Header Ads

23 December 2016

ASMAUL HUSNA

A.    ASMAUL HUSNA

Kata asma dalam bahasa Arab berarti nama-nama, bentuk jamak dari ism, kata asma berakar dari kata assumu yang berarti “ketinggian” atau assimah yang berarti “tanda”. Sedangkan, kata husna adalah muanats dari kata ahsan yang artinya “terbaik”.[1]
Dijelaskan pula oleh Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul “Menyikap Tabir Illahi: Asmaul Husna dalam Perspektif Al-Qur’an”, penyifatan nama-nama Allah dengan kata yang berbentuk superlatif itu menunjukkan bahwa nama-nama tersebut bukan saja “baik”, tapi juga yang “terbaik” bila dibandingkan dengan yang baik lainnya. Sifat “mengetahui” misalnya adalah baik, sifat ini dapat disanding oleh makhluk atau manusia, tapi karena Allah yang terbaik, maka pastilah sifat mengetahui-Nya melebihi sifat mengetahui makhluk dalam kapasitas mengetahui maupun substansinya.[2]
Jadi dari uraian di atas asmaul husna jika ditinjau dari segi bahasa adalah nama-nama yang terbaik. Sedangkan menurut istilah asmaul husna adalah nama-nama yang terbaik yang disandarkan pada sifat –sifat Allah SWT. Namun sifat-sifat tersebut bukanlah sifat yang sama dengan sifat makhluk-Nya karena Allah ini berbeda dan tidak serupa dengan makhluk-Nya.
Sifat-sifat itu hanya ada pada Allah SWT, dan tidak mungkin ada pada diri makhluk-Nya. Sedangkan usaha yang dilakukan manusia adalah untuk mendekati atau menyerupai sifat-sifat Allah itu secara manusiawi (kodrati).
Sifat-sifat itu menunjukkan kemahasempurnaan Allah yang terangkum dalam segala sifat yang terpuji dan terbaik. Dan sifat-sifat itu menunjukkan eksistensi (al-wujud) Allah Taala.[3]

B.     AL-‘ALIM
Kata ‘Alim terambil dari akar kata “’ilm” yang menurut pakar-pakar bahasa berarti “menjangkau sesuatu seusai dengan keadaannya yang sebenarnya”. Bahasa Arab menggunakan semua kata yang tersusun dari huruf-huruf “äin”, “lam”, “mim” dalam berbagai bentuknya untuk menggambarkan sesuatu yang sedemikian jelas sehingga tidak menimbulkan keraguan. Perhatikan misalnya kata-kata “alamat” yang berarti tanda yang jelas bagi sesuatu atau nama jalan yang mengantar seseorang menuju tujuan yang pasti. “Ilmu” demikian juga halnya, ia diartikan sebagai suatu pengenalan ayang sangat jelas terhadap suatu objek. Allah SWT dinamai “Alim” atau “’Alim” Karena pengetahuan-Nya yang amat jelas sehingga terungkap baginya hal-hal yang sekecil apapun.[4]
Al-alimu artinya (Allah) Maha Mengetahui. Untuk mengetahui segala sesuatu, harus dengan ilmu. Hal ini berarti bahwa, ilmu Allah itu sangat luas tak terbatas, sangat dalam tak terduga. Meskipun seluruh ilmuwan dan para ahli berkumpul di atas dunia ini dan ilmu mereka itu dijadikan menjadi satu, masih sangat sedikit, kalau dibandingkan dengan ilmu Allah. Misalnya, untuk menemukan semacam virus saja memerlukan waktu yang cukup lama.[5]
Tidak tertutup kemungkinan bahwa seorang hamba itu mendapatkan bagian dari sifat ilmu ini, tetapi berbeda dengan ilmu Allah dalam tiga perkara, yaitu :
1)      Dari banyaknya pengetahuan. Betapapun luasnya pengetahuan seorang hamba, hal itu masih terbatas. Bagaimana akan dibandingkan dengan ilmu Allah yang tidak ada ujung dan batasnya?
2)      Bahwa kasyaf (melihat dengan mata batin) seorang hamba itu, bagaimanapun jelasnya, ia tidak bisa mencapai tujuan yang tidak ada ujungnya lagi; penyaksiannya terhadap sesuatu itu ibarat ia melihatnya dari balik tirai yang tipis. Tidak dapat diingkari adanya perbedaan dalam derajat kasyaf itu, sebab pandangan mata batin ibarat mata lahir dalam memastikan segala sesuaatu yang dipandangnya, seperti perbedaan antara melihat di kala remang-remang dan melihat di waktu terang-benderang.
3)      Bahwa ilmu Allah itu tidak diperoleh dari sesuatu, namun sesuatu itulah yang mendapatkannya dari-Nya. Sedangkan ilmu seorang hamba itu mengikuti sesuatu dan dihasilkan darinya. Jika Anda masih kurang memahami penjelasan ini, maka ambil contoh ilmu seorang yang baru belajar catur dan orang yang membuatnya, misalnya. Si pembuat catur menjadi sebab adanya catur, dan adanya catur itu menjadi sebab ilmunya si pelajar catur. Namun ilmu si pembuat catur lebih dahulu dengan mengadakan catur itu, sedangkan ilmu orang yang belajar catur itu terakhir. Demikian pula halnya deengan ilmu Allah SWT; ia mendahului segala sesuatu dan menjadi sebab baginya.[6]
1.      Sejumlah Asma Allah yang Menunjukkan Sifat Ilmu (Kepengetahuan)

