[“AL-HALLAJ DAN AJARANNYA AL-HULLUL”
“AL-HALLAJ DAN AJARANNYA AL-HULLUL”
A. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad
Al-Badawi.Beliau dijuluki al-Hallaj yang berarti pemangkas bulu domba. Beliau dilahirkan sekitar tahun 244 H (858 M) di Thus dekat Baida (Parsi) , sekarang berada di wilayah Barat Daya Iran. Ia dibesarkan di Wasit dan Tustar yang dikenal sebagai tempat perkebunan kapas dan tempat tinggal para penyortir kapas .
A. Biografi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Mughits al-Husein bin Mansur bin Muhammad
Al-Badawi.Beliau dijuluki al-Hallaj yang berarti pemangkas bulu domba. Beliau dilahirkan sekitar tahun 244 H (858 M) di Thus dekat Baida (Parsi) , sekarang berada di wilayah Barat Daya Iran. Ia dibesarkan di Wasit dan Tustar yang dikenal sebagai tempat perkebunan kapas dan tempat tinggal para penyortir kapas .
Dalam sejarahnya, al-Hallaj sangat sering
melakukan pengembaraan ke berbagai negara di dunia seperti: Arab, India, China,
Khuzistan, dan Turkistan. Al-Hallaj menyeru mereka ke jalan Allah dengan
ajaran-ajarannya. Berbagai predikat pun disandang oleh al-Hallaj di India,
al-Hallaj dikenal dengan nama Abdul Mughits, orang-orang China menyebutnya
Abdul Mu’in, orang-orang Khurasan memanggilanya Abul Muhr, orang-orang Fars
menyebutnya Abu Abdullah,dan orang-orang khuzistan menyebut Al-Hallaj yang
mengetahui rahasia-rahasia. Di kota Baghdad, ia mendapat julukan julukan
sebagai Mustaslim dan di Bashrah sebagai Mukhabar.
Pada masa remaja ia menetap di Tustar dan berguru pada Sahl ibn Abdullah at-Tustariy (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang pernah belajar pada Sufyan at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H) . Dua tahun kemudian ia meninggalkan gurunya at-Tastury dan pindah ke Basrah dengan alasan yang tidak jelas. Louis Massiqnon menyebutkan bahwa Sahl at-Tustury adalah guru pertama al-Hallaj dalam tasawuf yang mengajarinya tentang kecintaan dan kesederhanaan sufi, menyenangi kesunyian dan kebersihan jiwa serta tafsir al-Qur’an .
Sehabis belajar dengan Tusturi, dia berangkat ke Bashrah dan belajar kepada Shufi ‘Amar Al-Maliki, di tahun 264 H (878 M). Dia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada Al-Junaid. Dalam konteks umum, Baghdad di akhir abad 3/9, awal 4/10 adalah sebuah tempat yang menggairahkan dan berbahaya : bagi kaum mistikus yang tidak lebih kecil daripada kaum politikus dan pujangga, banker dan pemikir, hakim dan ahli tulis, kaum tradisonalis dan filsuf . Setelah itu dia pun pergilah mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam Ilmu Tasawuf. Sehingga tidak ada lagi seorang Syekh ternama, semua telah dijelangnya dan dimintanya fatwa dan tuntunannya.Pada tahun271 H, al-Hallaj melaksanakan ibadah haji bersama 400 orang pengikutnya. Setelah itu beiau memutuskan untuk menetap di Baghdad. Di sana beliau giat melakukan ceramah-ceramah dan pengajian. Sepuluh tahun kemudian beliau kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya dan kembali lagi ke Baghdad untuk menyebarkan ajaran tentang kecintaan kepada AllH swt., ajaran itu beliau sampaikan di jalan-jalan dan di pasar-pasar. Selain itu dalam ceramah-ceramahnya beliau sampaikan keinginannya untuk mati secara terhina ditangan kaumnya seraya berkata,”Wahai kaum muslimin, selamatkan aku dari Allah SWT. Allah SWT. telah menghalalkan darahku untukmu. Maka bunuh aku.” Pada saat inilah beliau merasa bahwa hijab-hijab Tuhan telah tersingkap yang menyebabkan dirinya dapat bertatap muka dengan sang kebenaran ( al-haq). Pada saat itu beliau mengungkapkan perkataan yang cukup ganjil saat itu,” Ana al-Haq/ Iam Truth/Akulah yang Maha Besar.
Pada masa remaja ia menetap di Tustar dan berguru pada Sahl ibn Abdullah at-Tustariy (wafat 896 M/ 282 H), seorang sufi terkenal yang pernah belajar pada Sufyan at-Tsaury (Wafat 778 M/ 161 H) . Dua tahun kemudian ia meninggalkan gurunya at-Tastury dan pindah ke Basrah dengan alasan yang tidak jelas. Louis Massiqnon menyebutkan bahwa Sahl at-Tustury adalah guru pertama al-Hallaj dalam tasawuf yang mengajarinya tentang kecintaan dan kesederhanaan sufi, menyenangi kesunyian dan kebersihan jiwa serta tafsir al-Qur’an .
