Header Ads

23 December 2016

Al-Karim

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

      Semua yang ada di alam ini merupakan ciptaan (makhluk) Allah SWT. Allah SWT mempunyai sifat-sifat yang agung, mulia, dan besar yang tidak terdapat pada semua rnakhluk-Nya. Oleh karena itu, semua makhluk-Nya harus menyembah kepada-Nya. Namun sifat-sifatAllah SWT tersebut tidak hanya tergambar dalam sifat wajib-Nya, melainkan juga dari nama-nama baik yang menyertai-Nya (Asma’ul Husna).
Firman Allah SWT dalam Alquran :
“Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu.”(QS. Al A’raaf : 180)
Berdasarkan ayat di atas, kita diperintahkan untuk selalu menyebut nama-nama Allah SWT yang terhimpun dalam Asmaul Husna. Semua kegiatan yang dilakukan sebaiknya didahului dengan menyebutnama-Nya (terwujud dalam kalimat basmalah). Allah SWT memerintahkan untuk menyebut-Nya dengan Asmaul Husna sebagai pujian dan pengantar doa kepada-Nya. Dalam berdoa kita pasti meminta sesuatu. Dengan memuji nama-Nya terlebih dahulu, harapan akan terkabulnya doa kita tentu akan semakin besar.Dalam salah satu haditsnya, Rasulullah menjelaskan :
“Sesungguhnya Allah SWT mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu,barang siapa yang menghafalkannya, maka ia akan masuk surga”. (HR. Bukhari)
Dalam makalah ini akan di bahas tentang sifat Allah “Al-Karim” yang merupakan salah satu dari sembilan puluh sembilan nama. Hal ini menunjukkan apabila kita mengenal Asma`ul Husna dengan bersungguh-sungguh menghafal, kemudian memahami maknanya serta beribadah kepada Allah maka akan menjadi penguat iman yang paling besar, bahkan mengenal Asma` dan sifat-Nya merupakan dasar iman, di mana imanseseorang itu kembali kepada dasar yang agung ini.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana makna dan pengertian Al-Karim?
2.      Bagaimana Living Soup Al-Karim?
3.      Bagaimana Menebar Al-Karim menjadi seorang yang bersifat Dermawan Sejati?
4.      Bagaimana implikasi Al-Karim bagi diri sendiri dan kehidupan?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui makna dan pengertian Al-Karim
2.      Mengetahui Living Soup Al-Karim
3.      Mengetahui sifat Al-Karim untuk menjadi seorang yang bersifat Dermawan Sejati
4.      Mengetahui implikasi Al-Karim bagi diri sendiri dan kehidupan.






