BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Semua yang ada di alam ini
merupakan ciptaan (makhluk) Allah SWT. Allah SWT mempunyai sifat-sifat yang
agung, mulia, dan besar yang tidak terdapat pada semua rnakhluk-Nya. Oleh
karena itu, semua makhluk-Nya harus menyembah kepada-Nya. Namun
sifat-sifatAllah SWT tersebut tidak hanya tergambar dalam sifat wajib-Nya,
melainkan juga dari nama-nama baik yang menyertai-Nya (Asma’ul Husna).
Firman Allah SWT dalam Alquran :
“Hanya milik Allah asma-ul husna,
maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu.”(QS. Al A’raaf
: 180)
Berdasarkan ayat di atas, kita
diperintahkan untuk selalu menyebut nama-nama Allah SWT yang terhimpun dalam
Asmaul Husna. Semua kegiatan yang dilakukan sebaiknya didahului dengan menyebutnama-Nya
(terwujud dalam kalimat basmalah). Allah SWT memerintahkan untuk menyebut-Nya
dengan Asmaul Husna sebagai pujian dan pengantar doa kepada-Nya. Dalam berdoa
kita pasti meminta sesuatu. Dengan memuji nama-Nya terlebih dahulu, harapan
akan terkabulnya doa kita tentu akan semakin besar.Dalam salah satu haditsnya,
Rasulullah menjelaskan :
“Sesungguhnya Allah SWT mempunyai
sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu,barang siapa yang
menghafalkannya, maka ia akan masuk surga”. (HR. Bukhari)
Dalam makalah ini akan di bahas
tentang sifat Allah “Al-Karim” yang merupakan salah satu dari sembilan puluh
sembilan nama. Hal ini menunjukkan apabila kita mengenal Asma`ul Husna dengan
bersungguh-sungguh menghafal, kemudian memahami maknanya serta beribadah kepada
Allah maka akan menjadi penguat iman yang paling besar, bahkan mengenal Asma`
dan sifat-Nya merupakan dasar iman, di mana imanseseorang itu kembali kepada
dasar yang agung ini.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana makna dan pengertian Al-Karim?
2.
Bagaimana Living Soup Al-Karim?
3.
Bagaimana Menebar Al-Karim menjadi
seorang yang bersifat Dermawan Sejati?
4.
Bagaimana implikasi Al-Karim bagi
diri sendiri dan kehidupan?
C.
Tujuan
Penulisan
1.
Mengetahui makna dan pengertian
Al-Karim
2.
Mengetahui Living Soup Al-Karim
3.
Mengetahui sifat Al-Karim untuk menjadi
seorang yang bersifat Dermawan Sejati
4.
Mengetahui implikasi Al-Karim bagi
diri sendiri dan kehidupan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Makna dan Pengertian
Al-Karim
Al-Karrimu artinya :
(Allah) Maha Mulia. Karena Dia Maha Mulia, maka Dia amat pemurah. Dia sediakan
dan dia beri segala keperluan makhluk-Nya tanpa diminta lebih dahulu.[1]
Kata al-Karim
terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf kaf, ra’, dan mim,
yang mengandung makna kemuliaan serta keistimewaan sesuai objeknya. Jika Anda
berkata rizqun karim, maka ini bermakna segala yang baik/istimewa dalam
bidang rezeki, seperti memuaskan, halal, berdampak baik dan sebagainya. Qaulun
karim adalah ucapan yang baik, yakni yang benar, mudah dipahami, sesuai
dengan pesan yang ingin disampaikan, serta sesuai pula dengan kaidah-kaidah
kebahasaan. Korma (buah yang sering dijadikan berbuka puasa) juga
terambil dari kata yang sama, karena ia buah yang manfaatnya banyak, kalorinya
tinggi, buahnya rindang, mudah dipetik, dimakan dalam keadaan mentah atau
matang, serta dapat dijadikan minuman yang lezat. Kata karim juga
mengandung makna keluhuran budi.
