PEMBAHASAN
A. Makna Sifat Al-Wakiil
Kata Al-wakil
mengandung arti Maha Mewakili atau Pemelihara. Al-wakil yaitu Allah SWT yang
memelihara dan mengurusi segala kebutuhan makhluk-Nya, baik itu dalam urusan
dunia maupun urusan akhirat.
Firman Allah
dalam surat Az-Zumar ayat 62:
Artinya : “
Allah SWT pencipta segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara atas segala sesuatu.”[1]
Al-Wakiil
merupakan satu dari nama-nama Allah yang bagus dan berberkah. Al-wakiil menurut
Ibnu Manzhur, berarti penannggung jawab dan penjamin rezeki hamba. Dan
sebenarnya, Dia sendirilah yang menjamin urusan hamba itu. Dalam Al-qur’an
ditegaskan, “janganlah kamu mengambil penolong selain Aku.”(QS.
Al-Isra: 2) menurut pendapat lain, al-wakiil berarti penjaga, sedangkan
menurut Abu Ishak, al-wakil dalam konteks sifat Alah adalah Zat yang diserahi
tanggung jawab atas semua ciptaan-Nya. Sedang ulama lain mengartikan al-Wakiil
sebagai penjamin.
Dari pendapat
yang dikemukakan oleh Ibnu Manzhur, bahwa arti asma Al-Wakiil adalah Zat yang
bertanggung jawab atas semua makhluk-Nya, dalam pengertian yang menciptakan
dari ketiadaan, dapat dipahami bahwa segala sesuatu selain Allah adalah makhluk
ciptaan, dan setiap makhluk berangkat dari ketiadaan; karena hanya Allah lah
yang mampu menciptakan semua makhluk itu dari ketiadaannya. Seperti yang
terkanndung dalam surat Al-Insan ayat 1-2 yang artinya “Bukankah telah
datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang dia ketika itu belum merupakan
suatu yang dapat disebut? Sesungguhnya Kamu telah menciptakan mani. Dari
setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan
larangan), karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat” (QS.
Al-Insan:1-2). Setelah menciptakan mereka, kini Allah bertugas mengawasi
dan menjaga mereka, menganugrahkan kepada mereka sarana-sarana untuk bertahan
hidup dan menjaga nereka dari kepunahan. Kalau Allah tidak melakukan seperti
itu, niscaya langit, bumi beserta isinya akan hancur.[2]
B. Kandungan Sifat Al-Wakiil
“Allah tidak ada Tuhan melainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus
mengurus (makhluk-Nya). Tidak mengantuk dan tidak pula tidur” (QS. Al-Baqarah: 255). Dari
pengertian ini, kalau Allah sendiri yang sendiri yang menjadi tempat bergantung
segala urusan makhluk-Nya, dan tidak bergantung kepada yang lain, maka makhluk
seharusnya menjadikan-Nya sebagai tempat bergantung, satu-satunya, sebagaimana
Dia memerintahkan Rasul SAW untuk bertawakal kepada-Nya. “bertawakal lah
kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati. Bertasbih lah dengan
memuji-Nya” (QS. Al-Furqon: 58).
Kata “Tawakal”
yang juga berakar kata dengan “ wakil, bukannya berarti penyerahan secara
mutlak kepada Allah, tetapi penyerahan tersebut harus didahului dengan usaha
manusiawi. Seorang sahabat Nabi menemui Beliau di masjid tanpa terlebih dahulu
manambatkan untannya. Ketika Nabi SAW menanyakan tentang untanya dia menjawab,
Aku telah bertawakal kepada Allah. “ Nabi meluruskan kekeliruannya tentang arti
“tawakal” dengan bersabda “ iqilha tsumma tawakkal” (Tambatkanlah terlebih
dahulu (untamu) kemudian setelah itu beratawakkalah) (H.R. Attirmidzi)
Dalam
al-qur’an kata wakiila terulang sebanyak 13 kali, sembilan di antaranya
merupakan perintah tegas atau tersirat untuk menjadikan Allah wakiila. Di sisi
lain perlu dikemukakan bahwa perintah menjadikan-Nya wakiil, kesemuanya dapat
dikatakan didahului oleh perintah melakukan sesuatu, baru disusul dengan
perintah bertawakkal. Dalam surat Al-Maidah ayat 23 menjelaskan “ serbulah
mereka melalui gerbang (kota), maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang
dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal jika kamu benar-benar orang
yang beriman.”[3]
Kepada siapa
orang-orang mukmin itu bertawakal kalau
tidak kepada-Nya? Kepada siapa mereka berpegangan kalau tidak kepada-Nya?