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Makna dan Pengertian Al-Karim
Al-Karrimu artinya : (Allah) Maha Mulia. Karena Dia Maha Mulia, maka Dia amat pemurah. Dia sediakan dan dia beri segala keperluan makhluk-Nya tanpa diminta lebih dahulu.[1]
Kata al-Karim terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf kaf, ra’, dan mim, yang mengandung makna kemuliaan serta keistimewaan sesuai objeknya. Jika Anda berkata rizqun karim, maka ini bermakna segala yang baik/istimewa dalam bidang rezeki, seperti memuaskan, halal, berdampak baik dan sebagainya. Qaulun karim adalah ucapan yang baik, yakni yang benar, mudah dipahami, sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan, serta sesuai pula dengan kaidah-kaidah kebahasaan. Korma (buah yang sering dijadikan berbuka puasa) juga terambil dari kata yang sama, karena ia buah yang manfaatnya banyak, kalorinya tinggi, buahnya rindang, mudah dipetik, dimakan dalam keadaan mentah atau matang, serta dapat dijadikan minuman yang lezat. Kata karim juga mengandung makna keluhuran budi.
Dalam al-Quran kata karim ditemukan sebanyak 23 kali. Ada yang menyifati rezeki, pangan, ganjaran, malaikat, rasul, maqam (kedudukan), naungan, surat, al-Quran, ucapan, bahkan ejekan kepada manusia durhaka.[2]
Al-Karim adalah Dia yang Maha pemurah dengan pemberian-Nya, Maha luas dengan anugerah-Nya, tidak terlampaui oleh harapan dan cita betapapun tinggi besarnya harapan dan cita tersebut. Dia yang memberi tanpa perhitungan. Demikian sementara ulama melukiskan kandungan makna sifat ini.
Kata al-Karim menururt Imam Ghazali adalah, “ Dia yang bila berjanji,menepati janji-Nya; bila memberi melampaui batas harapan pengharap-Nya, Tidak peduli berapa dan kepada siapa Dia memberi. Dia yang tidak rela bila ada kebutuhan yang dimohonkan kepada selain-Nya. Dia yang bila “kecil hati”, menegur tanpa berlebih. Tidak mengabaikan siapapun yang menuju dan berlindung kepada-Nya, dan tidak membutukan sarana atau perantara.
Ibnu al-Arabi menyebut enam belas makna dari sifat Allah ini, antara lain yang disebut oleh al-Ghazalli di atas, dan juga “Dia yang bergembira dengan diterimanya anugerah-Nya, serta memberi siapa yang mendurhakai-Nya, bahkan sebelum diminta, dan lain-lain.
Kata al-Karim yang menyifati Allah dalam al-Qur’an, kesemuanya menunjuk kepada-Nya dengan kata Rabb, bahkan kata Akram (dalam bentuk superlatif) yang merupakan sifat pertama yang diperkenalkan-Nya pada wahyu pertamapun, menunjuk kepada-Nya dengan kata Rabb, yaitu forman-Nya: Iqra’ wa rabbuka al-Akram.
Kata-kata  yang bersumber dari akar kata yang sama dengan Rabb memilki arti yang berbeda-beda namun pada akhirnya mengacu kepada makna pengembangan, peningkatan, ketinggian, kelebihan serta perbaikan. Rabb adalah Tuhan yang mendidik, memelihara, mengembangkan, meningkatkan dan memperbaiki keadaan makhluk-Nya. Bahkan kata Rabb mencakup seluruh perbuatan-perbuatan Tuhan, seperti memberi rezeki, ganjaran pengampunan juga siksaan, karena sanksi dan hukuman-hukuman-Nya tidak terlepas dari tarbiyah (pemeliharaan dan pendidikan itu). [3]
Penyifatan Rabb dengan Karim menunjukkan bahwa karam (anugerah kemurahan-Nya dalam berbagai aspek), dikaitan dengan rububiyah-Nya, yakni pendidikan, pemeliharaan, dan perbaikan makhluk-Nya, sehingga anugerah tersebut dalam kadar dan waktunya selalu berbarengan serta bertujuan perbaikan dan pemeliharaan. Dalam konteks ini menarik untuk dikemukakan bahwa salah satu di antara ketiga ayat yang menggunakan kata Karim dirangkaikan dengan kata Ghaniyy (Maha Kaya), dan dikemukakan dalam konteks kecaman kepada si kafir yang tidak mensyukuri anugerah-Nya, baik anugerah yang terkesan biasa, maupun yang luar biasa. Firman-Nya dalam QS. An-Naml (27): 40: “Barang siapa yang beryukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Ghaniyyun Karim (Maha Kaya lagi Maha Pemurah).” Ini agaknya untuk mengisyaratkan pula bahwa kemurahan Allah terhadap yang kafir pun tetap tercurah. Bukankah kemurahan Allah antara lain tecermin – seperti dikemukakan di atas – pada sikapnya yang “tidak peduli berapa dan kepada siapa Dia memberi?”[4]
