A.
ASMAUL HUSNA
Kata asma
dalam bahasa Arab berarti nama-nama, bentuk jamak dari ism, kata asma
berakar dari kata assumu yang berarti “ketinggian” atau assimah
yang berarti “tanda”. Sedangkan, kata husna adalah muanats dari
kata ahsan yang artinya “terbaik”.[1]
Dijelaskan
pula oleh Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul “Menyikap Tabir Illahi:
Asmaul Husna dalam Perspektif Al-Qur’an”, penyifatan nama-nama Allah dengan
kata yang berbentuk superlatif itu menunjukkan bahwa nama-nama tersebut bukan
saja “baik”, tapi juga yang “terbaik” bila dibandingkan dengan
yang baik lainnya. Sifat “mengetahui” misalnya adalah baik, sifat ini
dapat disanding oleh makhluk atau manusia, tapi karena Allah yang terbaik, maka
pastilah sifat mengetahui-Nya melebihi sifat mengetahui makhluk dalam kapasitas
mengetahui maupun substansinya.[2]
Jadi dari
uraian di atas asmaul husna jika ditinjau dari segi bahasa adalah nama-nama
yang terbaik. Sedangkan menurut istilah asmaul husna adalah nama-nama yang
terbaik yang disandarkan pada sifat –sifat Allah SWT. Namun sifat-sifat
tersebut bukanlah sifat yang sama dengan sifat makhluk-Nya karena Allah ini
berbeda dan tidak serupa dengan makhluk-Nya.
Sifat-sifat
itu hanya ada pada Allah SWT, dan tidak mungkin ada pada diri makhluk-Nya.
Sedangkan usaha yang dilakukan manusia adalah untuk mendekati atau menyerupai
sifat-sifat Allah itu secara manusiawi (kodrati).
Sifat-sifat
itu menunjukkan kemahasempurnaan Allah yang terangkum dalam segala sifat yang
terpuji dan terbaik. Dan sifat-sifat itu menunjukkan eksistensi (al-wujud)
Allah Taala.[3]
B.
AL-‘ALIM
Kata ‘Alim
terambil dari akar kata “’ilm” yang menurut pakar-pakar bahasa berarti “menjangkau
sesuatu seusai dengan keadaannya yang sebenarnya”. Bahasa Arab menggunakan
semua kata yang tersusun dari huruf-huruf “äin”, “lam”, “mim” dalam
berbagai bentuknya untuk menggambarkan sesuatu yang sedemikian jelas sehingga
tidak menimbulkan keraguan. Perhatikan misalnya kata-kata “alamat” yang berarti
tanda yang jelas bagi sesuatu atau nama jalan yang mengantar seseorang menuju
tujuan yang pasti. “Ilmu” demikian juga halnya, ia diartikan sebagai suatu
pengenalan ayang sangat jelas terhadap suatu objek. Allah SWT dinamai “Alim”
atau “’Alim” Karena pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap baginya
hal-hal yang sekecil apapun.[4]
Al-alimu
artinya (Allah) Maha Mengetahui. Untuk mengetahui segala sesuatu, harus dengan
ilmu. Hal ini berarti bahwa, ilmu Allah itu sangat luas tak terbatas, sangat
dalam tak terduga. Meskipun seluruh ilmuwan dan para ahli berkumpul di atas
dunia ini dan ilmu mereka itu dijadikan menjadi satu, masih sangat sedikit,
kalau dibandingkan dengan ilmu Allah. Misalnya, untuk menemukan semacam virus
saja memerlukan waktu yang cukup lama.[5]
Tidak
tertutup kemungkinan bahwa seorang hamba itu mendapatkan bagian dari sifat ilmu
ini, tetapi berbeda dengan ilmu Allah dalam tiga perkara, yaitu :
1) Dari
banyaknya pengetahuan. Betapapun luasnya pengetahuan seorang hamba, hal itu
masih terbatas. Bagaimana akan dibandingkan dengan ilmu Allah yang tidak ada
ujung dan batasnya?
