahas tentang Al-Maliku yakni Allah adalah Maha Raja, menyadarkan diri ini betapa kecil di hadapan-Nya. Dia adalah Raja di atas segala Raja, milik-Nya segala apa yang ada di langit dan bumi, dan apa yang ada di antara keduanya. Jadi, apa yang patut dan pantas kita sombongkan, sedangkan apa yang kita makan, pakai, tempati, semua itu adalah milik-Nya.
Bahkan, Dia pemilik akhirat dan hari pembalasan. Apa yang sudah kita siapkan untuk mengahadapi hari pembalasan kelak? Sedangkan, kita terus lalai, bersombong-sombong dengan jabatan yang kita miliki.
Betapa Maha Pengasih dan Maha Penyayangnya Allah, tetap memberikan apa yan kita butuhkan walau kita sering melakukan dosa, melanggar perintah, dan melakukan larangan-Nya. Bahkan, jika kita ingin berbuat maksiat atau dosa pun Dia akan melihat. Kemana tempat yang ingin kita tempati? Sedangkan Timur dan Barat pun milik-Nya
Kita takut kepada penguasa seperti polisi, dosen, pemerintah atau pemimpin, tapi mengapa kita tidak takut kepada-Nya? Allah adalah sempurna dan hak, Dia menguasai dan memerintah kerajaan-Nya dengan Kasih dan Sayangnya, Adil dan Suci-Nya.        
Sebagai seorang mukmin, rakyat ataupun masyarakat, maka sudah seharusnya kita mematuhi ulil amri atau pemimpin di antara kita. Selagi ia masih berada di jalan yang benar. Karena Allah memberikan kerajaan/kekuasaan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki.
Dan sebagai calon pemimpin di masa yang akan datang, kita harus memerintah atau menjalankan amanah dengan penuh tanggungjawab, bijaksana, lemah lembut, penuh kasih dan sayang, dan sadar bahwasanya Allah dengan kehendak-Nya mudah mengambil kekuasaan-Nya kembali kapan saja Dia inginkan, karena itu semua adalah milik-Nya.
            Kita adalah makhluk yang penuh ketergantungan kepada-Nya, janganlah kita sombong, merasa hebat, apalagi menyakiti dan menindas orang lain dimana ia sama kedudukannya dengan kita yaitu manusia. 



















DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bey. 1994. Mengenal Tuhan. Surabaya: PT. Bina Ilmu
Munawwir, Warson. 1997. AL-MUNAWWIR Kamus Arab Indonesia. Surabaya: Pustaka Progresif.
Hasan, M. Ali. 1997. Memahami dan Meneladani Asmaul Husna. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Shihab, M. Quraish. 2005. MENYIKAP TABIR ILAHI Asma Al-Husna Dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Penerbit Lentera Hati.
Al-Ghazali.  1999. AL-ASMA’ AL-HUSNA Rahasia Nama-nama Indah Ilahi. Bandung: Penerbit Mizan.
Mursi, Syaikh Muhammad Sa’id. 2013. Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.





[1] Bey Arifin, Mengenal Tuhan, (Surabaya: Pt. Bina Ilmu, 1994), hlm. 290-295.
[2] Warson Munawwir, AL-MUNAWWIR Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progresif, 1997), hlm.
[3] M. Ali Hasan, Memahami dan Meneladani Asmaul Husna, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 62.
[4] M. Quraish Shihab, MENYIKAP TABIR ILAHI Asma Al-Husna Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati, 2005), hlm. 28.
[5] Al-Ghazali, AL-ASMA’ AL-HUSNA Rahasia Nama-nama Indah Ilahi, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), hlm. 77.
[6]Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2013) Hlm. 41

0 Comments:

Post a Comment