Header Ads

23 December 2016

AS’ARIYAH (875-935 M)

AS’ARIYAH (875-935 M)
A.    Riwayat Hidup Al-Asy’ari
Aliran Asy’ariyah merupakan aliran ilmu Kalam yang namanya dinisbatkan nama pendirinya, yaitu Al-Asy’ari. Nama lengkap Al-Asy’ari adalah Abu al-Hasan ‘Ali bin Ismail bin Ishaq bin Salim bin Isma’il bin ‘Abdilah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari[1]. Menurut beberapa riwayat, Al-Asy’ari lahir di Bashrah pada tahun 260H/875 M. Setelah berusia lebih dari 40 tahun, ia hijrah ke kota Baghdad dan wafat di sana pada tahun 324H/935 M[2].
Aliran Asy’ariyah lahir merupakan reaksi terhadap aliran Mu’tazilah, yang didirikan oleh Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Al-Asy’ari[3]. Menurut Ibn ‘Asakir (w. 571 H), ayah Al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlussunnah dan ahli hadis. Ia wafat ketika Al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia sempat berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya As-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i (w. 303 H/ 915 M), ayah kandung Abu Hasyim Al-Jubba’i (w. 321 H/932 M). Berkat didikan ayah tirinya, Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah. Sebagai tokoh Mu’tazilah, ia sering menggantikan Al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah dan banyak menulis buku yang membela alirannya[4].
Al-Asy’ari menganut paham Mu’tazilah hanya sampai usia 40 tahun. Setelah itu secara tiba-tiba ia mengumumkan dihadapan jama’ah Masjid Bashrah bahwa dirinya telah meninggalkan paham Mu’tazilah dan akan menunjukkan keburukan-keburukannya[5]. Menurut Ibn ‘Asakir yang melatarbelakangi Al-Asy’ari meninggalkan paham Mu’tazilah adalah pengakuan Al-Asy’ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah saw sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20 dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga kali mimpinya, Rasulullah saw memperingatkannya agar segera meninggalkan paham Mu’tazilah dan segera membela paham yang telah diriwayatkan dari beliau[6].
Kekuatan Mu’tazilah pada masa khalifah, mencapai pada puncaknya dengan melakukan serangan baik fisik maupun pemikiran terhadap para fuqaha dan muhadditsin. Tetapi pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriyah, Mu’tazilah semakin melemah dikarenakan ketika Al-Mutawakkil berkuasa aliran Mu’tazilah dijauhkan dari pemerintahan. Pada masa Al-Mutawakkil ini orang-orang beraliran Mu’tazilah diganti oleh orang-orang dan ulama yang beraliran ahlussunnah wal jama’ah atau Sunni serta orang yang menerapkan metode Sunni[7].
B.     Pokok-Pokok Ajaran
Pemikiran Al-Asy’ari merupakan upaya sintesis antar formulasi ortodok(faham Ahlussunnah Wal Jama’ah atau Sunni) yang belum dirumuskan secara lengkap dan sistematis dengan Mu’tazilah. Aliran Asy’ari ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap Mu’tazilah[8].
Adapun pokok-pokok Ajaran Asy’ariyah adalah sebagai berikut:
1.      Tuhan dan sifat-sifat-Nya
Adanya perbedaan pendapat dikalangan Mutakallim mengenai sifat-sifat Allah tak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa meng-Esakan allah adalah wajib. Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrim, disatu pihak ia berhadapan dengan kelompok mujassimah (antrophomorfis) dan kelompok musyabbihah yang berpendapat bahwa Allah SWT mempunyai semua sifat yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah dan sifat-sifat itu harus dipahami menurut arti harfiahnya. Dilain pihak ia berhadapan dengan kelompok Mu’tazilah yang berpendapat bahwa sifat-sifat Allah tidak lain selain esensi-Nya. Dan tangan, kaki, telinga Allah SWT atau “Arasy atau kursi tidak boleh diartikan secara harfiah melainkan harus dijelaskan secara alegoris”[9].
Menghadapi dua kelompok yang berbeda tersebut, Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah memiliki sifat-sifat (bertentangan dengan Mu’tazilah) dan sifat-sifat itu seperti mempunyai tangan dan kaki tidak boleh diartikan secara harfiah tetapi secara simbolis(berbeda dengan pendapat dengan kelompok sifatiah). Selanjutnya Al-Asy’ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah unik dan tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip. Sifat-sifat Allah berbeda dengan Allah, tetapi sejauh menyangkut realitasnya (haqiqah) tidak terpisah dari esensi-Nya. Dengan demikian, tidak berbeda dengan-Nya[10].
Sementara itu, Al-Baghdadi melihat adanya konsensus di kalangan  kaum Asy’ari bahwa daya, pengetahuan, hayat, kemauan, pendengaran, penglihatan, dan sabda Tuhan adalah kekal. Menurut Al-Ghazali, sifat-sifat ini tidak sama dengan esensi Tuhan tetapi berwujud dalam esensinya. Uraian-uraian ini juga membawa paham banyak yang kekal. Untuk mengatasinya, kaum Asy’ariyah mengatakan bahwa sifat-sifat itu bukan Tuhan melainkan dari Tuhan. Karena sifat-sifat bukan dari Tuhan, adanya sifat-sifat tidak membawa pada paham banyak kekal[11].
Paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhanlah yang mendorong kaum Asy;ariah memilih penyelesaian di atas. “Sifat” mengandung arti tetap dan kekal, sedangkan “keadaan” mengandung arti berubah. Selanjutnya sifat mengandung arti kuat, sedangkan keadaan mengandung arti lemah. Oleh karena itu perkataan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat, tetapi hanya mempunyai keadaan, tidak segaris dengan konsep kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Tuhan harus mempunyai sifat-sifat yang kekal[12].
2.      Kebebasan dalam Berkehendak (free-will)
Manusia memiliki kemampuan untuk memilih dan menentukan serta mengaktualisasikan perbuatannya. Al-Asy’ari mengambil pendapat menengah diantar dua pendapat yang ekstrem, yaitu Jabariah yang fatalistik dan menganut paham pra-determinisme semata-mata, dan Mu’tazilah yang menganut paham kebebasan mutlak dan berpendapat bahwa manusia menciptakan perbuatannya sendiri.
Untuk menengahi dua pendapat di atas, Al-Asy’ari membedakan antara Khaliq dan Kasb. Menurutnya, Allah adalah pencipta(khaliq) perbuatan manusia, sedangkan manusia adalah yang mengupayakannya (muktasib). Hanya Allah yang mampu menciptakan segala sesuatu (termasuk keinginan manusia)[13].
Aliran Asy’ariah tidak menerima paham Tuhan mempunyai kewajiban. Paham mereka bahwa Tuhan dapat berbuat sekehendak hati-Nya terhadap makhluk, mengandung arti bahwa Tuhan tidak mempunyai kewaiban apa-apa. Akan tetapi, di sini timbul persoalan bagi  aliran Asy’ariah karena dalam Al-Qur’an dengan tegas dikatakan bahwa siapa yang berbuat baik akan masuk surga dan siapa yang berbuat jahat akan masuk neraka. Untuk mengatasi ini, kata-kata Arab man, alladzina, dan sebagainya yang menggambarkan arti siapa, oleh Asy’ari diberi interpretasi “bukan semua orang tetapi sebagian”. Dengan demikian, kata “siapa” dalam ayat “Barang siapa menelan harta anak yatim piatu dengan cara tidak adil, ia sebenarnya menelan api masuk ke dalam perutnya” mengandung arti bukan seluruh, melainkan sebagian orang yang berbuat demikian. Dengan kata lain yang diancam akan mendapat hukuman bukan semua orang, melainkan sebagian orang yang menelan harta anak yatim piatu. Adapun sebagian lagi akan terlepas dari ancaman atas dasar kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan[14].
Dalam Asy’ari manusia ditempatkan pada posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak mempunyai pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran Asy’ariah lebih dekat dengan paham Jabariah daripada dengan paham Mu’tazilah.
Pada prinsipny            a, aliran Asy’ariah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah. Daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya. Allah menciptakan perbuatan untuk manusia dan menciptakan pula pada diri manusia daya untuk melahirkan perbuatan tersebut. Jadi, perbuatan adalah ciptaan Allah dan kasab (perolehan) bagi manusia. Dengan begitu kasab mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini berimplikasi pada peneriman bahwa perbuatan manusia “disertai” dengan daya kehendaknya, dan bukan “atas” daya kehendak-Nya.
3.      Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Meskipun Al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu tetapi berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mengutamakan akal.
Dalam menentukan baik dan burukpun terjadi perbedaan pendapat di antara mereka. Al-Asy’ari berpendapat bahwa baik dan buruk harus berdasarkan wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal[15].
4.      Qadimnya Al-Qur’an
Al-Asy’ari dihadapkan pada dua pandangan ekstrem dalam personal qadimnya Al-Qur’an: Mu’tazilah yang mengatakan bahwa Al-Qur’an diciptakan (makhluk), dan tidak qadim; serta pandangan madzab Hanbali dan Zahiriah yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah (yang qadim dan tidak diciptakan). Bahkan, Zahiriah berpendapat bahwa semua huruf, kata-kata dan bunyi Al-Qur’an adalah qadim[16].
Dalam rangka mendamaikan kedua pandangan yang saling bertentangan itu, Al-Asy’ari mengatakan bahwa walaupun Al-Qur’an terdiri atas kata-kata, huruf dan bunyi tetapi hal itu tidak melekat pada esensi Allah dan tidak qadim.
Menurut Harun Nasution, Al-Qur’an bagi Asy’ari tidak diciptakan sebab apabila diciptakan, sesuai dengan ayat Q.S. An-Nahl:40 yang artinya[17]:
“Sesungguhnya Perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami hanya mengatakan kepadanya: "kun (jadilah)", Maka jadilah ia.”
5.      Melihat Allah
