Hadist
Berbuat Baik Terhadap Sesama
serta Implikasinya diKehidupan
Makalah
ini dibuat guna memenuhi tugas mata kuliah
Pembelajaran
Al-Quran dan Hadist di sekolah dan Madrasah
Dosen
pengampu: Mahmud Arif, M.Pd.I
NAMA
:
Achmad Siddicq NIM: 13410171
Hafidz Asad
Murtadho NIM: 134101
FAKULTAS ILMU
TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
SEMESTER GANJIL
2014/ 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul “Hadist
Berbuat Baik terhadap Sesama serta Impikasinya diKehidupan” ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Penyusun mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat dalam
dunia pendidikan dan bagi siswa yang sedang menempuh pembelajaran yang
berkenaan dengan Pembelajaran
Al-Quran dan Hadist di sekolah dan Madrasah.
Tidak lupa penyusun mengucapkan terima kasih kepada Mahmud
Arif, M.Pd.I. selaku dosen mata kuliah Pembelajaran Al-Quran dan Hadist di
sekolah dan Madrasah yang telah membimbing dalam
penyusunan makalah ini.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dalam
kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritikan sangat diharapkan dari penyusun.
Yogyakarta,
9 Maret 2015
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dewasa ini seiring bertambahnya zaman, tidak menjamin bertambah baiknya
perbuatan sosial dalam bermasyarakat. Terbukti dengan banyaknya kasus yang
sering tersorot oleh kacamata wartawan, seperti kasus narkoba, korupsi,
pembunuhan, pemerkosaan, aksi begal, dan lain-lain. Hal ini sebenarnya
disebabkan hal sepele yang kurang pantas namun sudah terlampau sering dilakukan
hingga menjamur menjadi kebiasaan masyarakat yang sulit dihilangkan.
Walaupun tidak mengesampingkan bahwa masih banyak warga yang berkelakuan
baik dengan sesamanya yang tidak tersorot kamera. Memang pada permukaannya
telah banyak terbukti juga dengan masih banyaknya warga masyarakat yang berbuat
baik kepada sesamanya namun modus perbuatannya bermacam-macam, ada yang memang
tulus mengerjakan namun ada juga yang bukan berasal dari hati nurani seperti
hanya ingin dipuji, memperoleh pangkat dimasyarakat, mengikuti tradisi semata
tanpa menggunakan dasar aqli dan naqli yang kokoh. Hal ini membuat perbuatan
baiknya hanya bersifat sementara dan individual, dalam artian seseorang
mengerjakan kebaikan hanya untuk kepentingan sendiri dan tidak mengajak orang
lain untuk berbuat kebaikan.
Selayaknya seseorang berbuat kebaikan dengan landasan keyakinan hati nurani
yang teguh serta mempunyai dasar naqli dan aqli yang kuat, sehingga kebaikan
kepada sesama yang dipancarkan dapat berjalan secara terus menerus. Ditambah
lagi dapat mengajak yang lain untuk berbuat kebaikan.
Dalam makalah ini pembaca diajak untuk mempelajari beberapa hadist yang
menyeru ke kebaikan kepada sesama disertai tafsir dan penjelasan secara aqli
sehingga akan menambah keyakinan untuk berbuat baik. Ditambah dengan
implementasinya dalam kehidupan untuk mempermudah dalam memahami isi makalah.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana dasar aqli dan
naqli untuk berbuat baik kepada sesama?
2.
Bagaimana dasar hadist
beserta tafsirnya untuk memotivasi seseorang untuk mengajak baik kepada sesama
muslim?
3.
Bagaimana dasar hadist dan
tafsirnya untuk bersedekah kepada sesama warga masyarakat?
C. Tujuan Makalah
1.
Mahasiswa diharapkan dapat
faham dan menganalisis dasar aqli dan naqli untuk berbuat baik kepada sesama.
2.
Mahasiswa diharapkan dapat
faham dan menganalisis dasar hadist beserta tafsirnya untuk memotivasi
seseorang untuk mengajak baik kepada sesama muslim.
3.
Mahasiswa diharapkan dapat
faham dan menganalisis dasar hadist dan tafsirnya untuk bersedekah kepada
sesama warga masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Berbuat Baik Pada Sesama
“Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah berbuat baik
kepadamu”(QS. Al Qashash: 77)[1]
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan untuk berbuat baik
kepada apapun dan siapapun didunia ini layaknya Allah telah berbuat baik kepada
Alam semesta. Dan tidak ada keridhoan dan keberkahan sama sekali jika umat
muslim melakukan kejahatan diluar jalan Allah.
