Header Ads

23 December 2016

AL-GHAFFAR

AL-GHAFFAR
Yang Maha Pengampun
Kata Al-Ghaffar terambil dari akar kata “ghafara” yang berarti “menutup”. Ada juga yang berpendapat dari kata “Alghafaru” yakni “sejenis tumbuhan yang digunakan mengobati luka”. Jika pendapat pertama yang dipilih, maka Allah Ghaffar berarti antara lain, Dia menutupi dosa hamba-hamba-Nya karena kemurahan dan anugerah-Nya. Sedang bila yang kedua, maka ini bermakna Allah menganugerahi hamba-Nya penyesalan atas dosa-dosa, sehingga penyesalan ini berakibat kesembuhan dalam hal ini adalah terhapusnya dosa. Kalimat “Allahummagfir liy” juga dipahami dalam arti, “Ya Allah perbaikilah keadaanku”. Demikian pendapat Ibnul Al A’raby.
Dalam Alqur’an kata “Ghaffar” terulang sebanyak lima kali, ada yang berdiri sendiri, seperti dalam Q.s. Nuh 71 : 10 yang mengabadikan ucapan Nabi Nuh A.s. kepada kaumnya, “Beristigfarlah kepada Tuhan-Mu sesungguhnya Dia senantiasa ghaffara” dan Q.s. Thaha 20 : 83, “Sesungguhnya Aku Ghaffar bagi yang bertaubat, percaya dan beramal shaleh, lalu memperoleh hidayat”. Tiga lainnya dirangkaikan dengan sifat Aziz yang mendahuluinya. Yang dirangkaikan ini, dikemukakan bukan dalam konteks pengampunan dosa. Ini memberi kesan bahwa Allah sebagai Ghaffar, bukan hanya menutupi kesalahan dan dosa-dosa hamba-Nya, tetapi yang ditutup-Nya itu, dapat mencakup banyak hal selain dosa.
Allah berfirman, “Sesungguhnya Tuhanmu sangat luas magfirah-Nya” (Q.S. At-Taubah 10 : 117). Keluasan ini tidak hanya mengantar kepada berulang-ulangnya Yang Maha Pengampun itu mengampuni dosa, tetapi juga mengisyaratkan banyaknya cakupan dari magfirah-Nya. Allah tidak hanya mengampuni dosa besar atau kecil yang berkaitan dengan pelanggaran perintah dan larangan-Nya, atau yang dinamai hukum syari’at, tetapi juga yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hukum moral yang boleh jadi tidak dinilai dari segi syari’at sebagai dosa, bahkan mencakup pula persoalan-persoalan yang dianggap tidak wajar dari segi cinta dan emosi. Nabi Muhammad SAW bermohon kiranya Allah mengampuni beliau menyangkut “ketidak adilan hati beliau dalam cinta terhadap istri-istri beliau”, “Inilah hasil upayaku (dalam cinta) menyangkut hal yang kumampui maka jangan tuntut aku menyangkut yang di luar kemampuanku”.
Dalam hal-hal yang semacam inilah hendaknya dipahami magfirah Allah kepada para Nabi dan Rasul-Nya, setelah mereka pada hakekatnya terbebaskan dari aneka dosa dari segi pandangan syariat.
Imam Ghazali bahkan mengarah kepada yang lebih jauh dari apa yang dikemukakan diatas. Hujjatul Islam ini menjelaskan bahwa ghaffar adalah “Yang menampakkan keindahan dan menutupi keburukan”. Dosa-dosa –tulisnya- adalah bagian dari sejumlah keburukan yang dututupi-Nya dengan jalan tidak menampakkannya di dunia serta mengesampingkan siksa-Nya di akhirat.
Pertama yang ditutupi oleh Allah dari hamba-Nya adalah sisi dalam jasmani manusia yang tidak sedap dipandang mata. Ini ditutupi-Nya dengan keindahan lahiriah. Alangkah jauh perbedaan antara sisi dalam dan sisi lahir manusia dari segi kebersihan dan kekotoran, keburukan dan keindahan. Perhatikanlah apa yang nampak dan apa pula yang tertutupi dari jasmani Anda.
Hal kedua yang ditutupi Allah adalah bisikan hati serta kehendak-kehendak manusia yang buruk. Tidak seorangpun yang tahu isi hati manusia kecuali Allah dan dirinya sendiri. Seandainya terungkap apa yang terlintas dalam pikiran atau terkuak apa yang terbitik dalam hati menyangkut kejahatan atau penipuan, sangka buruk, dengki, dan sebagainya, maka sungguh manusia akan mengalami kesulitan dalam hidupnya. Begitu kata Al-Ghazali. Penulis dapat menambahkan bahwa Allah SWT tidak hanya menutupi apa yang dirahasiakan manusia terhadap orang lain, tetapi juga menutupi sekian banyak pengalaman-pengalaman masa lalunya, kesedihan atau keinginannya, yang dipendan dan ditutupi oleh Allah di bawah sadar manusia sendiri, yang kalau dinampakkan kepada orang lain, atau di munculkan kepermukaan hati yang bersangutan sendiri, maka pasti akan mengakibatkan gangguan yang tidak kecil.
Hal ketiga yang ditutupi Allah, selaku Ghaffar adalah dosa dan pelanggaran-pelanggaran manusia, yang seharusnya dapat diketahui umum. Sedemikian besar anugerah-Nya sampai-sampai Dia menjanjikan menukar kesalahan dan dosa-dosa itu dengan kebaikan jika yang bersangkutan berupaya untuk kembali kepada-Nya. Ketika berbicara tentang mereka yang bergelimang dalam dosa dan dilipatgandakan siksa baginya di hari kemudian, Allah mengecualikan “orang yang bertaubat, beriman dan berrama shaleh. Mereka itu yang digantikan Allah kejahatan mereka dengan kebaikan” (Q.s. Al-Furqan 25 : 70).