Al-Asy’ari tidak sependapat dengan kelompok ortodoks ekstrem, terutama Zahiriah, yang menyatakan bahwa Allah dapat dilihat di akhirat dan mempercayai bahwa Allah bersemayam di ‘Arsy. Selain itu Al-Asy’asri tidak sependapat dengan Mu’tazilah yang mengingkari ru’yatullah (melihat Allah) di akhirat. Al-Asy’ari yakin bahwa Allah dapat dilihat di akhirat tetapi tidak dapat digambarkan. Kemungkinan ru’yat dapat terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
Asy’ariah sebagai aliran kalam tradisional yang memberikan daya pada akal menolak paham Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani apabila sifat jasmani dipandang sama dengan sifat manusia. Akan tetapi ayat-ayat Al-Qur’an meskipun menggambarkan Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, tidak boleh ditakwilkan dan harus diterima sebagaimana makna harfinya. Oleh karena itu, Tuhan dalam pandangan Asy’ariah mempunyai mata, wajah, tangan, serta bersemayam di singgasana. Akan tetapi, semua itu dikatakan la yukayyaf wa la yuhadd (tanpa diketahui cara dan batasnya)[18].
6.      Keadilan
Pada dasarnya Al-Asy’ari dan Mu’tazilah setuju bahwa Allah itu adil. Mereka hanya berbeda dalam cara pandang makna keadilan. Al-Asy’ari tidak sependapat dengan ajaran Mu’tazilah yang mengharuskan Allah berbuat adil sehingga Ia harus menyiksa orang yang salah dan memberi pahala kepada orang yang berbuat baik. Al-Asy’ari berpendapat bahwa Allah tidak memiliki keharusan apapun karena Ia adalah Penguasa Mutlak. Jika Mu’tazilah mengartikan keadilan dari visi manusia yang memiliki dirinya, sedangkan Al-Asy’ari dari visi bahwa Allah adalah Pemilik Mutlak.
Aliran Asy’ariah yang berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kecil dan manusia tidak mempunyai kebebasan atas kehendak dan perbuatannya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan harus berlaku semutlak-mutlaknya. Al-Asy’ari menjelaskan bahwa tidak tunduk kepada siapapun dan di atas Tuhan tidak ada satu dzat yang lain yang dapat membuat hukum serta menentukan apayang boleh dibuat dan apa yang tidak boleh dibuat Tuhan. Bahkan jika Tuhan menginginkan, Ia dapat meletakkan beban yang tidak terpikul oleh manusia[19].
Karena menekankan kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, aliran Asy’ariah memberi makna keadilan Tuhan dengan pemahaman bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak terhadap makhluk-Nya dan dapat berbuat sekehendak hati-Nya dalam pandangan Asy’ariah. Dengan demikian, ketidakadilan dipahami dalam arti Tuhan tidak dapat berbuat sekehendak-Nya terhadap makhluk-Nya. Dengan kata lain, dikatakan tidak adil apabila yang dipahami Tuhan tidak lagi berkuasa mutlak terhadap milik-Nya[20].
7.      Kedudukan orang berdosa
Terhadap pelaku dosa besar, Al-Asy’ari sebagai wakil Ahl As-Sunnah menyatakan pendiriannya  dengan tidak mengafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah (Ahl Al-Qiblah) walaupun melakukan dosa besar, seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki, sekalipun berbuat dosa besar. Akan tetapi, jika dosa besar itu dilakukannya dengan menganggap bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir[21].
Adapun balasan di akhirat kelak yang akan diperoleh pelaku dosa besar apabila meninggal dan tidak sempat bertobat, menurut Al-Asy’ari hal itu bergantung pada kebijakan Tuhan Yang Maha Berkehendak Mutlak. Tuhan bisa mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaat Nabi Muhammad saw. Sehingga terbebas dari siksaan neraka atau sebaliknya, Tuhan bisa memberinya siksa neraka sesuai dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai, ia akan dimasukkan ke dalam surga[22].
Al-Asy’ari menolak ajaran posisi menengah yang dianut Mu’tazilah. Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufur, predikat seseorang harus satu di antaranya. Jika tidak mukmin, ia kafir. Oleh karena itu, Al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasik sebab iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur[23].
8.      Iman dan Kufur dalam Aliran Asy’ariah
Tidaklah mudah memahami makna iman yang diberikan oleh Abu Al-Hasan Al-Asy’ari. Sebab, di dalam karya-karyanya seperti Muqalat Al-Ibanah dan Al-luma’, iman didefinisikannya secara berbeda satu sama lain. Dalam Maqalat dan Al-Ibanah disebutkan bahwa iman adalah qawl dan amal dan dapat bertambah serta berkurang. Dalam Al-Luma’, iman diartikannya sebagai tashdiq bi Allah. Argumentasinya bahwa kata “mukmin” seperti dijumpai dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat 17 memiliki hubungan makna dengan kata shadiqin dengan ayat itu. Dengan demikian, menurut Al-Asy’ari, iman adalah  tashdiq bi al-qalb (membenarkan dengan hati)[24].

















