Header Ads

23 December 2016

“Al-Sami’”

Tugas Akidah Akhlak
Nama : Abdul Wahab Khasbullah
NIM     : 13410072
1.      Pengertian
“Al-Sami’” terambil dari kata “sami’a” yang berarti “mendengar”. Ini dapat berarti menangkap suara/bunyi, dapat juga berarti mengindahkan dan mengabulkan.
“As-Sami” adalah Yang Maha Mendengar dalam kedua makna tersebut.
Allah Maha Mendengar, dalam arti tidak ada sesuatupun yang terdengar walau sangat halus, yang tidak tertangkap oleh-Nya atau luput dari jangkauan-Nya. “Dia mendengar jejak semut hitam yang berjalan di atas batu yang halus di malam yang gelap”, demikian tulis Al-Ghazali, bahkan Allah mendengar itu di tengah sorak sorai kebisingan yang memecahkan anak telinga seluruh mahluk. Dia mendengar pujian yang memuji-Nya, maka diberinya ganjaran, doa yang berdoa, sehingga diperkenankan-Nya doanya. Dia mendengar tanpa telinga, sebagaimana halnya makhluk Dia melakukan sesuatu tanpa anggota badan atau berbicara tanpa lidah”, begitu tulisan Al-Ghazali.
2.      Penjelasan
Dalam Al-Qur’an berkali-kali ditemukan ayat yang menguraikan sifat Allah “As-Sami” ini. Pada umumnya penyebutan sifat tersebut disertai dengan sifat-Nya yang lain sepertinya “Alim” (Maha Mengetahui). Ada juga yang dirangkaikan dengan “Bashir” (Maha Melihat), atau “Qarib” (Maha Mendekat). Ada dua ayat mengemukakan sifat tersebut berdiri sendiri dengan rangkaian kata doa “Sami ‘uddu’a” (Maha Mendengar Doa).
Pertama adalah firman-Nya:
çmø?yŠ$oYsù èps3Í´¯»n=yJø9$# uqèdur ÖNͬ!$s% Ìj?|ÁムÎû É>#tósÏJø9$# ¨br& ©!$# x8çŽÅe³u;ム4ÓzósuÎ/ $P%Ïd|ÁãB 7pyJÎ=s3Î/ z`ÏiB «!$# #YÍhyur #YqÝÁymur $wŠÎ;tRur z`ÏiB tûüÅsÎ=»¢Á9$# ÇÌÒÈ  

