Header Ads

23 December 2016

“AL-HAKIM”

“AL-HAKIM”
A.    Pengertian Al-Hakim
Al hakim dipahami oleh sementara ulama arti “Yang memiliki hikmah”, sedang hikmah antara lain berarti mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik pengetahuan maupun perbuatan. Seorang yang ahli dalam melakukan sesuatu dinamai “hakim”. “Hikmah” juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan menghalangi terjadinya mudlarat atau kesulitan yang lebih besar dan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang lebih besar. Makna ini ditarik dari kata “hakamah”/ yang berarti kendali, karena kendali menghalangi hewan/ kendaraan mengarah ke arah yang tidak diinginkan atau menjadi liar. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang burukpun, dinamai hikmah dan pelakunya dinami hakim (bijaksana). Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah yang hakim. QS. Al-Baqarah: 269: Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).  Para tafsir Albiqa’iy menggarisbawahi bahwa al hakim harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya, sehingga dia akan tampil dengan penuh percaya diri, tidak berbicara ragu atau kira-kira dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba. Imam Ghazali memahami kata Hakim dalam arti pengetahuan tentang sesuatu yang paling utama, -ilmu yang paling utama dan wujud yang paling agung-,yakni Allah SWT. Jika demikian –tulis Al-Ghazali- Allah adalah hakim yang sebenarnya. Karena dia yang mengetahui ilmu yang paling abadi dan tidak tergambar dalam benak (mengenal dirinya), tidak juga mengalami perubahan dalam pengetahuan-Nya. Hanya Dia yang mengetahui wujud yang paling mulia, karena hanya Dia yang mengenal hakekat zat, sifat dan perbuatan-Nya. Yang meneladani sifat Allah ini, hendaknya terlebih dahulu memperdalam pengetahuannya, terutama tentang Allah dan sifat-sifat-Nya. Demikian Al-Ghazali. Ini, juga karena sabda Nabi SAW,”Takut kepada Allah adalah puncak hikmah”. Yang meneladani Allah Al-Hakim, juga harus memiliki pengetahuan dan keahlian paling tidak dalam bidang tertentu, sehingga ia tidak perlu melakukan coba-coba dalam menerapkan sesuatu -bukan dalam melakukan penelitian-, dan agar petunjuk serta langkah-langkahnya selalu mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih jauh dan lebih besar, ketimbang kemaslahatan dini dan juz’iy. Ucapan-ucapannya pun hendaknya tidak panjang bertele-tele menyangkut segala rincian, tetap yang bersifat kulli menyeluruh. Bukankah kalimat-kalimat pendek yang sarat makna dinamai “kata-kata hikmah”? bahkan diam dapat menjadi salah satu pengejewan-tahan dari hikmah. “Diam adalah hikmah, tetapi sedikit pelakunya”, begitu salah satu kata hikmah.[1]
Al Hakim ialah Sang Pemilik Sifat Bijaksana, yaitu ketepatan dalam menentukan dan keindahan dalam pengaturan. Oleh karena itu, segala perbuatan Allah cocok dengan kebijaksanaan. Jika kita tidak dapat menjangkau hikmah sebagian perbuatan Allah, maka hal itu disebabkan keterbatasan kita dan sempitnya ilmu pengetahuan kita. Allah berfirman (Ali Imron: 6 Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.)[2]
Al-Hakim: Maha bijaksana, yakni memiliki kebijaksanaan yang tertinggi kesempurnaan ilmu-Nya dalam membuat segala sesuatu.[3] Al-Hakim: yang amat bijaksana. Segala sesuatu diciptakan-Nya dengan tujuan yang amat tinggi. Tidak pernah satu kejadian yang sia-sia, yang tidak ada maksud dan tujuan-Nya.[4]
Al hakim adalah salah satu dari Al-Asma’ Al-husna (nama-nama Allah yang indah) yang artinya Yang , Maha Bijaksana, Nama Al-Hakim disebut antara lain dalam QS. Al-Baqarah: 32, 129,209,220,228,240 dan 260; QS. Ali Imron: 6,62; dan lain-lain. Kebanyakan sifat Allah Al-Hakim digandengkan dengan Al-‘Aziz, disusul dengan Al-‘Alim, kemudian Al-Khabir, At-Tawwab, Al-Hamid, Al-‘Aliy, dan Al-Wasi’. Meneladani sifat-sifat ini harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya, sehingga ia akan tampil dengan penuh peraya diri, tidak berbicara dengan ragu-ragu atau kira-kira, dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba[5]
Al Hakim (Yang Maha Bijaksana) adalah Dia yang memiliki kebijaksanaan. Kebijaksanaan setara dengan mengetahui hal-hal tinggi melalui cara-cara mengetahui yang tertinggi. Namun yang mahatinggi itu adalah Allah-Maha Terpuji Dia. Dan telah kita lihat bahwa tidak ada selain Dia yang benar-benar dapat mengetahui Dia. Dia benar-benar arif karena Dia mengetahui hal-hal paling tinggi dengan cara mengetahui yang paling tinggi. Karena cara mengetahui yang paling tinggi itu adalah pengetahuan abadi yang tak mungkin pupus, dan yang dapat disamakan dengan cara-cara lain untuk mengetahui, sedikit banyaknya, yang tidak mengenal keraguan atau penyembunyian. Hanya pengetahuan Allah SWT sajalah yang bersifat demikian. Sesungguhnya Dia yang memiliki keterampilan dan menguasai keterampilan itu sehingga Dia menjadi mahir dalam merekayasa, maka Dia disebut bijak, tetapi kesempurnaan dalam hal itu juga milik Allah Ta’ala semata, karena Dia benar-benar bijaksana.[6]
Ism ini berasal dari kata Al-Hikmah yang merupakan kesempurnaan ilmu dan kebaikan perbuatan. Atau, pengetahuan tentang sesuatu yang paling utama dengan ilmu yang paling utama. Jika kita telah mengetahui bahwa ilmu Allah itu meliputi dan mahaluas, tidak ada batas dan ujungnya, maka hanya Allah sajalah yang Hakiim sebenarnya, sebab Dia mengetahui sesuatu yang paling besar dengan ilmu yang paling banyak. Ilmu-Nya azali (tak ada permulaan), daa-im (tak ada penghabisan), tidak bisa lenyap dan tidak ditimpa kerahasiaan dan kesamaran. Terkadang kepada orang yang bagus buatannya dikatan: Shana’ahaa hakiim (dibuat oleh ahli). Padahal bantuan yang diperolehnya tidak lain adalah berasal dari Allah jua, yang merupakan Sang Hakiim yang sebenarnya. Barang siapa mengetahui segala sesuatu dan tidak mengenal Allah SWT, maka dia tidak berhak disebut hakiim, sebab dia tidak mengetahui sesuatu yang paling mulia dan paling utama. Perbandingan ma’rifah Allah terhadap Dzat-Nya. Sungguh jauh sekali perbedaan keduanya itu. Khasiatnya: barangsiapa membanyakkan dzikir dengan ism ini, niscaya Allah akan memalingkan darinya apa-apa yang membahayakan dirinya dan akan membukakan pintu hikamat.[7]

