Nama :
Risky Aviv Nugroho
NIM :
13410079
Mata
Kuliah : Aqidah Akhlaq di
Sekolah/Madrasah
Akal dan Wahyu dalam Tauhid
Sebelum kita
mengetahui posisi atau keadaan akal dan wahyu ini didalam tauhid maka terlebih
dulu kita harus mengetahui pengertiannya masing-masing. Beikut adalah
penjelasannya
Akal
Menurut
Ensiklopedi Islam Indonesia yang disusun oleh Prof. Dr. H. Harun Nasution dan
kawan-kawan, Akal berasal dari kata Arab Al-Aql yang mengandung arti mengikat,
menahan, memahami, dan bijaksana. Dalam pemahaman para ulama’, ia bukanlah daya
yang dimiliki oleh otak, tapi merupakan daya jiwa (roh) yang berfungsi memahami
atau mengetahui nilai-nilai etis (baik buruk) dan epistemologis (benar salah)
serta berfungsi berdasarkan pemahaman itu mengikat, menahan, atau mengendalikan
hawa nafsu sedemikian rupa, sehingga berhasil mengangkat manusia menjadi
makhluk yang bijaksana.[1]
Didalam buku yang lain yaitu “Akal dan Wahyu dalam Islam” Prof. Dr. H. Harun
Nasution juga menjelaskan pengertian akal yang mengandung arti mengerti,
memahami dan bepikir. Tetapi timbul pertanyaan apakah pegertian pemahaman dan
pengertian dilakukan melalui akal yang berpusat dikepala? Dalam Al-Quran,
dijelaskan pada surat Al-Hajj ayat 46 bahwa pengertian pemahaman dan pemikiran
dilakukan melalui qolbu yang berpusat di dada[2]
:
óOn=sùr& (#rçÅ¡o Îû ÇÚöF{$#
tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷èt
!$pkÍ5 ÷rr& ×b#s#uä
tbqãèyJó¡o
$pkÍ5
( $pk¨XÎ*sù w
yJ÷ès? ã»|Áö/F{$#
`Å3»s9ur
yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$#
ÓÉL©9$# Îû ÍrßÁ9$# ÇÍÏÈ
46. Maka apakah mereka
tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka
dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar?
Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati
yang di dalam dada. (Al-Hajj : 46)
Dalam ayat lain juga
menjelaskan demikian :
ôs)s9ur $tRù&us zO¨YygyfÏ9 #ZÏW2
ÆÏiB
Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ( öNçlm; Ò>qè=è% w
cqßgs)øÿt
$pkÍ5
öNçlm;ur
×ûãüôãr&
w
tbrçÅÇö7ã
$pkÍ5
öNçlm;ur
×b#s#uä
w
tbqãèuKó¡o
!$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd @|Êr& 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqè=Ïÿ»tóø9$#
ÇÊÐÒÈ
179. Dan Sesungguhnya
kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia,
mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat
Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat
(tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak
dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang
ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai.
(QS. Al-A’raaf : 179)
xsùr&
tbrã/ytGt c#uäöà)ø9$# ôQr& 4n?tã A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ
24. Maka apakah mereka
tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?( QS. Muhammad : 24)
Penjelasan serta
ayat-ayat Al-Quran yang diberikan diatas tidak menyebut bahwa akal adalah daya
pikir yang berpusat dikepala. Al-Aql malahan dikatakan sama dengan al-qalb yang
berpusat di dada. Namun pengertian ini berbeda ketika kata al-aql masuk dalam filsafat
islam dengan masuknya pengaruh falsafat yunani kedalam pemikiran islam beberapa
tokoh seperti Al-Kindi dan Ibnu miskawaih memposisikan akal sebagai daya
berpikir yang bepusat dikepala namun ini termasuk daya ketiga dari tiga daya
yang terdapat dalam jiwa manusia menurut pengertian dari keduanya, yaitu daya
bernafsu, daya berani dan daya berpikir. Sedangkan menurut kaum teolog islam
akal sebagai daya untuk memperoleh pengetahuan. Menurut Abu al-Huzail akal
adalah “daya untuk memperoleh pengetahuan, dan juga daya yang membuat seseorang
dapat membedakan antara dirinya dengan benda lain dan antara benda-benda satu
dari yang lain.”[3]
Jadi akal dalam
pengertian islam sebagaimana banyak yang dijelaskan dalam al-quran tidaklah
otak, tetapi daya berpikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya yang
sebagaimana digambarkan dalam alquran, memperoleh pengetahuan dengan
memperhatikan sekitarnya.
