“AL-HAKIM”
A. Pengertian Al-Hakim
Al hakim dipahami oleh sementara ulama arti “Yang memiliki hikmah”, sedang hikmah
antara lain berarti mengetahui yang paling utama dari segala sesuatu, baik
pengetahuan maupun perbuatan. Seorang yang ahli dalam melakukan sesuatu dinamai
“hakim”. “Hikmah” juga diartikan sebagai sesuatu yang bila
digunakan/diperhatikan akan menghalangi terjadinya mudlarat atau kesulitan yang
lebih besar dan mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang lebih besar. Makna
ini ditarik dari kata “hakamah”/ yang berarti kendali, karena kendali
menghalangi hewan/ kendaraan mengarah ke arah yang tidak diinginkan atau
menjadi liar. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang
burukpun, dinamai hikmah dan pelakunya dinami hakim (bijaksana). Siapa yang
tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah yang hakim. QS.
Al-Baqarah: 269: Allah
menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah)
kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia
benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang
berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah). Para tafsir Albiqa’iy
menggarisbawahi bahwa al hakim harus yakin sepenuhnya tentang
pengetahuan dan tindakan yang diambilnya, sehingga dia akan tampil dengan penuh
percaya diri, tidak berbicara ragu atau kira-kira dan tidak pula melakukan
sesuatu dengan coba-coba. Imam Ghazali memahami kata Hakim dalam arti
pengetahuan tentang sesuatu yang paling utama, -ilmu yang paling utama dan
wujud yang paling agung-,yakni Allah SWT. Jika demikian –tulis Al-Ghazali-
Allah adalah hakim yang sebenarnya. Karena dia yang mengetahui ilmu yang paling
abadi dan tidak tergambar dalam benak (mengenal dirinya), tidak juga mengalami
perubahan dalam pengetahuan-Nya. Hanya Dia yang mengetahui wujud yang paling
mulia, karena hanya Dia yang mengenal hakekat zat, sifat dan perbuatan-Nya.
Yang meneladani sifat Allah ini, hendaknya terlebih dahulu memperdalam
pengetahuannya, terutama tentang Allah dan sifat-sifat-Nya. Demikian
Al-Ghazali. Ini, juga karena sabda Nabi SAW,”Takut kepada Allah adalah puncak
hikmah”. Yang meneladani Allah Al-Hakim, juga harus memiliki pengetahuan
dan keahlian paling tidak dalam bidang tertentu, sehingga ia tidak perlu
melakukan coba-coba dalam menerapkan sesuatu -bukan dalam melakukan
penelitian-, dan agar petunjuk serta langkah-langkahnya selalu mempertimbangkan
kemaslahatan yang lebih jauh dan lebih besar, ketimbang kemaslahatan dini dan
juz’iy. Ucapan-ucapannya pun hendaknya tidak panjang bertele-tele menyangkut
segala rincian, tetap yang bersifat kulli menyeluruh. Bukankah kalimat-kalimat
pendek yang sarat makna dinamai “kata-kata hikmah”? bahkan diam dapat menjadi
salah satu pengejewan-tahan dari hikmah. “Diam adalah hikmah, tetapi sedikit
pelakunya”, begitu salah satu kata hikmah.[1]
Al Hakim ialah Sang Pemilik Sifat Bijaksana, yaitu ketepatan dalam menentukan dan
keindahan dalam pengaturan. Oleh karena itu, segala perbuatan Allah cocok
dengan kebijaksanaan. Jika kita tidak dapat menjangkau hikmah sebagian
