PEMBAHASAN
AL-MALIKU
Tiap-tiap sesuatu yang ada di bumi ini
mempunyai nama. Dan nama dari sesuatu itulah yang pertama-tama diajarkan Allah
kepada Adam, sesudah Allah menciptakan Adam. Seperti yang terkandung dalam
Surah Al-Baqarah: 31, “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda)
semuanya, kemudian Dia perlihatkan kepada malaikat, seraya berkata, “Sebutkan
kepada-Ku nama semua (benda) itu, jika kamu yang benar!”. Kadang-kadang
suatu benda memiliki 2, 3 atau lebih nama di dalam berbagai bahasa. Tiap-tiap
nama itu adalah sekedar nama saja. Tidak mempunyai pengaruh atau khasiat
apa-apa, sehingga pepatah Inggris mengatakan: “What’s a name?”. Dan
sering nama-nama itu tidak sesuai dengan yang diberi nama. Seseorang yang
bernama Arifin yang berarti “orang pintar” belum tentu pintar. Bumi yang
dikatakan besar dan luas saja sebenarnya kecil jika dibandingkan dengan
matahari.
Allah yang menciptakan seluruh alam ini pun
mempunyai nama. Bukan hanya satu nama, tetapi banyak nama. Nama-nama Allah yang
banyak itu di dalam Al-Qur’an disebut Al-Asmaul Husna. Artinya: Nama-nama yang
bagus, nama-nama yang baik. Yaitu nama-nama yang 100% sesuai dengan yang
mempunyai nama-nama itu.
Tuhan (Allah) dinamai dengan Ar-Rahman yang
artinya Maha Pengasih, Ar-Rahim yang artinya Maha Penyayang. Begitu juga dengan
nama-nama-Nya yang lain seperti Al-Qaadir (Yang Maha Kuasa), Al-‘Aliim (Yang Maha
Mengetahui), termasuk Al-Malik yang artinya Maha Raja.
Namun makalah ini akan focus pada pembahasan salah satu Nama Allah, yakni Al-Malik (Maha Raja). Agar
tertancap dalam hati kita, siapa hakikatnya Raja di atas raja, Maha Raja yang
tiada bandingو tandingو dan serupa dengan-Nya.
Sebelum
membahas Nama Allah yakni Al-Malik. Ada banyak pendapat ulama mengenai
jumlah Nama Allah. Ada yang mengatakan jumlah nama-nama Allah ada 99, ada yang
mengatakan 100, seribu atau lebih. Diantara
Nama-nama Allah yang paling banyak disebut dalam Al-Qur’an adalah “Allah”,
yaitu 2696 kali. Yang terpenting bagi kita bukanlah megetahui jumlahnya tetapi
megetahui semua nama-nama itu, memahami dan menyadari, menghafalkan dan
menyebutnya. Sebab menyebut Nama-nama Allah itu dengan paham dan yakin,
mempunyai pengaruh dan manfaat yang hebat dan besar sekali bagi kita.
Surah Al- A’raf :
180
“Allah mempunyai nama-nama yang
baik, maka serulah Dia dengan nama-nama itu; dan biarkanlah orang yang kufur
tentang nama-nama-Nya itu. Mereka akan dibalas menurut apa yang mereka
lakukan.”
Sabda Rasulullah SAW:
“Nama-nama Allah Yang Baik itu,
kita disuruh berdo’a dengannya dan barangsiapa yang menghafalkannya masuk surga.”
“Sesungguhnya
Allah mempunyai 99 nama, yaitu seratus kurang satu; siapa yang menghafalkannya
akan masuk surga, sesungguhnya Allah itu witr (tidak genap) Ia menyukai witr.” Hadits ini diriwayatkan oleh
Baihaqi dan lain-lain.
Masih banyak
hadits dan ayat Al-Qur’an yang membahas tentang nama-nama Allah. Namun ada beberapa
poin penting yang harus kita ketahui, yakni:
1. Allah mempunyai 99 nama
atau lebih, dan setiap nama Allah disebut Asma’ul Husna, yaitu nama-nama yang
baik, dan yang sesuai dengan-Nya.
