Makalah Aqidah Akhlak di Sekolah dan Madrasah
“Asmaul Husna Al ‘adl dan Implikasinya”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aqidah Akhlak di Sekolah dan Madrasah
Dosen pengampuh : Dr. Sangkot Sirait, M.Ag.
“Asmaul Husna Al ‘adl dan Implikasinya”
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Aqidah Akhlak di Sekolah dan Madrasah
Dosen pengampuh : Dr. Sangkot Sirait, M.Ag.
Disusun oleh :
Wahid Tuftazani Rizqi
NIM : 13410005
Kelas : PAI B
Wahid Tuftazani Rizqi
NIM : 13410005
Kelas : PAI B
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGAYOGYAKARTA
2015
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGAYOGYAKARTA
2015
Setiap manusia pasti memiliki aqidahnya masing-masing.
Kepercayan terhadap sesuatu secara kuat. Aqidah secara etimologi berakar kata
dari ‘aqoda, ya’qidu, ‘aqidatan. ‘aqdan berarti
simpul, ikatan, perjanjian dan kokoh. Setelah terbentuk menjadi ‘aqidah berarti keyakinan. Relevansi
dari arti kata ‘aqdan dan ‘aqidah berarti keyakinan itu tersimpul
dengan kokoh di dalam hati, bersifat mengikat dan mengandung perjanjian.[1]
Dalam kaitanya dengan aqidah, terdapat beberapa ruang
lingkup. Terbagi menjadi uluhiyat, nubuwat, rukhaniyat, dan sam’iyat.
1. Ilahiyat :
yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan ilah (Allah),
seperti wujud Allah swt, Nama-nama dan Sifat-sifat Allah, perbuatan-perbuatan
dan lain-lain
2. Nubuwat :
yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan Nabi dan Rasul,
termasuk pembicaraan mengenai kitab-kitab Allah swt, mukjizat, Keramat dan
sebagainya.
3. Rukhaniyat :
yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan alam metafisik
seperti malaikat, jin, iblis, setan, roh dan sebagainya.
4. Sam’iyat :
yaitu pembahasan tentang segala sesuatu yang hanya diketahui lewat sam’i, yakni
dalil naqli berupa Al Qur’an dan As Sunnah, seperti alam barzah, akhirat, azab
kubur, surga, neraka dan sebagainya.
Menyinggung tentang ruang lingkup akidah tentang
Ilahiyat, terdapat yang dinamakan Asma Allah (nama-nama Allah) dan
Sifat-sifatnya, yang tercakup dalam rukun iman, khususnya Iman kepada Allah
swt. Inti iman kepada Allah swt adalah tauhid, mengesakan Allah baik dalam zat,
sifat, dan juga af’alNya. Disamping itu Allah swt memiliki Al Asma dan As
Shifah, nama-nama dan sifat-sifatNya yang berjumlah sebanyak 99 macam, dan
semua ini menunjukan kemaha sempurnaaNya. Oleh karena itu, disini kita mengenal
ada dua metode untuk mengimani Al Asma wa As Shifah Allah, yaitu :
1. Metode Itsbat : mengimani bahwa Allah swt memiliki
nama-nama dan sifat yang menunjukan kemaha sempurnaaNya, misalnya Allah maha
mendengar, maha melihat, maha mengetahui, maha bijaksana dan lain-lain.
2. Metode Nafy :
menafikan atau menolak segala nama-nama dan sifat yang menunjukan ketidak sempurnaaNya,
misal menafikan adanya makhluk yang menyerupai Allah, menolak anggapan bahwa
Allah memiliki anak dan orang tua, dan lain sebagainya.
Oleh karenannya, islam sangat menganjurkan kepada
seluruh ummatnya agar berdoa dan memohon kepada Allah menggunakan nama-nama dan
sifat-sifatNya yang agung (Q.S. Al-A’raf : 18). Dalam hal ini pula kita
mengetahui adanya larangan untuk mentamsilkan atau mentasybihkan (menyerupakan)
Allah swt dengan sesuatu apapun (Q.S. Asy-Syura : 11). Dengan usaha-usaha seperti
ini maka, ummat islam semua akan beriman kepada Allah swt dengan
semurni-murninya dan seutuh-utuhnya iman.
Asmaul Khusna
Asmaul husna, itu terdiri dari 2 kata asma
dan al husna itu bentuk jamak dari isim, isim itu bisa
terambil dari kata sumuw sama artinya langit, semua yang berada di atas
Anda itu sama’ sumu tinggi, bisa juga terambil dari kata sima’
tanda. Asma bisa diartikan isim/nama, karena nama itu tanda,
karena pada hakekatnya nama sebagai penanda ini dan itu. Jadi nama itu tanda,
kalau kita katakan asma dari isim maka nama itu harus dijunjung tinggi.