Jika ditinjau dari sudut pandang bahasa, ayat tersebut
berlaku untuk semua makhluk dan kepada semua makhluk tidak hanya manusia saja,
dikarenakan tidak terdapat subjek dan objek yang jelas. Tidak seperti hadist
lain yang menyebutkan objek perintah secara jelas seperti ahadukum (seseorang),
yaa bani adam (wahai anak adam/ manusia), muslimin (orang-orang
muslim), mukminin (orang-orang beriman). Jadi hadist ini memerintahkan
untuk berbuat baik tidak hanya kepada manusia atau orang islam saja, melainkan
kepada semua orang baik itu muslim atau tidak, laki-laki atau perempuan dan
seluruh makhluk yang berada dibumi seperti hewan, tumbuhan maupun benda mati
yang terdapat didunia ini.
Perintah berbuat baik secara universal lebih kuat ditambah
dengan perbuatan baik yang dianalogikan dengan ihsan atau perbuatan
baiknya Allah. Sedangkan kita semua mengetahui bahwa Allah berbuat baik dengan
sifat Ar-Rahman kepada semua makhluk tanpa terkecuali mulai dari semut
hitam yang terdapat dipadang pasir hingga bintang-bintang terjauh dari bumi
yang berada diantariksa mendapat perhatian dan kebaikan Allah.
Tentu saja kita tidak dapat berkelakuan baik layaknya yang
Allah lakukan kepada seluruh Alam semesta ini. Namun setidaknya kita harus
meniru sifat ihsan Allah yang menyebarkan kebaikan diseluruh alam
semesta tanpa terkecuali tanpa memandang itu berguna bagi kita atau tidak dan
tanpa memandang besar kecilnya bantuan kebaikan yang kita berikan kepada
sesama. Meskipun yang kita berikan hanyalah sedikit dan mungkin tidak berarti
bagi kita, namun belum tentu itu juga tidak berarti bagi si penerima,
kemungkinan si penerima malah beranggapan bahwa pemberian ini sangat berharga
dan bernilai baginya. Dalam beberapa hadist juga tidak sedikit yang menyebutkan
tentang anjuran untuk berbuat baik sekecil apapun itu, seperti dalam hadist:
Dari Abi Dzar berkata: Rasullah Bersabda: “janganlah kamu meremehkan
kebaikan sekecil apapun, sekalipun engkau bertemu saudaramu dengan wajah
berseri” (HR. Muslim)
Perawi hadist ini adalah Sahabat Abu Dzar yang merupakan sahabat zuhud dari
kalangan muhajirin, masuk Islam sejak awal beliau juga meriwayatkan beberapa
hadist shoheh.[2]
Dalam hadist ini secara jelas memerintahkan kepada kita semua untuk tidak
meremehkan kebaikan dalam bentuk apapun termasuk kebaikan yang hanya dipandang
sepele, yaitu berwajah berseri. Mungkin bagi kita berwajah berseri merupakan
hal yang sepertinya sepele dan tidak berarti, namun sesungguhnya sebuah
senyuman yang diberikan memberikan dampak positif kepada keduanya. Karena dalam
sudut pandang psikologis wajah yang berseri mencerminkan kebahagiaan hatinya
dan sikap ramah kepada lingkungan disekitarnya, dan ketika seseorang menebarkan
kebahagiaan kepada sesamanya maka kebahagiaan itu akan menyalur ke lingkungan
sekitarnya sehingga memberikan energi positif untuk semuanya.
Penggunaan kata Tahqir yang berarti meremehkan, menghinda, menyakiti
hati dan menurunkan pangkat bermakna sangat luas. Meremehkan disini tidak hanya
dalam bentuk tindakan yang jelas terlihat namun bisa juga berupa perkataan yang
tajam maupun yang menyindir. Bisa juga hanya menggunakan perasaan hati yang
tidak terima. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui isi hati seseorang.
Dan secara implisit ayat ini memerintahkan kita untuk berwajah senyum,
gembira dan berseri ketika kita berjumpa dengan saudara kita. Dalam hadist ini
menyebutkan bi wajhi tholqi maksudnya wajah yang berseri, redaksi yang
tertulis adalah wajah bukannya mulut, gigi ataupun senyuman. Jadi yang dimaksud
wajah yang berseri ini bukan hanya senyum yang berseri saja, namun seluruh
wajah termasuk raut muka, mata, pipi, dahi dan lain-lain juga selayaknya ikut
berseri. Dengan berserinya wajah secara sempurna akan memberikan rasa cinta dan
gembira kepada mereka semua.