2) Bahwa kasyaf
(melihat dengan mata batin) seorang hamba itu, bagaimanapun jelasnya, ia tidak
bisa mencapai tujuan yang tidak ada ujungnya lagi; penyaksiannya terhadap
sesuatu itu ibarat ia melihatnya dari balik tirai yang tipis. Tidak dapat
diingkari adanya perbedaan dalam derajat kasyaf itu, sebab pandangan mata batin
ibarat mata lahir dalam memastikan segala sesuaatu yang dipandangnya, seperti
perbedaan antara melihat di kala remang-remang dan melihat di waktu
terang-benderang.
3) Bahwa ilmu
Allah itu tidak diperoleh dari sesuatu, namun sesuatu itulah yang
mendapatkannya dari-Nya. Sedangkan ilmu seorang hamba itu mengikuti sesuatu dan
dihasilkan darinya. Jika Anda masih kurang memahami penjelasan ini, maka ambil
contoh ilmu seorang yang baru belajar catur dan orang yang membuatnya,
misalnya. Si pembuat catur menjadi sebab adanya catur, dan adanya catur itu
menjadi sebab ilmunya si pelajar catur. Namun ilmu si pembuat catur lebih
dahulu dengan mengadakan catur itu, sedangkan ilmu orang yang belajar catur itu
terakhir. Demikian pula halnya deengan ilmu Allah SWT; ia mendahului segala
sesuatu dan menjadi sebab baginya.[6]
1.
Sejumlah Asma
Allah yang Menunjukkan Sifat Ilmu (Kepengetahuan)
Ada beberapa ayat yang berkaitan
dengan asma Allah yang menunjukkan sifat ilmu yaitu[7]:
عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ
“Yang mengetahui semua gaib dan yang nampak,
yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.” (QS. Ar-Ra’d: 9)
ذَٰلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ
الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ
“Tuhan yang mengetahui yang gaib
dan yang nyata, Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (QS.
As-Sajdah: 6)
Di
antara asma-asma Allah yang menunjukkan kepengetahuan-Nya adalah al-‘alim dan
al-‘alam.
وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ
ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya
dan lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 247)
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 244)
2.
Luasnya
Pengetahuan Allah yang Meliputi Segala Sesuatu
Allah sering
membicarakan tentang keluasan pengetahuan-Nya yang mencakup segala sesuatu,
kepada hamba-hamba-Nya.[8]
رَبَّنَا
وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا
“Wahai Tuhan kami, rahmat dan ilmu
Engkau meliputi segala sesuatu.” (QS. Ghafir: 7)
Dia juga
mengabarkan tentang pengetahuan-Nya yang luas yang meliputi segala sesuatu,
termasuk terhadap yang kita lakukan secara terang-terangan maupun
sembunyi-sembunyi.
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا
تُعْلِنُونَ
“Dan Allah mengetahui apa yang kamu
rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan” (QS. An-Nahl:
19)
Allah
memerintahkan agar kita menyadari bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam
diri kita.
وَاعْلَمُوا
أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ
“Dan ketahuilah bahwasanya Allah
mengetahui apa yang ada dalam hatimu maka takutlah kepada-Nya.” (QS.
Al-Baqarah: 235)
3.
Pengaruh
Mengimani Pengetahuan Allah
Firman Allah
yang menjelaskan tentang pengetahuan-Nya yang meliputi segala sesuatu bertujuan[9]:
a.
Menanamkan di
hati hamba rasa takut dan rasa untuk selalu mendekatkan diri
Bila seorang hamba mengimani bahwa Allah
Mengetahui dirinya, Melihat kepadanya, tak ada apapun di muka bumi maupun
langit yang bisa menutupinya, dan Mengetahui apa yang disembunyikan maupun yang
dilahirkan, maka itu akan mendorongnya untuk beristiqomah mematuhi perintah
Allah dan menjauhi larangan Allah. Inilah yang disebut sebagai ihsan,
berdasarkan penjelasan Rasulullah s.a.w,”... beribadahlah kepada Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika tidak melihat-Nya, maka Dialah Yang
Melihatmu.”
b.
