Header Ads

23 December 2016

AQIDAH AKHLAK DAN NASIONALISME

AQIDAH AKHLAK DAN NASIONALISME
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Aqidah Akhlak
di Madrasah dan Sekolah
Dosen Pengampu : Dr. Sangkot Sirait, M. Ag
uinsuka
 










Oleh :
Siti Maryam
13410219

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2015
A.    Akidah Akhlak
1.      Pengertian Akidah
Akidah berasal dari kata عقد – يعقد – عقيدة yang berarti tali pengikat sesuatu dengan yang lain, sehingga menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam kajian Islam, akidah berarti tali pengikat batin manusia dengan yang diyakininya sebagai Tuhan Yang Maha Esa yang patut disembah dan Pencipta serta Pengatur alam semesta ini. Akidah adalah sebuah keyakinan yang tidak menerima keraguan dan bantahan. Jika dalam kepercayaan tersebut masih ada unsur keraguan dan kebimbangan maka tidak disebut akidah. Akidah harus kuat dan tidak ada kelemahan yang membuka celah untuk dibantah.[1]
Akidah adalah sesuatu yang dipercayai dan diyakini kebenarannya oleh hati manusia, dalam pembahasan ini penekanannya pada akidah Islam yaitu sesuatu yang dipercayai dan diyakini kebenarannya oleh hati manusia sesuai dengan ajaran Islam dengan berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits.
Adapun yang dimaksud dengan akidah Islam adalah pokok-pokok kepercayaan yang harus diyakini kebenarannya oleh setiap muslim berdasarkan dalil naqli dan aqli (nash dan akal). Dasar dari akidah Islam ini adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits. Ayat yang memuat kandungan akidah Islam antara lain dalam Q.S Al-Baqarah ayat 285:
z`tB#uä ãAqߧ9$# !$yJÎ/ tAÌRé& Ïmøs9Î) `ÏB ¾ÏmÎn/§ tbqãZÏB÷sßJø9$#ur 4 <@ä. z`tB#uä «!$$Î/ ¾ÏmÏFs3Í´¯»n=tBur ¾ÏmÎ7çFä.ur ¾Ï&Î#ßâur Ÿw ä-ÌhxÿçR šú÷üt/ 7ymr& `ÏiB ¾Ï&Î#ß 4 (#qä9$s%ur $uZ÷èÏJy $oY÷èsÛr&ur ( y7tR#tøÿäî $oY­/u šøs9Î)ur 玍ÅÁyJø9$# ÇËÑÎÈ
Artinya:
Rasul Telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami taat." (mereka berdoa): "Ampunilah kami Ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali."[2]
2.      Pengertian Akhlak
Kata akhlak berasal dari bahasa Arab khuluq, jamaknya khuluqun, secara bahasa artinya budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Kata akhlak mengandung segi-segi penyesuaian dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian serta erat hubungannya dengan Khaliq yang berarti Pencipta, dan makhluk yang berarti yang diciptakan. Pengertian akhlak tersebut memungkinkan adanya hubungan baik antara Khaliq dengan makhluk, dan sebaliknya. Perkataan ini dipetik dari kalimat yang tercantum dalam Al-Qur’an surah Al-Qalam ayat 4
y7¯RÎ)ur 4n?yès9 @,è=äz 5OŠÏàtã ÇÍÈ
Artinya:
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.

Demikian juga hadits Nabi Muhammad SAW
      بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ ﴿رواه أحمد
Artinya:
Aku diutus untuk menyempurnakan perangai (budi pekerti) yang mulia. (H.R Ahmad)