Kemudian mengapa Allah melambangkan pemberian yang paling sepele adalah
wajah yang berseri? Dalam suatu riwayat juga pernah disebutkan bahwa tersenyum
kepada saudara berarti shodaqoh yang paling mudah dan bersifat universal
sehingga dapat dilakukan oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Tanpa ada yang
merasa tersinggung atau marah, bahkan dengan senyuman yang berseri akan
membuat suasana menjadi bahagia, harmoni, tenang, tentram dan akan lebih
mudah dalam menyelesaikan masalah. Menebarkan wajah yang berseri tidak hanya
memberikan dampak positif bagi diri sendiri, melainkan berefek positif kepada
semua orang yang berada disekitarnya.
B. Berbuat Baik dengan Bershodaqoh
Selain hadist diatas masih ada hadist yang menunjukkan untuk memerintahkan
kita berbuat baik kepada tetangga kita meskipun hanya sedikit selain itu kita
juga selayaknya menghargai pemerian tersebut seperti dalam hadist:
Dari Abu Hurairah r.a. katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda:
"Jika engkau memasak daging maka perbanyaklah kuahnya, kemudian perhatikan
dari keluarga tetanggamu, maka hendaklah engkau memberikan dari sebagian kuah
daging tadi dengan cara yang baik."(Muttafaq 'alaih).[3]
Secara jelas dalam hadist ini Rasulullah menyuruh seorang muslim dalam
memasak daging berkuah (seperti gulai) disuruh untuk memperbanyak kuahnya dalam
rangka memperhatikan tentangganya. Walaupun hanya sekedar memberikan sedikit
bagian dari daging tersebut atau sekedar memberikan kuahnya saja. Dalam konsep
shodaqoh, bukan seberapa banyaknya kita memberi, melainkan sudahkan kita
memberi mereka shodaqoh? Oleh karena itu kesadaran dalam bershodaqoh sebaiknya
kita pupuk sedini mungkin. Sedikitnya harta kepunyaan kita tidaklah menyurutkan
niat kita untuk berbagi dengan yang lain. Dalam bershodaqoh kita tidak harus
dalam jumlah yang banyak dan kepada orang banyak.
Mengapa Rosulullah sangat menganjurkan umatnya untuk bershodaqoh walau hanya
sedikit? Karena sesungguhnya salah satu wujud syukur kita terhadap nikmat
pemberian Allah adalah dengan bershodaqoh. Saat bershodaqoh kita berbagi
kenikmatan bersama dengan saudara dan tetangga kita, selain itu bershodaqoh
termasuk perbuatan baik yang berdampak positif bagi orang disekelilingnya
sehingga tali silaturahim tetap terjaga dengan erat.
Dalam hadist ini kita seakan-akan diberikan isyarat untuk jangan sekali-kali
menghinakan tetangganya yang memberikan sesuatu kepada kita, sekalipun itu
berupa kuah daging, daging yang sedikit atau apapun yang dianggap tidak terlalu
bermanfaat bagi kita.[4]
Hadist ini sebenarnya menyuruh kita untuk bersikap qanaah (menerima)
apapun pemberian yang kita terima dan bersyukur karena kita telah diperhatikan
dengan diberikannya sesuatu dari tetangga kita. Dan pada saat orang tersebut
tidak menerima dan tidak bersyukur atas pemberian yang kecil kelak akan diberikan
nikmat yang besarpun dia tidak akan bersyukur juga seperti yang dikatakan dalam
hadist:
“tidak bersyukur kepada Allah orang yang enggan bersyuur kepada sesama
manusia”[5]
Selain perintah untuk bersyukur dan qanaah hadist tersebut juga
memberikan isyarat untuk membagikan kebaikan kepada sesama dalam bentuk sekecil
apapun. Karena sesungguhnya memberi yang sedikit itu lebih baik daripada tidak
memberi samasekali. Jika ada yang mempermasalahkan mengenai pahalanya, Allah
pasti akan membalas perbuatan baik sekecil apapun dengan perbuatan baik juga
seperti yang sudah dijanjikan Allah pada Al-Quran.
Sedangkan dari sudut pandang sosial-psikologis tetangga yang saling
memberikan kenikmatan dan kebahagiaan sekecil apapun itu akan mempererat
hubungan kekeluargaan dan silaturahim mereka. Sehingga perhatian dan
kebahagiaan yang diberikan kepadanya akan lebih besar daripada tetangga yang
tidak memberikan apapun kepada tetangga sekitarnya. Akhirnya kebahagiaan,
ketentraman, kenyamanan dan kekeluargaan dengan lingkungan sekitar akan
didapatkan.