perbuatan Allah, maka hal itu disebabkan keterbatasan kita dan sempitnya ilmu
pengetahuan kita. Allah berfirman (Ali Imron: 6 Dialah
yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendaki-Nya. Tak ada Tuhan
(yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.)[2]
Al-Hakim: Maha bijaksana,
yakni memiliki kebijaksanaan yang tertinggi kesempurnaan ilmu-Nya dalam membuat
segala sesuatu.[3] Al-Hakim:
yang amat bijaksana. Segala sesuatu diciptakan-Nya dengan tujuan yang amat
tinggi. Tidak pernah satu kejadian yang sia-sia, yang tidak ada maksud dan
tujuan-Nya.[4]
Al hakim adalah salah
satu dari Al-Asma’ Al-husna (nama-nama Allah yang indah) yang artinya Yang ,
Maha Bijaksana, Nama Al-Hakim disebut antara lain dalam QS. Al-Baqarah: 32,
129,209,220,228,240 dan 260; QS. Ali Imron: 6,62; dan lain-lain. Kebanyakan
sifat Allah Al-Hakim digandengkan dengan Al-‘Aziz, disusul dengan Al-‘Alim, kemudian
Al-Khabir, At-Tawwab, Al-Hamid, Al-‘Aliy, dan Al-Wasi’. Meneladani sifat-sifat
ini harus yakin sepenuhnya tentang pengetahuan dan tindakan yang diambilnya,
sehingga ia akan tampil dengan penuh peraya diri, tidak berbicara dengan
ragu-ragu atau kira-kira, dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba[5]
Al Hakim (Yang Maha
Bijaksana) adalah Dia yang memiliki kebijaksanaan. Kebijaksanaan setara dengan
mengetahui hal-hal tinggi melalui cara-cara mengetahui yang tertinggi. Namun
yang mahatinggi itu adalah Allah-Maha Terpuji Dia. Dan telah kita lihat bahwa
tidak ada selain Dia yang benar-benar dapat mengetahui Dia. Dia benar-benar
arif karena Dia mengetahui hal-hal paling tinggi dengan cara mengetahui yang
paling tinggi. Karena cara mengetahui yang paling tinggi itu adalah pengetahuan
abadi yang tak mungkin pupus, dan yang dapat disamakan dengan cara-cara lain
untuk mengetahui, sedikit banyaknya, yang tidak mengenal keraguan atau
penyembunyian. Hanya pengetahuan Allah SWT sajalah yang bersifat demikian. Sesungguhnya
Dia yang memiliki keterampilan dan menguasai keterampilan itu sehingga Dia
menjadi mahir dalam merekayasa, maka Dia disebut bijak, tetapi kesempurnaan
dalam hal itu juga milik Allah Ta’ala semata, karena Dia benar-benar bijaksana.[6]
Ism ini berasal dari kata
Al-Hikmah yang merupakan kesempurnaan ilmu dan kebaikan perbuatan. Atau,
pengetahuan tentang sesuatu yang paling utama dengan ilmu yang paling utama.
Jika kita telah mengetahui bahwa ilmu Allah itu meliputi dan mahaluas, tidak
ada batas dan ujungnya, maka hanya Allah sajalah yang Hakiim sebenarnya,
sebab Dia mengetahui sesuatu yang paling besar dengan ilmu yang paling banyak.
Ilmu-Nya azali (tak ada permulaan), daa-im (tak ada penghabisan),
tidak bisa lenyap dan tidak ditimpa kerahasiaan dan kesamaran. Terkadang kepada
orang yang bagus buatannya dikatan: Shana’ahaa hakiim (dibuat oleh
ahli). Padahal bantuan yang diperolehnya tidak lain adalah berasal dari Allah
jua, yang merupakan Sang Hakiim yang sebenarnya. Barang siapa mengetahui
segala sesuatu dan tidak mengenal Allah SWT, maka dia tidak berhak disebut hakiim,
sebab dia tidak mengetahui sesuatu yang paling mulia dan paling utama.