Dalam al-Quran
kata karim ditemukan sebanyak 23 kali. Ada yang menyifati rezeki, pangan,
ganjaran, malaikat, rasul, maqam (kedudukan), naungan, surat, al-Quran,
ucapan, bahkan ejekan kepada manusia durhaka.[2]
Al-Karim
adalah Dia yang Maha pemurah dengan pemberian-Nya, Maha luas dengan
anugerah-Nya, tidak terlampaui oleh harapan dan cita betapapun tinggi besarnya
harapan dan cita tersebut. Dia yang memberi tanpa perhitungan. Demikian
sementara ulama melukiskan kandungan makna sifat ini.
Kata al-Karim
menururt Imam Ghazali adalah, “ Dia yang bila berjanji,menepati janji-Nya; bila
memberi melampaui batas harapan pengharap-Nya, Tidak peduli berapa dan kepada
siapa Dia memberi. Dia yang tidak rela bila ada kebutuhan yang dimohonkan
kepada selain-Nya. Dia yang bila “kecil hati”, menegur tanpa berlebih. Tidak
mengabaikan siapapun yang menuju dan berlindung kepada-Nya, dan tidak
membutukan sarana atau perantara.
Ibnu al-Arabi
menyebut enam belas makna dari sifat Allah ini, antara lain yang disebut oleh
al-Ghazalli di atas, dan juga “Dia yang bergembira dengan diterimanya
anugerah-Nya, serta memberi siapa yang mendurhakai-Nya, bahkan sebelum diminta,
dan lain-lain.
Kata al-Karim
yang menyifati Allah dalam al-Qur’an, kesemuanya menunjuk kepada-Nya dengan
kata Rabb, bahkan kata Akram (dalam bentuk superlatif) yang
merupakan sifat pertama yang diperkenalkan-Nya pada wahyu pertamapun, menunjuk
kepada-Nya dengan kata Rabb, yaitu forman-Nya: Iqra’ wa rabbuka
al-Akram.
Kata-kata yang bersumber dari akar kata yang sama dengan
Rabb memilki arti yang berbeda-beda namun pada akhirnya mengacu kepada
makna pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan serta perbaikan. Rabb
adalah Tuhan yang mendidik, memelihara, mengembangkan, meningkatkan dan
memperbaiki keadaan makhluk-Nya. Bahkan kata Rabb mencakup seluruh
perbuatan-perbuatan Tuhan, seperti memberi rezeki, ganjaran pengampunan juga
siksaan, karena sanksi dan hukuman-hukuman-Nya tidak terlepas dari tarbiyah
(pemeliharaan dan pendidikan itu). [3]
Penyifatan Rabb
dengan Karim menunjukkan bahwa karam (anugerah kemurahan-Nya
dalam berbagai aspek), dikaitan dengan rububiyah-Nya,
yakni pendidikan, pemeliharaan, dan perbaikan makhluk-Nya, sehingga anugerah
tersebut dalam kadar dan waktunya selalu berbarengan serta bertujuan perbaikan
dan pemeliharaan. Dalam konteks ini menarik untuk dikemukakan bahwa salah satu
di antara ketiga ayat yang menggunakan kata Karim dirangkaikan dengan
kata Ghaniyy (Maha Kaya), dan dikemukakan dalam konteks kecaman kepada
si kafir yang tidak mensyukuri anugerah-Nya, baik anugerah yang terkesan biasa,
maupun yang luar biasa. Firman-Nya dalam QS. An-Naml (27): 40: “Barang siapa
yang beryukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri,
dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Ghaniyyun Karim (Maha
Kaya lagi Maha Pemurah).” Ini agaknya untuk mengisyaratkan pula bahwa
kemurahan Allah terhadap yang kafir pun tetap tercurah. Bukankah kemurahan
Allah antara lain tecermin – seperti dikemukakan di atas – pada sikapnya yang
“tidak peduli berapa dan kepada siapa Dia memberi?”[4]
Allah yang memperkenalkan
dirinya sebagai Al-Karim mengindikasikan bahwa Dia adalah yang Maha Pemurah,
Mahadermawan dengan pemberian-Nya, Mahaluas dengan anugerah-Nya, tidak
terlampaui oleh harapan dan cita betapapun tinggi dan besarnya harapan dan
cita. Dia yang memberi tanpa
perhitungan. Dia tidak pernah menghalangi siapa saja yang menuju kepada-Nya.
