AL-GHAFFAR
Yang Maha Pengampun
Kata
Al-Ghaffar terambil dari akar kata “ghafara” yang berarti “menutup”. Ada juga yang berpendapat dari kata “Alghafaru” yakni “sejenis
tumbuhan yang digunakan mengobati luka”. Jika pendapat pertama yang
dipilih, maka Allah Ghaffar berarti
antara lain, Dia menutupi dosa hamba-hamba-Nya karena kemurahan dan
anugerah-Nya. Sedang bila yang kedua, maka ini bermakna Allah menganugerahi
hamba-Nya penyesalan atas dosa-dosa, sehingga penyesalan ini berakibat
kesembuhan dalam hal ini adalah terhapusnya dosa. Kalimat “Allahummagfir liy” juga dipahami dalam arti, “Ya Allah perbaikilah keadaanku”. Demikian pendapat Ibnul Al A’raby.
Dalam
Alqur’an kata “Ghaffar” terulang
sebanyak lima kali, ada yang berdiri sendiri, seperti dalam Q.s. Nuh 71 : 10
yang mengabadikan ucapan Nabi Nuh A.s. kepada kaumnya, “Beristigfarlah kepada Tuhan-Mu sesungguhnya Dia senantiasa ghaffara” dan
Q.s. Thaha 20 : 83, “Sesungguhnya Aku
Ghaffar bagi yang bertaubat, percaya dan beramal shaleh, lalu memperoleh
hidayat”. Tiga lainnya dirangkaikan dengan sifat Aziz yang mendahuluinya.
Yang dirangkaikan ini, dikemukakan bukan dalam konteks pengampunan dosa. Ini
memberi kesan bahwa Allah sebagai Ghaffar,
bukan hanya menutupi kesalahan dan dosa-dosa hamba-Nya, tetapi yang ditutup-Nya
itu, dapat mencakup banyak hal selain dosa.
Allah
berfirman, “Sesungguhnya Tuhanmu sangat
luas magfirah-Nya” (Q.S. At-Taubah 10 : 117). Keluasan ini tidak hanya
mengantar kepada berulang-ulangnya Yang Maha Pengampun itu mengampuni dosa,
tetapi juga mengisyaratkan banyaknya cakupan dari magfirah-Nya. Allah tidak
hanya mengampuni dosa besar atau kecil yang berkaitan dengan pelanggaran
perintah dan larangan-Nya, atau yang dinamai hukum syari’at, tetapi juga yang
berkaitan dengan pelanggaran terhadap hukum moral yang boleh jadi tidak dinilai
dari segi syari’at sebagai dosa, bahkan mencakup pula persoalan-persoalan yang
dianggap tidak wajar dari segi cinta dan emosi. Nabi Muhammad SAW bermohon
kiranya Allah mengampuni beliau menyangkut “ketidak adilan hati beliau dalam
cinta terhadap istri-istri beliau”, “Inilah
hasil upayaku (dalam cinta) menyangkut hal yang kumampui maka jangan tuntut aku
menyangkut yang di luar kemampuanku”.
Dalam
hal-hal yang semacam inilah hendaknya dipahami magfirah Allah kepada para Nabi dan Rasul-Nya, setelah mereka pada
hakekatnya terbebaskan dari aneka dosa dari segi pandangan syariat.
Imam
Ghazali bahkan mengarah kepada yang lebih jauh dari apa yang dikemukakan
diatas. Hujjatul Islam ini menjelaskan bahwa ghaffar adalah “Yang menampakkan keindahan dan menutupi keburukan”.
Dosa-dosa –tulisnya- adalah bagian dari sejumlah keburukan yang dututupi-Nya
dengan jalan tidak menampakkannya di dunia serta mengesampingkan siksa-Nya di
akhirat.
Pertama
yang ditutupi oleh Allah dari hamba-Nya adalah sisi dalam jasmani manusia yang
tidak sedap dipandang mata. Ini ditutupi-Nya dengan keindahan lahiriah. Alangkah
jauh perbedaan antara sisi dalam dan sisi lahir manusia dari segi kebersihan
dan kekotoran, keburukan dan keindahan. Perhatikanlah apa yang nampak dan apa
pula yang tertutupi dari jasmani Anda.