C. Motivasi Berbuat Baik
Setelah menjelaskan sedikit dari perbuatan baik yang bisa kita lakukan
terhadap sesama teman, keluarga, tetangga dan saudara kita. Akan terlalu naif
jika kita menyimpan kebaikan untuk diri kita sendiri, alangkah baiknya kita
juga bisa mengajak mereka untuk berbuat baik layaknya yang sudah kita lakukan
kepada mereka. Kami meyakini kalau semua masyarakat muslim sudah bisa memilih
dan menentukan mana perbuatan baik dan yang salah. Namun tidak sedikit juga
dari mereka yang tetap tidak ingin mengajak masyarakat disekitarnya untuk
berbuat pada kebaikan, malah lebih parah lagi tidak sedikit masyarakat yang
masih melakukan perbuatan kurang terpuji.
Hal ini disebabkan oleh kurangnya motivasi, dorongan oleh lingkungan sekitarnya
dan penjelasan untuk berbuat kebaikan yang rasional dan masuk akal. Dengan
adanya motivasi untuk berbuat kebaikan yang meyakinkan dan terus-menerus
diharapkan virus-virus kebaikan akan selalu tersebar luaskan dengan cepat.
Lingkungan juga tidak kalah pentingnya, karena dengan lingkungan yang tepat dan
mendukung untuk kebaikanlah masyarakat yang tentram damai dan saling berbuat
baik akan terbentuk. Namun itu semua belum cukup dibutuhkan motivasi dari diri
sendiri berupa pemikiran yang masuk akal untuk dapat berbuat baik serta
membumikan kebaikan.
Pada zaman globalisasi ini bukanlah doktrin-doktrin keagamaan berupa
Al-Quran dan Hadist belaka namun akan lebih berarti jika terdapat beberapa
argumen dan penjelasan yang ilmiah sehingga dapat diterima oleh akal rasio.
Berikut ini terdapat Hadist riwayat Muslim yang dikutip dari kitab Shohih
Muslim dari hadist nomer 6750 yang berbunyi:
“Dari Abu Hurairah r.a bahsannya Rasulallah SAW bersabda: “Barangsiapa
menyeru kepada hidayah (petunjuk) maka ia mendapatkan pahala sebagaimana pahala
orang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa
menyeru kepada kesesatan maka ia mendapatkan dosa sebagaimana dosa yang
mengerjakannya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun” (HR. Muslim)[6]
Perawi hadist ini adalah Abdurrahman bin Shakhr Ad Dausy yang masuk pada
tahun Khaibar (7 H). Karena kecintaannya pada Rasulallah, dia selalu menyertai
Rasul sehingga dijuluki sebagai salahsatu sahabat yang paling banyak
menghafalkan hadist.[7]
Secara jelas telah disebutkan pada hadist diatas bahwa yang menyeru dan
mengajak kepada kebaikan dan sebagai imbalannya kita akan mendapatkan pahala
yang sama besarnya dengan orang yang kita diajak tadi tanpa mengurangi
sedikitpun pahalanya. Namun sebaliknya orang yang mengajak kepada kejelekan,
fitnah, bid’ah, atau melanggar aturan Allah sebagai konsekuensinya akan
mendapatkan siksaan dan dosa seperti orang yang melakukannya dengan kadar yang
sama.
Konsep ini secara modern diadopsi menjadi teknik marketing yang sering kita
kenal dengan istilah MLM (Multi Level Marketing) namun dalam Islam
sering kita sebut dengan istilah amal jariyah. Dalam konsep ini jika kita
megajarkan hal baik kepada Ani seperti lafadz basmalah maka kita akan mendapat
pahala bernilai (semisal) 1. Kemudian setelah beberapa lama Ani melakukan
kebaikan yang kita ajarkan maka selain Ani akan mendapatkan pahala kebaikannya
sendiri bernilai (semisal) 1 maka kita juga akan mendapatkannya juga senilai
seperti yang Ani kerjakan. Setelah itu Budi melihat Ani mengerjakan kebaikan
kemudian Ani mengajarkan kebaikannya itu. Saat Budi melakukan kebaikan yang
kita ajarkan maka pahala kebaikan akan datang secara berantai Budi, Ani dan
kita akan mendapatkan pahala yang sama (semisal) bernilai 1. Dan seterusnya
ketika Budi mengajarkan kepada Citra dan teman teman lainnya. Jika kita boleh
mengilustrasikan contoh akan seperti gambar disamping berikut. Begitu juga jika
kita mengajarkan kejahatan atau kejelekan, maka dosa dan siksa yang akan
mengalir secara berantai.