DAFTAR PUSTAKA

·         ‘Imrah, Muhammad.  1911. Tayyarat Al-Fikr Al-Islami.   Beirut: Dar Asy-Syuruq.
·         Anwar, Rosihan. 2014. Ilmu Kalam. Bandung: CV Pustaka Setia.
·         Badawi, Abdurrahman. 1984. Madzahib Al-Islamiyyin. Dar ‘Ilm li Al-Malayin
·         C.A. Qadir. 1991. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam. Jakarta: Yayasan Obor.
·         Gurabah, Hammudah.  1973.  Abu Al Hasan Al-Asy’ari. Kairo: Al-Haiat Al-“ammah li Syu’un Al-Mathabi’ Al-‘Amiriah.
·         Hanafi, Ahmad. 1992. Pengantar Teologi Islam. Jakarta: al-Husna.
·         Hidayati, Wiji. 2013. Ilmu Kalam. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga.
·         Muhammad bin Abdul Al-Karim Asy-Syahrastani. 1990. Al-Milal wa An-Nihal. Beirut: Dar Al-Ma’arifah.
·         Musa, Jalal Muhammad. 1975. Nasy’at Al-Asya’riah wa Tathawwuruha. Beirut: Dar Al-Kitab Al-Lubnani.
·         Nasution, Harun. 1972. Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta: UI-Press.



[1] Muhammad ‘Imrah, Tayyarat Al-Fikr Al-Islami, Dar Asy-Syuruq, Beirut, 1911, hlm. 163., Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 146.
[2] Abdurrahman Badawi, Madzahib Al-Islamiyyin, Dar ‘Ilm li Al-Malayin, 1984, hlm. 497., Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 146.
[3] Wiji Hidayati, Ilmu Kalam, (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga, 2013), hlm. 47.
[4] Hamumudah Gurabah, Abu Al Hasan Al-Asy’ari, Al-Haiat Al-“ammah li Syu’un Al-Mathabi’ Al-‘Amiriah, Kairo, 1973, hlm. 60-61., Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 147.
[5] Ahmad Hanafi, Pengantar Teologi Islam, (Jakarta: al-Husna, 1992), hlm. 104., Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 147.
[6] Jalal Muhammad Musa, Nasy’at Al-Asya’riah wa Tathawwuruha, Dar Al-Kitab Al-Lubnani, Beirut, 1975, hlm. 172-173.
[7] Wiji Hidayati, Ilmu Kalam... 47.
[8] Ibid, hlm. 48.
[9] Ibid, hlm. 48.
[10] C.A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, (Jakarta: Yayasan Obor, 1991), hlm. 67-68., Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 148.
[11] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1972), hlm. 136., Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 206.
[12] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan... 136., Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 206.
[13] Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 148.
[14] Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 185
[15] Muhammad bin Abdul Al-Karim Asy-Syahrastani, Al-Milal wa An-Nihal, Dar Al-Ma’arifah, Beirut, 1990, hlm. 115., Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 149.
[16] Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam... hlm. 70., Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 149.
[17] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan... 69.
[18] Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 207.
[19] Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 221.
[20] Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 223.
[21] Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 164
[22] Ibid.
[23] Ibid.
[24] Abu Hasan Al-Asy’ari, Al-Luma’, Syirkah Musahamah Misriyyah, Kairo, 1955, hlm. 123., Rosihan Anwar dan Abdul Rozak, Ilmu Kalam... hlm. 174.

0 Comments:

Post a Comment