Ada beberapa ayat yang berkaitan dengan asma Allah yang menunjukkan sifat ilmu yaitu[7]:
عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْكَبِيرُ الْمُتَعَالِ
“Yang mengetahui semua gaib dan yang nampak, yang Maha Besar lagi Maha Tinggi.” (QS. Ar-Ra’d: 9)
ذَٰلِكَ عَالِمُ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ
“Tuhan yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. As-Sajdah: 6)
            Di antara asma-asma Allah yang menunjukkan kepengetahuan-Nya adalah al-‘alim dan al-‘alam.
وَاللَّهُ يُؤْتِي مُلْكَهُ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan Allah Mahaluas pemberian-Nya dan lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 247)
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Dan ketahuilah, sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 244)

2.      Luasnya Pengetahuan Allah yang Meliputi Segala Sesuatu

Allah sering membicarakan tentang keluasan pengetahuan-Nya yang mencakup segala sesuatu, kepada hamba-hamba-Nya.[8]
رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَحْمَةً وَعِلْمًا
“Wahai Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu.” (QS. Ghafir: 7)
Dia juga mengabarkan tentang pengetahuan-Nya yang luas yang meliputi segala sesuatu, termasuk terhadap yang kita lakukan secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi.
وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تُسِرُّونَ وَمَا تُعْلِنُونَ
“Dan Allah mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan” (QS. An-Nahl: 19)
Allah memerintahkan agar kita menyadari bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam diri kita.
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ
“Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu maka takutlah kepada-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 235)

3.      Pengaruh Mengimani Pengetahuan Allah

Firman Allah yang menjelaskan tentang pengetahuan-Nya yang meliputi segala sesuatu bertujuan[9]:

a.       Menanamkan di hati hamba rasa takut dan rasa untuk selalu mendekatkan diri
Bila seorang hamba mengimani bahwa Allah Mengetahui dirinya, Melihat kepadanya, tak ada apapun di muka bumi maupun langit yang bisa menutupinya, dan Mengetahui apa yang disembunyikan maupun yang dilahirkan, maka itu akan mendorongnya untuk beristiqomah mematuhi perintah Allah dan menjauhi larangan Allah. Inilah yang disebut sebagai ihsan, berdasarkan penjelasan Rasulullah s.a.w,”... beribadahlah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Jika tidak melihat-Nya, maka Dialah Yang Melihatmu.”
b.      Memantapkan hati orang-orang mukmin untuk memerangi musuh
Allah Maha Mengetahui tipu daya musuh-musuh-Nya, konspirasi terhadap para wali-Nya, dan terhadap semua ucapan dan tindakan. Semangat seperti ini, merupakan pemantapan bagi kaum mukminin di medan peperangan. Kalau saja pengetahuan manusia itu tidak bisa mendeteksi tipu daya orang-orang yang berdosa dan konspirasi orang-orang kafir, maka Tuhan Maha Mengetahui semuanya, tanpa satupun yang luput, dan Mahakuasa.
c.       Memberikan ketenangan kepada orang mukmin bahwa syariat Allah sangat perhatian terhadap kemampuan dan kesempatan kita
Allah memberitahukan bahwa syariat-Nya didasarkan atas pengetahuan-Nya terhadap kita. Dia meringankan, ketika Dia tahu bahwa kita tidak mampu. Dia membebankan yang berat karena Dia tahu bahwa di dalamnya ada kebaikan untuk kita. Dan Dia juga memerintahkan kita untuk tidak mengikuti hawa nafsu.
d.      Mengancam jiwa orang-orang yang lemah yang suka lari dari tanggung jawab
Allah memberitahukan bahwa pengetahuan-Nya meliputi pula orang-orang yang menyimpang dari perintah Allah, yang menghambat dakwah Islam, dan dengan sengaja berkelit dari hukum-hukum Allah dan lari dari tanggung jawab.
e.       Kerendahan hati para ulama terhadap pengetahuan Allah, dan tidak membanggakan diri dengan ilmu yang Allah berikan
Saat ini manusia telah dapat memahami hakikat kehidupan dan rahasia dibalik penciptaan sampai taraf yang menakjubkan. Mereka telah menemukan berbagai cara dan peralatan untuk bisa mengenal rahasia di balik alam raya ini. Tetapi apabila kita perhatikan nash yang membicarakan ilmu Allah yang di dalamnya membahas tentang penciptaan, maka kita akan tahu bahwa pengetahuan manusia tidak sebanding dengan pengetahuan-Nya. Dibandingkan ilmu Allah, pengetahuan manusia hanyalah setetes air di atas lautan, dan sebuah biji dzarrah di alam raya.
f.       “Tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami”
Allah telah mengabarkan bahwa malaikat, manusia dan jin tidak dapat mengetahui suatu (ilmu) pun kecuali yang Allah kehendaki untuk mereka ketahui. Allah mengabarkan pula bahwa Dia Mengetahui apa yang tidak diketahui hamba-Nya dan Mengenalkan kepada mereka apa yang sebelumnya tidak mereka kenal.
g.      Ilmu Allah adalah tanda yang paling besar atas kebenaran wahyu yang datang dari-Nya
Allah telah memerintahkan Rasulullah s.a.w untuk mengatakan kepada orang-orang musryik itu:
قُلْ كَفَى بِاللَّهِ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ شَهِيدًا يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ وَالَّذِينَ آمَنُوا بِالْبَاطِلِ وَكَفَرُوا بِاللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Cukuplah Allah menjadi saksi antaraku dan antaramu. Dia mengetahui apa yang di langit dan di bumi.” (QS. Al-‘Ankabut: 52)
Tuhan-tuhan orang musryik itu tidak benar, dan bukti ketidakbenarannya adalah ilmu Allah tentang itu, Yang Allah turunkan atas hamba dan Rasul-Nya berdasarkan ilmu-Nya.
Para utusan yang tidak diakui oleh kaumnya, menegaskan bahwa mereka itu benar dan bahwa Allah mengetahui bahwa Allahlah yang mengutus mereka.