Wahyu
Dalam bahasa
arab kata ini di ungkapkan dengan dua istilah : wahy dan tanzil. Kata wahy
berasal dari akar kata yang berarti “mengilhami” atau “memberikan informasi”
yang mengisyaratkan sebuah sumber tuhan yang terdapat dibalik dunia ini dan
diluar penerima. Sedangkan kata tanzil (“pengriman kebawah”, “penurunan”)
secara khusus digunakan kaitannya dengan Al-Quran atau Wahyu lainnya yang
diturunkan dari langit dalam bentuknya secara langsung.[4]
Dalam referensi lain wahyu adalah isyarat yang cepat atau bisikan yang halus.
Dalam istilah syara’ wahyu berarti firman (petunjuk) Allah yang disampaikan
kepada anbiya’ (para nabi) dan awliya’(para wali, yaitu hamba Allah yang tulus
yang tidak diangkat sebagai nabi). Dalam Al-Quran tercantum 15 bentuk kata yang
berasal dari akar kata wahyu. Ternyata istilah wahyu (dalam berbagai bentuk
katanya itu) digunakan secara universal (umum).[5]
Wahyu Tuhan yang dianugerahkan pada manusia itu melalui tiga cara, yang
sekaligus menunjukkan tingkat kualitas wahyu itu sendiri. Sebagaimana
dijelaskan dalam al-Quran :
* $tBur
tb%x.
A|³u;Ï9
br& çmyJÏk=s3ã
ª!$# wÎ) $·ômur ÷rr& `ÏB Ç!#uur
A>$pgÉo ÷rr& @Åöã
Zwqßu zÓÇrqãsù ¾ÏmÏRøÎ*Î/
$tB âä!$t±o
4 ¼çm¯RÎ) ;Í?tã ÒOÅ6ym ÇÎÊÈ
51. Dan tidak mungkin
bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan
perantaraan wahyu atau dibelakang tabir[1347] atau dengan mengutus seorang
utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang dia
kehendaki. Sesungguhnya dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. (Asy-Syuura: 51)
[1347] Di belakang tabir artinya ialah seorang dapat
mendengar kalam Ilahi akan tetapi dia tidak dapat melihat-Nya seperti yang
terjadi kepada nabi Musa a.s.
Cara yang pertama yang
disebut wahyu (dalam arti asalnya, yaitu dengan mengilhamkan suatu pengertian
dalam hati, atau isyarat yang cepat, atau membisikan dalam hati). Jenis wahyu
ini disebut dengan wahyu khafi (wahyu batin)
dan bisa dialami oleh para nabi dan bukan nabi.
Cara yang kedua ialah disebut dari balik tirai (min wara’ hijab).termasuk didalamnya
ru’yat (impian), kasyf dan ilham. Ini bisa terjadi oleh nabi dan bukan nabi dan
merupakan bentuk paling sederhana.
Cara yang ketiga adalah wahyu yang disampaikan oleh
malaikat jibril dalam bentuk kata-kata. Wahyu yang ini merupakan wahyu yang
paling yakin dan paling terang dan khusus dianugerahkan kepada para nabi.