Adapun pengertian akhlak menurut ulama akhlak antara lain sebagai berikut :
a.       Ilmu akhlak adalah ilmu yang menentukan batas antara baik dan buruk, terpuji dan tercela, tetang perkataan atau perbuatan manusia, lahir dan batin.
b.      Ilmu akhlak adalah pengetahuan yang memberikan pengertian baik dan buruk, ilmu yang mengatur pergaulan manusia dan menentukan tujuan mereka yang terakhir dari seluruh usaha dan perbuatan mereka.
c.       Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menyatakan bahwa akhlak ialah daya kekuatan (sifat) yang tertanam dalam jiwa dan mendorong perbuatan-perbuatan spontan tana memerlukan pertimbangan pikiran.
Jadi, akhlak merupakan sikap yang melekat pada diri seseorang dan secara spontan diwujudkan dalam tingkah laku dan perbuatan. Jika tindakan spontan itu baik menurut pandangan akal dan agama, maka tindakan tersebut disebut akhlak yang baik (akhlakul karimah/akhlakul mahmudah). Sebaliknya, jika tindakan itu buruk maka disebut akhlakul madzmumah.[3]
3.      Hubungan Akidah dengan Akhlak
Akidah adalah gudang akhlak yang kokoh. Ia mampu untuk menciptakan kesadaran diri manusia untuk berpegang taguh kepada norma dan nilai-nilai akhlak yang luhur. Akhlak mendapatkan perhatian yang istimewa dalam Akidah Islam.
Islam menggabungkan antara agama yang hak dan akhlak. Menurut teori ini, agama menganjurkan setiap individu untuk berakhlak mulia dan menjadikannya sebagai kewajiban di atas pundaknya yang dapat mendatangkan pahala atau siksa baginya. Atas dasar ini, agama tidak mengutarakan wejangan-wejangan akhlak semata tanpa dibebani oleh rasa tanggung jawab. Bahkan, agama menganggap akhlak sebagai penyempurna ajaran-ajarannya. Karena agama tersusun dari keyakinan (akidah) dan perilaku. Akhlak menceminkan sisi perilaku tersebut.
Seseorang datang kepada Rasulullah SAW dari arah muka dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah agama itu?” Rasulullah SAW menjawab, “akhlak mulia”. Kemudian, laki-laki itu mendatangi beliau dari arah kiri dan bertanya, “apakah agama itu?” Beliau menjawab, “akhlak mulia.” Lalu, laki-laki itu mendatangi beliau dari arah kanan dan bertanya, “apakah agama itu?” “akhlak mulia”, jawab beliau untuk ketiga kalinya. Akhirnya, laki-laki itu mendatangi beliau dari arah belakang dan bertanya, “apakah agama itu?” Rasulullah SAW menoleh kepadanya dan bersabda, “apakah engkau tidak memahami agama? Agama adalah hendaknya engkau jangan suka marah.”
Oleh karena itu, akhlak dalam pandangan Islam harus berpijak pada keimanan. Iman tidak cukup hanya disimpan dalam hati, namun harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari dalam bentuk akhlak yang baik. Jadi, iman yang sempurna itu adalah iman yang dipraktikkan.
Dengan demikian, jelaslah bahwa akhlak yang baik merupakan mata rantai dari keimanan seseorang. Sebagai contoh, seseorang yang beriman akan merasa malu untuk melakukan kejahatan. Karena seperti ditegaskan oleh Nabi sendiri bahwa malu itu merupakan cabang keimanan. Sebaiknya, akhlak yang dipandang buruk adalah akhlak yang menyalahi prinsip-prinsip keimanan. Walaupun akhlak tersebut terlihat baik dilihat secara kasat mata, tetapi jika titik tolaknya bukan karena iman, hal itu tidak mendapatkan penilaian di sisi Allah.
Hubungan antara akidah dan akhlak ini tercermin dalam pernyataan Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a :
أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا.  عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِيْنَ ءِيْمَانًا
﴿رواه الترمذى
Artinya :
Dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Orang mukmin yang sempurna akhlanya adalah yang terbaik budi pekertinya. (H.R. At-Tirmizi)[4]

