Header Ads

23 December 2016

Makalah Aqidah Akhlak di Sekolah dan Madrasah “Asmaul Husna Al ‘adl dan Implikasinya”

Makalah Aqidah Akhlak di Sekolah dan Madrasah
Asmaul Husna Al ‘adl dan Implikasinya
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aqidah Akhlak di Sekolah dan Madrasah
Dosen pengampuh :
Dr. Sangkot Sirait, M.Ag.



Disusun oleh :
Wahid Tuftazani Rizqi
NIM  
    : 13410005
Kelas 
    : PAI B


JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGAYOGYAKARTA
201
5

Setiap manusia pasti memiliki aqidahnya masing-masing. Kepercayan terhadap sesuatu secara kuat. Aqidah secara etimologi berakar kata dari ‘aqoda, ya’qidu, ‘aqidatan. ‘aqdan berarti simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi ‘aqidah berarti keyakinan. Relevansi dari arti kata ‘aqdan dan ‘aqidah berarti keyakinan itu tersimpul dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.[1]
Dalam kaitanya dengan aqidah, terdapat beberapa ruang lingkup. Terbagi menjadi uluhiyat, nubuwat, rukhaniyat, dan sam’iyat.
1.      Ilahiyat            : yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan ilah (Allah), seperti wujud Allah swt, Nama-nama dan Sifat-sifat Allah, perbuatan-perbuatan dan lain-lain
2.      Nubuwat         : yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul, termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah swt, mukjizat, Keramat dan sebagainya.
3.      Rukhaniyat      : yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik seperti malaikat, jin, iblis, setan, roh dan sebagainya.
4.      Sam’iyat          : yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya diketahui lewat sam’i, yakni dalil naqli berupa Al Qur’an dan As Sunnah, seperti alam barzah, akhirat, azab kubur, surga, neraka dan sebagainya.
Menyinggung tentang ruang lingkup akidah tentang Ilahiyat, terdapat yang dinamakan Asma Allah (nama-nama Allah) dan Sifat-sifatnya, yang tercakup dalam rukun iman, khususnya Iman kepada Allah swt. Inti iman kepada Allah swt adalah tauhid, mengesakan Allah baik dalam zat, sifat, dan juga af’alNya. Disamping itu Allah swt memiliki Al Asma dan As Shifah, nama-nama dan sifat-sifatNya yang berjumlah sebanyak 99 macam, dan semua ini menunjukan kemaha sempurnaaNya. Oleh karena itu, disini kita mengenal ada dua metode untuk mengimani Al Asma wa As Shifah Allah, yaitu :
1.      Metode Itsbat : mengimani bahwa Allah swt memiliki nama-nama dan sifat yang menunjukan kemaha sempurnaaNya, misalnya Allah maha mendengar, maha melihat, maha mengetahui, maha bijaksana dan lain-lain.
2.      Metode Nafy  : menafikan atau menolak segala nama-nama dan sifat yang menunjukan ketidak sempurnaaNya, misal menafikan adanya makhluk yang menyerupai Allah, menolak anggapan bahwa Allah memiliki anak dan orang tua, dan lain sebagainya.
Oleh karenannya, islam sangat menganjurkan kepada seluruh ummatnya agar berdoa dan memohon kepada Allah menggunakan nama-nama dan sifat-sifatNya yang agung (Q.S. Al-A’raf : 18). Dalam hal ini pula kita mengetahui adanya larangan untuk mentamsilkan atau mentasybihkan (menyerupakan) Allah swt dengan sesuatu apapun (Q.S. Asy-Syura : 11). Dengan usaha-usaha seperti ini maka, ummat islam semua akan beriman kepada Allah swt dengan semurni-murninya dan seutuh-utuhnya iman.
Asmaul Khusna
            Asmaul husna, itu terdiri dari 2 kata asma dan al husna itu bentuk jamak dari isim, isim itu bisa terambil dari kata sumuw sama artinya langit, semua yang berada di atas Anda itu sama’ sumu tinggi, bisa juga terambil dari kata sima’ tanda. Asma bisa diartikan isim/nama, karena nama itu tanda, karena pada hakekatnya nama sebagai penanda ini dan itu. Jadi nama itu tanda, kalau kita katakan asma dari isim maka nama itu harus dijunjung tinggi.
Adapun al husna itu bentuk feminim dari ahsan untuk menunjuk pada makna laki-laki maka menggunakan itu kata ahsan, sementara untuk menunjuk perempuan digunakan kata husna jadi asmaul husna adalah nama-nama  Allah yang terindah, yang terbaik, yang termulia. Ternyata nama-nama dan sifat Allah itu tidak terbatas pada angka 99. Ada ulama  yang meneliti Al Qur’an ditemukan 127 nama Allah.  Ada imam yang menemukan 137 nama. Adapun Imam Al Qurtubi menghimpunnya dari para ulama berjumlah 200 nama.
Sebenarnya kita ditekankan pada makna tidak ada penguasa di alam raya ini kecuali Allah, itulah yang menjadikan Rasulullah saat diancam oleh seseorang, “siapa yang dapat menyelamatkan kamu dari pendang ini?” Rasululhah menjawab, “Allah,” mudah sekali, karena tidak ada yang berkuasa kecuali Allah, maka jatuh pedang itu.
Asmaul husna ini bisa diklasifikasi, pertama, nama-Nya yang khusus, dan tidak boleh disandang orang lain, yaitu nama Allah dan Rahman. Anda tidak boleh menamai makhluk dengan rahman atau Allah, itu nama khusus, boleh juga kita sandangkan kepada makhluk tetapi ditambah nama abdu (hamba)  didepanya Abdullallah atau Abdurrahman. Kedua, nama-nama-Nya dan sifat-Nya yang bisa disandang oleh manusia, seperti kata alim (mengetahui). Dalam Al Qur`an Nabi Muhammad SAW disifati dengan Rauf (lembut).
Ketiga, nama-nama-Nya yang tidak disebut secara berdiri sendiri, harus bergandengan, Allah ya muhyi ya mumit (yang selalu menghidupkan dan mematikan)atau ya dharur ya nafi’ (yang membri mudharat dan member manfaaat)  hal itu dilarang agar jangan sampai timbul kesan terhadap Allah sesuatu yang buruk sekalipun kenyataanya memang demikian nama dan sifat Allah.[2]

