Header Ads

23 December 2016

Sifat Al-Wakiil



PEMBAHASAN
A.    Makna Sifat Al-Wakiil
Kata Al-wakil mengandung arti Maha Mewakili atau Pemelihara. Al-wakil yaitu Allah SWT yang memelihara dan mengurusi segala kebutuhan makhluk-Nya, baik itu dalam urusan dunia maupun urusan akhirat.
Firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat 62:

Artinya : “ Allah SWT pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.”[1]
Al-Wakiil merupakan satu dari nama-nama Allah yang bagus dan berberkah. Al-wakiil menurut Ibnu Manzhur, berarti penannggung jawab dan penjamin rezeki hamba. Dan sebenarnya, Dia sendirilah yang menjamin urusan hamba itu. Dalam Al-qur’an ditegaskan, “janganlah kamu mengambil penolong selain Aku.”(QS. Al-Isra: 2) menurut pendapat lain, al-wakiil berarti penjaga, sedangkan menurut Abu Ishak, al-wakil dalam konteks sifat Alah adalah Zat yang diserahi tanggung jawab atas semua ciptaan-Nya. Sedang ulama lain mengartikan al-Wakiil sebagai penjamin.
Dari pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Manzhur, bahwa arti asma Al-Wakiil adalah Zat yang bertanggung jawab atas semua makhluk-Nya, dalam pengertian yang menciptakan dari ketiadaan, dapat dipahami bahwa segala sesuatu selain Allah adalah makhluk ciptaan, dan setiap makhluk berangkat dari ketiadaan; karena hanya Allah lah yang mampu menciptakan semua makhluk itu dari ketiadaannya. Seperti yang terkanndung dalam surat Al-Insan ayat 1-2 yang artinya “Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan suatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kamu telah menciptakan mani. Dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat” (QS. Al-Insan:1-2). Setelah menciptakan mereka, kini Allah bertugas mengawasi dan menjaga mereka, menganugrahkan kepada mereka sarana-sarana untuk bertahan hidup dan menjaga nereka dari kepunahan. Kalau Allah tidak melakukan seperti itu, niscaya langit, bumi beserta isinya akan hancur.[2]
B.     Kandungan Sifat Al-Wakiil
“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya). Tidak mengantuk dan tidak pula tidur” (QS. Al-Baqarah: 255). Dari pengertian ini, kalau Allah sendiri yang sendiri yang menjadi tempat bergantung segala urusan makhluk-Nya, dan tidak bergantung kepada yang lain, maka makhluk seharusnya menjadikan-Nya sebagai tempat bergantung, satu-satunya, sebagaimana Dia memerintahkan Rasul SAW untuk bertawakal kepada-Nya. “bertawakal lah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati. Bertasbih lah dengan memuji-Nya(QS. Al-Furqon: 58).
Kata “Tawakal” yang juga berakar kata dengan “ wakil, bukannya berarti penyerahan secara mutlak kepada Allah, tetapi penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha manusiawi. Seorang sahabat Nabi menemui Beliau di masjid tanpa terlebih dahulu manambatkan untannya. Ketika Nabi SAW menanyakan tentang untanya dia menjawab, Aku telah bertawakal kepada Allah. “ Nabi meluruskan kekeliruannya tentang arti “tawakal” dengan bersabda “ iqilha tsumma tawakkal” (Tambatkanlah terlebih dahulu (untamu) kemudian setelah itu beratawakkalah) (H.R. Attirmidzi)
Dalam al-qur’an kata wakiila terulang sebanyak 13 kali, sembilan di antaranya merupakan perintah tegas atau tersirat untuk menjadikan Allah wakiila. Di sisi lain perlu dikemukakan bahwa perintah menjadikan-Nya wakiil, kesemuanya dapat dikatakan didahului oleh perintah melakukan sesuatu, baru disusul dengan perintah bertawakkal. Dalam surat Al-Maidah ayat 23 menjelaskan “ serbulah mereka melalui gerbang (kota), maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang yang beriman.”[3]
Kepada siapa orang-orang mukmin  itu bertawakal kalau tidak kepada-Nya? Kepada siapa mereka berpegangan kalau tidak kepada-Nya? Sesungguhnya, tawakal kepada Allah adalah mengggantungkan diri kepada-Nya dalam memperjuangkan islam dan dalam berdakwah kepada Allah, terutama ketika berhadapan dengan kekuatan dan kesewenang-wenangan para penguasa tiran yang menekan kebenaran. Di sinilah seharusnya kaum mukminin itu harus berpegang teguh prinsip, bermental baja dan bertawakkal kepada Tuhan sekalian alam.
Tawakal kepada Allah bukan berarti bermalas-malasan dan tidak mau berusaha, seperti yang dilakukan mayoritas kaum muslimin saat ini. tetapi tawakal kepada Allah adalah dengan menjalankan yang benar, memegang teguh prinsip dan bersabar menghadapi tekanan dari yang tidak benar. Dari sini jelas bahwa agama bukannya menganjurkan perintah bertawakal atau menjadikan Allah sebagai “wakiil” agar seseorang tidak berusaha atau mengabaikan hukum-hukum sebab-akibat. Tidak! Islam hanya menginginkan agar umatnya hidup dalam realita, realita yang menunjukan bahwa tanpa usaha tak mungkin tercapai harapan
C.    Contoh Ilustrasi Sifat Al-Wakiil
Dalam kehidupan sering kita menemukan kegagalan. Dari kegagalan ini akan lahir dua tipe manusia, pertama tipe orang optimis (tawakal) yang memasrahkan dan meyakini bahwa segala urusan apapun dalam kehidupan ini ada yang mengatur. Tipe manusia kedua adalah tipe orang putus asa, orang-orang seperti inilah yang tidak menyadari bahwa dibalik sesuatu yang kita alami, kita lihat, kita dengar, kita rasakan ada hikmah yang harus kita ambil pelajaran untuk menjalani masa depan.
Ada seseorang yang mengatakan hidup itu ibarat berjalan mnegendarai mobil. Kaca depan dan kaca spion merupakan dua kaca yang sangat penting diperhatikan. Kaca depan pasti lebih besar dari kaca spion. Ini menandakan bahwa peluang kehidupan di depan lebih besar. Kita hanya perlu melihat ke balakang melalui kaca yang kecil untuk memastikan bahwa pergerakan kita tidak membahayakan orang lain. coba bayangkan bagaimana jadinya jika mengendarai mobil, kita lebih banyak memandangi kaca spion, tentu bakal terjadi sesuatu yang kita tidak inginkan dan bahkan bisa merugikan orang lain. demikianlah perumpamaan orang-orang yang terlalu banyak memandangi dan meratapi masa lalu. Dia akan mencelakakan dan mengganggu orang disekitarnya.
Sebuah pepatah mengatakan “Manusia hanya bisa berencana, Tuhanlah yang menetukan”. Pepatah ini sangat tepat manggambarkan bahwa Allah adalah  Al-Wakiil, yang siap membantu untuk menyelesaikan masalah-masalah kita.[4]
Kisah perang Uhud ini merupakan contoh yang paling baik yang menggambarkan pemahaman yang benar tentang konsep tawakal kepada Allah. Contoh ini menjelaskan islam sebagai akidah, syariat, dan metodologi kehidupan. Contoh yang menggerakan hati untuk menyeru kepada Allah dan melawan musuh-musuh-Nya. Mereka yang dicontohkan dalam contoh ini benar-benar bertawakal, berlindung dan berserah di balik perlindugan Allah. Dan Allah pun melihat kebenaran itu, menghukumi berdasarkan  kebenaran itu  dan membantu kebenaran itu dengan pertolongan-Nya. Mereka itulah orang-orang yang memahami makna firman Allah, “Katakanlah, cukuplah Allah bagiku. Kepada-Nya-lah bertawakal orang-orang yang berserah diri” (QS. Az-Zumar: 38)