“disanalah Zakariya berdo’a kepada Tuhannya seraya berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi-Mu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a” (Q.S. Ali Imran 3: 39)
Kedua :
ßôJysø9$# ¬! Ï%©!$# |=ydur Í< n?tã ÎŽy9Å3ø9$# Ÿ@Ïè»yJóÎ) t,»ysóÎ)ur 4 ¨bÎ) În1u ßìÏJ|¡s9 Ïä!$tã$!$# ÇÌÒÈ  
 “segala puji bagi Allah yang telah menganugrahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku benar-benar Maha Mendengar (Memperkenankan) do’a” (Q.S. Ibrahim 14 : 39).
Kedua ayat di atas merupakan permohonan dan tidak dirangkaikan dengan satu sifat. Agaknya karena itu merupakan permohonan dari Nabi-Nabi yang tidak mereka cetuskan dengan kata-kata yang terdengar, kecuali oleh hati mereka sendiri, namun demikian Allah mendengarnya.
Karena ini ditegaskan-Nya bahwa,
ß`øtªU ÞOn=÷ær& $yJÎ/ tbqãèÏJtFó¡o ÿ¾ÏmÎ/ øŒÎ) tbqãèÏJtGó¡o y7øs9Î) øŒÎ)ur öLèe #uqøgwU øŒÎ) ãAqà)tƒ tbqçHÍ>»©à9$# bÎ) tbqãèÎ6­Gs? žwÎ) Wxã_u #·qßsó¡¨B ÇÍÐÈ  
“Kami lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu mereka mendengarkan kamu dan sewaktu mereka berbisik-bisik (yaitu) ketika orang-orang zalim itu berkata, “Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir” (Q.S. Al-Isra’ 17 : 47)
öNs9r& ts? ¨br& ©!$# ãNn=÷ètƒ $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$# ( $tB Ücqà6tƒ `ÏB 3uqøgªU >psW»n=rO žwÎ) uqèd óOßgãèÎ/#u Ÿwur >p|¡÷Hs~ žwÎ) uqèd öNåkޝϊ$y Iwur 4oT÷Šr& `ÏB y7Ï9ºsŒ Iwur uŽsYò2r& žwÎ) uqèd óOßgyètB tûøïr& $tB (#qçR%x. ( §NèO Oßgã¤Îm6t^ム$yJÎ/ (#qè=ÏHxå tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 ¨bÎ) ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« îLìÎ=tæ ÇÐÈ  
 “Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada” (Q.S. Al-Mujadilah 58 : 7)
Pendengaran yang dimiliki manusia berbeda dengan pendengaran Allah, bukan saja karena tidak semua dapat didengar oleh manusia, tetapi juga karena untuk mendengar manusia memerlukan alat, dan alat itupun sangat terbatas kemampuannya, bila suara kecil atau terlalu keras, ia tidak dapat mendengar, dan dapat rusak.
Namun demikian, manusia walau yang rusak alat pendengarannya – dapat memperoleh anugrah-Nya sehingga dikaruniai sekelumit pendengaran Ilahi. Rasul SAW bersabda.
“seseorang hamba terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sehingga Aku mencintainya. Dan bila Aku mencintainya, menjadilah Aku pendengarannya, yang digunakan mendengar, penglihatannya yang digunakan melihat; tangannya yang digunakan untuk menghajar dan kakinya yang digunakan melangkah”
Al-Ghazali menggaris bawahi bahwa sifat Maha Mendengar Allah ini, hendaknya, “dapat mengantar manusia untuk memelihara lidahnya dan bahwa Allah tidak menciptakan untuknya pendengaran kecuali untuk mendengar firman Allah (Kitab suci yang diturunkan-Nya) agar memperoleh manfaat berupa pentunjuk menuju kejalan Allah. Manusia hendaknya tidak menggunakan pendengarannya kecuali untuk hal tersebut”.
Seorang yang meneladani Allah, bukan saja harus pandai dan tekun mendengar, tetapi juga harus memilih apa yang wajar didengarnya untuk dicamkan dan diperkenankan. Salah satu sifat Ulul Al-Bab yang dipuji Allah, adalah,
tûïÏ%©!$# tbqãèÏJtFó¡o tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6­Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$# ãNßg1yyd ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÊÑÈ  
 “yang mendengar perkataan lalu mengikuti apa yang paling buruk di antaranya (Q.S. Az-Zumar 39 :18).
Sebaliknya, Allah mensifati orang-orang muslim yang mengikuti tuntunan kitab suci dengan firman-Nya;
#sŒÎ)ur (#qãèÏJy uqøó¯=9$# (#qàÊtôãr& çm÷Ztã (#qä9$s%ur !$uZs9 $oYè=»uHùår& öNä3s9ur ö/ä3è=»uHùår& íN»n=y öNä3øn=tæ Ÿw ÓÈötFö;tR tûüÎ=Îg»pgø:$# ÇÎÎÈ  
 “Apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya dan mereka berkata, ‘Bagi amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, salam perpisahan untuk kamu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil” (Q.S. Al-Qahshash28 : 55)
Allah juga mengingatkan, “apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah/ jangan dengarkan mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)” (Q.S. Al-An’am 6 : 67)
Menarik dikemukakan bahwa sifat Maha Mendengar dan Maha melihat disebutkan dalam Al-Asmaul Husna, tetapi bahwa Allah “Mutakallim” (Maha Berfirman) tidak termasuk di dalam Asmaul Husna, Walaupun diyakini bahwa Allah “Mutakallim”. Ini agaknya untuk mengisyaratkan bahwa Pendengaran dan Penglihatan hendaknya lebih digunakan manusia daripada lidahnya untuk menyampaikan pembicaraan. Memang salah satu yang paling tidak disenangi Allah adalah “Alqil WalQal Wa Kastrat As-sual” (pembicaraan yang tidak ada ujung pangkalnya serta pertanyaan-pertanyaannya yang tidak bermanfaat).
Ya Allah yang Maha Mendengar, yang tidak terganggu pendengaran-Nya dengan mendengar yang lain, yang tidak dikelirukan oleh banyak permohonan, tidak juga dalam menerima permintaan, tidak pula dilalaikan olehnya. Wahai Tuhan yang tidak kesal dengan desakan pada pemohon, anugerahilah kami kesejukan ampunan-Mu serta kelezatan maghfirah-Mu. Washallallahu ‘Ala Sayyidina Muhammad Wa’Ala Alihi Washahbihi Wasallam.
Seorang hamba itu mempunyai bagian dari pendengaran itu, tetapi terbatas, sebab ia tidak dapat mendengarkan semua yang dapat didengar, bahkan suara yang dekat sekalipun. Dan lagi, seperti yang telah kami kemukakan, pendengarannya itu dibantu dengan alat (indra pendengar) yang dapat rusak; dan kalau suaranya terlalu pelan, maka si hamba tidak lagi bias mendengarnya.
Keberuntungan seorang hamba yang beragama dengan ism ini mengaharuskan adanya dua syarat. Pertama, harus diketahui bahwa Allah SWT itu Maha Mendengar, karenanya ia harus memelihara lisannya. Kedua, hendaklah diketahui bahwa Allah tidaklah mencipatakan baginya pendengaran tersebut, melainkan agar ia mendengarkan Kalam Allah dan isi-isi Kitab-Nya yang telah diturunkan-Nya. Dengan demikian ia akan memperoleh hidayah ke jalan Allah.
3.      Implikasi
1.      Lebih berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu.
2.      Terhindar dari sifat ghibah karena sudah mengetahui bahwa Allah SWT itu As-Sami’, walaupun orang yang dibicarakan itu tidak mendengarnya, tapi Allah mendengarnya.
3.      Tidak berperilaku sum’ah, membicarakan amal baiknya kepada manusia lain, dengan tujuan mendapat kedudukan atau penghargaan dari mereka.
4.      Menggunakan pendengarannya untuk mendengarkan hal-hal baik dan positif.
4.      Khasiyatnya
Barang siapa membacanya pada hari kamis sesudah solat dhuha sebanyak 50 kali, maka ia akan menjadi seseorang yang makbul doanya.



0 Comments:

Post a Comment