Sehingga dengan sifat-Nya inilah, maka kehidupan dunia ini tegak, bergerak
dinamis, dan terpelihara.
Pemberian
Allah kepada Makhluk-Nya tidak terbatas sama sekali. Adakalnya pemberian-Nya
melebihi dari yang diminta dan yang diperlukan oleh hamba-Nya. [5]
Begitu Maha
Mulia Allah, Dia maafkan kesalahan orang yang meminta maaf, Dia memenuhi janji
bila berjanji, memnuhi permohonan hamba-Nya. Dia berlebihan, bila memberi, dan
Dia tidak menhitung-hitung berapa nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya,
karena tidak pernah merasa rugi.
Alam dan
segala isinya ini ada dan terwujud adalah atas kemuliaan dan kemurahan Allah.
Orang-orang beriman menyadari kenyataan yang ada di depan mata dan alam
sekitarnya. Karena itu dia bersyukur dan merendahkan diri di hadapan Allah,
tidak somobong, kikir dan memiliki sifat-sifat yang tidak terpuji. Tetapi
sebagian orang tidak demikian, dia mengingkari janjinya dan menganggap Allah
tidak ada campur tangan di dalam kehidupannya.[6]
Terhadap orang yang seperti ini Allah mengingatkan dengan
firman-Nya:
tA$s% Ï%©!$# ¼çnyZÏã ÒOù=Ïæ z`ÏiB É=»tGÅ3ø9$# O$tRr& y7Ï?#uä ¾ÏmÎ/ @ö6s% br& £s?öt y7øs9Î) y7èùösÛ 4 $£Jn=sù çn#uäu #
É)tGó¡ãB ¼çnyZÏã tA$s% #x»yd `ÏB È@ôÒsù În1u þÎTuqè=ö6uÏ9 ãä3ô©r&uä ÷Pr& ãàÿø.r& ( `tBur ts3x© $yJ¯RÎ*sù ãä3ô±o ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur txÿx. ¨bÎ*sù În1u @ÓÍ_xî ×LqÌx. ÇÍÉÈ
40. Berkatalah
seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab[1097]: "Aku akan membawa
singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman
melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini
termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba Aku apakah Aku bersyukur atau mengingkari
(akan nikmat-Nya). dan barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, Maka
Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".
Pada umumnya
manusia, lebih banyak yang membantah daripada yang patuh, lebih banyak yang
melakukan maksiat, daripada yang taat dalam arti kata yang sebenarnya.
Sebegitu
banyak nikmat dan karunia yang diterima, namun masih tega mendurhaka kepada
Allah, enggan berzikir, enggan beribadah sebagai penyerahan diri dan taat
kepada-Nya. Allah berfirman:[7]
$pkr'¯»t ß`»|¡RM}$# $tB x8¡xî y7În/tÎ/ ÉOÌx6ø9$# ÇÏÈ
“
Hai manusia, apakah yang Telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka)
terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.” (al-Infithor: 6)
Kalau kita
perhatikan kedua ayat di atas, maka al-Karim bisa bermakna Allah Maha Mulia dan
Maha Pemurah. Kedua pengertian itu memang saling berkait. Kalau kita umpamakan:
orang yang berhati mulialah yang bersifat pemurah dan sebaliknya orang yang
pemurah itulah disebut berhati mulia.[8]
B.
Living Soup
Al-Karim
Seseorang yang
menjadikan Al-Karim sebagai living soup harus yakin akan kedermawanan-Nya,
sehingga segala permintaan hanya ditunjukkan kepada-Nya. Tidak meminta kepada
yang lain. Sebab, ia yakin sepenuhnya bahwa apa yang diminta tidak absurd.