Perbandingan ma’rifah Allah terhadap Dzat-Nya. Sungguh jauh sekali
perbedaan keduanya itu. Khasiatnya: barangsiapa membanyakkan dzikir dengan ism
ini, niscaya Allah akan memalingkan darinya apa-apa yang membahayakan dirinya
dan akan membukakan pintu hikamat.[7]
B. Al-Hakim dalam Al-Qur’an
Dalam al-qur’an kata
hakim terulang sebanyak 97 kali dan pada umumnya mensifati Allah SWT. ada dua
hal lain yang menyandang sifat “hakim”, yaitu kitab suci Al-Qur’an dan
ketetapan Allah. Kebanyakan sifat Allah al Hakim (sekitar 47 kali)
digandengakan dengan al aziz, disusul dengan sifat ‘alim (sekitar
35 kali), kemudian al khabir empat kali dan masing-masing sekali dengan at-tawwab,
al hamid, al ‘aliy, dan al wasi’.[8]
a.
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang
menurunkan Kitab Al-Qur’an kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah
kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-qur’an itu
diturunkan dari Tuhanmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali
termasuk orang yang ragu-ragu. “(Q.S. Al-An’am: 114)
b.
“Dan bagaimanakah mereka mengangkatmu
menjadi hakim mereka, padahal mereka mempunyai Taurat yang didalamnya (ada)
hukum Allah, kemudian mereka berpaling sesudah itu (dari putusanmu)? Dan mereka sungguh-sungguh bukan orang yang beriman.”(QS: Al-Maidah Ayat:
43)
c.
“Jika ada segolongan daripada kamu
beriman kepada apa yang aku diutus untuk menyampaikannya dan ada (pula)
segolongan yang tidak beriman, maka bersabarlah, hingga Allah menetapkan
hukumnya di antara kita; dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.”(QS: Al-A'raf Ayat:
87)
d.
“Dan Nuh berseru kepada Tuhannya sambil
berkata: "Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan
sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar. Dan Engkau adalah Hakim yang seadil-adilnya".
(QS: Huud Ayat: 45)
(QS: Huud Ayat: 45)
e. “Bukankah Allah Hakim
yang seadil-adilnya.” (At-Tin: 8)[9]
C. Pada uraian berikutnya
akan dibahas Asmaul Husna yang belum disinggung sebelumnya, yaitu:
a. Allah Maha Bijaksana Lagi
Maha Luas (Karunia-Nya)
Perpaduan dua sifat (Asmaul Husna), yaitu al-Hakimu dan al-Wasi’
cukup menyejukkan hati hamba-hamba-Nya bila dipahami dan direnungkan dengan
cermat. Betapa bijaksana Allah memimpin (membimbing) hamba-hamba-Nya melalui
para rasul-Nya. Betapa pula luas karunia-Nya, yang telah dilimpahkan, walaupun
diantara hamba-hamba-Nya ada yang tidak ingat dan bersyukur kepada-Nya. QS.
An-Nisa:130: jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan
kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.
(QS: An-Nisaa Ayat: 130)
(QS: An-Nisaa Ayat: 130)
Ayat tersebut membicarakan tentang
rumah tangga yang tidak utuh lahi, suami-istri pisah. Biasanya kalau sudah
pisah (cerai), masing-masing pihak merasa ada yang mengurus rumah tangganya
begitu pula istri tidak adalagi yang memberi nafkah. Walaupun bagaimana, Allah
tetap berlaku bijaksana dan tetap melimpahkan karunia-Nya kepada keduanya,
tidak usah khawatir menghadapi hidup ini. Dunia ini tidak selebar daun kelor
kata orang. Karunia Allah ada dimana-mana asal mau berusaha. Setelah kerja
keras dan berusaha, kemudian tawakal (berserah diri kepada Allah), barulah kita
mengharpkan kebijaksanaan-Nya.