B.     Al-Hakim dalam Al-Qur’an
Dalam al-qur’an kata hakim terulang sebanyak 97 kali dan pada umumnya mensifati Allah SWT. ada dua hal lain yang menyandang sifat “hakim”, yaitu kitab suci Al-Qur’an dan ketetapan Allah. Kebanyakan sifat Allah al Hakim (sekitar 47 kali) digandengakan dengan al aziz, disusul dengan sifat ‘alim (sekitar 35 kali), kemudian al khabir empat kali dan masing-masing sekali dengan at-tawwab, al hamid, al ‘aliy, dan al wasi’.[8]
a.      “Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang menurunkan Kitab Al-Qur’an kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-qur’an itu diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu. “(Q.S. Al-An’am: 114)
b.      “Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang didalamnya (ada) hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.(QS: Al-Maidah Ayat: 43)
c.       “Jika ada segolongan daripada kamu beriman kepada apa yang aku diutus untuk menyampaikannya dan ada (pula) segolongan yang tidak beriman, maka bersabarlah, hingga Allah menetapkan hukumnya di antara kita; dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.”(QS: Al-A'raf Ayat: 87)
d.      “Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya".
(QS: Huud Ayat: 45)
e.       “Bukankah Allah Hakim yang seadil-adilnya.” (At-Tin: 8)[9]





