Header Ads

23 December 2016

Akal dan Wahyu dalam Tauhid



Nama              : Risky Aviv Nugroho
NIM                : 13410079
Mata Kuliah  : Aqidah Akhlaq di Sekolah/Madrasah

Akal dan Wahyu dalam Tauhid
Sebelum kita mengetahui posisi atau keadaan akal dan wahyu ini didalam tauhid maka terlebih dulu kita harus mengetahui pengertiannya masing-masing. Beikut adalah penjelasannya
Akal
Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr. H. Harun Nasution dan kawan-kawan, Akal berasal dari kata Arab Al-Aql yang mengandung arti mengikat, menahan, memahami, dan bijaksana. Dalam pemahaman para ulama’, ia bukanlah daya yang dimiliki oleh otak, tapi merupakan daya jiwa (roh) yang berfungsi memahami atau mengetahui nilai-nilai etis (baik buruk) dan epistemologis (benar salah) serta berfungsi berdasarkan pemahaman itu mengikat, menahan, atau mengendalikan hawa nafsu sedemikian rupa, sehingga berhasil mengangkat manusia menjadi makhluk yang bijaksana.[1] Didalam buku yang lain yaitu “Akal dan Wahyu dalam Islam” Prof. Dr. H. Harun Nasution juga menjelaskan pengertian akal yang mengandung arti mengerti, memahami dan bepikir. Tetapi timbul pertanyaan apakah pegertian pemahaman dan pengertian dilakukan melalui akal yang berpusat dikepala? Dalam Al-Quran, dijelaskan pada surat Al-Hajj ayat 46 bahwa pengertian pemahaman dan pemikiran dilakukan melalui qolbu yang berpusat di dada[2] :
óOn=sùr& (#r玍šo Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷ètƒ !$pkÍ5 ÷rr& ×b#sŒ#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù Ÿw yJ÷ès? ㍻|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrߐÁ9$# ÇÍÏÈ
46.  Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj : 46)
Dalam ayat lain juga menjelaskan demikian :
ôs)s9ur $tRù&usŒ zO¨YygyfÏ9 #ZŽÏWŸ2 šÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ( öNçlm; Ò>qè=è% žw šcqßgs)øÿtƒ $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& žw tbrçŽÅÇö7ム$pkÍ5 öNçlm;ur ×b#sŒ#uä žw tbqãèuKó¡o !$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd @|Êr& 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè=Ïÿ»tóø9$# ÇÊÐÒÈ
179.  Dan Sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A’raaf : 179)
Ÿxsùr& tbr㍭/ytGtƒ šc#uäöà)ø9$# ôQr& 4n?tã A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ
24.  Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?( QS. Muhammad : 24)
Penjelasan serta ayat-ayat Al-Quran yang diberikan diatas tidak menyebut bahwa akal adalah daya pikir yang berpusat dikepala. Al-Aql malahan dikatakan sama dengan al-qalb yang berpusat di dada. Namun pengertian ini berbeda ketika kata al-aql masuk dalam filsafat islam dengan masuknya pengaruh falsafat yunani kedalam pemikiran islam beberapa tokoh seperti Al-Kindi dan Ibnu miskawaih memposisikan akal sebagai daya berpikir yang bepusat dikepala namun ini termasuk daya ketiga dari tiga daya yang terdapat dalam jiwa manusia menurut pengertian dari keduanya, yaitu daya bernafsu, daya berani dan daya berpikir. Sedangkan menurut kaum teolog islam akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Abu al-Huzail akal adalah “daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang membuat seseorang dapat membedakan antara dirinya dengan benda lain dan antara benda-benda satu dari yang lain.”[3]
Jadi akal dalam pengertian islam sebagaimana banyak yang dijelaskan dalam al-quran tidaklah otak, tetapi daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang sebagaimana digambarkan dalam alquran, memperoleh pengetahuan dengan memperhatikan sekitarnya.
Wahyu
Dalam bahasa arab kata ini di ungkapkan dengan dua istilah : wahy dan tanzil. Kata wahy berasal dari akar kata yang berarti “mengilhami” atau “memberikan informasi” yang mengisyaratkan sebuah sumber tuhan yang terdapat dibalik dunia ini dan diluar penerima. Sedangkan kata tanzil (“pengriman kebawah”, “penurunan”) secara khusus digunakan kaitannya dengan Al-Quran atau Wahyu lainnya yang diturunkan dari langit dalam bentuknya secara langsung.[4] Dalam referensi lain wahyu adalah isyarat yang cepat atau bisikan yang halus. Dalam istilah syara’ wahyu berarti firman (petunjuk) Allah yang disampaikan kepada anbiya’ (para nabi) dan awliya’(para wali, yaitu hamba Allah yang tulus yang tidak diangkat sebagai nabi). Dalam Al-Quran tercantum 15 bentuk kata yang berasal dari akar kata wahyu. Ternyata istilah wahyu (dalam berbagai bentuk katanya itu) digunakan secara universal (umum).[5] Wahyu Tuhan yang dianugerahkan pada manusia itu melalui tiga cara, yang sekaligus menunjukkan tingkat kualitas wahyu itu sendiri. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran :
* $tBur tb%x. AŽ|³u;Ï9 br& çmyJÏk=s3ムª!$# žwÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB Ç!#uur A>$pgÉo ÷rr& Ÿ@Åöãƒ Zwqßu zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøŒÎ*Î/ $tB âä!$t±o 4 ¼çm¯RÎ) ;Í?tã ÒOŠÅ6ym ÇÎÊÈ
51.  Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Asy-Syuura: 51)