Rantai kebaikan amal jariyah seperti ini tidak akan putus sampai kapanpun
bahkan jika kita sudah sampai liang lahat sekalipun. Karena dalam janjinya
Allah telah berfirman bahwa terdapat 3 amal yang akan tetap hidup walaupun kita
sudah meninggal, salah satunya adalah amal jariyah. Amal Jariyah ini juga
berlaku pada siapapun dan bersifat universal. Selain itu Allah akan mencatat
dan menganggap tindakan baik sekecil apapun sebagai perbuatan baik yang akan
dibalas oleh Allah secara adil. Sekecil apapun itu kalau memang bersifat baik
dan berdampak baik bagi sesama maka akan mendapat pahala yang berantai pula
seperti lafadz basmalah. Walau sepertinya hanya sepele namun bernilai
kemanfaatan yang tinggi dan jika kita mengajarkannya mulai dari anak-anak maka
hasilnya kita akan memperoleh rantai pahala dari mereka anak-anak hingga dewasa
nanti maka beruntunglah bagi kalian yang mengajar dan mendidik saudara-saudara
muslim kita terkhusus yang berada di TPA atau mengajar anak-anak. Begitu
mulianya pekerjaan mereka sehingga Allah membalasnya dengan pahala yang
berantai tanpa ada habisnya.
Terdapat kata-kata mutiara dari Anis Baswedan yang dikatakan disebuah acara
di Metro TV mengenai semangat kerelawanan pengajar disebuah yayasan pendidikan,
beliau berkata “Relawan yang bekerja berasaskan suka cita jarang dibayar dengan
uang bukannya mereka tidak dihargai, namun karena mereka tak ternilai
harganya.” Pendapat Kepala Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tersebut sangat
cocok jika dikaitkan dengan hadist ini. Memang banyak relawan dan guru-guru
yang dibayar dengan gaji yang sedikit bahkan tidak dibayar dengan uang, namun
mereka mendapatkan pahala dan energi positif yang berantai jika anak didiknya
melakukan kebaikan yang diajarkan oleh sang guru. Pahala dan energi positif
itulah gaji yang tak ternilai harganya bahkan dengan uang sekalipun.
Bagaimana bisa dapat diuangkan jika mengajar kepada satu orang saja pahala
dan energi positif yang diterimanya mengalir terus menerus mulai dari diajar
kita hingga mereka tua dan kemudian mereka mengajar kepada anak mereka.
Alangkah beruntungnya jika seseorang mengajarkan suatu hal yang baik kepada
seseorang karena mendapatkan pahala dan energi positif yang terus menerus.
DAFTAR
PUSTAKA
Haryanto, Eko Abu Ziyad. 2010. Muqorroru Al Hadist lil Mustawa Al Ula:
Panduan Hadist level-1. Islahouse.com: Divisi Dakwah Kantor Jaliyat Rabwah.
Marwan. 2012. Jauhi Sikap Menganggap Remeh diakses di http://salafy.or.id/blog/2012/12/22/jauhi-sikap-
menganggap-remeh/ pada tanggal 8 Maret 2015
Muhammad, Mahmud Al-Khazandar
2009. Al-Ihsan: Berbuat Baik, Islamhouse.com
Nawawi, Imam. Riyadhus Sholikhin. Ummul Quro
[1]
Mahmud Muhammad Al-Khazandar, Al-Ihsan: Berbuat Baik, (Islamhouse.com, 2009),
hlm 3.
[2]
Eko Haryanto Abu Ziyad, Muqorroru Al Hadist lil Mustawa Al Ula: Panduan
Hadist level-1, (Islahouse.com: Divisi Dakwah Kantor Jaliyat Rabwah, 2010),
hlm 3.
[3]
Marwan, Jauhi Sikap Menganggap Remeh, diakses di http://salafy.or.id/blog/2012/12/22/jauhi-sikap-
menganggap-remeh/ pada tanggal 8 Maret 2015
[4]
Imam Nawawi, Riyadhus Sholikhin., (ummul quro) hlm 110.
[5]
Ibid.
[6]
Eko Haryanto Abu Ziyad, Op.Cit., hlm 4.
[7]
Ibid.
0 Comments:
Post a Comment