NAMA : ATIH FATMIANI
KELAS : PAI/ IVC
NIM :
13410087
AL KARIM
Salah satu
dari al-asma’ al-husna adalah Allah Yang Mulia (al-Karim) dan Yang
Sangat Mulia (al-Akram). “Barang siapa bersyukur, maka sesungguhnya dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya, dan barang siapa ingkar, maka sesungguhnya
Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (Qs. An-Nahl: 40). Disamping menyandang
al-Karim (Yang Mulia), Allah juga menyandang al-Akram (Yang Sangat Mulia), yang
tidak ada yang lebih mulia dari-Nya.
Al-Karim dan
Al-Akram, yang mempuyai keagungan dan keluhuran itu, punya singgasana yang juga
Maha Mulia. “Maka Mahatinggi Allah, Raja yang sebenarnya, tidak ada Tuhan
selain Dia. Tuhan (yang mempunyai) Arsy yang mulia.” (Qs. Al-Mu’minun: 116).
Al-Karim
menurut Abu Qosim az-Zujaj, berarti al-jawad (Dermawan), al-Aziz
(Perkasa), dan al-Shaffuh (Pemaaf). Ghazali menjelaskan asma
al-Karim adalah yang bila berkuasa akan mengampuni, yang bila berjanji akan
menepati, yang bila memberi akan memberi lebih dari yang diminta. Zat yang
dalam dirinya terhimpun semua yang disebut diatas tanpa paksaan, maka Zat itu
adalah yang mulia (al-karim) dalam pengertian yang sebenarnya. Dan itu hanya
milik Allah semata.” (Al-Maqshad al-Asna: 96). Allah memang al-Karim, karena
telah melebihkan kita keturunan Adam dan memuliakan kita diatas makhluk lain.
“Sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam. Kami angkat mereka didaratan
dan di lautan.”(Qs. Al-Isra’: 70).[1]
Al –Karim
(Yang Mahamulia) adalah Dia yang memaafkan jika dia mampu, memenuhi janji bila
berjanji, dan berlebihan bila memberi, dia juga tidak memperhatikan berapa
banyak yang diberikan-Nya. Jika suatu kebutuhan dihadapkan kepada orang lain,
Dia menjadi tidak bahagia, jika Dia diperlakukan dengan buruk, Dia marah namun
tidak menuntut balas. Siapapun yang memohon bantuan dan perlindungan
kepada-Nya, maka Dia tidak akan rugi, dan orang bisa saja menolak permohonan
mendesak dan perantara. Dia yang memadukan semua ini dalam dirinya, tanpa
dibuat- buat, maka dia benar-benar murah hati, dan itu hanya milik Allah SWT.[2]
Al-karimu
artinya Allah Maha Mulia. Karena Maha Mulia maka Allah amat pemurah, memberikan
segala apa yang dibutuhkan makhluknya tanpa diminta terlebih dahulu. Pemberian
Allah tidak terbatas, ada kalanya pemberian-Nya melebihi apa yang dibutuhkan
makhluk-Nya. Allah memaafkan kesalahan orang yang meminta maaf, memenuhi janji,
memenuhi permohonan hamba-Nya, berlebih saat memberi dan Dia tidak menghitung
berapa nikmat dan karunia yang telah Dia berikan karena tidak pernah merasa
rugi.
Alam dan
segala isinya ini terwujud adalah atas kemuliaan dan kemurahan Allah. Allah
berfirman dalam Qs. An-Naml: 40 yang artinya: “berkatalah orang yang mempunyai
ilmu dari al-Kitab: ‘Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum kamu
berkedip’. Maka tatkala sulaiman melihat singgasana itu terletak dihadapannya,
ia pun berkata: ‘ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku
bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur
untuk (kebaikan dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya
Tuhanku Maha Kaya dan Maha Mulia.” (Qs. An-Naml : 40). Ayat ini menjelaskan
kepada kita tentang orang yang beriman dan orang yang ingkar kepada Allah SWT.