            Kemudian dijelaskan juga, bahwa hal-hal yang bersifat khusus pun mendapat sorotan, dan tidak luput dari pengetahuan Allah, supaya kita ini sadar bahwa tidak ada sesuatu pun yang di luar pengetahuan-Nya, seperti persoalan berikut[10]:

1.      Allah Maha Mengetahui perbuatan orang-orang yang zalim
Contoh: Apabila ada pelanggaran (penganiayaan) maka ada sebagian orang yang luput dari tuntutan hukum. Mungkin karena tidak diketahui oleh penegak hukum, atau karena salah dalam memutuskan hukum. Dari tuntutan hukum duniawi mungkin bisa bebas, tetapi tuntutan dari Allah, tidak akan lolos, sebab semua kejadian yang berbentuk penganiayaan, semuanya terekam dalam catatan untuk dipertanggungjawabkan nanti.
2.      Allah Maha Mengetahui apa yang ada dalam hati
Contoh: Ketika orang Yahudi itu berada di tengah orang Mukmin, mereka mengaku beriman kepada Allah. Namun ketika mereka menyendiri mereka sangat membenci orang mukmin dan tidak beriman kepada Allah. Tetapi Allah Maha Mengetahui apa pun meskipun itu ada di dalam hati manusia.
3.      Allah Maha Mengetahui (orang-orang yang berbuat kerusakan)
Contoh: Di masyarakat orang selalu mempermasalahkan tentang limbah industri, hutan digunduli, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Mereka tidak memperhitungkan akibatnya akan menyengsarakan mereka sendiri, padahal mereka lah yang mengakibatkan itu semua terjadi (merusaknya). Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan.
4.      Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertaqwa
Allah mengetahui mana orang yang berbuat baik dan mana orang yang berbuat buruk. Orang yang bertaqwa akan memperoleh balasan atas kebaikannya dan orang yang berbuat keburukan akan memperoleh balasan atas keburukannya pula. Contoh: Si Fulan adalah penjaga masjid, walaupun itu adalah pekerjaan yang dianggap remeh oleh banyak orang akan tetapi dia ikhlas melakukannya karena mengharapkan keridhoan-Nya. Dia adalah orang mukmin karena dia percaya kepada yang ghaib, mendirikan sholat, menafkahkan sebagian harta (karunia) yang dianugerahkan oleh-Nya, percaya kepada Al-Qur’an dan kitab-kitab sebelum Al-Qur’an, dan yakin terhadap hari kebangkitan.

4.      Aplikasi Setelah Mengimani Al-‘Alim
Hendaknya manusia senantiasa men-taddaburi ayat-ayat-Nya, baik yang qauliyah maupun kauniyah. Karena di sana terdapat lautan ilmu-Nya, serta dorongan untuk mengkaji maupun mengimplementasikannya. “Hai jama’ah jin dan manusia jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya melainkan dengan kekuatan.” (QS. Ar-Rahman: 33). Dengan ayat ini manusia akan mengerti jika ingin menembus langit diperlukan energi yang besar.[11]
Maka dengan segala bahan-bahan yang ada di alam ini manusia harus mampu mengkonversi energi tersebut. Masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan cabang-cabangnya. Allah swt. telah menciptakan alam beserta isi dan sistemnya dan juga telah mengajarkannya kepada manusia. Dengan mencermati Al-Qur’an, akan melahirkan kajian-kajian yang lebih detail tentang keberadaan ciptaan-Nya.
Timbulnya ilmu pengetahuan disebabkan kebutuhan-kebutuhan manusia yang berkemauan hidup bahagia. Dalam mencapai dan memenuhi kebutuhan hidupnya itu, manusia menggunakan akal pikirannya. Mereka menengadah ke langit, memandang alam sekitarnya dan melihat dirinya sendiri. Dalam hal ini memang telah menjadi qudrat dan iradat Nya, bahwa manusia dapat memikirkan sesuatu kebutuhan hidupnya. Telah tercantum dalam Al-Qur’an perintah Allah swt.: “Katakanlah, perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan Rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Yunus: 101).
Hasil dari pemikiran manusia itu melahirkan ilmu pengetahuan dengan berbagai cabangnya. Maka ilmu pengetahuan bukanlah musuh atau lawan dari iman, melainkan sebagai wasailul hayah (sarana kehidupan) dan juga nantinya yang akan membimbing ke arah iman. Sebagaimana kita ketahui, banyak ahli ilmu pengetahuan yang berpikir dalam, telah dipimpin oleh pengetahuannya kepada suatu pandangan, bahwa di balik alam yang nyata ini ada kekuatan yang lebih tinggi, yang mengatur dan menyusunnya, memelihara segala sesuatu dengan ukuran dan perhitungan.
Herbert Spencer dalam tulisannya tentang pendidikan, menerangkan sebagai berikut: “Pengetahuan itu berlawanan dengan khurafat, tetapi tidak berlawanan dengan agama. Dalam kebanyakan ilmu alam kedapatan paham tidak bertuhan (atheisme), tetapi pengetahuan yang sehat dan mendalami kenyataan, bebas dari paham yang demikian itu. Ilmu alam tidak bertentangan dengan agama. Mempelajari ilmu itu merupakan ibadat secara diam, dan pengakuan yang membisu tentang keindahan sesuatu yang kita selidiki dan kita pelajari, dan selanjutnya pengakuan tentang kekuasaan Penciptanya. Mempelajari ilmu alam itu tasbih (memuji Tuhan) tapi bukan berupa ucapan, melainkan tasbih berupa amal dan menolong bekerja. Pengetahuan ini bukan mengatakan mustahil akan memperoleh sebab yang pertama, yaitu Allah.”[12]
“Seorang ahli pengetahuan yang melihat setitik air, lalu dia mengetahuinya bahwa air itu tersusun dari oksigen dan hidrogen, dengan perbandingan tertentu, dan kalau sekiranya perbandingan itu berubah, niscaya air itu akan berubah pula menjadi sesuatu yang bukan air. Maka dengan itu ia akan meyakini kebesaran Pencipta, kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Sebaliknya orang yang bukan ahli dalam ilmu alam, akan melihatnya tidak lebih dari setitik air.”          