Memantapkan
hati orang-orang mukmin untuk memerangi musuh
Allah Maha Mengetahui tipu daya
musuh-musuh-Nya, konspirasi terhadap para wali-Nya, dan terhadap semua ucapan
dan tindakan. Semangat seperti ini, merupakan pemantapan bagi kaum mukminin di
medan peperangan. Kalau saja pengetahuan manusia itu tidak bisa mendeteksi tipu
daya orang-orang yang berdosa dan konspirasi orang-orang kafir, maka Tuhan Maha
Mengetahui semuanya, tanpa satupun yang luput, dan Mahakuasa.
c.
Memberikan
ketenangan kepada orang mukmin bahwa syariat Allah sangat perhatian terhadap
kemampuan dan kesempatan kita
Allah memberitahukan bahwa syariat-Nya
didasarkan atas pengetahuan-Nya terhadap kita. Dia meringankan, ketika Dia tahu
bahwa kita tidak mampu. Dia membebankan yang berat karena Dia tahu bahwa di
dalamnya ada kebaikan untuk kita. Dan Dia juga memerintahkan kita untuk tidak
mengikuti hawa nafsu.
d.
Mengancam jiwa
orang-orang yang lemah yang suka lari dari tanggung jawab
Allah memberitahukan bahwa pengetahuan-Nya
meliputi pula orang-orang yang menyimpang dari perintah Allah, yang menghambat
dakwah Islam, dan dengan sengaja berkelit dari hukum-hukum Allah dan lari dari
tanggung jawab.
e.
Kerendahan
hati para ulama terhadap pengetahuan Allah, dan tidak membanggakan diri dengan
ilmu yang Allah berikan
Saat ini manusia telah dapat memahami hakikat
kehidupan dan rahasia dibalik penciptaan sampai taraf yang menakjubkan. Mereka
telah menemukan berbagai cara dan peralatan untuk bisa mengenal rahasia di
balik alam raya ini. Tetapi apabila kita perhatikan nash yang membicarakan ilmu
Allah yang di dalamnya membahas tentang penciptaan, maka kita akan tahu bahwa
pengetahuan manusia tidak sebanding dengan pengetahuan-Nya. Dibandingkan ilmu
Allah, pengetahuan manusia hanyalah setetes air di atas lautan, dan sebuah biji
dzarrah di alam raya.
f.
“Tidak ada
yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami”
Allah telah mengabarkan bahwa malaikat,
manusia dan jin tidak dapat mengetahui suatu (ilmu) pun kecuali yang Allah
kehendaki untuk mereka ketahui. Allah mengabarkan pula bahwa Dia Mengetahui apa
yang tidak diketahui hamba-Nya dan Mengenalkan kepada mereka apa yang
sebelumnya tidak mereka kenal.
g.
Ilmu Allah
adalah tanda yang paling besar atas kebenaran wahyu yang datang dari-Nya
Allah telah
memerintahkan Rasulullah s.a.w untuk mengatakan kepada orang-orang musryik itu:
قُلْ كَفَى بِاللَّهِ بَيْنِي
وَبَيْنَكُمْ شَهِيدًا يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالَّذِينَ
آمَنُوا بِالْبَاطِلِ وَكَفَرُوا بِاللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Cukuplah
Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia mengetahui apa yang di langit
dan di bumi.” (QS. Al-‘Ankabut: 52)
Tuhan-tuhan orang musryik itu tidak benar, dan
bukti ketidakbenarannya adalah ilmu Allah tentang itu, Yang Allah turunkan atas
hamba dan Rasul-Nya berdasarkan ilmu-Nya.
Para utusan yang tidak diakui oleh kaumnya,
menegaskan bahwa mereka itu benar dan bahwa Allah mengetahui bahwa Allahlah
yang mengutus mereka.
Kemudian dijelaskan juga, bahwa
hal-hal yang bersifat khusus pun mendapat sorotan, dan tidak luput dari
pengetahuan Allah, supaya kita ini sadar bahwa tidak ada sesuatu pun yang di
luar pengetahuan-Nya, seperti persoalan berikut[10]:
1.