Hal
kedua yang ditutupi Allah adalah bisikan hati serta kehendak-kehendak manusia
yang buruk. Tidak seorangpun yang tahu isi hati manusia kecuali Allah dan
dirinya sendiri. Seandainya terungkap apa yang terlintas dalam pikiran atau
terkuak apa yang terbitik dalam hati menyangkut kejahatan atau penipuan, sangka
buruk, dengki, dan sebagainya, maka sungguh manusia akan mengalami kesulitan
dalam hidupnya. Begitu kata Al-Ghazali. Penulis dapat menambahkan bahwa Allah
SWT tidak hanya menutupi apa yang dirahasiakan manusia terhadap orang lain, tetapi
juga menutupi sekian banyak pengalaman-pengalaman masa lalunya, kesedihan atau keinginannya,
yang dipendan dan ditutupi oleh Allah di bawah sadar manusia sendiri, yang
kalau dinampakkan kepada orang lain, atau di munculkan kepermukaan hati yang
bersangutan sendiri, maka pasti akan mengakibatkan gangguan yang tidak kecil.
Hal
ketiga yang ditutupi Allah, selaku Ghaffar adalah dosa dan
pelanggaran-pelanggaran manusia, yang seharusnya dapat diketahui umum.
Sedemikian besar anugerah-Nya sampai-sampai Dia menjanjikan menukar kesalahan
dan dosa-dosa itu dengan kebaikan jika yang bersangkutan berupaya untuk kembali
kepada-Nya. Ketika berbicara tentang mereka yang bergelimang dalam dosa dan
dilipatgandakan siksa baginya di hari kemudian, Allah mengecualikan “orang yang bertaubat, beriman dan berrama
shaleh. Mereka itu yang digantikan Allah kejahatan mereka dengan kebaikan” (Q.s.
Al-Furqan 25 : 70).
Jika
demikian itu cakupan magfirah Allah, maka ia tidak hanya tertuju kepada
orang-orang yang beriman, tetapi juga tertuju pada kehidupan dunia ini kepada
orang-orang kafir yang tidak percaya adanya hari kebangkitan. Q.s. Ar-Ra’ed 13 :
6 mengisyaratkan hal tersebut. Firman-Nya, “Mereka
meminta kepada-Mu supaya disegerakan (datangnya) siksa sebelum (mereka meminta)
kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka.
Sesungguhnya Tuhanmu memiliki maghfirah bagi mereka atas kezaliman mereka, dan
sesungguhnya Tuhanmu amat pedih siksa-Nya”.
Allah
SWT menyambut permohonan tulus hamba-hamba-Nya yang berdosa, betapapun besar
dan banyak dosanya. “Sampaikanlah kepada
hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri: ‘Janganlah
berputus asa dari rahmat Allah’. Sesungguhnya Allah mengmpuni semua dosa,
Dialah Al-Gafur Ar-Rahim” (Q.s. Az-Zumar 39 : 53). Bahkan terbuka
kemungkinan bagi yang tidak bermohonpun – selama dosanya bukan mempersekutukan
Allah – untuk diampuni oleh-Nya. “Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa yang mempersekutukan-Nya dengan sesuatu dan mengampuni dosa selain
dari itu bagi siapa yang di kehendaki-Nya” (Q.s. An-Nisa’ 4 : 48 dan 116).
Sahabat Nabi, Anas r.a. berkata, “Aku telah
mendengar Rasul Allah Saw. bersabda, Allah berfirman : ‘Wahai putra (putri)
Adam… selama engkau berdoa kepada-Ku dan mengharapkan ampunan-Ku, Aku ampuni
untukmu, apa yang engkau telah lakukan di masa lampau dan aku tidak peduli (betapapun
banyaknya dosamu). Wahai putra (putri) Adam… seandainya dosa-dosamu telah
mencapai ketinggian langit, kemudian engkau memohon ampunan-Ku, Aku ampuni
untukmu. Seandainya engkau datang menemuiku membawa seluas wadah bumi dosa-dosa
dan engkau datang menjumpai-Ku dengan tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu,
niscaya Aku datang kepadamu dengan seluas wadah itu pengampunan’ ” (H.R.
At-Tirmidzy, demikian juga Ahmad).[1]
Allah
SWT memerintahkan manusia agar meneladani-Nya dalam memberi maghfirah, “Katakanlah kepada orang-orang yang beriman
agar yaghfiru, memberi maghfirah atau menutupi aib /
memaafkan orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Allah” (Q.s.