2. Perlunya nama-nama itu
diajarkan Allah kepada kita ialah agar nama-nama itu dapat kita pakai untuk
berdo’a kepada-Nya yaitu tempat bermohon manusia.
3. Menyebut, mempelajari,
dan menghafalkan nama-nama Allah itu semuanya menjadi jaminan masuk surga.
4. Asma’ul Husna dapat
menghilangkan kesedihan, kesusahan, dan kepiluan hati.
5. Menyebut nama Allah
dengan susunan tertentu, “Bismillaahil ladzi laa yadhurru ma’asmihi syaiun
fil-ardhi wa laa fis-samaa’i wa huwas sami’ul ‘aliim”, sebanyak 3 kali pada
pagi, sore, dan malam hari dapat menghindaran diri dari segala macam bahaya. [1]
Apa itu Al-Maliku?
المَلِكُ (Al-Maliku), artinya raja, pemilik.
Berasal dari kata-
يَمْلِكُ مُلْكًا مَلَكَةً مَمْلَكَةً " مَلَكَ" , artinya
memiliki.[2]
Jadi, Al-Maliku artinya Allah Maha Raja, Allah Maha Memiliki semua yang ada
dalam alam ini. Dia pula yang memerintah, mengatur, dan memelihara milik-Nya. Allah
dapat berbuat sekehendak-Nya atas segala milik-Nya “ Malikul Mulki”. Namun tidak terlepas dari sifat-sifat Allah lainnya, seperti
Rahman-Nya, Rahim-Nya, Hakim-Nya, dan Adil-Nya.
Allah bukan sekedar
memiliki seperti seorang
manusia memiliki radio umpamanya, dimana sebuah radio dimilikinya dengan jalan
membelinya atau mendapat hadiah dari
seorang lainnya. Ada juga kemungkinan
radio itu dirakit atau dibuat sendiri, karena ada keahlian di bidngnya. Namun
bahan-bahannya (suku cadangnya) tidak dapat dibuatnya dari tidak ada menjadi
ada tanpa tersedia materinya. Berbeda dengan Allah, semua yang dimiliki (alam
semesta) dibuat sendiri, menurut kehendak-Nya. Artinya, Allah memiliki dengan
pengertian memiliki 100%.
Kata “Al-Malik”
terdiri dari huruf-huruf Mim, Lam, Kaf yang rangkainnya mengandung makna
kekuatan dan keshahihan. Kata itu pada mulanya berarti ikatan dan penguatan.
Kata ini terulang di dalam Al-Qur’an sebanyak lima kali.
Al-Maliku lebih banyak diartikan “raja”, sedangkan Al-Maaliku diartinya
“pemilik” adapun perbedaannya, seorang pemilik belum tentu raja, sebaliknya
pemilikan seorang raja biasanya melebihi pemilikan pemilik yang bukan raja. Dan
Allah adalah Raja sekaligus Pemilik.
Al-Maliku adalah merajai atau memerintah alam semesta ini dan hanya satu Raja saja
yang ada, karena itu disebut Maha Raja. Sebagai contoh, seorang raja (manusia) memerintah
sebuah negara dan itu pun terbatas waktunya, paling lama sebatas umurnya dan
sesudah itu berpindah lagi ke tangan orang lain. Jika di Indonesia, contohnya
adalah kerajaan Majapahit dan Sriwijaya yang hanya memerintah kerajaannya saja,
dan tidak ada bandingnya dengan kerajaan yang dimiliki, dan yang dikuasai oleh
Allah.[3]
Dalam Al-Qur’an tanda-tanda kepemilikan
kerajaan adalah kehadiran banyak pihak kepada-Nya untuk bermohon agar
dipenuhi kebutuhannya atau untuk menyampaikan persoalan-persoalan besar agar
dapat tertanggulangi. Allah swt melukiskan betapa Dia Maha Kuasa melayani kebutuhan makhluk-Nya. Firmannya:[4]
“Setiap yang di langit dan di bumi
bermohon kepada-Nya. Setiap saat Dia dalam kesibukan (memenuhi kebutuhan
mereka). (QS Ar-Rahman: 55-59)
Allah adalah
Maha Raja di dunia dan akhirat, yaitu Raja yang sebenarnya dan yang
sempura, sebagaimana firman
Allah:
اللَّهُ المَلِكُ الحَقُّ لآ اِلَهَ اِلاَّ هُوَ
رَبُّ العَرْشِ الكَرِيْمِ. (المؤمنون: 116) فَتَعَلَى
“Maka Maha Tinggi Allah, Raja
yang sebenarnya, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Dia. Tuhan (yang
mempunyai) ‘Arsy yang mulia”.