Seperti janji Tuhan: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi
permintaanmu; dan mereka yang sombong enggan beribadah kepada-ku mereka akan
masuk ke dalam neraka dalam keadaan hina,” (QS. Al-Mu’min/ Al-Ghafir (40):
60).
Dalam sebuah
hadits Rasulullah Saw. Bersabda, “Seungguhnya Allah itu Mahahidup dan
Mahadermawan, malu Dia kepada hamba-Nya yang menengadahkan tangan meminta
kepada-Nya, tanpa meletakan kebaikan dalam tangan hamba-Nya itu” (HR Ibn Majah,
Ibn Hiban, dan Al-Hakim).
Ahmad
Athaillah dalam Al-Hikam menasihati, “Jangan palingkan harapanmu selain dari
Allah, karena Yang Mahadermawan tidak akan pernah memupus harapanmu.” Semua
harapan akan Dia perhatikan secara seksama, dan pasti akan mengabulkan harapan
itu. Karena itu, tegas Athaillah, “Jangan mencoba menyampaikan hajatmu kepada
selain Allah. Dia adalah Zat yang mengabulkan hajatmu, tidak mungkin hajat
terkabul selain-Nya. Sebab, Allah Ta’ala adalah Pemilik dan Pengatur semua
hajat manusia. Ingatlah! Orang yang tak mampu memenuhi keebutuhan orang lain.”
Jika semua ini
sudah dipahami dengan benar, seseorang akan menjadi manusia tangguh, ulet,
percaya diri dan mandiri dalam hidupya. Ia tidak mudah putus asa, karena dia
merasa Allah selalu mengawasi dan menginvestasi daftar-daftar keinginan yang
diajukannya. Ia akan menjadi golongan orang-orang yang oleh Al-Quran disebut Al-mu’minun
haqqa (orang-orang beriman sejati) yang ditandai dengan (1) mereka apabila
disebut nama Allah hati mereka bergetar, (2) ketika dibacakan ayat-ayat Allah,
bertambah iman mereka, (3) kepada-Nya mereka bertawakal, (4) mendirikan shalat,
dan (5) menafkahkan sebagian harta. Mereka ini akan memperoleh beberapa derajat
ketinggian di sisi Allah, memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (rizqun
karim). [9]
C.
Menebar
Al-Karim : Dermawan Sejati
Jika sudah
memahami, merasakan dan menghayati sungguh-sungguh ke-Karim-an Allah, tugas
kita selanjutnya adalah menebar semangat itu kepada orang lain, kepada
hamba-hamba Allah yang membutuhkan uluran tangan kita. Kita tidak boleh menjadi
manusia-manusia egois spiritual, egois materialistik. Keegoan ini hanya akan
mempersempit jalan kebersamaan kita dengan-Nya. Dan ini sangat berlawanan
dengan fitrah kedermawanan yang ada dalam diri kita. Karena kita sebenarnya
sudah di format oleh Allah untuk menjadi instrument-Nya di bumi; memakmurkan
bumi.
Untuk berderma
tidak harus menunggu masa-masa ketika kita kaya, berdema apa saja bisa kita
lakukan. Yang penting punya niat dan keinginan menolong sesama. Sebab, seperti dikatakan Nabi, “Orang
dermawan itu dekat kepada Allah, dekat kepada sorga, dekat kepada manusia, jauh
dari apa neraka.”
Abu Al-Laits
Al-Samarqandi, dalam Tanbih Al-Ghafilin , meriwayatkan sebuah hadis via Abu
Dzar Al-Ghifari, yang berisi tentang dialog anntara Nabi dengan pengikutnya
mengenai sedekah atau derma:
Salat itu
sendi agama, dan jihad sebagai tulang punggung (setinggi) amal, dan sedekah itu
suatu yang ajaib (baik). Dan ketika ditanya tentang puasa? Jawabannya, itu
untuk taqarrub kepada Allah, dan tidak ada kelebihannya. Ditanya sedekah yang
manakah yang lebih utama? Di jawab, yang terbanyak, kemudia membaca ayat, “Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai,” (QS. Ali Imran (3): 92).
