Tugas Akidah
Akhlak
Nama : Abdul Wahab
Khasbullah
NIM : 13410072
1.
Pengertian
“Al-Sami’”
terambil dari kata “sami’a” yang berarti “mendengar”. Ini dapat berarti
menangkap suara/bunyi, dapat juga berarti mengindahkan dan mengabulkan.
“As-Sami”
adalah Yang Maha Mendengar dalam kedua makna tersebut.
Allah
Maha Mendengar, dalam arti tidak ada sesuatupun yang terdengar walau sangat
halus, yang tidak tertangkap oleh-Nya atau luput dari jangkauan-Nya. “Dia
mendengar jejak semut hitam yang berjalan di atas batu yang halus di malam yang
gelap”, demikian tulis Al-Ghazali, bahkan Allah mendengar itu di tengah sorak
sorai kebisingan yang memecahkan anak telinga seluruh mahluk. Dia mendengar
pujian yang memuji-Nya, maka diberinya ganjaran, doa yang berdoa, sehingga diperkenankan-Nya
doanya. Dia mendengar tanpa telinga, sebagaimana halnya makhluk Dia melakukan
sesuatu tanpa anggota badan atau berbicara tanpa lidah”, begitu tulisan
Al-Ghazali.
2.
Penjelasan
Dalam
Al-Qur’an berkali-kali ditemukan ayat yang menguraikan sifat Allah “As-Sami”
ini. Pada umumnya penyebutan sifat tersebut disertai dengan sifat-Nya yang lain
sepertinya “Alim” (Maha Mengetahui). Ada juga yang dirangkaikan dengan “Bashir”
(Maha Melihat), atau “Qarib” (Maha Mendekat). Ada dua ayat mengemukakan sifat
tersebut berdiri sendiri dengan rangkaian kata doa “Sami ‘uddu’a” (Maha
Mendengar Doa).
Pertama
adalah firman-Nya:
çmø?y$oYsù
èps3Í´¯»n=yJø9$# uqèdur
ÖNͬ!$s% Ìj?|Áã
Îû
É>#tósÏJø9$#
¨br& ©!$#
x8çÅe³u;ã
4ÓzósuÎ/ $P%Ïd|ÁãB
7pyJÎ=s3Î/ z`ÏiB «!$#
#YÍhyur #YqÝÁymur
$wÎ;tRur
z`ÏiB
tûüÅsÎ=»¢Á9$#
ÇÌÒÈ
“disanalah
Zakariya berdo’a kepada Tuhannya seraya berkata, “Ya Tuhanku, berilah aku dari
sisi-Mu seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do’a” (Q.S.
Ali Imran 3: 39)
Kedua
:
ßôJysø9$# ¬!
Ï%©!$#
|=ydur Í< n?tã Îy9Å3ø9$#
@Ïè»yJóÎ) t,»ysóÎ)ur 4 ¨bÎ)
În1u ßìÏJ|¡s9 Ïä!$tã$!$# ÇÌÒÈ
“segala puji bagi Allah yang telah
menganugrahkan kepadaku di hari tua (ku) Ismail dan Ishaq. Sesungguhnya Tuhanku
benar-benar Maha Mendengar (Memperkenankan) do’a” (Q.S. Ibrahim 14 : 39).
Kedua
ayat di atas merupakan permohonan dan tidak dirangkaikan dengan satu sifat.
Agaknya karena itu merupakan permohonan dari Nabi-Nabi yang tidak mereka
cetuskan dengan kata-kata yang terdengar, kecuali oleh hati mereka sendiri,
namun demikian Allah mendengarnya.
Karena
ini ditegaskan-Nya bahwa,
ß`øtªU ÞOn=÷ær& $yJÎ/
tbqãèÏJtFó¡o
ÿ¾ÏmÎ/ øÎ)
tbqãèÏJtGó¡o
y7øs9Î) øÎ)ur
öLèe #uqøgwU
øÎ) ãAqà)t tbqçHÍ>»©à9$# bÎ) tbqãèÎ6Gs? wÎ)
Wxã_u #·qßsó¡¨B
ÇÍÐÈ
“Kami
lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu mereka
mendengarkan kamu dan sewaktu mereka berbisik-bisik (yaitu) ketika orang-orang
zalim itu berkata, “Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang
kena sihir” (Q.S. Al-Isra’ 17 : 47)
öNs9r& ts?
¨br& ©!$#
ãNn=÷èt $tB Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur Îû ÇÚöF{$#
( $tB Ücqà6t `ÏB 3uqøgªU
>psW»n=rO
wÎ) uqèd
óOßgãèÎ/#u
wur >p|¡÷Hs~
wÎ) uqèd
öNåkÞÏ$y
Iwur 4oT÷r& `ÏB
y7Ï9ºs
Iwur usYò2r& wÎ) uqèd
óOßgyètB tûøïr& $tB
(#qçR%x. ( §NèO
Oßgã¤Îm6t^ã $yJÎ/ (#qè=ÏHxå tPöqt
ÏpyJ»uÉ)ø9$#
4 ¨bÎ)
©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx«
îLìÎ=tæ
ÇÐÈ
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang,
melainkan Dialah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang,
melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah)
yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di
manapun mereka berada” (Q.S. Al-Mujadilah 58 : 7)
Pendengaran
yang dimiliki manusia berbeda dengan pendengaran Allah, bukan saja karena tidak
semua dapat didengar oleh manusia, tetapi juga karena untuk mendengar manusia
memerlukan alat, dan alat itupun sangat terbatas kemampuannya, bila suara kecil
atau terlalu keras, ia tidak dapat mendengar, dan dapat rusak.
Namun
demikian, manusia walau yang rusak alat pendengarannya – dapat memperoleh
anugrah-Nya sehingga dikaruniai sekelumit pendengaran Ilahi. Rasul SAW
bersabda.