(Al-Mu’minun: 116)
“ Dan Maha
Suci (Allah) yang Memiliki kerajaan di langit dan bumi, dan apa yang ada di
antara keduanya; dan sisi-Nya lah ilmu tentang hari kiamat, dan hanya
kepada-Nya lah kamu dikembalikan” (QS.
Al-Zukhruf: 85)
Adapun ayat
penegasan bahwa Dia adalah pemilik hari pembalasan atau hari kiamat dimana tak
ada seorang pun yang berani membangkang , berbohong, atau mengingkari, bahkan
berbicaara baik-baik pun harus seizin-Nya (QS. An-Nabaa’: 38), adalah:
مَالِكِ
يَوْمِ الدِّيْنِ ( الفاتحة: 4)
“Pemilik
hari pembalasan” (QS. Al-Fatihah: 4)
Semua yang ada
di langit dan bumi tunduk dan patuh kepada Allah dan senantiasa bertasbih kepada-Nya, sebagaimana firman-Nya:
يُسَبِّحُ لِلَّهِ مَا فِي
السَّمَاوَاتِ وَ مَا فِي الاَرْضِ
المَلِكِ القُدُّوْسِ العَزِيْزِ الحَكِيْمِ. (الجمعة: 1)
“Senantiasa bertasbih kepada
Allah apa yang ada di langit dan yang ada di bumi. Raja Yang Maha Suci, Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”. (Al-Jumu’ah:
1)
Dalam ayat di
atas dapat kita pahami, bahwa Allah itu benar-benar sebagai Raja Yang
Maha Suci, Perkasa, dan Bijaksana. Hal ini tidak mungkin kita temukan pada
seorang penguasa manapun.
Seperti apakah
Raja yang mutlak itu?
Raja yang pada
esensi dan sifat-sifat-Nya tidak membutuhkan wujud apapun, sementara setiap wujud membutuhkan Dia. Tidak ada yang dapat melepaskan diri dari Dia,
apakah itu dalam esensinya atau sifat-sifatnya, keberadaannya, kelangsungan
hidupnya, namun keberadaan setiap sesuatu itu adalah dari Dia, atau dari
sesuatu yang berasal dari Dia, baik itu esensinya maupun sifat-sifatnya,
sementara Dia terlepas dari segala sesuatu.[5]
مَلِكِ النَّاسِ (الاخلاص: 2)
“Raja manusia” (Q.S. Al-Ikhlas: 2)
Ayat ini menjelaskan bahwa Allah adalah raja
bagi manusia, Dia menguasai dan menangani perintah dan larangan, anugerah dan
pencabutan. Dan biasanya kerajaan terarah kepada manusia, tidak kepada barang
yang sifatnya tidak dapat menerima perintah dan larangan.
Nasihat, makhluk tidak dapat dipandang sebagai benar-benar raja, karena dia tidak
dapat melepaskan diri dari segala sesuatu. Dia akan selalu membutuhkan Allah
swt. Namun, sepanjang bahwa mungkin bagi kita untuk bebas dari segala sesuatu,
sementara segala sesuatu membutuhkan kita, maka kita bisa saja merasa sebagai
raja.
Karena raja
dikalanngan manusia adalah orang yang tidak diperintah oleh siapapun kecuali
Allah swt, dan tidak membutuhkan apa-apa kecuali Allah swt. Dan dengan begitu
dia memerintah kerajaannya sejauh tentara dan rakyatnya menaatinya.