b. Allah Maha Bijaksana Lagi
Maha Mengetahui (Mengenal)
Allah sebenarnya mengetahui betul tentang berita-berita yang dilakukan oleh
hamba-hamba-Nya, dan tidak hanya sekadar tahu, tapi mengetahuinya secara
mendalam. Dalam berbuat dan bertindak, tentu ada saja kesalahan seharusnya
mendapatkan sangsi hukum. Namun Allah sangat bijaksana, karena Dia memberikan
kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang terjadi. Allah berfirman dalam
QS.Saba: 1 yang artinya “Segala puji bagi
Allah yang memiliki apa yang di langit dan apa yang di bumi dan bagi-Nya (pula)
segala puji di akhirat. Dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.”.
c. Allah Maha Bijaksana Lagi
Maha Tinggi
Berpadu dua sifat, yaitu Maha Tinggi dan Maha Bijaksana, bagi Allah,
bukanlah suatu masalah yang diragukan keberadaannya, sebagaiman halnya sifat
Perkasa dan Bijaksana bagi Allah. Berbeda dengan manusia, biasanya kalau sudah
tinggi kedudukannya, tidak banyak yang bijaksana, malahan menjadi diktator
(bertangan besi) memerintah rakyat, atau menghadapi bawahannya. Bagi Allah,
dari balik kedudukan-Nya yang tinggi itu, muncul pula kebijaksanaan-Nya,
sebagaimana firman-Nya dalam QS. Asy-Syuura: 51 yang artinya “Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun
bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau
dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan
kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha
Tinggi lagi Maha Bijaksana.” . Adapaun yang dimaksud dengan
“dibelakang tabir” ialah: Rasul menerima wahyu dengan cara mendengar tanpa
melihat-Nya seperti dialami oleh Nabi Musa AS.
d. Allah Maha Bijaksana Lagi
Maha Penerima Tobat
Allah yang Maha Bijaksana, tidak pernah membiarkan hamba-hamba-Nya
menderita karena merasa diri mereka berdosa. Sebab orang yang merasa dirinya
bersalah, jiwanya selalu gelisah, perbuatan salah itu selalu menghantui
perjalanan hidupnya. Tetapi Allah tetap mebuka pintu tobat, sifat Bijaksana
menjadi satu dengan sifat Penerima Tobat. Sifat semacam ini, sukar ditemukan
pada manusia, yaitu seorang pemimpin yang bijaksana dan tidak mau menaruh
dendam terhadap orang yang mengaku bersalah dan bersedia memperbaikinya
kesalahannya. Bila orang dapat memahami sifat Allah ini, sebenarnya tidak ada
alasan untuk menentang ajaran Allah. QS. An-Nuur: 10 “Dan andaikata tidak ada kurnia Allah dan
rahmat-Nya atas dirimu dan (andaikata) Allah bukan Penerima Taubat lagi Maha
Bijaksana, (niscaya kamu akan mengalami kesulitan-kesulitan).”
e. Allah Maha Bijaksana Lagi
Maha Terpuji.
Sifat bijaksana adalah sifat yang terpuji, sifat tidak bijaksana adalah
sifat tercela. Sifat yang terakhir inilah pada umumnya, dimiliki oleh manusia,
karena itu mereka tidak terpuji. Sedangkan Allah Maha Sempurna. QS.
Al-Fushilat: 42 “Yang tidak
datang kepadanya (Al Quran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya,
yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.”[10]
D. Implikasi
Kita mengetahui bahwa
Allah SWT adalah Maha Hidup lagi Maha Mengetahui. Dia berbuat apa yang
dikehendaki dan dipilih-Nya. Dengan demikian, segala perbuatannya harus cocok
dan sesuai dengan kebijaksanaan-Nya. Jika Dia Maha Mengetahui, maka tidak ada
suatu apapun yang luput dari pengetahuan-Nya. Dia Maha Mampu, tidak terjangkau
oleh sifat lemah. Dia Maha Berkuasa dan Maha Berkehendak, tidak ada yang
memaksa-Nya sehingga tidak dapat menjangkau kesempurnaan. Dari hal inilah
berasal asma-Nya, al Hakim ‘Maha Bijaksana’ dan ar-Rasyid ‘Maha
Memberi Petunjuk’.
