AS’ARIYAH
(875-935 M)
A. Riwayat
Hidup Al-Asy’ari
Aliran Asy’ariyah merupakan aliran ilmu
Kalam yang namanya dinisbatkan nama pendirinya, yaitu Al-Asy’ari. Nama lengkap
Al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Isma’il
bin ‘Abdilah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari[1].
Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260H/875 M.
Setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di
sana pada tahun 324H/935 M[2].
Aliran Asy’ariyah lahir merupakan reaksi
terhadap aliran Mu’tazilah, yang didirikan oleh Abu Al-Hasan Ali bin Ismail
Al-Asy’ari[3].
Menurut Ibn ‘Asakir (w. 571 H), ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlussunnah dan ahli hadis. Ia wafat
ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada
seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik
al-Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu
Ali al-Jubba’i (w. 303 H/ 915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321
H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh
Mu’tazilah. Sebagai tokoh Mu’tazilah, ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam
perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah dan banyak menulis buku yang
membela alirannya[4].
Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah
hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu secara tiba-tiba ia mengumumkan
dihadapan jama’ah Masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan paham
Mu’tazilah dan akan menunjukkan keburukan-keburukannya[5].
Menurut Ibn ‘Asakir yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan paham
Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah
saw sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan.
Dalam tiga kali mimpinya, Rasulullah saw memperingatkannya agar segera
meninggalkan paham Mu’tazilah dan segera membela paham yang telah diriwayatkan
dari beliau[6].
Kekuatan Mu’tazilah pada masa khalifah,
mencapai pada puncaknya dengan melakukan serangan baik fisik maupun pemikiran
terhadap para fuqaha dan muhadditsin. Tetapi pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah,
Mu’tazilah semakin melemah dikarenakan ketika Al-Mutawakkil berkuasa aliran Mu’tazilah
dijauhkan dari pemerintahan. Pada masa Al-Mutawakkil ini orang-orang beraliran
Mu’tazilah diganti oleh orang-orang dan ulama yang beraliran ahlussunnah wal
jama’ah atau Sunni serta orang yang menerapkan metode Sunni[7].
B. Pokok-Pokok
Ajaran
Pemikiran Al-Asy’ari merupakan upaya
sintesis antar formulasi ortodok(faham Ahlussunnah Wal Jama’ah atau Sunni) yang
belum dirumuskan secara lengkap dan sistematis dengan Mu’tazilah. Aliran
Asy’ari ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap Mu’tazilah[8].
Adapun pokok-pokok Ajaran Asy’ariyah
adalah sebagai berikut:
1. Tuhan
dan sifat-sifat-Nya
Adanya perbedaan pendapat dikalangan
Mutakallim mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka
setuju bahwa meng-Esakan allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua
pandangan ekstrim, disatu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antrophomorfis) dan kelompok
musyabbihah yang berpendapat bahwa
Allah SWT mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah dan
sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Dilain pihak ia
berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah
tidak lain selain esensi-Nya. Dan tangan, kaki, telinga Allah SWT atau “Arasy
atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan harus dijelaskan
secara alegoris”[9].
Menghadapi dua kelompok yang berbeda
tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan
dengan Mu’tazilah) dan sifat-sifat itu seperti mempunyai tangan dan kaki tidak
boleh diartikan secara harfiah tetapi secara simbolis(berbeda dengan pendapat
dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat
Allah unik dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang
tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi sejauh menyangkut
realitasnya (haqiqah) tidak terpisah
dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya[10].
Sementara itu, Al-Baghdadi melihat
adanya konsensus di kalangan kaum
Asy’ari bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan, dan sabda
Tuhan adalah kekal. Menurut Al-Ghazali, sifat-sifat ini tidak sama dengan
esensi Tuhan tetapi berwujud dalam esensinya. Uraian-uraian ini juga membawa
paham banyak yang kekal. Untuk mengatasinya, kaum Asy’ariyah mengatakan bahwa
sifat-sifat itu bukan Tuhan melainkan dari Tuhan. Karena sifat-sifat bukan dari
Tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa pada paham banyak kekal[11].
Paham kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhanlah yang mendorong kaum Asy;ariah memilih penyelesaian di atas. “Sifat”
mengandung arti tetap dan kekal, sedangkan “keadaan” mengandung arti berubah.
Selanjutnya sifat mengandung arti kuat, sedangkan keadaan mengandung arti
lemah. Oleh karena itu perkataan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, tetapi
hanya mempunyai keadaan, tidak segaris dengan konsep kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Tuhan harus mempunyai sifat-sifat yang kekal[12].
2. Kebebasan
dalam Berkehendak (free-will)
Manusia memiliki kemampuan untuk memilih
dan menentukan serta mengaktualisasikan perbuatannya. Al-Asy’ari mengambil
pendapat menengah diantar dua pendapat yang ekstrem, yaitu Jabariah yang
fatalistik dan menganut paham pra-determinisme semata-mata, dan Mu’tazilah yang
menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan
perbuatannya sendiri.
Untuk menengahi dua pendapat di atas,
Al-Asy’ari membedakan antara Khaliq dan
Kasb. Menurutnya, Allah adalah
pencipta(khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang
mengupayakannya (muktasib). Hanya
Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia)[13].