Allah Maha Mengetahui
perbuatan orang-orang yang zalim
Contoh: Apabila ada pelanggaran (penganiayaan)
maka ada sebagian orang yang luput dari tuntutan hukum. Mungkin karena tidak
diketahui oleh penegak hukum, atau karena salah dalam memutuskan hukum. Dari
tuntutan hukum duniawi mungkin bisa bebas, tetapi tuntutan dari Allah, tidak
akan lolos, sebab semua kejadian yang berbentuk penganiayaan, semuanya terekam
dalam catatan untuk dipertanggungjawabkan nanti.
2.
Allah Maha
Mengetahui apa yang ada dalam hati
Contoh: Ketika orang Yahudi itu berada di
tengah orang Mukmin, mereka mengaku beriman kepada Allah. Namun ketika mereka
menyendiri mereka sangat membenci orang mukmin dan tidak beriman kepada Allah.
Tetapi Allah Maha Mengetahui apa pun meskipun itu ada di dalam hati manusia.
3.
Allah Maha
Mengetahui (orang-orang yang berbuat kerusakan)
Contoh: Di masyarakat orang selalu
mempermasalahkan tentang limbah industri, hutan digunduli, dan
kerusakan-kerusakan lainnya. Mereka tidak memperhitungkan akibatnya akan
menyengsarakan mereka sendiri, padahal mereka lah yang mengakibatkan itu semua
terjadi (merusaknya). Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang berbuat
kerusakan.
4.
Allah Maha
Mengetahui orang-orang yang bertaqwa
Allah mengetahui mana orang yang berbuat baik
dan mana orang yang berbuat buruk. Orang yang bertaqwa akan memperoleh balasan
atas kebaikannya dan orang yang berbuat keburukan akan memperoleh balasan atas
keburukannya pula. Contoh: Si Fulan adalah penjaga masjid, walaupun itu adalah
pekerjaan yang dianggap remeh oleh banyak orang akan tetapi dia ikhlas
melakukannya karena mengharapkan keridhoan-Nya. Dia adalah orang mukmin karena
dia percaya kepada yang ghaib, mendirikan sholat, menafkahkan sebagian harta
(karunia) yang dianugerahkan oleh-Nya, percaya kepada Al-Qur’an dan kitab-kitab
sebelum Al-Qur’an, dan yakin terhadap hari kebangkitan.
4. Aplikasi
Setelah Mengimani Al-‘Alim
Hendaknya
manusia senantiasa men-taddaburi ayat-ayat-Nya, baik yang qauliyah maupun
kauniyah. Karena di sana terdapat lautan ilmu-Nya, serta dorongan untuk
mengkaji maupun mengimplementasikannya. “Hai jama’ah jin dan manusia jika
kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah,
kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.” (QS. Ar-Rahman:
33). Dengan ayat ini manusia akan mengerti jika ingin menembus langit
diperlukan energi yang besar.[11]
Maka dengan
segala bahan-bahan yang ada di alam ini manusia harus mampu mengkonversi energi
tersebut. Masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan dan cabang-cabangnya. Allah swt. telah menciptakan alam beserta isi
dan sistemnya dan juga telah mengajarkannya kepada manusia. Dengan mencermati
Al-Qur’an, akan melahirkan kajian-kajian yang lebih detail tentang keberadaan
ciptaan-Nya.
Timbulnya
ilmu pengetahuan disebabkan kebutuhan-kebutuhan manusia yang berkemauan hidup
bahagia. Dalam mencapai dan memenuhi kebutuhan hidupnya itu, manusia
menggunakan akal pikirannya. Mereka menengadah ke langit, memandang alam sekitarnya
dan melihat dirinya sendiri. Dalam hal ini memang telah menjadi qudrat dan
iradat Nya, bahwa manusia dapat memikirkan sesuatu kebutuhan hidupnya. Telah
tercantum dalam Al-Qur’an perintah Allah swt.: “Katakanlah, perhatikanlah
apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah
dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.”
(QS. Yunus: 101).
Hasil dari
pemikiran manusia itu melahirkan ilmu pengetahuan dengan berbagai cabangnya.