Dengan turunnya Al-Quran, yang berfungsi
sebagai penyempurna, pembuat terang, penjaga dan hakim bagi kitab-kitab
sebelumnya, maka telah berakhirlah penurunan wahyu melalui malaikat jibril,
sekaligus telah tertutuplah pintu wahyu jenis tertinggi itu. Meskipun demikian,
karunia rohani dari Tuhan masih tetap diturunkan kepada manusia sampai
berakhirnya kehidupan didunia ini. Yaitu melalui wahyu jenis lainnya (ilham,
ru’yat atau kasyaf). Beberapa ayat lain akan dikemukakan tentang wahyu juga
yang kemudian wahyu ini dikhususkan kepada para nabi saja, sedangkan konteks
yang lain untuk yang selain nabi bukan wahyu namun dinamakan ilmham, ru’yat,dll.
ö@è% ¼çms9¨tR ßyrâ
Ĩßà)ø9$# `ÏB Îi/¢ Èd,ptø:$$Î/
|MÎm7s[ãÏ9
úïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Yèdur 2tô±ç0ur tûüÏJÎ=ó¡ßJù=Ï9 ÇÊÉËÈ
102. Katakanlah: "Ruhul Qudus (Jibril)
menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang
yang Telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang
yang berserah diri (kepada Allah)".(An-Nahl :102)
ö@è% `tB c%x.
#xrßtã @Îö9ÉfÏj9 ¼çm¯RÎ*sù ¼çms9¨tR 4n?tã y7Î6ù=s%
ÈbøÎ*Î/
«!$# $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 ú÷üt/ Ïm÷yt
Yèdur 2uô³ç0ur tûüÏYÏB÷sßJù=Ï9 ÇÒÐÈ
97. Katakanlah: "Barang siapa yang menjadi
musuh Jibril, Maka Jibril itu Telah menurunkannya (Al Quran) ke dalam hatimu
dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi
petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman. (Al-Baqoroh : 97)
Dan Wahyu yang diturunkan kepada islam
yang berupa al-Qur’an tidak hanya berupa isi namun teks arabnya juga
sebagaimana yanag diterima nabi Muhammad saw. dari Jibril.maka kebenaran datanagnya
Al-Quran dalam teks arabnya dari Tuhan adalah bersifat absolut (Qoth’i/pasti).
Kalau dirubah susunan kata ataupun diganti kata dengan sinonimnya itu tidak
lagi wahyu.dan itu sudah termasuk penafsiran dari ayat al Quran.
Akal dan Wahyu dalam
Islam Perspektif Ilmu Tauhid
Islam berkembang dalam sejarah bukan
hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai kebudayaan. Islam memang benar lahir
dimakkah sebagai agama, namun kemudian menjadi negara di madinah, dan membesar
ke damsyik hingga menjadi kekuatan politik internasional yang luas daerahnya
sampai tersebarluas ke seluruh dunia.
Dalam perkembangan islam dari kedua aspeknya itu, akal memainkan peranan
penting bukan dalam bidang kebudayaan saja, tetapi juga dalam bidang agama
sendiri. Dalam membahas masalah-masalah agama, ulama-ulama islam tidak semata
berpegang pada wahyu, tetapi banyak pula bergantung pada pendapat akal.[6]
Dalam kajian ini dikhususkan pada bidang
ilmu tauhid. Kedudukan akal dan wahyu dari perspektif beberaapa aliran tauhid
yang ada. Kalau didalam ilmu fiqih peranan akal yang dipermasalahkan terletak
pada hukum islam, berbeda halnya didalam ilmu tauhid, ini akan meningkat
menjadi masalah akal dan wahyu. Polemik yang terjadi antara teologi-teologi
islam terutama yang akan dibahas disini yaitu antara mu’tazilah disatu sisi,
Asyariyah dan Maturidiyah disisi lain. Kemudian muncul pertanyaan yang kemudian
diperdebatkan oleh aliran-aliran ini dan muncul berbagai perbedaan. Pertanyaan
tersebut antara lain :
1. Dapatkah akal
mengetahui adanya Tuhan?
2. Kalau ya, dapatkah akal
mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan?
3. Dapatkah akal
mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat?
4. Kalau ya, dapatkah akal
mengetahui bahwa wajib bagi manusia berbuat baik dan wajib baginya menjauhi
yang jahat?