Allah yang memperkenalkan dirinya sebagai Al-Karim mengindikasikan bahwa Dia adalah yang Maha Pemurah, Mahadermawan dengan pemberian-Nya, Mahaluas dengan anugerah-Nya, tidak terlampaui oleh harapan dan cita betapapun tinggi dan besarnya harapan dan cita. Dia yang memberi tanpa perhitungan. Dia tidak pernah menghalangi siapa saja yang menuju kepada-Nya. Sehingga dengan sifat-Nya inilah, maka kehidupan dunia ini tegak, bergerak dinamis, dan terpelihara.
Pemberian Allah kepada Makhluk-Nya tidak terbatas sama sekali. Adakalnya pemberian-Nya melebihi dari yang diminta dan yang diperlukan oleh hamba-Nya. [5]
Begitu Maha Mulia Allah, Dia maafkan kesalahan orang yang meminta maaf, Dia memenuhi janji bila berjanji, memnuhi permohonan hamba-Nya. Dia berlebihan, bila memberi, dan Dia tidak menhitung-hitung berapa nikmat dan karunia yang telah diberikan-Nya, karena tidak pernah merasa rugi.
Alam dan segala isinya ini ada dan terwujud adalah atas kemuliaan dan kemurahan Allah. Orang-orang beriman menyadari kenyataan yang ada di depan mata dan alam sekitarnya. Karena itu dia bersyukur dan merendahkan diri di hadapan Allah, tidak somobong, kikir dan memiliki sifat-sifat yang tidak terpuji. Tetapi sebagian orang tidak demikian, dia mengingkari janjinya dan menganggap Allah tidak ada campur tangan di dalam kehidupannya.[6]
Terhadap orang yang seperti ini Allah mengingatkan dengan firman-Nya:
tA$s% Ï%©!$# ¼çnyZÏã ÒOù=Ïæ z`ÏiB É=»tGÅ3ø9$# O$tRr& y7Ï?#uä ¾ÏmÎ/ Ÿ@ö6s% br& £s?ötƒ y7øs9Î) y7èùösÛ 4 $£Jn=sù çn#uäu #É)tGó¡ãB ¼çnyZÏã tA$s% #x»yd `ÏB È@ôÒsù În1u þÎTuqè=ö6uÏ9 ãä3ô©r&uä ÷Pr& ãàÿø.r& ( `tBur ts3x© $yJ¯RÎ*sù ãä3ô±o ¾ÏmÅ¡øÿuZÏ9 ( `tBur txÿx. ¨bÎ*sù În1u @ÓÍ_xî ×Lq̍x. ÇÍÉÈ
40.  Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari AI Kitab[1097]: "Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: "Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba Aku apakah Aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). dan barangsiapa yang bersyukur Maka Sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, Maka Sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia".
Pada umumnya manusia, lebih banyak yang membantah daripada yang patuh, lebih banyak yang melakukan maksiat, daripada yang taat dalam arti kata yang sebenarnya.
Sebegitu banyak nikmat dan karunia yang diterima, namun masih tega mendurhaka kepada Allah, enggan berzikir, enggan beribadah sebagai penyerahan diri dan taat kepada-Nya. Allah berfirman:[7]
$pkšr'¯»tƒ ß`»|¡RM}$# $tB x8¡xî y7În/tÎ/ ÉOƒÌx6ø9$# ÇÏÈ
  Hai manusia, apakah yang Telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah.” (al-Infithor: 6)
Kalau kita perhatikan kedua ayat di atas, maka al-Karim bisa bermakna Allah Maha Mulia dan Maha Pemurah. Kedua pengertian itu memang saling berkait. Kalau kita umpamakan: orang yang berhati mulialah yang bersifat pemurah dan sebaliknya orang yang pemurah itulah disebut  berhati mulia.[8]
B.     Living Soup Al-Karim
Seseorang yang menjadikan Al-Karim sebagai living soup harus yakin akan kedermawanan-Nya, sehingga segala permintaan hanya ditunjukkan kepada-Nya. Tidak meminta kepada yang lain. Sebab, ia yakin sepenuhnya bahwa apa yang diminta tidak absurd. Seperti janji Tuhan: “Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan penuhi permintaanmu; dan mereka yang sombong enggan beribadah kepada-ku mereka akan masuk ke dalam neraka dalam keadaan hina,” (QS. Al-Mu’min/ Al-Ghafir (40): 60).
Dalam sebuah hadits Rasulullah Saw. Bersabda, “Seungguhnya Allah itu Mahahidup dan Mahadermawan, malu Dia kepada hamba-Nya yang menengadahkan tangan meminta kepada-Nya, tanpa meletakan kebaikan dalam tangan hamba-Nya itu” (HR Ibn Majah, Ibn Hiban, dan Al-Hakim).
Ahmad Athaillah dalam Al-Hikam menasihati, “Jangan palingkan harapanmu selain dari Allah, karena Yang Mahadermawan tidak akan pernah memupus harapanmu.” Semua harapan akan Dia perhatikan secara seksama, dan pasti akan mengabulkan harapan itu. Karena itu, tegas Athaillah, “Jangan mencoba menyampaikan hajatmu kepada selain Allah. Dia adalah Zat yang mengabulkan hajatmu, tidak mungkin hajat terkabul selain-Nya. Sebab, Allah Ta’ala adalah Pemilik dan Pengatur semua hajat manusia. Ingatlah! Orang yang tak mampu memenuhi keebutuhan orang lain.”