Dalam perkembanganya, materi dalam aqidah akhlak dapat dilihat dalam empat segi, dilihat dalam kacamata Kamus, Qur’an dan Hadis, Refrensi,dan juga Publik/Umum.
Sifat Allah Al ‘adl
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adil adalah sama berat, tidak berat sebelah,berpihak kepada kebenaran ataupun tidak sewenang-wenang.[3] Secara terminologis adil bermakna suatu sikap yang bebas dari diskriminasi, ketidakjujuran. Dengan demikian orang yang adil adalah orang yang sesuai dengan standar hukum baik hukum agama, hukum positif (hukum negara), maupun hukum sosial (hukum adat) yang berlaku.
Dalam Al Quran, kata ‘adl disebut juga dengan qisth. “Dan jika dua pihak dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikanlah di antara keduanya; jika salah satunya berlaku zalim terhadap yang lain, maka lawanlah pihak yang zalim itu sehingga ia kembali mematuhi perintah Allah; jika ia kembali patuh maka damaikanlah di antara keduanya dengan adil (menurut hukum Allah), serta berlaku adillah kamu (dalam segala perkara); sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al Hujurat 49:9).
Dengan demikian, orang yang adil selalu bersikap imparsial, suatu sikap yang tidak memihak kecuali kepada kebenaran. Bukan berpihak karena pertemanan, persamaan suku, bangsa maupun agama. Keberpihakan karena faktor-faktor terakhir bukan berdasarkan pada kebenaran dalam Al Quran disebut sebagai keberpihakan yang mengikuti hawa nafsu dan itu dilarang keras. “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (QS An Nisa’ 4:135).
Dengan sangat jelas Allah menegaskan bahwa kebencian terhadap suatu golongan, atau individu, janganlah menjadi pendorong untuk bertindak tidak adil. “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Maidah 5:8).
Dalam buku “Memahami dan Meneladani Asmaul Husna” karya Ahsin w. al hafids, istilah al ‘adl adalah meletakan sesuatu pada tempat yang semestinya. adil dapat dibagi menjadi dua, adil dalam hal lahiriyah dan adil dalam hal bathiniyah. Adil dalam hal lahiriyah dimaksudkan keadilan yang berkenaan dengan hubungan antara diri sendiri dan orang lain, sedangkan adil dalam bathiniyah adalah adil yang berkaitan dengan hubungan diri sendiri dan Allah swt. Al ‘adl adalah salah satu dari asmaul husna (nama-nama Allah swt yang indah) yang artinya sangat adil. Sebenarnya dalam al qur’an tidak disebutkan, namun banyak ayat-ayat yang berbicara tentang keadilanNya. Seseorang yang adil adalah orang yang berjalan lurus dan sikapnya sealu menggunakan ukuran yang sama. Itulah yang menjadikan seseorang yang adil tidak memihak pada salah satu yang berselisih.[4]