“seseorang
hamba terus menerus mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah,
sehingga Aku mencintainya. Dan bila Aku mencintainya, menjadilah Aku
pendengarannya, yang digunakan mendengar, penglihatannya yang digunakan
melihat; tangannya yang digunakan untuk menghajar dan kakinya yang digunakan
melangkah”
Al-Ghazali
menggaris bawahi bahwa sifat Maha Mendengar Allah ini, hendaknya, “dapat
mengantar manusia untuk memelihara lidahnya dan bahwa Allah tidak menciptakan
untuknya pendengaran kecuali untuk mendengar firman Allah (Kitab suci yang
diturunkan-Nya) agar memperoleh manfaat berupa pentunjuk menuju kejalan Allah.
Manusia hendaknya tidak menggunakan pendengarannya kecuali untuk hal tersebut”.
Seorang
yang meneladani Allah, bukan saja harus pandai dan tekun mendengar, tetapi juga
harus memilih apa yang wajar didengarnya untuk dicamkan dan diperkenankan. Salah
satu sifat Ulul Al-Bab yang dipuji
Allah, adalah,
tûïÏ%©!$#
tbqãèÏJtFó¡o
tAöqs)ø9$# tbqãèÎ6Fusù ÿ¼çmuZ|¡ômr& 4 y7Í´¯»s9'ré& tûïÏ%©!$#
ãNßg1yyd
ª!$# ( y7Í´¯»s9'ré&ur
öNèd (#qä9'ré& É=»t7ø9F{$# ÇÊÑÈ
“yang
mendengar perkataan lalu mengikuti apa yang paling buruk di antaranya (Q.S.
Az-Zumar 39 :18).
Sebaliknya,
Allah mensifati orang-orang muslim yang mengikuti tuntunan kitab suci dengan
firman-Nya;
#sÎ)ur (#qãèÏJy uqøó¯=9$# (#qàÊtôãr& çm÷Ztã (#qä9$s%ur !$uZs9 $oYè=»uHùår& öNä3s9ur ö/ä3è=»uHùår& íN»n=y öNä3øn=tæ w ÓÈötFö;tR tûüÎ=Îg»pgø:$# ÇÎÎÈ
“Apabila
mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling darinya dan
mereka berkata, ‘Bagi amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, salam perpisahan
untuk kamu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil” (Q.S.
Al-Qahshash28 : 55)
Allah
juga mengingatkan, “apabila kamu melihat
orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah/ jangan
dengarkan mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika
syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk
bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu)” (Q.S.
Al-An’am 6 : 67)
Menarik
dikemukakan bahwa sifat Maha Mendengar dan Maha melihat disebutkan dalam
Al-Asmaul Husna, tetapi bahwa Allah “Mutakallim” (Maha Berfirman) tidak
termasuk di dalam Asmaul Husna, Walaupun diyakini bahwa Allah “Mutakallim”. Ini agaknya untuk
mengisyaratkan bahwa Pendengaran dan Penglihatan hendaknya lebih digunakan
manusia daripada lidahnya untuk menyampaikan pembicaraan. Memang salah satu yang
paling tidak disenangi Allah adalah “Alqil
WalQal Wa Kastrat As-sual” (pembicaraan yang tidak ada ujung pangkalnya
serta pertanyaan-pertanyaannya yang tidak bermanfaat).
Ya Allah yang Maha
Mendengar, yang tidak terganggu pendengaran-Nya dengan mendengar yang lain,
yang tidak dikelirukan oleh banyak permohonan, tidak juga dalam menerima
permintaan, tidak pula dilalaikan olehnya. Wahai Tuhan yang tidak kesal dengan
desakan pada pemohon, anugerahilah kami kesejukan ampunan-Mu serta kelezatan
maghfirah-Mu. Washallallahu ‘Ala Sayyidina Muhammad Wa’Ala Alihi Washahbihi
Wasallam.
Seorang
hamba itu mempunyai bagian dari pendengaran itu, tetapi terbatas, sebab ia
tidak dapat mendengarkan semua yang dapat didengar, bahkan suara yang dekat
sekalipun. Dan lagi, seperti yang telah kami kemukakan, pendengarannya itu
dibantu dengan alat (indra pendengar) yang dapat rusak; dan kalau suaranya
terlalu pelan, maka si hamba tidak lagi bias mendengarnya.
Keberuntungan
seorang hamba yang beragama dengan ism ini mengaharuskan adanya dua syarat. Pertama, harus diketahui bahwa Allah SWT
itu Maha Mendengar, karenanya ia harus memelihara lisannya. Kedua, hendaklah diketahui bahwa Allah
tidaklah mencipatakan baginya pendengaran tersebut, melainkan agar ia
mendengarkan Kalam Allah dan isi-isi Kitab-Nya yang telah diturunkan-Nya.
Dengan demikian ia akan memperoleh hidayah ke jalan Allah.
3.
Implikasi
1.
Lebih
berhati-hati dalam mengucapkan sesuatu.
2.
Terhindar
dari sifat ghibah karena sudah mengetahui bahwa Allah SWT itu As-Sami’, walaupun
orang yang dibicarakan itu tidak mendengarnya, tapi Allah mendengarnya.
3.
Tidak
berperilaku sum’ah, membicarakan amal baiknya kepada manusia lain, dengan
tujuan mendapat kedudukan atau penghargaan dari mereka.
4.
Menggunakan
pendengarannya untuk mendengarkan hal-hal baik dan positif.
4.
Khasiyatnya
Barang
siapa membacanya pada hari kamis sesudah solat dhuha sebanyak 50 kali, maka ia
akan menjadi seseorang yang makbul doanya.
0 Comments:
Post a Comment