Al-Jastiyah 45 : 14). Ditempat lain dinyatakan-Nya bahwa, “Siapa yang bersabar dan menutupi kesalahan orang lain / memaafkan,
maka sungguh hal yang demikian termasuk hal yang diutamakan” (Q.s. Asy
Syura 42 : 43). Ketika Abu Bakar r.a. bersumpah untuk tidak memaafkan Misthah
yang ikut menyebarkan fitnah terhadap putri beliau Aisyah r.a. - padahal selama ini ia disantuni oleh Abu
Bakar r.a. – turun perintah Allah kepada orang-ornag mukmin agar memberi maaf
dan berlapang dada sambil “menanyakan”,
“Apakah kamu tidak menyukai Alllah
menutupi (kesalahan, aib dan dosa) kamu? Sesungguhnya Allah Maha Ghafur dan
Rahim” (Q.s. An-Nur 24 : 22).
Seorang
yang memenuhi tuntunan ini atau meneladani sifat Allah Al-Ghaffar, akan
menutupi keburukan orang lain, tidak membeberkannya dan akan menampakkan
kelebihan sesamanya, tidak menampilkan kekurangannya. Rasul SAW menjanjikan
mereka yang menutupi aib orang lain, untuk ditutupi pula oleh Allah aibnya di
hari kemudian, “Siapa yang menutupi (aib)
seorang muslim, Allah menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dalam riwayat
lain, “Tidak seorang manusiapun menutupi
aib orang lain di dunia kecuali Allah menutupi aibnya di hari kemudian” (H.R.
Muslim melalui Abu Hurairah). Karena itu, pengumpat, pendendam, pembalas
kejahatamn dan pembeber kesalahan pada hakekatnya tidak menyandang sedikitpun
dari sifat ini.[2]
Al-Ghaffaru artinya
Yang Maha Pemberi Ampunan. Maha pemberi ampun kepada hamba-Nya yang mau bertaubat
dengan sungguh-sungguh, sekalipun dosa yang telah dilakukan itu sangat banyak.
Oleh karena itu, manusia jangan merasa putus asa dari rahmat Allah SWT, asal
mau bertaubat dengan sungguh-sungguh dan tidak akan mengulangi perbuatan dosa
yang telah dilakukannya itu, Allah SWT akan memberi ampun. Disisi lain
mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari salah satu Asmaul Husna ini memiliki
khasyiat diantaranya:
1.
Membersihkan
hati dari keinginan berbuat maksiat.
2.
Allah SWT pasti
mengmpuni dosa-dosa yang telah kita perbuat.[3]
Sungguh
besar bukti kasih sayang Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, yang terpenting
hamba-hamba-Nya mau bertubat dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang
sama. Sebesar apapun kesalahan dan dosa hamba-Nya, tetapi dengan keghaffaran
dan kekuasaan-Nya Dia pasti mengampuni kecuali dosa menyekutukan-Nya. Itulah
bukti bahwa pintu taubat belum tertutup rapat sebelum seorang hamba
menghembuskan nafas terakhir. Sebesar
apapun dosa hamba-Nya, Allah pasti mengabulkannya karena itu adalah janji-Nya.
Janji Allah itu pasti, bahkan lebih pasti daripada terbitnya matahari dari ufuk
timur dan terbenamnya ke ufuk barat. Oleh karena itu, taubat dengan
sungguh-sunggu dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama merupakan solusi utama untuk pengampunan dosa.
Implikasi Al-Ghaffar dalam keagamaan bahwa dengan meyakini Allah sebagai Al-Ghaffar berarti pintu taubat untuk
penghapusan kesalahan dan dosa-dosa seorang hamba masih terbuka. Dalam artian
selama seorang hamba tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Pengampun bagi siapa yang benar-benar ingin bertaubat. Dalam
konteks keimanan dan akidah, dengan meyakini Allah sebagai Al-Ghaffar seorang
hamba senantiasa bisa meningkatkan kualitas keimanan dan selalu menjaga hati
dari hal-hal yang mengotori hati. Sehingga dalam beribadah kepada Allah tidak
ada kotoran (dosa) yang menjadi tabir penghalang antara Allah dan hamba-Nya.
Dalam kehidupan sehari-haripun kita bisa
mengimplikasikan Al-Ghaffar untuk menjalin hubungan antara seorang hamba dengan
hamba yang lain. Sebagai seorang pemaaf, itu merupakan salah satu bentuk
pengimplikasian Al-Ghaffar dalam konteks kehidupan bermasyarakat agar saling
memahami dan menjaga hati. Menjadi pemaaf memang tidak mudah, tapi Allah saja
memaafkan semua dosa hamba yang salah apalagi kita manusia biasa.
0 Comments:
Post a Comment