Aliran Asy’ariah tidak menerima paham
Tuhan mempunyai kewajiban. Paham mereka bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendak
hati-Nya terhadap makhluk, mengandung arti bahwa Tuhan tidak mempunyai kewaiban
apa-apa. Akan tetapi, di sini timbul persoalan bagi aliran Asy’ariah karena dalam Al-Qur’an
dengan tegas dikatakan bahwa siapa yang berbuat baik akan masuk surga dan siapa
yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-kata Arab man, alladzina, dan sebagainya yang
menggambarkan arti siapa, oleh Asy’ari diberi interpretasi “bukan semua orang
tetapi sebagian”. Dengan demikian, kata “siapa” dalam ayat “Barang siapa menelan harta anak yatim piatu
dengan cara tidak adil, ia sebenarnya menelan api masuk ke dalam perutnya”
mengandung arti bukan seluruh, melainkan sebagian orang yang berbuat demikian.
Dengan kata lain yang diancam akan mendapat hukuman bukan semua orang,
melainkan sebagian orang yang menelan harta anak yatim piatu. Adapun sebagian
lagi akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan[14].
Dalam Asy’ari manusia ditempatkan pada
posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak mempunyai pilihan dalam
hidupnya. Oleh karena itu, aliran Asy’ariah lebih dekat dengan paham Jabariah
daripada dengan paham Mu’tazilah.
Pada prinsipny a, aliran Asy’ariah berpendapat bahwa perbuatan manusia
diciptakan Allah. Daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah
menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya
untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan adalah ciptaan Allah dan kasab (perolehan) bagi manusia. Dengan
begitu kasab mempunyai pengertian
penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi pada
peneriman bahwa perbuatan manusia “disertai” dengan daya kehendaknya, dan bukan
“atas” daya kehendak-Nya.
3. Akal
dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang
Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu tetapi berbeda dalam menghadapi
persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu.
Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan burukpun
terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik
dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada
akal[15].
4. Qadimnya
Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan
ekstrem dalam personal qadimnya Al-Qur’an: Mu’tazilah yang mengatakan bahwa
Al-Qur’an diciptakan (makhluk), dan tidak qadim; serta pandangan madzab Hanbali
dan Zahiriah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang qadim dan
tidak diciptakan). Bahkan, Zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata
dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim[16].
Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan
yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an
terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi tetapi hal itu tidak melekat pada
esensi Allah dan tidak qadim.
Menurut Harun Nasution, Al-Qur’an bagi
Asy’ari tidak diciptakan sebab apabila diciptakan, sesuai dengan ayat Q.S.
An-Nahl:40 yang artinya[17]:
“Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap
sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun
(jadilah)", Maka jadilah ia.”
5. Melihat
Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan
kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Allah dapat
dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy. Selain itu
Al-Asy’asri tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat.
Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat tetapi tidak dapat
digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat
terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan
kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
Asy’ariah sebagai aliran kalam
tradisional yang memberikan daya pada akal menolak paham Tuhan mempunyai
sifat-sifat jasmani apabila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat manusia.
Akan tetapi ayat-ayat Al-Qur’an meskipun menggambarkan Tuhan mempunyai
sifat-sifat jasmani, tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana
makna harfinya. Oleh karena itu, Tuhan dalam pandangan Asy’ariah mempunyai
mata, wajah, tangan, serta bersemayam di singgasana. Akan tetapi, semua itu
dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd
(tanpa diketahui cara dan batasnya)[18].
6. Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah
setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam cara pandang makna
keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang
mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Ia harus menyiksa orang yang salah dan
memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah
tidak memiliki keharusan apapun karena Ia adalah Penguasa Mutlak. Jika
Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya,
sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah Pemilik Mutlak.
Aliran Asy’ariah yang berpendapat bahwa akal
mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak
dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan harus berlaku
semutlak-mutlaknya. Al-Asy’ari menjelaskan bahwa tidak tunduk kepada siapapun
dan di atas Tuhan tidak ada satu dzat yang lain yang dapat membuat hukum serta
menentukan apayang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Bahkan
jika Tuhan menginginkan, Ia dapat meletakkan beban yang tidak terpikul oleh
manusia[19].
Karena menekankan kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan, aliran Asy’ariah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman
bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat
sekehendak hati-Nya dalam pandangan Asy’ariah. Dengan demikian, ketidakadilan
dipahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap
makhluk-Nya. Dengan kata lain, dikatakan tidak adil apabila yang dipahami Tuhan
tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya[20].
7. Kedudukan
orang berdosa
Terhadap pelaku dosa besar, Al-Asy’ari
sebagai wakil Ahl As-Sunnah menyatakan pendiriannya dengan tidak mengafirkan orang-orang yang
sujud ke Baitullah (Ahl Al-Qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti
berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman
dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi, jika
dosa besar itu dilakukannya dengan menganggap bahwa hal ini dibolehkan (halal)
dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir[21].