Jika semua ini sudah dipahami dengan benar, seseorang akan menjadi manusia tangguh, ulet, percaya diri dan mandiri dalam hidupya. Ia tidak mudah putus asa, karena dia merasa Allah selalu mengawasi dan menginvestasi daftar-daftar keinginan yang diajukannya. Ia akan menjadi golongan orang-orang yang oleh Al-Quran disebut Al-mu’minun haqqa (orang-orang beriman sejati) yang ditandai dengan (1) mereka apabila disebut nama Allah hati mereka bergetar, (2) ketika dibacakan ayat-ayat Allah, bertambah iman mereka, (3) kepada-Nya mereka bertawakal, (4) mendirikan shalat, dan (5) menafkahkan sebagian harta. Mereka ini akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Allah, memperoleh ampunan dan rezeki yang mulia (rizqun karim). [9]
C.    Menebar Al-Karim : Dermawan Sejati
Jika sudah memahami, merasakan dan menghayati sungguh-sungguh ke-Karim-an Allah, tugas kita selanjutnya adalah menebar semangat itu kepada orang lain, kepada hamba-hamba Allah yang membutuhkan uluran tangan kita. Kita tidak boleh menjadi manusia-manusia egois spiritual, egois materialistik. Keegoan ini hanya akan mempersempit jalan kebersamaan kita dengan-Nya. Dan ini sangat berlawanan dengan fitrah kedermawanan yang ada dalam diri kita. Karena kita sebenarnya sudah di format oleh Allah untuk menjadi instrument-Nya di bumi; memakmurkan bumi.
Untuk berderma tidak harus menunggu masa-masa ketika kita kaya, berdema apa saja bisa kita lakukan. Yang penting punya niat dan keinginan menolong sesama.  Sebab, seperti dikatakan Nabi, “Orang dermawan itu dekat kepada Allah, dekat kepada sorga, dekat kepada manusia, jauh dari apa neraka.
Abu Al-Laits Al-Samarqandi, dalam Tanbih Al-Ghafilin , meriwayatkan sebuah hadis via Abu Dzar Al-Ghifari, yang berisi tentang dialog anntara Nabi dengan pengikutnya mengenai sedekah atau derma:
Salat itu sendi agama, dan jihad sebagai tulang punggung (setinggi) amal, dan sedekah itu suatu yang ajaib (baik). Dan ketika ditanya tentang puasa? Jawabannya, itu untuk taqarrub kepada Allah, dan tidak ada kelebihannya. Ditanya sedekah yang manakah yang lebih utama? Di jawab, yang terbanyak, kemudia membaca ayat, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai,” (QS. Ali Imran (3): 92). Ditanya, jika tidak mempunyai sama sekali? Di jawab, kelebihan makanan. Ditanyakan lagi, jika tidak mempunyai sama sekali? Dijawab, membantu dengan tenga. Ditanyakan lagi, jika tidak kuat? Dijawab, mejaga diri dai api neraka walau hanya bersedekah separoh biji korma. Jika tidak mempunyau? Jawabnya, menahan dirinya, yakni tidak mengganggu orang lain. [10]
Mengingat pentingnya sedekah ini, Rasulullah Saw. Mengusir seorang kaya yang terkenal pelit yang tengah berdoa dengan memgang kelambu Ka’bah. Ketika si kaya tadi berdoa, Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu dengan kehormatan rumah ini semoga Engkau mengampuni aku. Maka, Nabi pun bertanya kepadanya, “Hai hamba Allah, mintalah kepada Allah dengan kehormatanmu, sebab kehormatan seorang mukmin lebih besar  di sisi Allah daripada Ka’bah ini”. Lalu orang itu berterus terang, “Ya Rasulullah dosaku sangat besar.” “Apa dosamu” Tanya Nabi serius. “Aku seorang kaya, hartaku banyak, ternak dan kuda, tetapi jika ada orang yang minta-minta kepadaku sesuatu, maka bagaiakan  sulutan api yang menyentuh mukaku,” Jawabnya. Mendengar keterangan orang ini, dengan nada keras, Rasulullah Saw., “Enyalah kau dariku, demi Allah, andaikan engkau puasa dan salat selama seribu tahun, kemudia engkau sebagai seorang yang tidak mengenal budi pemberian Allah, niscaya Allah akan melemparkan engkau ke dalam neraka; apakah engkau tidak mengetahui bahwa  lu’m  (cedera, tidak mengenal budi) itu termasuk dalam kufur dan kufur itu di neraka, sedang dermawan (al-skharah) itu daripada imaj, sedang iman itu di sorga.”
Memang untuk menjadi pribadi yang dermawan agak sulit dan banyak tantangan baik yang bersifat internal maupun eksternal. Secara internal, tantangan itu berasal dari hawa nafsu yang sering kali di bawah kendali syetan. Di bagian inilah syetan melakukan operasinya. Allah swt. Sendiri mengingatkan akan hal ini dalam firman-Nya, “Setan menakut-nakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedangkan Allah menjajikan untukmu dari-Nya dan karunia. Dan Allah Mahaluas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui,” (QS Al-Baqarah (2): 286)[11]