Sesungguhnya, tawakal kepada Allah adalah mengggantungkan diri kepada-Nya dalam
memperjuangkan islam dan dalam berdakwah kepada Allah, terutama ketika
berhadapan dengan kekuatan dan kesewenang-wenangan para penguasa tiran yang
menekan kebenaran. Di sinilah seharusnya kaum mukminin itu harus berpegang
teguh prinsip, bermental baja dan bertawakkal kepada Tuhan sekalian alam.
Tawakal kepada
Allah bukan berarti bermalas-malasan dan tidak mau berusaha, seperti yang
dilakukan mayoritas kaum muslimin saat ini. tetapi tawakal kepada Allah adalah
dengan menjalankan yang benar, memegang teguh prinsip dan bersabar menghadapi
tekanan dari yang tidak benar. Dari sini jelas bahwa agama bukannya
menganjurkan perintah bertawakal atau menjadikan Allah sebagai “wakiil” agar
seseorang tidak berusaha atau mengabaikan hukum-hukum sebab-akibat. Tidak!
Islam hanya menginginkan agar umatnya hidup dalam realita, realita yang
menunjukan bahwa tanpa usaha tak mungkin tercapai harapan
C. Contoh Ilustrasi Sifat
Al-Wakiil
Dalam
kehidupan sering kita menemukan kegagalan. Dari kegagalan ini akan lahir dua
tipe manusia, pertama tipe orang optimis (tawakal) yang memasrahkan dan
meyakini bahwa segala urusan apapun dalam kehidupan ini ada yang mengatur. Tipe
manusia kedua adalah tipe orang putus asa, orang-orang seperti inilah yang
tidak menyadari bahwa dibalik sesuatu yang kita alami, kita lihat, kita dengar,
kita rasakan ada hikmah yang harus kita ambil pelajaran untuk menjalani masa
depan.
Ada seseorang
yang mengatakan hidup itu ibarat berjalan mnegendarai mobil. Kaca depan dan
kaca spion merupakan dua kaca yang sangat penting diperhatikan. Kaca depan
pasti lebih besar dari kaca spion. Ini menandakan bahwa peluang kehidupan di
depan lebih besar. Kita hanya perlu melihat ke balakang melalui kaca yang kecil
untuk memastikan bahwa pergerakan kita tidak membahayakan orang lain. coba
bayangkan bagaimana jadinya jika mengendarai mobil, kita lebih banyak
memandangi kaca spion, tentu bakal terjadi sesuatu yang kita tidak inginkan dan
bahkan bisa merugikan orang lain. demikianlah perumpamaan orang-orang yang
terlalu banyak memandangi dan meratapi masa lalu. Dia akan mencelakakan dan
mengganggu orang disekitarnya.