Dalam keterangan diatas
disebutkan bahwa Allah mempunyai nama Al-Hakim yang berarti Yang Maha
Bijaksana. Dari nama tersebut kita bisa menjadi hakim bagi diri sendiri
dan bagi orang lain dengan sebijaksana mungkin. Barang siapa mengetahui segala
sesuatu dan tidak mengenal Allah SWT, maka dia tidak berhak disebut hakiim, sebab
dia tidak mengetahui sesuatu yang paling mulia dan paling utama. Siapa yang
tepat dalam penilaiannya dan dalam pengaturannya, dialah yang hakim. Para
mufassir menjelaskan bahwa orang yang meneladani al-hakim diharapkan
akan menjadi seseorang yang akan tampil dengan penuh percaya diri, , tidak
berbicara ragu atau kira-kira dan tidak pula melakukan sesuatu dengan coba-coba.
Jika kita ingin meneladai al-hakim haruslah memiliki pengetahuan dan
keahlian, paling tidak dalam bidang tertentu, sehingga ia tidak perlu melakukan
coba-coba dalam menerapkan sesuatu -bukan dalam melakukan penelitian-, dan agar
petunjuk serta langkah-langkahnya selalu mempertimbangkan kemaslahatan yang
lebih jauh dan lebih besar, ketimbang kemaslahatan dini dan juz’iy.
Ucapan-ucapannya pun hendaknya tidak panjang bertele-tele menyangkut segala
rincian, tetap yang bersifat kulli menyeluruh.
Allah Maha Bijaksana dalam memberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan yang
terjadi. Maka sudah sepatutnya kita meneladani sifat-Nya, kita harus lapang
dada dalam memberikan maaf kepada orang lain yang telah menyakiti kita. Jika
kita menerima amanah berupa jabatan tinggi, hendaknya kita selalu mengingat dan
mengamalkan al-hakim ini, karena biasanya kalau sudah tinggi
kedudukannya, tidak banyak yang bijaksana, malahan menjadi diktator (bertangan
besi) memerintah rakyat, atau menghadapi bawahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ghazali. 1999. Al-Asma’ al husna, Rahasia Nama-nama Indah Allah. Yogyakarta:
Mizan.
Bey Arifin, Bey. 1994. Mengenal Tuhan. Surabaya: Bina Ilmu.
Chirzin, Muhammad. 2011. Kamus Pintar Al-Qur’an.Jakarta: Gramedia.
Hasan, M.Ali. 1997. Memahami dan Meneladani Asmaul Husna. Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Nabanakah, Abdurrahman. 1992. Pokok-pokok Aqidah Islam. Jakarta:
Gema Insani Press.
Samiy, Mahmud 1993. Mengenali Rahasia nama-nama Allah yang Indah. Jakarta:
Pustaka Hidayah.
Shihab, M.Quraish. 2005. Menyingkap Tabir Ilahi.Jakarat: Lentera
Hati.
W, Ahsin. 2006. Kamus Ilmu al-Qur’an. Jakarta: Amzah.
Zaini, Syahminan. 1983. Kuliah aqidah islam. Malang: Al-Ikhlas.
“Al HAKIM”
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas
mata
kuliah Aqidah-Akhlaq di Sekolah dan Madrasah
Dosen
Pengampu: Dr.Sangkot Sirait, M.Ag.
Disusun
oleh :
Nama :
Syaiful Mustafa
NIM :
13410018
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
TAHUN 2014/2015
[6] Al-Ghazali. Al-Asma’
al husna, Rahasia Nama-nama Indah Allah. (Yogyakarta: Mizan, 1999) hal. 147
[7] Mahmud Samiy. Mengenali Rahasia nama-nama Allah yang Indah. (Jakarta:
Pustaka Hidayah, 1993) hal. 66-68
[10] M.Ali Hasan. Memahami dan Meneladani Asmaul Husna. (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1997) hal. 178-184
0 Comments:
Post a Comment