Ditanya, jika tidak mempunyai sama sekali? Di jawab, kelebihan makanan.
Ditanyakan lagi, jika tidak mempunyai sama sekali? Dijawab, membantu dengan
tenga. Ditanyakan lagi, jika tidak kuat? Dijawab, mejaga diri dai api neraka
walau hanya bersedekah separoh biji korma. Jika tidak mempunyau? Jawabnya,
menahan dirinya, yakni tidak mengganggu orang lain. [10]
Mengingat
pentingnya sedekah ini, Rasulullah Saw. Mengusir seorang kaya yang terkenal
pelit yang tengah berdoa dengan memgang kelambu Ka’bah. Ketika si kaya tadi
berdoa, Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu dengan kehormatan rumah ini semoga
Engkau mengampuni aku. Maka, Nabi pun bertanya kepadanya, “Hai hamba Allah,
mintalah kepada Allah dengan kehormatanmu, sebab kehormatan seorang mukmin
lebih besar di sisi Allah daripada
Ka’bah ini”. Lalu orang itu berterus terang, “Ya Rasulullah dosaku sangat
besar.” “Apa dosamu” Tanya Nabi serius. “Aku seorang kaya, hartaku banyak,
ternak dan kuda, tetapi jika ada orang yang minta-minta kepadaku sesuatu, maka
bagaiakan sulutan api yang menyentuh
mukaku,” Jawabnya. Mendengar keterangan orang ini, dengan nada keras, Rasulullah
Saw., “Enyalah kau dariku, demi Allah, andaikan engkau puasa dan salat selama
seribu tahun, kemudia engkau sebagai seorang yang tidak mengenal budi pemberian
Allah, niscaya Allah akan melemparkan engkau ke dalam neraka; apakah engkau
tidak mengetahui bahwa lu’m (cedera, tidak mengenal budi) itu termasuk
dalam kufur dan kufur itu di neraka, sedang dermawan (al-skharah) itu daripada
imaj, sedang iman itu di sorga.”
Memang untuk
menjadi pribadi yang dermawan agak sulit dan banyak tantangan baik yang
bersifat internal maupun eksternal. Secara internal, tantangan itu berasal dari
hawa nafsu yang sering kali di bawah kendali syetan. Di bagian inilah syetan
melakukan operasinya. Allah swt. Sendiri mengingatkan akan hal ini dalam
firman-Nya, “Setan menakut-nakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu
berbuat kejahatan (kikir); sedangkan Allah menjajikan untukmu dari-Nya dan
karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui,” (QS
Al-Baqarah (2): 286)[11]
D.
Implikasi
penyifatan Al-Karim terhadap diri sendiri dan bagi kehidupan
1.
Manusia yang sempurna adalah
manusia yang karim (yang mulia), pemurah lagi berbudi pekerti luhur.
Ini berarti
yang meneladani sifat Allah ini, bukan saja dituntut untuk menekan kekikiran
yang menyelimuti jiwanya, sehingga menjadi peramah dan pemurah, tetapi dia
dituntut pula untuk menghiasi dirinya dengan simpul-simpul takwa, karena
al-Karam, yakni “yang meraih puncak dalam berbagai aspeknya, adalah yang paling
bertakwa. “sesungguhnya akramakum (orang yang paling mulia diantara
kamu) di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” (QS.
al-Hujarat (49): 13).[12]
2.
Seseorang yang memahami Al-Karim
akan menjadi manusia yang tangguh, ulet, percaya diri dan mandiri dalam
hidupya. Ia tidak mudah putus asa, karena dia merasa Allah selalu mengawasi dan
menginvestasi daftar-daftar keinginan yang diajukannya.
3.
Menjaga kemuliaan Allah dengan
bersyukur atas karunia yang telah diberikan kepada kita dan memelihara dengan
baik atas segala sesuatu yang ada pada diri kita.
4.
Menjaga kemuliaan ciptaan-Nya dengan
tidak membuat kerusakan lingkungan sekitar dan menebar kasih sayang dengan
semua makhluk.