C.     Pada uraian berikutnya akan dibahas Asmaul Husna yang belum disinggung sebelumnya, yaitu:

a.       Allah Maha Bijaksana Lagi Maha Luas (Karunia-Nya)
Perpaduan dua sifat (Asmaul Husna), yaitu al-Hakimu dan al-Wasi’ cukup menyejukkan hati hamba-hamba-Nya bila dipahami dan direnungkan dengan cermat. Betapa bijaksana Allah memimpin (membimbing) hamba-hamba-Nya melalui para rasul-Nya. Betapa pula luas karunia-Nya, yang telah dilimpahkan, walaupun diantara hamba-hamba-Nya ada yang tidak ingat dan bersyukur kepada-Nya. QS. An-Nisa:130: jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.
(QS: An-Nisaa Ayat: 130)
 Ayat tersebut membicarakan tentang rumah tangga yang tidak utuh lahi, suami-istri pisah. Biasanya kalau sudah pisah (cerai), masing-masing pihak merasa ada yang mengurus rumah tangganya begitu pula istri tidak adalagi yang memberi nafkah. Walaupun bagaimana, Allah tetap berlaku bijaksana dan tetap melimpahkan karunia-Nya kepada keduanya, tidak usah khawatir menghadapi hidup ini. Dunia ini tidak selebar daun kelor kata orang. Karunia Allah ada dimana-mana asal mau berusaha. Setelah kerja keras dan berusaha, kemudian tawakal (berserah diri kepada Allah), barulah kita mengharpkan kebijaksanaan-Nya.

b.      Allah Maha Bijaksana Lagi Maha Mengetahui (Mengenal)
Allah sebenarnya mengetahui betul tentang berita-berita yang dilakukan oleh hamba-hamba-Nya, dan tidak hanya sekadar tahu, tapi mengetahuinya secara mendalam. Dalam berbuat dan bertindak, tentu ada saja kesalahan seharusnya mendapatkan sangsi hukum. Namun Allah sangat bijaksana, karena Dia memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi. Allah berfirman dalam QS.Saba: 1 yang artinya “Segala puji bagi Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula) segala puji di akhirat. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”.

c.       Allah Maha Bijaksana Lagi Maha Tinggi
Berpadu dua sifat, yaitu Maha Tinggi dan Maha Bijaksana, bagi Allah, bukanlah suatu masalah yang diragukan keberadaannya, sebagaiman halnya sifat Perkasa dan Bijaksana bagi Allah. Berbeda dengan manusia, biasanya kalau sudah tinggi kedudukannya, tidak banyak yang bijaksana, malahan menjadi diktator (bertangan besi) memerintah rakyat, atau menghadapi bawahannya. Bagi Allah, dari balik kedudukan-Nya yang tinggi itu, muncul pula kebijaksanaan-Nya, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Asy-Syuura: 51 yang artinya “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana. . Adapaun yang dimaksud dengan “dibelakang tabir” ialah: Rasul menerima wahyu dengan cara mendengar tanpa melihat-Nya seperti dialami oleh Nabi Musa AS.

d.      Allah Maha Bijaksana Lagi Maha Penerima Tobat
Allah yang Maha Bijaksana, tidak pernah membiarkan hamba-hamba-Nya menderita karena merasa diri mereka berdosa. Sebab orang yang merasa dirinya bersalah, jiwanya selalu gelisah, perbuatan salah itu selalu menghantui perjalanan hidupnya. Tetapi Allah tetap mebuka pintu tobat, sifat Bijaksana menjadi satu dengan sifat Penerima Tobat. Sifat semacam ini, sukar ditemukan pada manusia, yaitu seorang pemimpin yang bijaksana dan tidak mau menaruh dendam terhadap orang yang mengaku bersalah dan bersedia memperbaikinya kesalahannya. Bila orang dapat memahami sifat Allah ini, sebenarnya tidak ada alasan untuk menentang ajaran Allah. QS. An-Nuur: 10 Dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata) Allah bukan Penerima Taubat lagi Maha Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan).”

e.       Allah Maha Bijaksana Lagi Maha Terpuji.
Sifat bijaksana adalah sifat yang terpuji, sifat tidak bijaksana adalah sifat tercela. Sifat yang terakhir inilah pada umumnya, dimiliki oleh manusia, karena itu mereka tidak terpuji. Sedangkan Allah Maha Sempurna. QS. Al-Fushilat: 42 Yang tidak datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”[10]