D.    Implikasi penyifatan Al-Karim terhadap diri sendiri dan bagi kehidupan

1.      Manusia yang sempurna adalah manusia yang karim (yang mulia), pemurah lagi berbudi pekerti luhur.
Ini berarti yang meneladani sifat Allah ini, bukan saja dituntut untuk menekan kekikiran yang menyelimuti jiwanya, sehingga menjadi peramah dan pemurah, tetapi dia dituntut pula untuk menghiasi dirinya dengan simpul-simpul takwa, karena al-Karam, yakni “yang meraih puncak dalam berbagai aspeknya, adalah yang paling bertakwa. “sesungguhnya akramakum (orang yang paling mulia diantara kamu) di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu” (QS. al-Hujarat (49): 13).[12]
2.      Seseorang yang memahami Al-Karim akan menjadi manusia yang tangguh, ulet, percaya diri dan mandiri dalam hidupya. Ia tidak mudah putus asa, karena dia merasa Allah selalu mengawasi dan menginvestasi daftar-daftar keinginan yang diajukannya.
3.      Menjaga kemuliaan Allah dengan bersyukur atas karunia yang telah diberikan kepada kita dan memelihara dengan baik atas segala sesuatu yang ada pada diri kita.
4.      Menjaga kemuliaan ciptaan-Nya dengan tidak membuat kerusakan lingkungan sekitar dan menebar kasih sayang dengan semua makhluk.
5.      Menjadi seseorang yang dermawan, saling mengulurkan semangat kepada orang lain, tidak egois karena keegoan ini hanya akan mempersempit jalan kebersamaan kita dengan-Nya.
6.      Disenangi banyak orang karena selalu berbuat baik kepada orang lain sehingga hidup selalu bahagia dan selamat di dunia dan di akhirat.