5.
Menjadi seseorang yang dermawan,
saling mengulurkan semangat kepada orang lain, tidak egois karena keegoan ini
hanya akan mempersempit jalan kebersamaan kita dengan-Nya.
6.
Disenangi banyak orang karena
selalu berbuat baik kepada orang lain sehingga hidup selalu bahagia dan selamat
di dunia dan di akhirat.
BAB III
KESIMPULAN
Kata al-Karim
terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf kaf, ra’, dan mim, yang
mengandung makna kemuliaan serta keistimewaan sesuai objeknya.
Kata al-Karim
menururt Imam Ghazali adalah, “ Dia yang bila berjanji,menepati janji-Nya; bila
memberi melampaui batas harapan pengharap-Nya, Tidak peduli berapa dan kepada
siapa Dia memberi. Dia yang tidak rela bila ada kebutuhan yang dimohonkan
kepada selain-Nya. Dia yang bila “kecil hati”, menegur tanpa berlebih. Tidak
mengabaikan siapapun yang menuju dan berlindung kepada-Nya, dan tidak
membutukan sarana atau perantara.
Seseorang yang
menjadikan Al-Karim sebagai living soup harus yakin akan kedermawanan-Nya,
sehingga segala permintaan hanya ditunjukkan kepada-Nya. Tidak meminta kepada
yang lain.
Ahmad
Athaillah dalam Al-Hikam menasihati, “Jangan palingkan harapanmu selain dari
Allah, karena Yang Mahadermawgan tidak akann pernah memupus harapanmu.”
Jika sudah
memahami, merasakan dan menghayati sungguh-sungguh ke-Karim-an Allah, tugas
kita selanjutnya adalah menebar semangat itu kepada orang lain, kepada
hamba-hamba Allah yang membutuhkan uluran tangan kita. Kita tidak boleh menjadi
manusia-manusia egois spiritual, egois materialistic. Keegoan ini hanya akan
mempersempit jalan kebersamaan kita dengan-Nya. Dan ini sangat berlawanan
dengan fitrah kedermawanan yangada dalam diri kita. Karena kita sebenarnya
sudah di format oleh Allah untuk menjadi instrument-Nya di bumi; memakmurkan
bumi.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kumayi, Sulaiman MA.Kecerdasan
99.2006.Bandung: PT Mizan Publika
Hasan, M. Ali.Memahami
dan Meneladani Asmaul Husna.1997.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Shihab, M. Quraish.Asma’
al-Husna.2008.Jakarta: Hisbullah
Pertanyaan
dari :
1.
Rizki Afif Nugraha
Melingkupi apa
saja bagian dari Al-Karim itu?
2.
Saiful Mustafa
apakah jika
dihubungkan dengan Maha Mendengar dari perkataan yang tidak baik itu mengurangi
Maha Mulianya Allah?
3.
Fauzul Murtafiah
Untuk menjaga
kemuliaan Allah bagiamana sikap kita dihadapan Allah?
[1]
M. Ali Hasan, Memahami dan
Meneladani Asmaul Husna, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997) hal. 171
[2]
M. Quraish Shihab, Asma’ al-Husna, (Jakarta: Hisbullah, 2008) hal
191-192
[3]
Ibid, hal 193-194
[4]
Ibid, hal 195
[5]
Sulaiman Al-Kumayi, MA, Kecerdasan 99, (Bandung: PT Mizan Publika, 2006)
hal 8
[6]
M. Ali Hasan, Memahami dan Meneladani Asmaul Husna, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 1997) hal. 171
[7]
Ibid, hal 172
[8]
Ibid, hal 173
[9]
Sulaiman Al-Kumayi, MA, Kecerdasan 99, (Bandung: PT Mizan Publika, 2006)
hal 10
[10]
Ibid, hal 11-12
[11]
Ibid, hal 12-13
[12]
M. Quraish Shihab, Asma’ al-Husna, (Jakarta: Hisbullah, 2008) hal 195
0 Comments:
Post a Comment