Kaum mu’tazilah menganggap ke empatnya dapat
diketahui oleh akal, dan memposisikan akal ke derajat yang tinggi. Kemudian
mu’tazilah memposisikan wahyu sebagai penjelas atas apa yang belum dapat
dijangkau oleh akal. Jika dilihat dari banyaknya yang setuju akan akal dapat
mengetahui ke empat pertanyaan tersebut maka kaum maturidiyah samarkand menjadi
pendukung bagi mu’tazilah karena mereka memberi jawaban ada tiga yang dapat
diketahui akal, dan hanya satu yaitu kewajiban berbuat baik dan kewajiban
menjauhi yang jahat yang tidak dapat diketahui oleh akal.
Sedangkan menurut kaum Asy’ariyah mengatakan bahwa akal
hanya dapat mengetahui satu dari ke empat masalah itu, yaitu adanya Tuhan.
Menurut penjelasan Al-Asy’ari sendiri semua kewajiban hanya dapat diketahui
melalui wahyu.. ini kemudian dikuatkan oleh kaum maturidiyah bukhara yang tidak
sepaham dengan Samarkand dalam hal ini. Bagi bukhara hanya
pengetahuan-pengetahuanlah yang diketahui dengan akal yaitu adanya Tuhan dan
kebaikan serta kejahatan. Adapun kewajiban-kewajiban, itu wahyulah yang
menentukannya.
Kalau dikalsifikasikan disini ada dua
pandangan, yang pertama yaitu menganggap daya pikir manusia adalah kuat yaitu
mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand, yang kedua yaitu menganggap akal itu
lemah yaitu kaum Asy’ariyah dan Maturidiyah Bukhara.
Pandangan yang pertama memberi daya kuat
bagi akal akan tetapi tidak mengesampingkan wahyu mereka tetap menggunakan
wahyu. Dan menurut pendapat yang kedua yaitu Asy’ariyah dan Maturidiyah bukhara
mereka memfungsikan wahyu lebih banyak dari pada akal. Karena hanya wahyulah
yang dapat menentukan perbuatan mana yang baik dan mana yang buruk. Dan
wahyulah yang menentukan kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi
perbuatan jahat. Bahkan akal tidak punya peranan dalam hal-hal ini. Sekiranya
wahyu mengatakan berdusta itu baik, maka itu pasti baik. Dan jika berdusta
diwajibkan Tuhan, maka ia akan bersifat wajb.
Penulis memberikan interpretasi pada
kedua pandangan diatas, bahwasanya penulis menganggap akal tidak dapat
didahulukan daripada wahyu. Akal bisa salah sedangkan wahyu dari Allah SWT.
Bersifat Qoth’i (Absolut/Pasti benarnya) maka yang dapat menentukan baik,buruk
dan jahat, mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan adalah
wahyu. Akal hanya sebatas memahami dan memaknai apa yang ada pada wahyu
kemudian diaktualisasikan melalui perbuatan dengan melaksanakan mana yang wajib
dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan degan memahami teks wahyu tersebut.
Fungsi serta Peran Akal
dan Wahyu
Berdasarkan
sumber dari bukunya Harun Nasution “Akal dan Wahyu dalam Islam” dan “Teologi
Islam” dapat diklasifikasikan fungsi akal dan wahyu sebagai berikut :
Aliran
|
Fungsi Akal
|
Fungsi Wahyu
|
Mu’tazilah
|
1. Mengetahui adanya Tuhan
2. Kewajiban Mengetahui Tuhan
3. Mengetahui Baik dan buruk
4. Kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk
|
1. Hanya
sebagai alat untuk konfirmasi dan informasi atas apa yang di dapat melaui
akal
|
Asy’ariyah
|
1.Untuk
mengetahui adanya Tuhan
|
2. Kewajiban mengetahui adanya Tuhan
3. Mengetahui baik Dan buruk
4. Kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk
|
Maturidiyah Samarkand
|
1. Untuk
mengetahui adanya Tuhan
2. Kewajiban mengetahui adanya Tuhan
3.