D.    Implikasi
Kita mengetahui bahwa Allah SWT adalah Maha Hidup lagi Maha Mengetahui. Dia berbuat apa yang dikehendaki dan dipilih-Nya. Dengan demikian, segala perbuatannya harus cocok dan sesuai dengan kebijaksanaan-Nya. Jika Dia Maha Mengetahui, maka tidak ada suatu apapun yang luput dari pengetahuan-Nya. Dia Maha Mampu, tidak terjangkau oleh sifat lemah. Dia Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak, tidak ada yang memaksa-Nya sehingga tidak dapat menjangkau kesempurnaan. Dari hal inilah berasal asma-Nya, al Hakim ‘Maha Bijaksana’ dan ar-Rasyid ‘Maha Memberi Petunjuk’.
Dalam keterangan diatas disebutkan bahwa Allah mempunyai nama Al-Hakim yang berarti Yang Maha Bijaksana. Dari nama tersebut kita bisa menjadi hakim bagi diri sendiri dan bagi orang lain dengan sebijaksana mungkin. Barang siapa mengetahui segala sesuatu dan tidak mengenal Allah SWT, maka dia tidak berhak disebut hakiim, sebab dia tidak mengetahui sesuatu yang paling mulia dan paling utama. Siapa yang tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah yang hakim. Para mufassir menjelaskan bahwa orang yang meneladani al-hakim diharapkan akan menjadi seseorang yang akan tampil dengan penuh percaya diri, , tidak berbicara ragu atau kira-kira dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba. Jika kita ingin meneladai al-hakim haruslah memiliki pengetahuan dan keahlian, paling tidak dalam bidang tertentu, sehingga ia tidak perlu melakukan coba-coba dalam menerapkan sesuatu -bukan dalam melakukan penelitian-, dan agar petunjuk serta langkah-langkahnya selalu mempertimbangkan kemaslahatan yang lebih jauh dan lebih besar, ketimbang kemaslahatan dini dan juz’iy. Ucapan-ucapannya pun hendaknya tidak panjang bertele-tele menyangkut segala rincian, tetap yang bersifat kulli menyeluruh.
Allah Maha Bijaksana dalam memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi. Maka sudah sepatutnya kita meneladani sifat-Nya, kita harus lapang dada dalam memberikan maaf kepada orang lain yang telah menyakiti kita. Jika kita menerima amanah berupa jabatan tinggi, hendaknya kita selalu mengingat dan mengamalkan al-hakim ini, karena biasanya kalau sudah tinggi kedudukannya, tidak banyak yang bijaksana, malahan menjadi diktator (bertangan besi) memerintah rakyat, atau menghadapi bawahannya.



















DAFTAR PUSTAKA

Al-Ghazali. 1999. Al-Asma’ al husna, Rahasia Nama-nama Indah Allah. Yogyakarta: Mizan.
Bey Arifin, Bey. 1994. Mengenal Tuhan. Surabaya: Bina Ilmu.
Chirzin, Muhammad. 2011. Kamus Pintar Al-Qur’an.Jakarta: Gramedia.
Hasan, M.Ali. 1997. Memahami dan Meneladani Asmaul Husna. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nabanakah, Abdurrahman. 1992. Pokok-pokok Aqidah Islam. Jakarta: Gema Insani Press.
Samiy, Mahmud 1993. Mengenali Rahasia nama-nama Allah yang Indah. Jakarta: Pustaka Hidayah.
Shihab, M.Quraish. 2005. Menyingkap Tabir Ilahi.Jakarat: Lentera Hati.
W, Ahsin. 2006. Kamus Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Amzah.
Zaini, Syahminan. 1983. Kuliah aqidah islam. Malang: Al-Ikhlas.



















“Al HAKIM”
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
mata kuliah Aqidah-Akhlaq di Sekolah dan Madrasah
Dosen Pengampu: Dr.Sangkot Sirait, M.Ag.




LOGO UIN SUKA




Disusun oleh :

Nama                   : Syaiful Mustafa                    
NIM            : 13410018




PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN 2014/2015







[1] M.Quraish Shihab. Menyingkap Tabir Ilahi.(Jakarat: Lentera Hati, 2005) Hal. 220-222
[2] Abdurrahman Nabanakah, Pokok-pokok Aqidah Islam (Jakarta: Gema Insani Press.1992) Hal 143-144
[3] Syahminan Zaini, Kuliah aqidah islam (Malang: al-Ikhlas. 1983) hal 117
[4] Bey Arifin. Mengenal Tuhan (Surabaya: Bina Ilmu. 1994) Hal 303
[5] Ahsin W. Kamus Ilmu al-Qur’an.(Jakarta: Amzah. 2006) hal 92
[6] Al-Ghazali. Al-Asma’ al husna, Rahasia Nama-nama Indah Allah. (Yogyakarta: Mizan, 1999) hal. 147
[7] Mahmud Samiy. Mengenali Rahasia nama-nama Allah yang Indah. (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993) hal. 66-68
[8] M.Quraish Shihab. Menyingkap Tabir Ilahi..hal 220
[9] Muhammad Chirzin. Kamus Pintar Al-Qur’an (Jakarta: Gramedia. 2011) hal. 1
[10] M.Ali Hasan. Memahami dan Meneladani Asmaul Husna. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997) hal. 178-184

0 Comments:

Post a Comment