Orang yang beriman, mereka tidak sombong, merendahkan diri, mensyukuri apa yang
Allah berikan kepadanya. Bagi orang yang ingkar maka mereka akan mengingkari
janjinya dan menganggap Allah tidak ada campur tangan dalam kehidupannya.[3]
Dalam
referensi yang lain dikatakan bahwa al- Karim terambil dari huruf kaf, ra’, dan
mim yang berarti kemuliaan, kedermawanan serta keistimewaan sesuai
objeknya.[4]
Qaulun karim berarti ucapan yang baik, yang benar, mudah difahami, dan
sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata karim juga mengandung makna keluhuran
budi. Dalam al- quran kata al- karim ditemukan sebanyak 23 kali. Ada yang
menyifati rizki, pasangan, ganjaran, malaikat, rasul, maqam (kedudukan),
naungan, surat, al- quran, ucapan, bahkan ejekan untuk orang durhaka.
Terdapat 3 ayat
yang menyifati Allah dengan Karim. Kesemuanya menunjukkan kepada-Nya dengan
kata Rabb (pemelihara). Al- karim adalah Dia yang Maha Pemurah dengan
pemberian-Nya, Maha luas dengan anugrah-Nya, tidak terlampau oleh harapan dan
cita betapapun tinggi dan besarnya harapan dan cita tersebut. Dia yang memberi
tanpa perhitungan. Kata karim menurut Imam Ghazali adalah “Dia yang bila
berjanji, menepati janji-Nya, bila memberi melampaui batas harapan
pengharapan-Nya, tidak peduli berapa dan kepada siapa Ia memberi, Dia yang
tidak rela bila ada kebutuhan yang dimohonkan selain pada-Nya. Dia yang bila
“kecil hati”, menegur tanpa berlebih, tidak mengabaikan siapapun yang menuju dan
berlindung kepada-Nya, dan tidak membutuhkan sarana dan perantara”.
Ibnu al-Arabi menyebut 16
makna dari sifat Allah ini, antara lain yang disebut oleh al-Ghazali di atas,
dan juga “dia yang bergembira dengan diterimanya anugerah-Nya, memberi sambil
memuji yang diberi-Nya, Dia yang memberi siapa yang mendurhakai-Nya, bahkan
memberi sebelum diminta, dll”. Manusia yang sempurna adalah manusia yang karim
(yang mulia), pemurah lagi berbudi luhur. Hal ini dijelaskan dalam Qs.
Al-Hujurat :13, yang artinya “sesungguhnya orang yang paling mulia diantara
kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu” (Qs.
Al-Hujurat (49): 13).[5]
Menurut
penelitian Quraish Shihab, Al-Karim dalam al- Qur’an selalu menunjuk kepada
Allah dengan kata Rabb yang berarti Tuhan yang mendidik, memelihara,
mengembangkan, meningkatkan, dan memperbaiki keadaan makhluk-Nya. Bahkan kata
Rabb mencakup seluruh perbuatan- perbuatan Tuhan , seperti memberi rizki,
ganjaran, pengampunan, dan siksa, karena sanksi dan hukuman- hukuman-Nya tidak
terlepas dari tarbiyah (pemeliharaan dan pendidikan). Ditambahkan oleh
Quraisy shihab bahwa salah satu diantara ketiga ayat yang menggunakan kata
karim dirangkai dengan Ghani (Mahakaya) dan dikemukakan dalam konteks
kaca mata kepada si kafir yang tidak mensyukuri anugerah-Nya. Firman Allah
:”Barang siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan)
dirinya sendiri dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku
Mahakaya lagi Mahadermawan” (Qs.An- Naml :40).[6]
Hal ini mengisyaratkan pula bahwa kemurahan Allah tercurah kepada siapa saja
termasuk orang kafir.