C.     IMPLIKASI BERIMAN KEPADA ASMA AL-‘ALIM

1.      Diri Sendiri
a.       Merasa bahwa setiap tingkah laku kita selalu diketahui oleh Allah, maka kita harus selalu berbuat kebajikan
b.      Tidak berani melakukan dosa sekecil apapun karena Allah Maha Mengetahui baik yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi
c.       Senantiasa mendekatkan diri kepada Allah karena Allah mengetahui keimanan kita meskipun hanya seberat biji dzarah

2.      Orang Lain
a.       Tidak berbuat zalim kepada orang lain karena Allah itu Maha Mengetahui
b.      Berbuat kebajikan kepada orang lain dengan cara tolong-menolong dalam kebajikan
c.       Selalu rendah hati kepada semua orang

3.      Lingkungan
a.       Tidak berbuat zalim kepada alam, seperti menggunduli pohon di hutan, membuang sampah sembarangan yang menyebabkan timbulnya banjir










DAFTAR PUSTAKA
                                                                                   
1.      Al-Asqar, Umar Sulaiman Abdullah. 2004. Al Asma al Husna. Jakarta: Qisthi Press
2.      Hasan, Ali M. 1997. Memahami dan Meneladani Asmaul Husna. Jakarta: Raja Grafindo Persada
3.      Rouf, Abdur. 2014. Skripsi berjudul “Korelasi Penghayatan Asmaul Husna dengan Kecerdasan Spiritual Siswa Kelas XI MAN Wonokromo Bantul Tahun 2013/2014
                                                                                



[1] Abdur Rouf, 2014, Skripsi berjudul “Korelasi Penghayatan Asmaul Husna dengan Kecerdasan Spiritual Siswa Kelas XI MAN Wonokromo Bantul Tahun 2013/2014” hlm. 14
[2] Ibid., hlm 15
[3] Ibid., hlm 16
[5] Ali. M Hasan, 1997, Memahami dan Meneladani Asmaul Husna, Jakarta: Raja Grafindo Persada hlm. 107
[7] Umar Sulaiman Abdullah al Asqar, 2004, Al Asma al Husna, Jakarta: Qisthi Press hlm. 121
[8] Ibid., hlm 122
[9] Ibid., hlm 124
[10] Ali. M Hasan, 1997, Memahami dan Meneladani Asmaul Husna, Jakarta: Raja Grafindo Persada hlm. 110

0 Comments:

Post a Comment