D.    Implikasi Al-Wakiil
Dalam kepemimpinan, kalau kita sebagai pemimpin kita wajib melindungi  yang lemah dari kezaliman itu bersifat fisik atau mental (jiwa). Setiap pribadi juga hendaknya berusaha untuk menjadi pelindung sesuai menurut kedudukannya dan kemampuannya dalam masyarakat negara. Tanggungjawab sebagai pemimpin, tentu lebih berat dan banyak daripada orang biasa. Demikian juga seseorang yang sudah mendapat amanat itu termasuk memelihara dan menjaga apa yang kita miliki, karena semuanya adalah amanah dari Allah.
Sekiranya ada masalah yang memerlukan kesaksian, handaklah menjadi saksi yang baik dan jujur dan tidak memihak kepada keluarga atau golongan sendiri. Dalam masyarakat masing-masing kita hendaknya menjadi pelindung  si lemah, memelihara amanah, mejaga kemaslahatan umat (sesama) dan menjadi saksi yang jujur dalam menyelesaikan suatu kasus(perkara).











PENUTUP
Al-wakiil yaitu Allah SWT yang memelihara dan mengurusi segala kebutuhan makhluk-Nya, baik itu dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Al-Wakil dalam konteks sifat Alah adalah Zat yang diserahi tanggung jawab atas semua ciptaan-Nya.  Dalam sifat Al-Wakil itu terdapat satu sifat yang bagi manusia yaitu Tawakkal. tawakal kepada Allah adalah mengggantungkan diri kepada-Nya dalam memperjuangkan islam dan dalam berdakwah kepada Allah, terutama ketika berhadapan dengan kekuatan dan kesewenang-wenangan para penguasa tiran yang menekan kebenaran. Dan agama bukannya menganjurkan perintah bertawakal atau menjadikan Allah sebaga i “wakiil” agar seseorang tidak berusaha atau mengabaikan hukum-hukum sebab-akibat













DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman, Umar. 2010. Al-Asma Al-Husna. Jakarta: Qitshi Press
Al Ghazali. 1999. Al Asma Al Husna. Bandung: MIZAN
file:///E:/ISLAMUNA%20%20MATERI%203%20%20ASMAUL%20HUSNA.html, 21 januari 2015, jam 14.15




[2] Sulaiman al-asyqar,umar,Al-asma al-husna, Jakarta: Qisthi press, 2010, hlm.223-224
[3] file:///E:/ISLAMUNA%20%20MATERI%203%20%20ASMAUL%20HUSNA.html, 21 januari 2015, jam 14.15

0 Comments:

Post a Comment