Ahmad
Athaillah dalam Al- Hikam menasihati, “Jangan palingkan harapanmu selain dari
Allah, karena yang Mahadermawan tidak akan pernah memupus harapanmu.” Kemudian
Athaillah menegaskan lagi, “Jangan mencoba menyampaikan hajatmu kepada selain
Allah. Dia adalah Zat yang mengabulkan hajatmu, tidak mungkin hajat terkabul
selain-Nya. Sebab Allah adalah pemilik dan pengatur semua hajat manusi. Ingatlah!
Orang yang tak mampu melenyapkan keperluan untuk dirinya, bagaimana ia akan
mampu memenuhi kebutuhan orang lain”.[7]
Jika semua ini
sudah difahami dengan benar, ia akan menjadi golongan orang- orang yang oleh
al- Qur’an disebut Al-mu’minun haqqa (orang-orang beriman sejati) yang ditandai
dengan hati yang akan bergetar ketika disebut nama Allah, bertambah iman ketika
dibacakan ayat- ayat Allah, bertawakal, mendirikan sholat, dan menafkahkan
sebagian harta. Mereka akan mendapat beberapa drajat ketinggian disisi Allah,
memperoleh ampunan dan rizki yang mulia (rizqun karim).[8]
Kata Karim
juga mengandung makna keluhuran budi. Al Karim adalah Dia yang Maha Pemurah
dengan pemberian-Nya, Maha luas dengan anugerah-Nya, tidak terlampau oleh
harapan dan cita betapapun tinggi dan besarnya harapan dan cita. Dia yang
memberi tanpa perhitungan. Demikian para ulama melukiskan kandungan makna sifat
ini.[9]
Manusia yang “karim” (yang mulia) pemurah lagi berbudi pekerti luhur. Hal ini
dimaksudkan bahwa manusia dituntut untuk menghiasi dirinya dengan simpul-simpul
taqwa, karena “alkaram” yakni yang meraih puncak dalam berbagai aspeknya,
adalah yang paling bertaqwa. “sesungguhnya akramakum (orang yang paling mulia
diantara kamu) disisi allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara kamu”.
(Qs. Al- Hujurat: 13). Wa Allahhu ‘Alam.[10]
IMPLIKASI AL-
KARIM
1.
Membantu orang lain yang dalam
kesusahan. Seperti sabda Nabi, “orang dermawan itu dekat kepada Allah, dekat
kepada surga, dekat kepada manusia, jauh dari api neraka”.
2.
Suka besedekah
3.
Suka berbagi
4.
Tidak egois
5.
Tidak mudah putus asa
6.
Sopan santun
7.
Bersyukur atas nikmat yang
diberikan
8.
Menepati janjinya
9.
Tidak sombong
10.
Tidak memilih- milih teman.
[1]
Asyqar, Umar Sulaiman Al. Al Asma Al Husna. Jakarta: Qisthi Perss. 2010.
Hal 182-184.
[2]
Ghazali, Al. Al Asma’ al Husna: Rahasia Nama-Nama Indah Allah. Mizan.
1999. Hal 143-144
[3]
Hasan, M.Ali. Memahami dan Meneladani Asmaul Husna. Raja grofinda
persada. 1997. Hal 171-173.
[4]
Al Kumayi, Sulaiman. Kecerdasan 99: Cara Meraih Kemenangan dan Ketenangan
Hidup Lewat Penerapan 99
Nama Allah. Jakarta: hikmah. 2006. Hal 8.
[5]
Shihab, M.Quraish. Asma’ al Husna: Dalam perspektif al- Qur’an. Jakarta:
Lentera Hati. 2008. Hal 191-195.
[6]
Al Kumayi, Sulaiman. Kecerdasan 99: Cara Meraih Kemenangan dan Ketenangan
Hidup Lewat Penerapan 99
Nama Allah. Jakarta: hikmah. 2006. Hal 9.
[7]
Ibid. hal 10.
[8]
Ibid. hal 11.
[9]
Shihab, M Quraish. Menyikap Tabir Ilahi: Asma al Husna dalam Perspektif al-
Qur’an. Jakarta: lentera hati. 2005.
Hal 203-204.
[10]
Ibid. Hal 205-206.
0 Comments:
Post a Comment