Adapun balasan di akhirat kelak yang
akan diperoleh pelaku dosa besar apabila meninggal dan tidak sempat bertobat,
menurut Al-Asy’ari hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha
Berkehendak Mutlak. Tuhan bisa mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu
mendapat syafaat Nabi Muhammad saw. Sehingga terbebas dari siksaan neraka atau
sebaliknya, Tuhan bisa memberinya siksa neraka sesuai dengan ukuran dosa yang
dilakukannya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia akan dimasukkan
ke dalam surga[22].
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi
menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan
kufur, predikat seseorang harus satu di antaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir.
Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar
adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain
kufur[23].
8. Iman
dan Kufur dalam Aliran Asy’ariah
Tidaklah mudah memahami makna iman yang
diberikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Sebab, di dalam karya-karyanya seperti Muqalat Al-Ibanah dan Al-luma’, iman didefinisikannya secara
berbeda satu sama lain. Dalam Maqalat
dan Al-Ibanah disebutkan bahwa iman
adalah qawl dan amal dan dapat bertambah serta berkurang. Dalam Al-Luma’, iman diartikannya sebagai tashdiq bi Allah. Argumentasinya bahwa
kata “mukmin” seperti dijumpai dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 17 memiliki
hubungan makna dengan kata shadiqin
dengan ayat itu. Dengan demikian, menurut Al-Asy’ari, iman adalah tashdiq bi al-qalb (membenarkan dengan
hati)[24].
DAFTAR
PUSTAKA
·
‘Imrah,
Muhammad. 1911. Tayyarat Al-Fikr Al-Islami.
Beirut: Dar Asy-Syuruq.
·
Anwar,
Rosihan. 2014. Ilmu Kalam. Bandung:
CV Pustaka Setia.
·
Badawi,
Abdurrahman. 1984. Madzahib
Al-Islamiyyin. Dar ‘Ilm li Al-Malayin
·
C.A.
Qadir. 1991. Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor.
·
Gurabah,
Hammudah. 1973. Abu Al
Hasan Al-Asy’ari. Kairo: Al-Haiat Al-“ammah li Syu’un Al-Mathabi’
Al-‘Amiriah.
·
Hanafi,
Ahmad. 1992. Pengantar Teologi Islam.
Jakarta: al-Husna.
·
Hidayati,
Wiji. 2013. Ilmu Kalam. Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga.
·
Muhammad
bin Abdul Al-Karim Asy-Syahrastani. 1990. Al-Milal
wa An-Nihal. Beirut: Dar Al-Ma’arifah.
·
Musa,
Jalal Muhammad. 1975. Nasy’at
Al-Asya’riah wa Tathawwuruha. Beirut: Dar Al-Kitab Al-Lubnani.
·
Nasution,
Harun. 1972. Teologi Islam Aliran-Aliran
Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press.
[1] Muhammad ‘Imrah, Tayyarat
Al-Fikr Al-Islami, Dar Asy-Syuruq, Beirut, 1911, hlm. 163., Rosihan Anwar
dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm.
146.
[2] Abdurrahman Badawi, Madzahib
Al-Islamiyyin, Dar ‘Ilm li Al-Malayin, 1984, hlm. 497., Rosihan Anwar dan
Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 146.
[3] Wiji Hidayati, Ilmu Kalam, (Yogyakarta:
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2013), hlm. 47.
[4] Hamumudah Gurabah, Abu Al Hasan
Al-Asy’ari, Al-Haiat Al-“ammah li Syu’un Al-Mathabi’ Al-‘Amiriah, Kairo,
1973, hlm. 60-61., Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 147.
[5] Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi
Islam, (Jakarta: al-Husna, 1992), hlm. 104., Rosihan Anwar dan Abdul Rozak,
Ilmu Kalam... hlm. 147.
[6] Jalal Muhammad Musa, Nasy’at
Al-Asya’riah wa Tathawwuruha, Dar Al-Kitab Al-Lubnani, Beirut, 1975, hlm.
172-173.
[7] Wiji Hidayati, Ilmu Kalam...
47.
[8] Ibid, hlm. 48.
[9] Ibid, hlm. 48.
[10] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor, 1991), hlm. 67-68.,
Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam...
hlm. 148.
[11] Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1972), hlm.
136., Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu
Kalam... hlm. 206.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan... 136., Rosihan Anwar dan Abdul
Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 206.
[13] Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu
Kalam... hlm. 148.
[14] Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu
Kalam... hlm. 185
[15] Muhammad bin Abdul Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Dar Al-Ma’arifah, Beirut, 1990, hlm. 115.,
Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam...
hlm. 149.
[16] Qadir, Filsafat dan Ilmu
Pengetahuan dalam Islam... hlm. 70., Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 149.
[17] Harun Nasution, Teologi Islam
Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan... 69.
[18] Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu
Kalam... hlm. 207.
[19] Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu
Kalam... hlm. 221.
[20] Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu
Kalam... hlm. 223.
[21] Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu
Kalam... hlm. 164
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Abu Hasan Al-Asy’ari, Al-Luma’,
Syirkah Musahamah Misriyyah, Kairo, 1955, hlm. 123., Rosihan Anwar dan Abdul
Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 174.
0 Comments:
Post a Comment