Beginilh
tingkat para nabi (semoga rahmat Allah selalu tercurah atas mereka semua),
karena mereka tidak membutuhkan petunjuk menuju akhirat dari siapa pun kecuali
dari Allah, sementara semua orang membutuhkan petunjuk mereka.
Melalui
sifat-sifat ini manusia menjadi dekat dengan sifat-sifat malaikat, dan melalui
sifat-sifat ini pula manusia mendekati Allah swt. Martabat sebagai raja ini
merupakan karunia untuk manusia dari Raja Sejati (Allah) yang kedaulatan-Nya
tidak ada tandingannya.
Kesimpulan sekaligus Implemenstasinya dalam pendidikan?
Pendidikan adalah suatu lembaga yang memilki
struktur pemerintahan baik tigkat nasional, daerah, sekolah dan lain
sebagainya, atau bisa juga dikatakan mulai dari yang memegang/memangku
jabatan/kekuasaan tertinggi sampai yang memegang kekuasaan terendah, seperti seorang
siswa yang memegang tanggung jawab untuk mengatur kelasnya, semua itu disebut
dengan penguasa.
Namun, kekuasaan, kepemilikan makhluk/ manusia
tiada bandingnya dengan kekuasaan Allah sedikit pun. Allah swt berwenang penuh
untuk melakukan apa saja terhadap yang dimiliki-Nya, Dia tidak dikecam atas
apapun yang dilakukan-Nya, karena pertimbangan manusia pikiran manusia tidak
dapat menjadi ukuran yang pasti terhadap perbuatan-perbuatan-Nya, “Dia tuhan
tidak dituntut untuk mempertanggungjawabkan apa yang dilakukan-Nya, sedang
mereka manusia dituntut”. (QS. Al-Anbiya’: 23).
Perlu digarisbawahi, bahwa seorang pemimpin,
penguasa, raja (manusia), baik itu dalam pendidikan atau bidang lainnya
dituntut untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan-Nya. Jadi, pemimpin
harus memiliki rasa tanggung jawab.
Allah memiliki nama-nama sekaligus sifat-sifat
yang baik, seperti Rahman-Nya, Rahim-Nya, dan Adl-Nya. Artinya, Allah memiliki
sifat rahmat, Pengasih, Penyayang, dan Adil.
Manusia sebagai pemimpin juga harus memiliki
rasa kasih dan sayang, dan juga adil. Seluruh makhluk di jagat raya ini butuh
keadilan, mengagung-agungkan keadilan, mencari keadilan, inilah tuntutan
manusia sebagai pemimpin harus bersikap adil (tanpa pandang bulu) kepada siapa saja.
Sa’ad Bin Ubadah (pemimpin terpandang di masa
jahiliyah dan salah satu di antara 12 pemimpin Anshar yang terpilih dalam
Bai’at Aqabah II) meriwayatkan 21 hadits dari Nabi Shallallahu Alaihi
Wasassala. Di antaranya, Nabi bersabda, “Tidak satupun di antara sepuluh
orang amir (penguasa), melainkan ia akan menjumpai Allah dalam keadaan terbelenggu
pada hari kiamat kelak. Dia tidak dibebaskan dari belenggu itu kecuali dengan
keadilan.” (HR. Ahmad)[6]
Jabatan/kekuasaan bukanlah segalanya, karena
kekuasaan dan kerajaan yang sesungguhnya hanyalah miliki Allah. Banyak manusia
berlomba-lomba, mendamba-dambakan bahkan melakukan segala cara hanya untuk
mencari atau mendapatkan kekuasaan. Mereka tidak sadar, bahwa kekuasaan di
tangan manusia hanyalah sebagai cobaan dari Allah yang kelak akan diminta
pertanggunjawaban.
Ada sebuah cerita, yakni ketika salah seorang
penguasa berkata kepada seorang arif, “Mintalah apa yang engkau butuhkan?”.
Sang arif menjawab, “Apakah kepadaku engkau berate demikian, padahal aku
mempunyai dua orang hamba yang keduanya adalah
tuanmu?, “Siapa mereka?”, Tanya Sang Penguasa. “Mereka adalah
ketamakan dan hawa nafsu. Keduanya telah ku kalahkan namun keduanya
mengalahkanmu, keduanya pula telah aku kuasai tetapi keduanya menguasaimu”.