Adapun al husna itu bentuk feminim dari ahsan untuk
menunjuk pada makna laki-laki maka menggunakan itu kata ahsan, sementara
untuk menunjuk perempuan digunakan kata husna jadi asmaul husna
adalah nama-nama Allah yang terindah, yang terbaik, yang termulia. Ternyata
nama-nama dan sifat Allah itu tidak terbatas pada angka 99. Ada ulama
yang meneliti Al Qur’an ditemukan 127 nama Allah. Ada imam yang
menemukan 137 nama. Adapun Imam Al Qurtubi menghimpunnya dari para ulama
berjumlah 200 nama.
Sebenarnya kita ditekankan pada makna tidak ada penguasa di alam raya ini
kecuali Allah, itulah yang menjadikan Rasulullah saat diancam oleh seseorang,
“siapa yang dapat menyelamatkan kamu dari pendang ini?” Rasululhah menjawab,
“Allah,” mudah sekali, karena tidak ada yang berkuasa kecuali Allah, maka jatuh
pedang itu.
Asmaul husna ini bisa diklasifikasi, pertama,
nama-Nya yang khusus, dan tidak boleh disandang orang lain, yaitu nama Allah
dan Rahman. Anda tidak boleh menamai makhluk dengan rahman atau Allah,
itu nama khusus, boleh juga kita sandangkan kepada makhluk tetapi ditambah nama
abdu (hamba) didepanya Abdullallah atau Abdurrahman.
Kedua, nama-nama-Nya dan sifat-Nya yang bisa disandang oleh manusia,
seperti kata alim (mengetahui). Dalam Al Qur`an Nabi Muhammad SAW
disifati dengan Rauf (lembut).
Ketiga, nama-nama-Nya
yang tidak disebut secara berdiri sendiri, harus bergandengan, Allah ya
muhyi ya mumit (yang selalu menghidupkan dan mematikan)atau ya dharur ya
nafi’ (yang membri mudharat dan member manfaaat) hal itu
dilarang agar jangan sampai timbul kesan terhadap Allah sesuatu yang buruk
sekalipun kenyataanya memang demikian nama dan sifat Allah.[2]
Dalam
perkembanganya, materi dalam aqidah akhlak dapat dilihat dalam empat segi,
dilihat dalam kacamata Kamus, Qur’an dan Hadis, Refrensi,dan juga Publik/Umum.
Sifat Allah Al ‘adl
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adil adalah sama berat, tidak
berat sebelah,berpihak kepada kebenaran ataupun tidak sewenang-wenang.[3] Secara terminologis adil bermakna suatu sikap yang bebas dari
diskriminasi, ketidakjujuran. Dengan demikian orang yang adil adalah orang yang
sesuai dengan standar hukum baik hukum agama, hukum positif (hukum negara),
maupun hukum sosial (hukum adat) yang berlaku.
Dalam Al Quran,
kata ‘adl disebut juga dengan qisth.
“Dan
jika dua pihak dari orang-orang yang beriman berperang, maka damaikanlah di
antara keduanya; jika salah satunya berlaku zalim terhadap yang lain, maka
lawanlah pihak yang zalim itu sehingga ia kembali mematuhi perintah Allah; jika
ia kembali patuh maka damaikanlah di antara keduanya dengan adil (menurut hukum
Allah), serta berlaku adillah kamu (dalam segala perkara); sesungguhnya Allah
mengasihi orang-orang yang berlaku adil.” (QS Al
Hujurat 49:9).
Dengan demikian,
orang yang adil selalu bersikap imparsial, suatu sikap yang tidak memihak
kecuali kepada kebenaran. Bukan berpihak karena pertemanan, persamaan suku,
bangsa maupun agama. Keberpihakan karena faktor-faktor terakhir bukan
berdasarkan pada kebenaran dalam Al Quran disebut sebagai keberpihakan yang
mengikuti hawa nafsu dan itu dilarang keras. “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar
penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri
atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih
tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin
menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan
menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang
kamu kerjakan.” (QS An Nisa’ 4:135).
Dengan sangat
jelas Allah menegaskan bahwa kebencian terhadap suatu golongan, atau individu,
janganlah menjadi pendorong untuk bertindak tidak adil. “Hai orang-orang yang beriman
hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena
Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Al Maidah 5:8).