Jika demikian itu cakupan magfirah Allah, maka ia tidak hanya tertuju kepada orang-orang yang beriman, tetapi juga tertuju pada kehidupan dunia ini kepada orang-orang kafir yang tidak percaya adanya hari kebangkitan. Q.s. Ar-Ra’ed 13 : 6 mengisyaratkan hal tersebut. Firman-Nya, “Mereka meminta kepada-Mu supaya disegerakan (datangnya) siksa sebelum (mereka meminta) kebaikan, padahal telah terjadi bermacam-macam contoh siksa sebelum mereka. Sesungguhnya Tuhanmu memiliki maghfirah bagi mereka atas kezaliman mereka, dan sesungguhnya Tuhanmu amat pedih siksa-Nya”.
Allah SWT menyambut permohonan tulus hamba-hamba-Nya yang berdosa, betapapun besar dan banyak dosanya. “Sampaikanlah kepada hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri: ‘Janganlah berputus asa dari rahmat Allah’. Sesungguhnya Allah mengmpuni semua dosa, Dialah Al-Gafur Ar-Rahim” (Q.s. Az-Zumar 39 : 53). Bahkan terbuka kemungkinan bagi yang tidak bermohonpun – selama dosanya bukan mempersekutukan Allah – untuk diampuni oleh-Nya. “Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa yang mempersekutukan-Nya  dengan sesuatu dan mengampuni dosa selain dari itu bagi siapa yang di kehendaki-Nya” (Q.s. An-Nisa’ 4 : 48 dan 116).
 Sahabat Nabi, Anas r.a. berkata, “Aku telah mendengar Rasul Allah Saw. bersabda, Allah berfirman : ‘Wahai putra (putri) Adam… selama engkau berdoa kepada-Ku dan mengharapkan ampunan-Ku, Aku ampuni untukmu, apa yang engkau telah lakukan di masa lampau dan aku tidak peduli (betapapun banyaknya dosamu). Wahai putra (putri) Adam… seandainya dosa-dosamu telah mencapai ketinggian langit, kemudian engkau memohon ampunan-Ku, Aku ampuni untukmu. Seandainya engkau datang menemuiku membawa seluas wadah bumi dosa-dosa dan engkau datang menjumpai-Ku dengan tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu, niscaya Aku datang kepadamu dengan seluas wadah itu pengampunan’ ” (H.R. At-Tirmidzy, demikian juga Ahmad).[1]
Allah SWT memerintahkan manusia agar meneladani-Nya dalam memberi maghfirah, “Katakanlah kepada orang-orang yang beriman agar yaghfiru,  memberi maghfirah atau menutupi aib / memaafkan orang-orang yang tidak mengharapkan hari-hari Allah” (Q.s. Al-Jastiyah 45 : 14). Ditempat lain dinyatakan-Nya bahwa, “Siapa yang bersabar dan menutupi kesalahan orang lain / memaafkan, maka sungguh hal yang demikian termasuk hal yang diutamakan” (Q.s. Asy Syura 42 : 43). Ketika Abu Bakar r.a. bersumpah untuk tidak memaafkan Misthah yang ikut menyebarkan fitnah terhadap putri beliau Aisyah r.a. -  padahal selama ini ia disantuni oleh Abu Bakar r.a. – turun perintah Allah kepada orang-ornag mukmin agar memberi maaf dan berlapang dada sambil menanyakan”, “Apakah kamu tidak menyukai Alllah menutupi (kesalahan, aib dan dosa) kamu? Sesungguhnya Allah Maha Ghafur dan Rahim” (Q.s. An-Nur 24 : 22).
Seorang yang memenuhi tuntunan ini atau meneladani sifat Allah Al-Ghaffar, akan menutupi keburukan orang lain, tidak membeberkannya dan akan menampakkan kelebihan sesamanya, tidak menampilkan kekurangannya. Rasul SAW menjanjikan mereka yang menutupi aib orang lain, untuk ditutupi pula oleh Allah aibnya di hari kemudian, “Siapa yang menutupi (aib) seorang muslim, Allah menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Dalam riwayat lain, “Tidak seorang manusiapun menutupi aib orang lain di dunia kecuali Allah menutupi aibnya di hari kemudian” (H.R. Muslim melalui Abu Hurairah). Karena itu, pengumpat, pendendam, pembalas kejahatamn dan pembeber kesalahan pada hakekatnya tidak menyandang sedikitpun dari sifat ini.[2]
Al-Ghaffaru artinya Yang Maha Pemberi Ampunan. Maha pemberi ampun kepada hamba-Nya yang mau bertaubat dengan sungguh-sungguh, sekalipun dosa yang telah dilakukan itu sangat banyak. Oleh karena itu, manusia jangan merasa putus asa dari rahmat Allah SWT, asal mau bertaubat dengan sungguh-sungguh dan tidak akan mengulangi perbuatan dosa yang telah dilakukannya itu, Allah SWT akan memberi ampun. Disisi lain mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari salah satu Asmaul Husna ini memiliki khasyiat diantaranya:
1.      Membersihkan hati dari keinginan berbuat maksiat.
2.      Allah SWT pasti mengmpuni dosa-dosa yang telah kita perbuat.[3]
Sungguh besar bukti kasih sayang Allah SWT kepada hamba-hamba-Nya, yang terpenting hamba-hamba-Nya mau bertubat dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Sebesar apapun kesalahan dan dosa hamba-Nya, tetapi dengan keghaffaran dan kekuasaan-Nya Dia pasti mengampuni kecuali dosa menyekutukan-Nya. Itulah bukti bahwa pintu taubat belum tertutup rapat sebelum seorang hamba menghembuskan nafas terakhir.  Sebesar apapun dosa hamba-Nya, Allah pasti mengabulkannya karena itu adalah janji-Nya. Janji Allah itu pasti, bahkan lebih pasti daripada terbitnya matahari dari ufuk timur dan terbenamnya ke ufuk barat. Oleh karena itu, taubat dengan sungguh-sunggu dan berjanji untuk tidak melakukan kesalahan yang sama  merupakan solusi utama untuk pengampunan dosa.

