Pada era zaman modern ini, banyak penguasa
yang tak layak dianggap sebagai pemimpin yang baik. Artinya, mereka hanya
berorientasi pada kekuasaan saja, tidak memperdulikan rakyat. Berbeda jauh
dengan Rasulullah sebagai teladan atau sahabat-sahabat Nabi yang mengutamakan
kepentingan dan sangat memperdulikan kesejahteraan rakyat. Maka dari itu, akankah
kita mengikuti jejak sosok pemimpin yang tamak tanpa kepekaan?
“Allah yang menganugerahkkan kerajaan-Nya
(di dunia ini) keepada siapa yang Dia kehendaki dan Dia Maha Luas anugerah-Nya
lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 247)
Nabi Muhammad saw adalah salah satu manusia
yang dianugerahi kerajaan/kekuasan oleh Allah. Dia tidak membutuhkan petunjuk
dari manusia melainkan hanya kepada Allah. Maka dari itu, dan Rasulullah adalah
salah satu raja yang patut kita teladani, sebagai penerus bangsa dan khalifah
yang baik dan benar di muka bumi ini.
Allah Pemilik dan Raja di langit dan bumi, apa
yang ada di antara keduanya, juga di dunia dan akhirat.
AL-MALIKU
(MAHA RAJA)
Arti Al-Maliku itu sendiri sudah
ter-maktub dalam pembahasan sebelumnya, yakni pada pertanyaan “Apa itu
Al-Maliku?”, mulai dari asal kata al-maliku, berupa kata kerja dan mashdarnya.
Kata “Malik” terulang dalam Al-Qur’an sebanyak
lima kali, dua diantaranya dirangkaikan dengan kata “hak” dalam arti “pasti dan
sempurna”, yakni firman-Nya pada QS. Thaha 20: 114 dan Al-Mukminun 23: 122.
Memang, kerajaan Allah adalah yang sempurna dan hak, sedang raja atau kerajaan
lainnya tidak demikian. Kerajaan Allah mencakup langit dan bumi.
Q.S. Thaha 20: 114
فَتَعَلَى اللَّهُ المَلِكُ الحَقُّ وَ لَا تَعْجَلْ بِالقُرْآنِ
مَنْ قَبْلِ اَنْ يُقْضَى اِلَيْكَ وَحْيُهُ وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْماً. (طه 20: 114)
“Maka
Maha Tinggi Allah, Raja yang sebenar-benarnya. Dan janganlah engkau (Muhammad)
tergesa-gesa (membaca) Al-Qur’an sebelum selesai diwahyukan kepadamu, dan
katakanlah, “Ya Tuhanku, tambahkanlah ilmu kepadaku.”
Q.S.
Al-Mukminun 23: 116
اللَّهُ المَلِكُ الحَقُّ لآ اِلَهَ اِلاَّ
هُوَ رَبُّ العَرْشِ الكَرِيْمِ. (المؤمنون: 116) فَتَعَلَى
“Maka Maha
Tinggi Allah, Raja yang sebenarnya, tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain
Dia. Tuhan (yang mempunyai) ‘Arsy yang mulia”. (Al-Mukminun: 116)
Q.S. Az-Zukhruf 43:85
“Maha Suci Allah
yang milik-Nya kerajaan/kekuasaan langit dan bumi dan apa yang ada diantara
keduanya. Disisi-Nya pengetahuan tentang kiamat dan hanya kepada-Nya kamu
dikembalikan.”
Seperti ayat-ayat yang
sudah ditulis sebelumnya, bahwa Allah adalah Raja di atas raja, penguasa dan
pemilik dunia, langit, apa yang ada diantara keduanya, juga pemilik hari
pembalasan, dan akhirat. Dia adalah raja segalanya.