B.     Nasionalisme
1.      Pengertian
Secara etimologis, term nasionalisme berasal dari bahasa Latin natio yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran. Kata natio  ini berasal dari kata nascie yang berarti dilahirkan. Nasionalisme sendiri mengndung makna suatu sikap mental dimana loyalitas tertinggi dari individu adalah untuk negara-bangsa. Atau sikap politik dan sosial dari kelompok-kelompok suatu bangsa yang mempunyai kesamaan kebudayaan, bahasa, wilayah, serta kesamaan cita-cita dan tujuan, dan dengan demikian merasakan adanya kesetiaan yang mendalam terhadap bangsa. [5]
Sedangkan pengertian nasionalisme menurut para ahli antara lain:
1.    Hans Kohn
“Nasionalisme adalah suatu paham yang berendapat bahwa kesetiaan tertinggi individu harus diserahkan kepada negara kebangsaan”
2.    Nazaruddin Sjamsudin
“Nasionalisme adalah suatu konsep yang berpendapat bahwa kesetiaan individu diserahkan sepenuhnya kepada negara”
3.    Mahatma Gandhi
“Buat saya, maka cinta saya pada tanah air itu, masuklah dalam cinta pada segala manusia”
Menurut Sartono Kartodirjo, nasionalisme menuntut tetang kesatuan/unity, kebebasan/liberty, kesamaan/equality, demokrasi, kepribadian nasional serta prestasi kolektif. Jadi nasionalisme adalah suatu kesadaran untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa karena adanya kesamaan kepentingan, rasa senasib sepenanggungan dalam menghadapi masa lalu dan masa kini serta kesamaan pandangan, harapan, dan tujuan dalam merumuskan cita-cita masa depan bangsa. Untuk mewujudkan kesadaran tersebut dibutuhkan semangat patriot dan perikemanusiaan yang tinggi serta demokratisasi dan kebebasan berfikir sehingga akan mampu menumbuhkan semangat persatuan dalam masyarakat pluralis. [6]
Sebagai paham kebangsaan, nasionalisme mengandung prinsip nilai-nilai pendidikan sebagai berikut:
1.    Persatuan
Cinta tanah air berimplikasi pada setiap orang berkewajiban menjaga dan memelihara semua yang ada di atas tanah airnya, sehingga muncul kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa. Persatuan inilah yang menurut Bung Hatta sebagai prinsip nasionalisme yang pertama. Kemudian prinsip ini pula yang memotivasi bangsa Indonesia untuk bersatu padu dan berlomba-lomba memajukan Indonesia melalui nilai-nilai pendidikan.
2.    Pembebasan
 Nasionalisme merupakan pengakuan kemerdekaan perseorangan dari kekuasaan atau pembebasan manusia dari penindasan perbudakan. Nasionalisme dalam konteks inilah yang akan membangun segenap keadaan realitas manusia tertintas menuju manusia yang utuh. Ketertindasan yang berawal dari rendahnya daya pikir dan wawasan yang bermuara pada rendahnya kualitas pendidikan, hingga mudah dipecundangi oleh bangsa asing.
3.    Patriotisme
Patriotisme adalah semangat cinta tanah air, sikap seseorang yanng bersedia mengorbankan segala-galanya untuk kejayaan dan kemakmuran tanah airnya.[7]

Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang sejak awal anti kolonialisme dan anti imperialisme karena kolonialisme dan imperialisme inilah yang menghilangkan harga diri manusia ( the human dignity ). Pembentukan Indonesia sebagai nation selain faktor kesamaan geografis, bahasa, kohesivitas ekonomi, dan yang paling pokok adalah make up psikologis sebagai bangsa terjajah. Pengalaman penderitaan bersama sebagai kaum terjajah melahirkan semangat solidaritas sebagai satu komunitas yang harus bangkit dan hidup menjadi bangsa yang merdeka. Semangat tersebut oleh para pejuang dihidupi tidak hanya dalam batas waktu tertentu saja, tetapi terus menerus.
2.      Latar belakang munculnya nasionalisme
Nasionalisme muncul dan berkembang menjadi sebuah paham yang dijadikan sebagai landasan hidup bernegara, bermasyarakat, dan berbudaya dipegaruhi oleh kondisi histori dan dinamika sosio kultural yang ada di masing-masing negara.
Pada mulanya, unsur-unsur pokok nasionalisme itu terdiri atas persamaan-persamaan darah (keturunan), suku bangsa, daerah tempat tinggal, kepercayaan agama, bahasa dan kebudayaan. Nasionalisme akan muncul ketika suatu kelompok suku yang hidup di suatu wilayah tertentu dan masih berifat primordial berhadapan dengan manusia-manusia yang berasal dari luar wilayah kehidupan mereka. Lambat laun ada unsur tambahan, yaitu dengan adanya persamaan hak bagi setiap orang untuk memegang peranan dalam masyarakat (demokrasi politik dan demokrasi sosial) dan serta ada kepentingan persamaan ekonomi. Inilah yang dikenal dengan istilah nasionalisme modern.
Dilihat dari perkembangannya, nasionalisme mula-mula muncul menjadi kekuatan penggerak di Eropa Barat dan Amerika Latin pada abad ke-18. Ada yang berpendapat bahwa nasionalisme muncul pertama kali di Inggris ada abad ke-17, ketika terjadi revolusi Puritan. Namun, dari beberapa pendapat tersebut dapat dijadikan asumsi bahwa munculnya nasionalisme berawal dari Barat (yang diistilahkan oleh Bung Karno sebagai nasionalisme Barat) yang kemudian menyebar ke daerah-daerah jajahan. Perasaan yang mirip dengan nasionalisme sudah banyak dimiliki oleh rakyat waktu itu, meskipun hanya sebatas pada individu saja yang muncul jika ada bahaya yang mengganggu atau membahayakan eksistensi mereka (masyarakat koloni) atau keluarga serta golongan mereka. Sementara munculnya nasionalisme negara-negara di kawasan Asia-asia Tenggara (yang menurut Bung Karno sebagai nasionalisme Timur) yang banyak dipengaruhi oleh gejala imperialisme yang dikembangkan bangsa Eropa di Negara-negara Asia. Sehingga pada dasarnya muculnya nasionalisme sebagai reaksi mendasar untuk memerangi penjajah sekaligus merebut dan mempertahakan kemerdekaan negaranya. Gerakan nasionalisme Indonesia bangkit sejak tahun 1908 namun bentuk nasionalisme yang berkembang pada saat itu kebanyakan masih bersifat kedaerahan kelompok, belum pada tataran kesatuan kenegaraan. Di beberapa negara Islam, gerakan nasionalisme terjadi pada penghujung abad ke-19, dimana sebagian besar wilayah Islam sudah di bawah kekuasaan Barat Kristen, baik di bidang ekonomi, militer maupun politik yang mengakibatkan runtuhnya susunan politik Islam yang tradisional yang kemudian terjadilah perlawanan untuk menentang intervensi Kolonialis tersebut. Diantaranya adalah munculnya para tokoh gerakan Islam seperti Jamaluddin al-Afghani, dengan seruannya menentang imperialisme dan mengusahakan kebebasan, meningkatkan kesadaran intelektual yang berakar pada sikap kembali kepada Islam. Dalam perkembangannya, nasionalisme yang muncul di berbagai negara tersebut tidak langsung mengilhami bentuk-bentuk ideologi serta dijadikan falsafah negara. Sehingga cinta tanah air tidak hanya mempunyai makna merebut dan mempertahankan kemerdekaan tetapi lebih dari itu mempunyai banyak implikasi dari istilah itu. Dengan adanya akar nasionalisme sebagai rasa cinta tanah air, maka disitu pula akan tumbuh sikap patriotisme, rasa kebersamaan, kebebasan, kemanusiaan dan sebagainya. Karena nasionalisme dibangun oleh kesadaran sejarah, cinta tanah air, dan cita-cita politik. Nasionalisme menjadi faktor penentu yang mengikat semangat serta loyalitas untuk mewujudkan cita-cita setiap Negara. Di samping itu pula tumbuh dan berkembangnya nasionalisme tersebut telah melahirkan banyak negara dan bangsa merdeka di seluruh dunia. Hal ini antara lain disebabkan karena nasionalisme telah memainkan peranan yang sangat penting dan positif di dalam menopang tumbuhnya persatuan dan kesatuan, serta nilai-nilai demokrasi, yang oleh karena itu negara yang bersangkutan dapat melaksanakan pembangunan nasional sebagai upaya peningkatan kemakmuran dan peningkatan kualitas pendidikan rakyat. [8]