Dalam
buku “Memahami dan Meneladani Asmaul Husna” karya Ahsin w. al hafids, istilah
al ‘adl adalah meletakan sesuatu pada tempat yang semestinya. adil dapat dibagi
menjadi dua, adil dalam hal lahiriyah dan adil dalam hal bathiniyah. Adil dalam hal lahiriyah dimaksudkan keadilan yang
berkenaan dengan hubungan antara diri sendiri dan orang lain, sedangkan adil
dalam bathiniyah adalah adil yang berkaitan dengan hubungan diri sendiri dan
Allah swt. Al ‘adl adalah salah satu dari asmaul husna (nama-nama Allah swt
yang indah) yang artinya sangat adil. Sebenarnya dalam al qur’an tidak
disebutkan, namun banyak ayat-ayat yang berbicara tentang keadilanNya.
Seseorang yang adil adalah orang yang berjalan lurus dan sikapnya sealu
menggunakan ukuran yang sama. Itulah yang menjadikan seseorang yang adil tidak
memihak pada salah satu yang berselisih.[4]
Dalam buku “Al-Asma’ Al-Husna” karya Al Ghozali, al
‘adl diartikan sebagai yang maha adil, artinya adalah Dia yang adil, dan Dialah
yang selalu bertindak adil. Dia menciptakan berbagai golongan wujud, baik yang
fisik maupun wujud yang spiritual, yang sempurna dan tidak sempurna diantara
wujud-wujud itu. Salah satu diantara wujud ciptaanNya di alam semesta ialah
bumi, air, udara, bintang dan langit. Allah telah menciptakannya dan mengatur
sedemikian rupa sehingga menempatkan bumi di paling bawah, meletakan air
diatasnya dan udara diatas air dan langit diatas udara itu. Seandainya dibolak-balik,
maka tatananya menjadi rusak. Contoh lain ialah tubuh manusia, tubuh manusia
tersusun dari anggota yang berbeda, allah swt menyusun manusia dari tulang,
daging dan kulit. Dia menempatkan tulang sebagai topangan dengan daging yang
membungkus untuk melindunginya, dan juga kulit yang membungkus daging untuk
melindunginya juga. Seandainya dibalik, maka tatananya menjadi rusak.
Dan jika ini belum jelas, alloh swt telah menciptakan
berbagai anggota badan bagi manusia, seperti tangan, kaki, mata, hidung dan
telinga. Dengan menciptakan semua ini maka alloh swt itu murah hati, dan dengan
menempatkan anggota-anggota itu pada tempatnya yang tepat, maka Allah swt itu
maha adil. Karena telah meletakan mata ditempat yang paling tepat di tubuh,
jika Dia menciptakanya dibelakang kepala atau dikaki ataupun di tangan maka
hasilnya berupa kecacatan dan kerusakan. Dengan cara yang sama Allah swt
menempatkan tangan di bahu. Jika seandainya diletakan di kepala atau dipinggang
ataupun dilutut, maka yang terjadi adalah ketidak seimbangan. Begitu juga Dia
menciptakan semua indra dikepala agar supaya dapat mengawasi, mengatur dan menjaga
anggota tubuh yang lain, karena ditempatkan memang untuk mengawasi. Karena jika
ditempatkan semua itu dikaki maka susunanya akan benar-benar terganggu.
Ringkasnya adalah bahwa tidak ada yang diciptakan
kecuali ditempat yang memang dimaksudkan untuk apa yang diciptakan itu. Dan
disitulah letak keadilan Allah swt atas ciptaanNya. Karena jika tidak sesuai
pada tempatnya, digeser sedikit saja kekiri atau kekanan dari kedudukanya yang
ada sekarang, maka akan menjadi kurang baik, bahkan tak berguna. Jadi, hidung
diciptakan ditengah wajah bukan tanpa alasan dan keadilan, jika saja itu
ditempatkan didahi atau dipipi, maka kecacatan seperti itu akan mengurangi kemanfaatan
yang ada.[5]
Maha adil Allah swt atas segala ciptaanNya.
Manusia akan mendapatkan keuntungan keagamaan dari
kepercayaannya bahwa Allah swt itu adalah adil kalau tidak merasa keberatan
terhadap rencanaNya, ketentuaNya, dan semua tindakaNya, entah itu sesuai dengan
kehendak atau tidak. Karena semuanya itu adalah adil, maka itu yang memang
seharusnya begitu. seandainya Dia tidak melakukan apa yang harus dilakukaNya,
maka sesuatu yang lain akan menjadi lebih merugikan dibanding apa yang telah
terjadi, seperti orang sakit yang harus dioprasi namun enggan untuk
melakukannya. Beginilah keadilan Allah swt, dan beriman kepadaNya menghilangkan
keberatan, baik itu lahiriah maupun bathiniyah. Iman akan sempurna jikalau
tidak mengutuk nasib, tidak menuduh bahwa segalanya terjadi karena benda-benda
langit, dan tidak merasa keberatan kepadaNya.