BAB III
KESIMPULAN

Kata al-Karim terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf kaf, ra’, dan mim, yang mengandung makna kemuliaan serta keistimewaan sesuai objeknya.
Kata al-Karim menururt Imam Ghazali adalah, “ Dia yang bila berjanji,menepati janji-Nya; bila memberi melampaui batas harapan pengharap-Nya, Tidak peduli berapa dan kepada siapa Dia memberi. Dia yang tidak rela bila ada kebutuhan yang dimohonkan kepada selain-Nya. Dia yang bila “kecil hati”, menegur tanpa berlebih. Tidak mengabaikan siapapun yang menuju dan berlindung kepada-Nya, dan tidak membutukan sarana atau perantara.
Seseorang yang menjadikan Al-Karim sebagai living soup harus yakin akan kedermawanan-Nya, sehingga segala permintaan hanya ditunjukkan kepada-Nya. Tidak meminta kepada yang lain.
Ahmad Athaillah dalam Al-Hikam menasihati, “Jangan palingkan harapanmu selain dari Allah, karena Yang Mahadermawgan tidak akann pernah memupus harapanmu.”
Jika sudah memahami, merasakan dan menghayati sungguh-sungguh ke-Karim-an Allah, tugas kita selanjutnya adalah menebar semangat itu kepada orang lain, kepada hamba-hamba Allah yang membutuhkan uluran tangan kita. Kita tidak boleh menjadi manusia-manusia egois spiritual, egois materialistic. Keegoan ini hanya akan mempersempit jalan kebersamaan kita dengan-Nya. Dan ini sangat berlawanan dengan fitrah kedermawanan yangada dalam diri kita. Karena kita sebenarnya sudah di format oleh Allah untuk menjadi instrument-Nya di bumi; memakmurkan bumi.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Kumayi, Sulaiman MA.Kecerdasan 99.2006.Bandung: PT Mizan Publika
Hasan, M. Ali.Memahami dan Meneladani Asmaul Husna.1997.Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Shihab, M. Quraish.Asma’ al-Husna.2008.Jakarta: Hisbullah



Pertanyaan dari :
1.      Rizki Afif Nugraha
Melingkupi apa saja bagian dari Al-Karim itu?

2.      Saiful Mustafa
apakah jika dihubungkan dengan Maha Mendengar dari perkataan yang tidak baik itu mengurangi Maha Mulianya Allah?

3.      Fauzul Murtafiah
Untuk menjaga kemuliaan Allah bagiamana sikap kita dihadapan Allah?




[1]   M. Ali Hasan, Memahami dan Meneladani Asmaul Husna, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997) hal. 171
[2] M. Quraish Shihab, Asma’ al-Husna, (Jakarta: Hisbullah, 2008) hal 191-192
[3] Ibid, hal 193-194
[4] Ibid, hal 195
[5] Sulaiman Al-Kumayi, MA, Kecerdasan 99, (Bandung: PT Mizan Publika, 2006) hal 8
[6] M. Ali Hasan, Memahami dan Meneladani Asmaul Husna, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997) hal. 171
[7] Ibid, hal 172
[8] Ibid, hal 173
[9] Sulaiman Al-Kumayi, MA, Kecerdasan 99, (Bandung: PT Mizan Publika, 2006) hal 10
 
[10] Ibid, hal 11-12
[11] Ibid, hal 12-13
[12] M. Quraish Shihab, Asma’ al-Husna, (Jakarta: Hisbullah, 2008) hal 195

0 Comments:

Post a Comment