Mengetahui
baik Dan buruk
|
1. Kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk
|
Maturidiyah Bukhara
|
1. Untuk
mengetahui adanya Tuhan
2. Mengetahui baik Dan buruk
|
1. Kewajiban mengetahui adanya Tuhan
2. Kewajiban mengerjakan yang baik dan meninggalkan yang buruk
|
Adapun Peran Akal dan Wahyu kalau dipandang menurut
beberapa aliran diatas dapat dikatakan bahwa menurut mu’tazilah akal berperan
sebagai pokok utama dalam mengetahui ke empat permasalahan yang sudah
disebutkan diatas, dan wahyu hanya sebagai alat konfirmasi saja. Akal berperan
lebih banyak bahkan seluruhnya dibandingkan wahyu dalam memahami empat
permasalahan diatas. Aliran mu’tazilah juga didukung oleh aliran maturidiyah
samarkand yang juga menempatkan peran akal lebih banyak daripada wahyu. Wahyu
dalam aliran ini tidak dijadikan sumber patokan dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan diatas.
Sedangkan menurut
aliran Asy’ariyah dan maturidiyah bukhara, peran akal tak lagi sebagai hal yang
utama untuk mengetahui empat pertanyaan yang diajukan diatas, peran wahyu
disini sangatlah urgent karena aliran ini menempatkan wahyu diatas akal.
Menurut Asy’ariyah segala sesuatu itu hanya dapat diketahui melalui wahyu,
kecuali satu yaitu mengetahui adanya Tuhan yang dapat diketahui oleh akal.
Disini peran akal hanya sebagai alat untuk memahami isi teks wahyu.
Menurut pemahaman dan
analisis penulis, fungsi akal adalah sebagai alat untuk mengetahui kebenaran
yang terkandung dalam wahyu, jika terdapat kerancuan maka yang harus dikoreksi
dan perlu dirubah adalah akal, karena akal tetaplah relatif sedangkan wahyu
bersifat qoth’iyyul haqq karena wahyu merupakan firman Tuhan. Akal juga
berfungsi sebagai alat dalam menangkap pesan dan semangat wahyu kalau dalam
ajaran Islam berupa Al-Qur’an yang dijadikan sebagai acuan dalam mengatasi
problematika manusia yang terjadi dalam bentuk ijtihad. Akal juga berfungsi
untuk menjabarkan Wahyu yang sebagian ada yang bersifat mujmal dan yang
kaitannya manusia sebagai khalifatullah untuk mengelola dan memakmurkan bumi
seisinya.
Adapun fungsi wahyu
yaitu, wahyu sebagai dasar dan sumber pokok kalau dalam konteks islam Al-qur’an
sebagai dasar dan sumber pokok ajaran islam. Wahyu juga sebagai landasan etik,
karena wahyu akan difungsikan bila akal difungsikan untuk memahami, maka akal
digunakan sebagai alat untuk memahami islam (wahyu) itu harus dibimbing oleh
wahyu itu sendiri agar pemahamannya benar. Akal tidak boleh menyimpang dari
landasan etik yang diajarkan oleh wahyu.
Peran akal menurut
penulis adalah hanya sebagai alat untuk memehami wahyu saja, sedangkan wahyu
itu berperan sebagai sumber pokok ajaran agama. Jadi, akal dalam memahami wahyu
harus berlandaskan pada wahyu itu sendiri tidak boleh menyimpang darinya. Wahyu
harus ditempatkan diatas akal.
Daftar Pustaka
Nasution,
Harun dkk. 1992. Ensiklopedi Islam
Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Cyril Glasse. 1988. Ensiklopedi Islam Ringkas. Jakarta: PTRajaGrafindo.
Nasution,
Harun. 1986. Akal dan Wahyu dalam Islam.
Jakarta: UI-Press.
Nasution, Harun. 2012. Teologi Islam : Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan.
Jakarta: UI-Press.
0 Comments:
Post a Comment