Dalam buku “Al-Asma’ Al-Husna” karya Al Ghozali, al ‘adl diartikan sebagai yang maha adil, artinya adalah Dia yang adil, dan Dialah yang selalu bertindak adil. Dia menciptakan berbagai golongan wujud, baik yang fisik maupun wujud yang spiritual, yang sempurna dan tidak sempurna diantara wujud-wujud itu. Salah satu diantara wujud ciptaanNya di alam semesta ialah bumi, air, udara, bintang dan langit. Allah telah menciptakannya dan mengatur sedemikian rupa sehingga menempatkan bumi di paling bawah, meletakan air diatasnya dan udara diatas air dan langit diatas udara itu. Seandainya dibolak-balik, maka tatananya menjadi rusak. Contoh lain ialah tubuh manusia, tubuh manusia tersusun dari anggota yang berbeda, allah swt menyusun manusia dari tulang, daging dan kulit. Dia menempatkan tulang sebagai topangan dengan daging yang membungkus untuk melindunginya, dan juga kulit yang membungkus daging untuk melindunginya juga. Seandainya dibalik, maka tatananya menjadi rusak.
Dan jika ini belum jelas, alloh swt telah menciptakan berbagai anggota badan bagi manusia, seperti tangan, kaki, mata, hidung dan telinga. Dengan menciptakan semua ini maka alloh swt itu murah hati, dan dengan menempatkan anggota-anggota itu pada tempatnya yang tepat, maka Allah swt itu maha adil. Karena telah meletakan mata ditempat yang paling tepat di tubuh, jika Dia menciptakanya dibelakang kepala atau dikaki ataupun di tangan maka hasilnya berupa kecacatan dan kerusakan. Dengan cara yang sama Allah swt menempatkan tangan di bahu. Jika seandainya diletakan di kepala atau dipinggang ataupun dilutut, maka yang terjadi adalah ketidak seimbangan. Begitu juga Dia menciptakan semua indra dikepala agar supaya dapat mengawasi, mengatur dan menjaga anggota tubuh yang lain, karena ditempatkan memang untuk mengawasi. Karena jika ditempatkan semua itu dikaki maka susunanya akan benar-benar terganggu.
Ringkasnya adalah bahwa tidak ada yang diciptakan kecuali ditempat yang memang dimaksudkan untuk apa yang diciptakan itu. Dan disitulah letak keadilan Allah swt atas ciptaanNya. Karena jika tidak sesuai pada tempatnya, digeser sedikit saja kekiri atau kekanan dari kedudukanya yang ada sekarang, maka akan menjadi kurang baik, bahkan tak berguna. Jadi, hidung diciptakan ditengah wajah bukan tanpa alasan dan keadilan, jika saja itu ditempatkan didahi atau dipipi, maka kecacatan seperti itu akan mengurangi kemanfaatan yang ada.[5] Maha adil Allah swt atas segala ciptaanNya.
Manusia akan mendapatkan keuntungan keagamaan dari kepercayaannya bahwa Allah swt itu adalah adil kalau tidak merasa keberatan terhadap rencanaNya, ketentuaNya, dan semua tindakaNya, entah itu sesuai dengan kehendak atau tidak. Karena semuanya itu adalah adil, maka itu yang memang seharusnya begitu. seandainya Dia tidak melakukan apa yang harus dilakukaNya, maka sesuatu yang lain akan menjadi lebih merugikan dibanding apa yang telah terjadi, seperti orang sakit yang harus dioprasi namun enggan untuk melakukannya. Beginilah keadilan Allah swt, dan beriman kepadaNya menghilangkan keberatan, baik itu lahiriah maupun bathiniyah. Iman akan sempurna jikalau tidak mengutuk nasib, tidak menuduh bahwa segalanya terjadi karena benda-benda langit, dan tidak merasa keberatan kepadaNya.
Begitulah keadilan tuhan, sesuatu yang kadang tidak kita inginkan namun Allah swt maha tau apa yang sebenarnya kita butuhkan. Imani keadilan Allah swt dengan tidak menggerutu atas apa yang terjadi setelah kita berikhtiyar, karena itulah sebenarnya apa yang harus terjadi.