Maka ilmu pengetahuan bukanlah musuh atau lawan dari iman, melainkan sebagai
wasailul hayah (sarana kehidupan) dan juga nantinya yang akan membimbing ke
arah iman. Sebagaimana kita ketahui, banyak ahli ilmu pengetahuan yang berpikir
dalam, telah dipimpin oleh pengetahuannya kepada suatu pandangan, bahwa di
balik alam yang nyata ini ada kekuatan yang lebih tinggi, yang mengatur dan
menyusunnya, memelihara segala sesuatu dengan ukuran dan perhitungan.
Herbert
Spencer dalam tulisannya tentang pendidikan, menerangkan sebagai berikut:
“Pengetahuan itu berlawanan dengan khurafat, tetapi tidak berlawanan dengan
agama. Dalam kebanyakan ilmu alam kedapatan paham tidak bertuhan (atheisme),
tetapi pengetahuan yang sehat dan mendalami kenyataan, bebas dari paham yang
demikian itu. Ilmu alam tidak bertentangan dengan agama. Mempelajari ilmu itu
merupakan ibadat secara diam, dan pengakuan yang membisu tentang keindahan
sesuatu yang kita selidiki dan kita pelajari, dan selanjutnya pengakuan tentang
kekuasaan Penciptanya. Mempelajari ilmu alam itu tasbih (memuji Tuhan) tapi
bukan berupa ucapan, melainkan tasbih berupa amal dan menolong bekerja.
Pengetahuan ini bukan mengatakan mustahil akan memperoleh sebab yang pertama,
yaitu Allah.”[12]
“Seorang ahli
pengetahuan yang melihat setitik air, lalu dia mengetahuinya bahwa air itu
tersusun dari oksigen dan hidrogen, dengan perbandingan tertentu, dan kalau
sekiranya perbandingan itu berubah, niscaya air itu akan berubah pula menjadi
sesuatu yang bukan air. Maka dengan itu ia akan meyakini kebesaran Pencipta,
kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Sebaliknya orang yang bukan ahli dalam ilmu
alam, akan melihatnya tidak lebih dari setitik air.”
C.
IMPLIKASI
BERIMAN KEPADA ASMA AL-‘ALIM
1.
Diri Sendiri
a.
Merasa bahwa
setiap tingkah laku kita selalu diketahui oleh Allah, maka kita harus selalu
berbuat kebajikan
b.
Tidak berani
melakukan dosa sekecil apapun karena Allah Maha Mengetahui baik yang
terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi
c.
Senantiasa
mendekatkan diri kepada Allah karena Allah mengetahui keimanan kita meskipun
hanya seberat biji dzarah
2.
Orang Lain
a.
Tidak berbuat
zalim kepada orang lain karena Allah itu Maha Mengetahui
b.
Berbuat
kebajikan kepada orang lain dengan cara tolong-menolong dalam kebajikan
c.
Selalu rendah
hati kepada semua orang
3.
Lingkungan
a.
Tidak berbuat
zalim kepada alam, seperti menggunduli pohon di hutan, membuang sampah
sembarangan yang menyebabkan timbulnya banjir
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Asqar,
Umar Sulaiman Abdullah. 2004. Al Asma al Husna. Jakarta: Qisthi Press
2. Hasan, Ali M.
1997. Memahami dan Meneladani Asmaul Husna. Jakarta: Raja Grafindo
Persada
3. Rouf, Abdur.
2014. Skripsi berjudul “Korelasi Penghayatan Asmaul Husna dengan Kecerdasan
Spiritual Siswa Kelas XI MAN Wonokromo Bantul Tahun 2013/2014”
[1] Abdur Rouf, 2014, Skripsi berjudul “Korelasi
Penghayatan Asmaul Husna dengan Kecerdasan Spiritual Siswa Kelas XI MAN
Wonokromo Bantul Tahun 2013/2014” hlm. 14
[5] Ali. M
Hasan, 1997, Memahami dan Meneladani Asmaul Husna, Jakarta: Raja
Grafindo Persada hlm. 107
[10] Ali. M Hasan,
1997, Memahami dan Meneladani Asmaul Husna, Jakarta: Raja Grafindo
Persada hlm. 110
0 Comments:
Post a Comment