Begitulah keadilan tuhan, sesuatu yang kadang tidak
kita inginkan namun Allah swt maha tau apa yang sebenarnya kita butuhkan. Imani
keadilan Allah swt dengan tidak menggerutu atas apa yang terjadi setelah kita
berikhtiyar, karena itulah sebenarnya apa yang harus terjadi.
Tambahan materi
tentang keadilan :
Contoh keadilan Allah :
Alloh swt telah menciptakan berbagai anggota badan
bagi manusia, seperti tangan, kaki, mata, hidung dan telinga. Dengan
menciptakan semua ini maka alloh swt itu murah hati, dan dengan menempatkan
anggota-anggota itu pada tempatnya yang tepat, maka Allah swt itu maha adil.
Karena telah meletakan mata ditempat yang paling tepat di tubuh, jika Dia
menciptakanya dibelakang kepala atau dikaki ataupun di tangan maka hasilnya
berupa kecacatan dan kerusakan. Sehingga segala apa yang diciptakanya maka
sudah diperhitungkan pula keadilan dan kemanfaatanya.
Implikasi
Sebagai seorang muslim, sudah selayaknya saya
mengimani sifat allah swt tersebut (al ‘adl) dengan wujud menjalankan apa yang
telah diamanatkan oleh kedua orang tua saya untuk belajar. Amanat merupakan
salah satu dari contoh perilaku adil. Adil terhadap kedua orang tua kita,
karena kita tahu bahwa segala hal yang kita butuhkan insyaallah akan mereka
turuti. Meskipun kadang tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan. Berangkat
dari situ maka sadarilah dan berlaku adilah kita terhadap diri dan kedua orang
kita.
Manusia itu sendiri terdiri dari beberapa bagian atau
organ yang senantiasa harus terpenuhi haknya. Misalnya dengan tidur kita
memberikan keadilan kepada mata dan organ tubuh lainnya untuk berisitirahat. Jika tidak tidur
maka tubuh manusia tidak berfungsi dengan baik. Namun tidak boleh berlebihan dalam hali
istirahat ini, krena sesuatu yang berlebiham pasti akan menimbulkan
kemadhorotan. Dituntut adil juga dalam hal istirahat untuk menyeimbangkan
antara mengistirahatkan tubuh dan membawanya untuk bekerja. Artinya dengan belajar, seorang siswa juga mampu mempertimbangkan sesuatu sesuai kemampuannya
untuk memutuskan suatu perkara yang memerlukan keadilan. Allah swt maha adil, maka
imanilah itu dengan wujud kita adil semampu kita terhadap apa saja yang kita
lakukan. Karena sejatinya hanya dariNya lah segalanya berasal.
Pertanyaan :
1.
Dari Saefudin Khoiri : contoh kongkrit alloh swt itu adil ? mengapa
kebanyakan orang” non muslim, Kristen misalkan, mereka lebih mapan dari
kebanyakan orang-orang muslim ?
Jawaban :
·
Contoh kongkrit Allah itu adil adalah Allah menciptakan tubuh manusia,
tubuh manusia tersusun dari anggota yang berbeda, allah swt menyusun manusia
dari tulang, daging dan kulit. Dia menempatkan tulang sebagai topangan dengan
daging yang membungkus untuk melindunginya, dan juga kulit yang membungkus
daging untuk melindunginya juga. Seandainya dibalik, tulang diluar dan kulit
didalam, maka tatananya menjadi rusak dan disitulah letak keadilan allah.
·
Mengapa kebanyakan non muslim lebih mapan, dimana keadilan allah disitu
? Keadilan tidak hanya diukur dengan materi karena bisa saja orang yang
sederhana merasa puas dengan apa yang mereka miliki karena mereka bersyukur
dengan nikmat itu, dan sebaliknya orang yang berharta bisa saja tidak nyaman
dengan yang mereka peroleh karena mereka tak pernah bersyukur. Apa yang didapat
akan sebanding dengan apa yang diusahakan, jika allah mengamininya. karenanya
jika memang non muslim lebih mapan dari pada orang muslim, lihatlah sekeras apa
usaha mereka memperolehnya, bukan hanya dilihat dari hasilnya saja
.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazali, 1992, Al asma’
Al husna, Cambridge : the Islamic tekts society
Al Hafids, ahsin w.,1997, Memahami dan meneladani asmaul husna, Jakarta :
raja grafindo persada
Elmubarok, zaim dkk .
2011, Islam Rahmatan Lil’alamin, Semarang : UPT UNNES PRESS
KBBI ONLINE
0 Comments:
Post a Comment