Sebuah pepatah
mengatakan “Manusia hanya bisa berencana, Tuhanlah yang menetukan”. Pepatah ini
sangat tepat manggambarkan bahwa Allah adalah
Al-Wakiil, yang siap membantu untuk menyelesaikan masalah-masalah kita.[4]
Kisah perang
Uhud ini merupakan contoh yang paling baik yang menggambarkan pemahaman yang
benar tentang konsep tawakal kepada Allah. Contoh ini menjelaskan islam sebagai
akidah, syariat, dan metodologi kehidupan. Contoh yang menggerakan hati untuk
menyeru kepada Allah dan melawan musuh-musuh-Nya. Mereka yang dicontohkan dalam
contoh ini benar-benar bertawakal, berlindung dan berserah di balik perlindugan
Allah. Dan Allah pun melihat kebenaran itu, menghukumi berdasarkan kebenaran itu
dan membantu kebenaran itu dengan pertolongan-Nya. Mereka itulah
orang-orang yang memahami makna firman Allah, “Katakanlah, cukuplah Allah
bagiku. Kepada-Nya-lah bertawakal orang-orang yang berserah diri” (QS.
Az-Zumar: 38)
D. Implikasi Al-Wakiil
Dalam
kepemimpinan, kalau kita sebagai pemimpin kita wajib melindungi yang lemah dari kezaliman itu bersifat fisik
atau mental (jiwa). Setiap pribadi juga hendaknya berusaha untuk menjadi
pelindung sesuai menurut kedudukannya dan kemampuannya dalam masyarakat negara.
Tanggungjawab sebagai pemimpin, tentu lebih berat dan banyak daripada orang
biasa. Demikian juga seseorang yang sudah mendapat amanat itu termasuk
memelihara dan menjaga apa yang kita miliki, karena semuanya adalah amanah dari
Allah.
Sekiranya ada
masalah yang memerlukan kesaksian, handaklah menjadi saksi yang baik dan jujur
dan tidak memihak kepada keluarga atau golongan sendiri. Dalam masyarakat
masing-masing kita hendaknya menjadi pelindung
si lemah, memelihara amanah, mejaga kemaslahatan umat (sesama) dan
menjadi saksi yang jujur dalam menyelesaikan suatu kasus(perkara).
PENUTUP
Al-wakiil
yaitu Allah SWT yang memelihara dan mengurusi segala kebutuhan makhluk-Nya,
baik itu dalam urusan dunia maupun urusan akhirat. Al-Wakil dalam konteks sifat
Alah adalah Zat yang diserahi tanggung jawab atas semua ciptaan-Nya. Dalam sifat Al-Wakil itu terdapat satu sifat
yang bagi manusia yaitu Tawakkal. tawakal kepada Allah adalah mengggantungkan
diri kepada-Nya dalam memperjuangkan islam dan dalam berdakwah kepada Allah,
terutama ketika berhadapan dengan kekuatan dan kesewenang-wenangan para
penguasa tiran yang menekan kebenaran. Dan agama bukannya menganjurkan perintah
bertawakal atau menjadikan Allah sebaga i “wakiil” agar seseorang tidak
berusaha atau mengabaikan hukum-hukum sebab-akibat
DAFTAR PUSTAKA
Sulaiman, Umar. 2010.
Al-Asma Al-Husna. Jakarta: Qitshi Press
Al Ghazali. 1999. Al Asma
Al Husna. Bandung: MIZAN
file:///E:/AL-WAKIIL%20%20Yang%20Maha%20Mewakili%20Pemelihara%20%20%20didaytea.html,tgl 21 januari 2015, jam 14.13
file:///E:/ISLAMUNA%20%20MATERI%203%20%20ASMAUL%20HUSNA.html,
21 januari 2015, jam 14.15
[1]
file:///E:/AL-WAKIIL%20%20Yang%20Maha%20Mewakili%20Pemelihara%20%20%20didaytea.html,tgl 21 januari 2015, jam 14.00
[3]
file:///E:/ISLAMUNA%20%20MATERI%203%20%20ASMAUL%20HUSNA.html, 21 januari
2015, jam 14.15
[4]
file:///E:/AL-WAKIIL%20%20Yang%20Maha%20Mewakili%20Pemelihara%20%20%20didaytea.html,tgl 21 januari 2015, jam 14.13
0 Comments:
Post a Comment