[1347]  Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang terjadi kepada nabi Musa a.s.
Cara yang pertama yang disebut wahyu (dalam arti asalnya, yaitu dengan mengilhamkan suatu pengertian dalam hati, atau isyarat yang cepat, atau membisikan dalam hati). Jenis wahyu ini disebut dengan wahyu khafi (wahyu batin)  dan bisa dialami oleh para nabi dan bukan nabi.
Cara yang kedua ialah disebut dari balik tirai (min wara’ hijab).termasuk didalamnya ru’yat (impian), kasyf dan ilham. Ini bisa terjadi oleh nabi dan bukan nabi dan merupakan bentuk paling sederhana.
Cara yang ketiga adalah wahyu yang disampaikan oleh malaikat jibril dalam bentuk kata-kata. Wahyu yang ini merupakan wahyu yang paling yakin dan paling terang dan khusus dianugerahkan kepada para nabi.
Dengan turunnya Al-Quran, yang berfungsi sebagai penyempurna, pembuat terang, penjaga dan hakim bagi kitab-kitab sebelumnya, maka telah berakhirlah penurunan wahyu melalui malaikat jibril, sekaligus telah tertutuplah pintu wahyu jenis tertinggi itu. Meskipun demikian, karunia rohani dari Tuhan masih tetap diturunkan kepada manusia sampai berakhirnya kehidupan didunia ini. Yaitu melalui wahyu jenis lainnya (ilham, ru’yat atau kasyaf). Beberapa ayat lain akan dikemukakan tentang wahyu juga yang kemudian wahyu ini dikhususkan kepada para nabi saja, sedangkan konteks yang lain untuk yang selain nabi bukan wahyu namun dinamakan ilmham, ru’yat,dll.
ö@è% ¼çms9¨tR ßyrâ Ĩßà)ø9$# `ÏB šÎi/¢ Èd,ptø:$$Î/ |MÎm7s[ãÏ9 šúïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Yèdur 2tô±ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÊÉËÈ
102.  Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang Telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".(An-Nahl :102)
ö@è% `tB šc%x. #xrßtã Ÿ@ƒÎŽö9ÉfÏj9 ¼çm¯RÎ*sù ¼çms9¨tR 4n?tã y7Î6ù=s% ÈbøŒÎ*Î/ «!$# $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 šú÷üt/ Ïm÷ƒytƒ Yèdur 2uŽô³ç0ur tûüÏYÏB÷sßJù=Ï9 ÇÒÐÈ
97.  Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi musuh Jibril, Maka Jibril itu Telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (Al-Baqoroh : 97)
Dan Wahyu yang diturunkan kepada islam yang berupa al-Qur’an tidak hanya berupa isi namun teks arabnya juga sebagaimana yanag diterima nabi Muhammad saw. dari Jibril.maka kebenaran datanagnya Al-Quran dalam teks arabnya dari Tuhan adalah bersifat absolut (Qoth’i/pasti). Kalau dirubah susunan kata ataupun diganti kata dengan sinonimnya itu tidak lagi wahyu.dan itu sudah termasuk penafsiran dari ayat al Quran.
Akal dan Wahyu dalam Islam Perspektif Ilmu Tauhid
Islam berkembang dalam sejarah bukan hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang benar lahir dimakkah sebagai agama, namun kemudian menjadi negara di madinah, dan membesar ke damsyik hingga menjadi kekuatan politik internasional yang luas daerahnya sampai  tersebarluas ke seluruh dunia. Dalam perkembangan islam dari kedua aspeknya itu, akal memainkan peranan penting bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang agama sendiri. Dalam membahas masalah-masalah agama, ulama-ulama islam tidak semata berpegang pada wahyu, tetapi banyak pula bergantung pada pendapat akal.[6]