Implikasi Al-Ghaffar dalam keagamaan bahwa dengan meyakini Allah sebagai Al-Ghaffar berarti pintu taubat untuk penghapusan kesalahan dan dosa-dosa seorang hamba masih terbuka. Dalam artian selama seorang hamba tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun bagi siapa yang benar-benar ingin bertaubat. Dalam konteks keimanan dan akidah, dengan meyakini Allah sebagai Al-Ghaffar seorang hamba senantiasa bisa meningkatkan kualitas keimanan dan selalu menjaga hati dari hal-hal yang mengotori hati. Sehingga dalam beribadah kepada Allah tidak ada kotoran (dosa) yang menjadi tabir penghalang antara Allah dan hamba-Nya.
Dalam kehidupan sehari-haripun kita bisa mengimplikasikan Al-Ghaffar untuk menjalin hubungan antara seorang hamba dengan hamba yang lain. Sebagai seorang pemaaf, itu merupakan salah satu bentuk pengimplikasian Al-Ghaffar dalam konteks kehidupan bermasyarakat agar saling memahami dan menjaga hati. Menjadi pemaaf memang tidak mudah, tapi Allah saja memaafkan semua dosa hamba yang salah apalagi kita manusia biasa.



[1] M. Quraish Shihab, Menyingkap tabir Ilahi: Asma al husna dalam perspektif al Qura’an,  (Jakarta:Lentera Hati, 2005), hal, 81-84.
[2] Ibid, hal, 85
[3] K.H. Zainal Abidin, Pengamalan Asmaul Husna dalam Kehidupan Sehari-hari, (Jakarta:pt. pertja, 2001),hal, 37

0 Comments:

Post a Comment