Tambahan  materi tentang keadilan :
Rounded Rectangle: Ada pengganti, seandainya yang diinginkan tidak terkabulkan
 













Contoh keadilan Allah :
Alloh swt telah menciptakan berbagai anggota badan bagi manusia, seperti tangan, kaki, mata, hidung dan telinga. Dengan menciptakan semua ini maka alloh swt itu murah hati, dan dengan menempatkan anggota-anggota itu pada tempatnya yang tepat, maka Allah swt itu maha adil. Karena telah meletakan mata ditempat yang paling tepat di tubuh, jika Dia menciptakanya dibelakang kepala atau dikaki ataupun di tangan maka hasilnya berupa kecacatan dan kerusakan. Sehingga segala apa yang diciptakanya maka sudah diperhitungkan pula keadilan dan kemanfaatanya.








Implikasi
Sebagai seorang muslim, sudah selayaknya saya mengimani sifat allah swt tersebut (al ‘adl) dengan wujud menjalankan apa yang telah diamanatkan oleh kedua orang tua saya untuk belajar. Amanat merupakan salah satu dari contoh perilaku adil. Adil terhadap kedua orang tua kita, karena kita tahu bahwa segala hal yang kita butuhkan insyaallah akan mereka turuti. Meskipun kadang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Berangkat dari situ maka sadarilah dan berlaku adilah kita terhadap diri dan kedua orang kita.
            Manusia itu sendiri terdiri dari beberapa bagian atau organ yang senantiasa harus terpenuhi haknya. Misalnya dengan tidur kita memberikan keadilan kepada mata dan organ tubuh lainnya untuk berisitirahat. Jika tidak tidur maka tubuh manusia tidak berfungsi dengan baik. Namun tidak boleh berlebihan dalam hali istirahat ini, krena sesuatu yang berlebiham pasti akan menimbulkan kemadhorotan. Dituntut adil juga dalam hal istirahat untuk menyeimbangkan antara mengistirahatkan tubuh dan membawanya untuk bekerja. Artinya dengan belajar, seorang siswa juga mampu mempertimbangkan sesuatu sesuai kemampuannya untuk memutuskan suatu perkara yang memerlukan keadilan. Allah swt maha adil, maka imanilah itu dengan wujud kita adil semampu kita terhadap apa saja yang kita lakukan. Karena sejatinya hanya dariNya lah segalanya berasal.















Pertanyaan :
1.      Dari Saefudin Khoiri : contoh kongkrit alloh swt itu adil ? mengapa kebanyakan orang” non muslim, Kristen misalkan, mereka lebih mapan dari kebanyakan orang-orang muslim ?
Jawaban :
·         Contoh kongkrit Allah itu adil adalah Allah menciptakan tubuh manusia, tubuh manusia tersusun dari anggota yang berbeda, allah swt menyusun manusia dari tulang, daging dan kulit. Dia menempatkan tulang sebagai topangan dengan daging yang membungkus untuk melindunginya, dan juga kulit yang membungkus daging untuk melindunginya juga. Seandainya dibalik, tulang diluar dan kulit didalam, maka tatananya menjadi rusak dan disitulah letak keadilan allah.
·         Mengapa kebanyakan non muslim lebih mapan, dimana keadilan allah disitu ? Keadilan tidak hanya diukur dengan materi karena bisa saja orang yang sederhana merasa puas dengan apa yang mereka miliki karena mereka bersyukur dengan nikmat itu, dan sebaliknya orang yang berharta bisa saja tidak nyaman dengan yang mereka peroleh karena mereka tak pernah bersyukur. Apa yang didapat akan sebanding dengan apa yang diusahakan, jika allah mengamininya. karenanya jika memang non muslim lebih mapan dari pada orang muslim, lihatlah sekeras apa usaha mereka memperolehnya, bukan hanya dilihat dari hasilnya saja
.













DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazali, 1992, Al asma’ Al husna, Cambridge : the Islamic tekts society
Al Hafids, ahsin w.,1997, Memahami dan meneladani asmaul husna, Jakarta : raja grafindo persada
Elmubarok, zaim dkk . 2011, Islam Rahmatan Lil’alamin, Semarang : UPT UNNES PRESS
KBBI ONLINE




[1] Zaim Elmubarok dkk, Islam Rahmatan Lil’alamin, (Semarang : UPT UNNES PRESS, 2011 ) hlm 2
[2] http://www.pustakaafaf.com/kajian-asmaul-husna-mengaji-bersama-ustadz-quraish-shihab/
[3] KBBI online
[4] Ahsin w. al hafids, Memahami dan meneladani asmaul husna, (Jakarta : raja grafindo persada, 1997)
[5] Al Ghazali, Al asma’ Al husna, (Cambridge : The Islamic texts society, 1992) hlm 119

0 Comments:

Post a Comment