3.      Nasionalisme di Mata Islam
Menurut Hasan Al Banna, tidak selamanya nasionalisme itu buruk. Menurut beliau, nasionalisme itu ada yang baik dan ada yang buruk. Dalam bab yang berjudul “Dakwah Kami”, Al Banna menjelaskan bahwa jika yang dimaksud nasionalisme itu adalah nasionalisme kerinduan, di mana kita sebagai seorang manusia, memiliki kecintaan yang mendalam terhadap tanah air kita, akrab dengannya, dan rindu kepadanya, maka, hal semacam ini adalah fitrah manusia di satu sisi, dan di sisi lain memang diperintahkan oleh Islam. Al Banna menjelaskan bahwa jika yang dimaksud dengan nasionalisme itu adalah yang berkaitan dengan kebebasan dan kehormatan, dalilnya terdapat pada Q.S. Al-Munafiqun ayat 8
tbqä9qà)tƒ ûÈõs9 !$oY÷èy_§ n<Î) ÏpoYƒÏyJø9$#  Æy_̍÷ãs9 tãF{$# $pk÷]ÏB ¤AsŒF{$# 4 ¬!ur äo¨Ïèø9$# ¾Ï&Î!qßtÏ9ur šúüÏZÏB÷sßJù=Ï9ur £`Å3»s9ur šúüÉ)Ïÿ»oYßJø9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÑÈ
Mereka berkata: "Sesungguhnya jika kita Telah kembali ke Madinah[1478], benar-benar orang yang Kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari padanya." padahal kekuatan itu hanyalah bagi Allah, bagi rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada Mengetahui.
Al Banna kemudian membuat garis pembatas antara nasionalisme islam dan nasionalisme radikal. Menurutnya, pembatas nasionalisme islam adalah aqidah itu sendiri, sementara batasan dari nasionalisme radikal adalah territorial Negara dan batas geografis. Bagi Al Banna, semua muslim disemua wilayah geografis di dunia ini adalah saudara. Al Banna menjelaskan bahwa kelemahan konsep nasionalisme radikal akan jelas terlihat di tataran aplikatif. Yakni, ketika sebuah bangsa hendak memperkuat dirinya dengan merugikan bangsa lain. Seperti Negara Barat yang memperkuat kesejahteraan mereka dengan cara memeras sumber daya alam di Negara Timur.
Kemudian, Al Banna menjelaskan bahwa nasionalisme yang menurutnya bertentangan dengan prinsip-prinsip islam adalah nasionalisme yang memecah-belah umat menjadi kelompok-kelompok yang bermusuhan, memendam dendam, mencaci, melempar tuduhan, dan saling membuat tipu daya. Lebih jauh, sehingga, dengannya pada akhirnya umat ini hanya memperhatikan kepentingan kelompoknya atau negerinya, sehingga mengabaikan kepentingan islam, dan tidak mau berkumpul kecuali berkumpul dengan kelompoknya, maka, nasionalisme yang seperti inilah yang tidak diakui oleh Islam.
Yusuf Qardhawi juga bersepakat dengan Al Banna terkait nasionalisme. Bahwa ada yang baik dari nasionalisme itu, maka harus kita ambil. Namun, ada juga yang buruk, sehingga perlu kita tinggalkan. Menurut Qardhawi, nasionalisme yang buruk, bahkan kemudian dihukumi oleh beliau sebagai nasionalisme yang haram adalah nasionalisme yang menganggap bahwa nasionalisme itu sendiri sebagai sebuah akidah yang harus diimani, didukung, dan didakwahkan. Bahkan ekstremnya, kesetiaan terhadap ajaran nasionalisme ini harus lebih besar dibanding kesetiaan kita terhadap Allah, Rasul-Nya, dan kitab-Nya sekalipun. Lebih lanjut, nasionalisme yang seperti ini adalah nasionalisme yang meninggikan kepentingan eksistensi ajaran ini dibanding ikatan agama. Karnanya, ujar Qardhawi, mereka lebih memuliakan bangsa Arab non-muslim dibanding muslim non-Arab. Di samping itu, kaum nasionalis juga mengasingkan agama dari masyarakat dan Negara. Mereka menyeru pembentukan pada Negara yang secular, bukan agama.
Bahkan ditambahkan oleh Qardhawi, nasionalis itu secara pemikiran hendak menghidupkan kembali pemikiran jahiliyah yang dahulu pernah ditumpas oleh Rasulullah Saw. Yakni pemikiran fanatisme terhadap golongan. Padahal, Rasulullah Saw. Bersabda;
Tidak termasuk dalam golongan kami orang yang menyeru kepada fanatisme. Tidak termasuk kepada kami orang yang berperang karena fanatisme dan tidak termasuk golongan kami orang yang mati karena fanatisme.
Pada prinsipnya, selama nasionalisme itu diinterpretasikan sesuai dengan batas-batas kaedah islam, maka, tidak terjadi persoalan jika nasionalisme itu hendak dijadikan “alat” perjuangan yang disandingkan dengan islam. Definisi yang lebih moderat bisa kita ambil dari pendapat Fahri Hamzah yang kedudukannya sebagai seorang politisi muslim.
Inti dari nasionalisme adalah penekanan pada wisdom atau kearifan sebagai bangsa yang majemuk, yakni tidak melihat kelompok lain sebagai orang lain, namun sebagai bagian dari realitas kemajemukan itu sendiri. Relasi tersebut tidak menempatkan pihak yang berbeda dengannya sebagai “the others”, melainkan bagian dari “kita” sebagai subjek yang memiliki hak yang sama.[9]
C.    Peran Pendidikan Aqidah Akhlak dalam Membangun Nasionalisme
Pelajaran Aqidah Akhlak menekankan pada kemampuan memahami keimanan dan keyakinan Islam sehingga memiliki keyakinan yang kokoh dan mampu mempertahankan keyakinan/keimanannya serta menghayati dan mengamalkan nilai-nilai asmaul husna. Akhlak menekankan pada pembiasaan untuk menerapkan dan menghiasi diri dengan akhlak terpuji (mahmudah) dan menjauhi serta menghindari diri dari akhlak tercela (madzmumah) dalam kehiduan sehari-hari.[10]
Terkait pendidikan, Akidah Akhlak memiliki kontribusi dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mempelajari dan mempraktikkan akidahnya dalam bentuk pembiasaan untuk melakukan akhlak terpuji dan menginternalisasikan nilai-nilai luhur seperti nilai-nilai keutamaan, nilai kerja keras, nilai cinta tanah air, nilai demokrasi, nilai kesatuan, menghidupi nilai-nilai moral, dan nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan sehari-hari.
Secara substansial pelajaran Akidah Akhlak memiliki kontribusi dalam memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mempelajari dan mempraktikkan aqidahnya dalam bentuk pembiasaan untuk melakukan akhlak terpuji dan menghindari akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari. Akhlaqul Karimah ini sangat penting dipraktikkan dan dibiasakan oleh peserta didik dalam kehidupan individu, bermasyarakat dan berbangsa, terutama dalam rangka mengantisipasi dampak negatif dari era globalisasi dan krisis multidimensional yang melanda bangsa dan Negara Indonesia. Pelajaran Akidah Akhlak sendiri bertujuan untuk:
1.      Menumbuhkembangkan akidah melalui pemberian, pemupukan, dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengalaman, pembiasaan, serta pengalaman peserta didik tentang akidah Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT;
2.      Mewujudkan manusia Indonesia yang berakhlak mulia dan menghindari akhlak tercela dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam kehidupan individu maupun kehidupan sosial sebagai manifestasi dari ajaran dan nilai-nilai Akidah Islam.[11]



DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Rosihon. 2008. Akidah Akhlak. Bandung: Pustaka Setia.
Haqi, Ahmad Hamdani. 2013. Nasionalisme Bung Karno dalam Perspektif Pendidikan Islam. Skripsi Sarjana pada FITK IAIN Walisongo Semarang.
Ilyas, Burhanudin. 2013. Peran Mata Pelajaran Akidah Akhlak dalam Menanamkan Nilai Pendidikan Karakter Siswa Kelas V. Skripsi Sarjana pada FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Kementerian Agama Republik Indonesia. 2014. Buku Siswa Akidah Akhlak Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013. Cetakan Ke-1. Jakarta: Kementrian Agama.
Moesa, Ali Maschan. 2007. Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama. Yogyakarta: LkiS.
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam No 2676 Tahun 2013 Tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah.
Suriati. 2009. Telaah Konsep Nasionalisme Pendidikan Soekarno dalam Perspektif Pendidikan Islam di Indonesia. Skripsi Sarjana pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya.



[1] Kementerian Agama Republik Indonesia, Buku Siswa Akidah Akhlak Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013, Cetakan Ke-1 ( Jakarta: Kementrian Agama, 2014 ), hlm 4
[2] Rosihon Anwar, Akidah Akhlak, ( Bandung: Pustaka Setia, 2008 ), hlm 13-15
[3] Ibid, hlm 205-206
[4] Ibid, hlm 201-203
[5] Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai Konstruksi Sosial Berbasis Agama, ( Yogyakarta: LkiS, 2007 ), hlm 28-29
[6] Ahmad Hamdani Haqi, Nasionalisme Bung Karno dalam Perspektif Pendidikan Islam, Skripsi Sarjana pada FITK IAIN Walisongo Semarang (2013), hlm 12
[7] Suriati, Telaah Konsep Nasionalisme Pendidikan Soekarno dalam Perspektif Pendidikan Islam di Indonesia, Skripsi Sarjana pada Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Ampel Surabaya (2009), hlm 31-32
[8] Ahmad Hamdani, Op.Cit, hlm 14-15
[10] Surat Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam No 2676 Tahun 2013 Tentang Kurikulum 2013 Mata Pelajaran Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah
[11] Burhanudin Ilyas, Peran Mata Pelajaran Akidah Akhlak dalam Menanamkan Nilai Pendidikan Karakter Siswa Kelas V, Skripsi Sarjana pada FITK UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (2013), hlm 16-17

0 Comments:

Post a Comment