Dalam kajian ini dikhususkan pada bidang ilmu tauhid. Kedudukan akal dan wahyu dari perspektif beberaapa aliran tauhid yang ada. Kalau didalam ilmu fiqih peranan akal yang dipermasalahkan terletak pada hukum islam, berbeda halnya didalam ilmu tauhid, ini akan meningkat menjadi masalah akal dan wahyu. Polemik yang terjadi antara teologi-teologi islam terutama yang akan dibahas disini yaitu antara mu’tazilah disatu sisi, Asyariyah dan Maturidiyah disisi lain. Kemudian muncul pertanyaan yang kemudian diperdebatkan oleh aliran-aliran ini dan muncul berbagai perbedaan. Pertanyaan tersebut antara lain :
1.      Dapatkah akal mengetahui adanya Tuhan?
2.      Kalau ya, dapatkah akal mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan?
3.      Dapatkah akal mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat?
4.      Kalau ya, dapatkah akal mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan wajib baginya menjauhi yang jahat?
Kaum mu’tazilah menganggap ke empatnya dapat diketahui oleh akal, dan memposisikan akal ke derajat yang tinggi. Kemudian mu’tazilah memposisikan wahyu sebagai penjelas atas apa yang belum dapat dijangkau oleh akal. Jika dilihat dari banyaknya yang setuju akan akal dapat mengetahui ke empat pertanyaan tersebut maka kaum maturidiyah samarkand menjadi pendukung bagi mu’tazilah karena mereka memberi jawaban ada tiga yang dapat diketahui akal, dan hanya satu yaitu kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi yang jahat yang tidak dapat diketahui oleh akal.
Sedangkan  menurut kaum Asy’ariyah mengatakan bahwa akal hanya dapat mengetahui satu dari ke empat masalah itu, yaitu adanya Tuhan. Menurut penjelasan Al-Asy’ari sendiri semua kewajiban hanya dapat diketahui melalui wahyu.. ini kemudian dikuatkan oleh kaum maturidiyah bukhara yang tidak sepaham dengan Samarkand dalam hal ini. Bagi bukhara hanya pengetahuan-pengetahuanlah yang diketahui dengan akal yaitu adanya Tuhan dan kebaikan serta kejahatan. Adapun kewajiban-kewajiban, itu wahyulah yang menentukannya.
Kalau dikalsifikasikan disini ada dua pandangan, yang pertama yaitu menganggap daya pikir manusia adalah kuat yaitu mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand, yang kedua yaitu menganggap akal itu lemah yaitu kaum Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara.
Pandangan yang pertama memberi daya kuat bagi akal akan tetapi tidak mengesampingkan wahyu mereka tetap menggunakan wahyu. Dan menurut pendapat yang kedua yaitu Asy’ariyah dan Maturidiyah bukhara mereka memfungsikan wahyu lebih banyak dari pada akal. Karena hanya wahyulah yang dapat menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Dan wahyulah yang menentukan kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat. Bahkan akal tidak punya peranan dalam hal-hal ini. Sekiranya wahyu mengatakan berdusta itu baik, maka itu pasti baik. Dan jika berdusta diwajibkan Tuhan, maka ia akan bersifat wajb.
Penulis memberikan interpretasi pada kedua pandangan diatas, bahwasanya penulis menganggap akal tidak dapat didahulukan daripada wahyu. Akal bisa salah sedangkan wahyu dari Allah SWT. Bersifat Qoth’i (Absolut/Pasti benarnya) maka yang dapat menentukan baik,buruk dan jahat, mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan adalah wahyu. Akal hanya sebatas memahami dan memaknai apa yang ada pada wahyu kemudian diaktualisasikan melalui perbuatan dengan melaksanakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan degan memahami teks wahyu tersebut.