Menurut penulis
sendiri, sebenarnya kata-kata Malik lebih dari lima kali disebut dalam
Al-Qur’an, hanya saja bentuk kata Malik disitu berupa Al-Mulku, Al-Maaliku, dan
Malakut, sehingga ada sedikit pergeseran arti atau makna. Seperti “Maaliki
yaumiddin” yang artinya “Pemilik hari pembalasan”.
Implikasinya bagi diri sendiri:
Membahas tentang
Al-Maliku yakni Allah adalah Maha Raja, menyadarkan diri ini betapa kecil di
hadapan-Nya. Dia adalah Raja di atas segala Raja, milik-Nya segala apa yang ada
di langit dan bumi, dan apa yang ada di antara keduanya. Jadi, apa yang patut
dan pantas kita sombongkan, sedangkan apa yang kita makan, pakai, tempati,
semua itu adalah milik-Nya.
Bahkan, Dia pemilik
akhirat dan hari pembalasan. Apa yang sudah kita siapkan untuk mengahadapi hari
pembalasan kelak? Sedangkan, kita terus lalai, bersombong-sombong dengan
jabatan yang kita miliki.
Betapa Maha Pengasih
dan Maha Penyayangnya Allah, tetap memberikan apa yan kita butuhkan walau kita
sering melakukan dosa, melanggar perintah, dan melakukan larangan-Nya. Bahkan,
jika kita ingin berbuat maksiat atau dosa pun Dia akan melihat. Kemana tempat
yang ingin kita tempati? Sedangkan Timur dan Barat pun milik-Nya
Kita takut kepada
penguasa seperti polisi, dosen, pemerintah atau pemimpin, tapi mengapa kita
tidak takut kepada-Nya? Allah adalah sempurna dan hak, Dia menguasai dan
memerintah kerajaan-Nya dengan Kasih dan Sayangnya, Adil dan Suci-Nya.
Sebagai seorang
mukmin, rakyat ataupun masyarakat, maka sudah seharusnya kita mematuhi ulil
amri atau pemimpin di antara kita. Selagi ia masih berada di jalan yang benar.
Karena Allah memberikan kerajaan/kekuasaan-Nya bagi siapa yang Dia kehendaki.
Dan sebagai calon
pemimpin di masa yang akan datang, kita harus memerintah atau menjalankan
amanah dengan penuh tanggungjawab, bijaksana, lemah lembut, penuh kasih dan sayang,
dan sadar bahwasanya Allah dengan kehendak-Nya mudah mengambil kekuasaan-Nya
kembali kapan saja Dia inginkan, karena itu semua adalah milik-Nya.
Kita
adalah makhluk yang penuh ketergantungan kepada-Nya, janganlah kita sombong,
merasa hebat, apalagi menyakiti dan menindas orang lain dimana ia sama
kedudukannya dengan kita yaitu manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Bey. 1994. Mengenal Tuhan. Surabaya: PT. Bina Ilmu
Munawwir, Warson. 1997. AL-MUNAWWIR Kamus Arab Indonesia. Surabaya:
Pustaka Progresif.
Hasan, M. Ali. 1997. Memahami dan Meneladani Asmaul Husna. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Shihab, M. Quraish. 2005. MENYIKAP TABIR ILAHI Asma Al-Husna
Dalam Perspektif Al-Qur’an. Jakarta: Penerbit Lentera Hati.
Al-Ghazali. 1999. AL-ASMA’
AL-HUSNA Rahasia Nama-nama Indah Ilahi. Bandung: Penerbit Mizan.
Mursi, Syaikh Muhammad Sa’id. 2013. Tokoh-tokoh Besar Islam
Sepanjang Sejarah. Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar.
[3] M. Ali Hasan, Memahami dan Meneladani
Asmaul Husna, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 62.
[4] M. Quraish Shihab, MENYIKAP TABIR ILAHI
Asma Al-Husna Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Penerbit Lentera Hati,
2005), hlm. 28.
[5] Al-Ghazali, AL-ASMA’ AL-HUSNA Rahasia
Nama-nama Indah Ilahi, (Bandung: Penerbit Mizan, 1999), hlm. 77.
[6]Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Tokoh-tokoh
Besar Islam Sepanjang Sejarah, (Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2013)
Hlm. 41
0 Comments:
Post a Comment