Fungsi serta Peran Akal dan Wahyu
Berdasarkan sumber dari bukunya Harun Nasution “Akal dan Wahyu dalam Islam” dan “Teologi Islam” dapat diklasifikasikan fungsi akal dan wahyu sebagai berikut :
Aliran
Fungsi Akal
Fungsi Wahyu
Mu’tazilah
1.   Mengetahui adanya Tuhan
2.   Kewajiban Mengetahui Tuhan
3.   Mengetahui Baik dan buruk
4.   Kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk

1.   Hanya sebagai alat untuk konfirmasi dan informasi atas apa yang di dapat melaui akal
Asy’ariyah
1.Untuk mengetahui adanya Tuhan 
2.  Kewajiban mengetahui adanya Tuhan
3.  Mengetahui baik Dan buruk
4.  Kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk

Maturidiyah Samarkand
1.     Untuk mengetahui adanya Tuhan 
2.     Kewajiban mengetahui adanya Tuhan
3.      Mengetahui baik Dan buruk
1.  Kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk
Maturidiyah Bukhara
1.    Untuk mengetahui adanya Tuhan 
2.    Mengetahui baik Dan buruk

1.  Kewajiban mengetahui adanya Tuhan
2.  Kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk


Adapun  Peran Akal dan Wahyu kalau dipandang menurut beberapa aliran diatas dapat dikatakan bahwa menurut mu’tazilah akal berperan sebagai pokok utama dalam mengetahui ke empat permasalahan yang sudah disebutkan diatas, dan wahyu hanya sebagai alat konfirmasi saja. Akal berperan lebih banyak bahkan seluruhnya dibandingkan wahyu dalam memahami empat permasalahan diatas. Aliran mu’tazilah juga didukung oleh aliran maturidiyah samarkand yang juga menempatkan peran akal lebih banyak daripada wahyu. Wahyu dalam aliran ini tidak dijadikan sumber patokan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas.
Sedangkan menurut aliran Asy’ariyah dan maturidiyah bukhara, peran akal tak lagi sebagai hal yang utama untuk mengetahui empat pertanyaan yang diajukan diatas, peran wahyu disini sangatlah urgent karena aliran ini menempatkan wahyu diatas akal. Menurut Asy’ariyah segala sesuatu itu hanya dapat diketahui melalui wahyu, kecuali satu yaitu mengetahui adanya Tuhan yang dapat diketahui oleh akal. Disini peran akal hanya sebagai alat untuk memahami isi teks wahyu.
Menurut pemahaman dan analisis penulis, fungsi akal adalah sebagai alat untuk mengetahui kebenaran yang terkandung dalam wahyu, jika terdapat kerancuan maka yang harus dikoreksi dan perlu dirubah adalah akal, karena akal tetaplah relatif sedangkan wahyu bersifat qoth’iyyul haqq karena wahyu merupakan firman Tuhan. Akal juga berfungsi sebagai alat dalam menangkap pesan dan semangat wahyu kalau dalam ajaran Islam berupa Al-Qur’an yang dijadikan sebagai acuan dalam mengatasi problematika manusia yang terjadi dalam bentuk ijtihad. Akal juga berfungsi untuk menjabarkan Wahyu yang sebagian ada yang bersifat mujmal dan yang kaitannya manusia sebagai khalifatullah untuk mengelola dan memakmurkan bumi seisinya.
Adapun fungsi wahyu yaitu, wahyu sebagai dasar dan sumber pokok kalau dalam konteks islam Al-qur’an sebagai dasar dan sumber pokok ajaran islam. Wahyu juga sebagai landasan etik, karena wahyu akan difungsikan bila akal difungsikan untuk memahami, maka akal digunakan sebagai alat untuk memahami islam (wahyu) itu harus dibimbing oleh wahyu itu sendiri agar pemahamannya benar. Akal tidak boleh menyimpang dari landasan etik yang diajarkan oleh wahyu.
Peran akal menurut penulis adalah hanya sebagai alat untuk memehami wahyu saja, sedangkan wahyu itu berperan sebagai sumber pokok ajaran agama. Jadi, akal dalam memahami wahyu harus berlandaskan pada wahyu itu sendiri tidak boleh menyimpang darinya. Wahyu harus ditempatkan diatas akal.


Daftar Pustaka
Nasution, Harun dkk. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Cyril Glasse. 1988. Ensiklopedi Islam Ringkas. Jakarta: PTRajaGrafindo.
Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press.
Nasution, Harun. 2012. Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI-Press.



       [1] Nasution, Harun dkk. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.hlm.95
       [2] Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press.hlm.7
       [3] Ibid.Hlm: 12
       [4] Cyril Glasse. 1988. Ensiklopedi Islam Ringkas. Jakarta: PTRajaGrafindo.hlm.428
       [5] Nasution, Harun dkk. 1992. Ensiklopedi Islam Indonesia. Jakarta: Djambatan.  Hlm.980
       [6] Nasution, Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press.hlm.71

0 Comments:

Post a Comment