Sehabis belajar dengan Tusturi, dia berangkat ke Bashrah dan belajar kepada Shufi ‘Amar Al-Maliki, di tahun 264 H (878 M). Dia masuk ke kota Baghdad dan belajar kepada Al-Junaid. Dalam konteks umum, Baghdad di akhir abad 3/9, awal 4/10 adalah sebuah tempat yang menggairahkan dan berbahaya : bagi kaum mistikus yang tidak lebih kecil daripada kaum politikus dan pujangga, banker dan pemikir, hakim dan ahli tulis, kaum tradisonalis dan filsuf . Setelah itu dia pun pergilah mengembara dari satu negeri ke negeri yang lain, menambah pengetahuan dan pengalaman dalam Ilmu Tasawuf. Sehingga tidak ada lagi seorang Syekh ternama, semua telah dijelangnya dan dimintanya fatwa dan tuntunannya.Pada tahun271 H, al-Hallaj melaksanakan ibadah haji bersama 400 orang pengikutnya. Setelah itu beiau memutuskan untuk menetap di Baghdad. Di sana beliau giat melakukan ceramah-ceramah dan pengajian. Sepuluh tahun kemudian beliau kembali ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji kedua kalinya dan kembali lagi ke Baghdad untuk menyebarkan ajaran tentang kecintaan kepada AllH swt., ajaran itu beliau sampaikan di jalan-jalan dan di pasar-pasar. Selain itu dalam ceramah-ceramahnya beliau sampaikan keinginannya untuk mati secara terhina ditangan kaumnya seraya berkata,”Wahai kaum muslimin, selamatkan aku dari Allah SWT. Allah SWT. telah menghalalkan darahku untukmu. Maka bunuh aku.” Pada saat inilah beliau merasa bahwa hijab-hijab Tuhan telah tersingkap yang menyebabkan dirinya dapat bertatap muka dengan sang kebenaran ( al-haq). Pada saat itu beliau mengungkapkan perkataan yang cukup ganjil saat itu,” Ana al-Haq/ Iam Truth/Akulah yang Maha Besar.
Yang mengherankan,kata-kata ini mengilhami
rakyat untuk menuntut adanyaperbaikan dalam kehidupan mereka.
Ketika Al-Hallaj mengatakan dalam kemabukan
dan kegandrungannya dengan kata “Ana Al-Haq” (Akulah Kebenaran) orang-orang
berusaha mengingatkannya. Ia tetap saja mengucapkan keyakinan itu.
“Katakan hanya Dialah yang Haq,” mereka
berseru kepda Al-Hallaj.
“Ya. Dialah segalanya,” jawab Al-Hallaj
kalian mengatakan bahwa Dia telah hilang. Sebaliknya, Husain itulah (Al-Hallaj)
yang telah hilang. Samudra tidak akan hilang dan menyusut airnya.”
Orang-orang yang menyaksiakan dan
mendengarkan perkataan Al-Hallaj itu lantas mengadu kepada guru besar mereka
imam Al-Junaidi.
“Kata-kata yang diuapkan Al-Hallaj itu
mengandung makna-makna esoterik,” kata mereka kepadaAl-Junaid.
Imam Al-Junaid pun kurang setuju terhadap
perkataan makna esoterik yang sering dilontarkan Al-Hallaj itu. Sebagai tokoh
spiritual yang pernah membimbingnya, Al-Junaid juga merasa harus bertanggung
jawab.
Kemudian kelompok teologi yang menentang
Al-Hallaj menyampaiucapan-ucapn yang diputarbalikan kepada al-hallaj. Mereka
berhasil membuat Wazir Ali bin Isa menentang Al-Hallaj. Khalifah memberikan
perintah agar Al-Hallaj dijebloskan kedalam penjara, tetapi banyak orang yang
tetap mengunjungi dan meminta nasihat kepadanya. Sehubung dengan maslah-masalah
yang mereka hadapi kemudian dikeluarkanlah larangan untuk mengunjungi Al-Hallaj
di dalam penjara. Selam lima bualn tidak ada yang datang kepadanya kecualiIbnu
Atha’ dan Ibnu Khafif, masing-masing sekali. Suatu ketika Ibnu Atha’ menyurati
Al-Hallaj. Ia berkata dalam suratnya, “guru, mohonlah ampunan karena kata-kata
yang telah engakau ucapkan sehingga engkau dapat dibebaskan.”
“Katakanlah kepada Ibnu Atha’,”jawab
Al-Hallaj , “siapakah yang menyuruhku untuk minta maaf?”
Karena pahamnya itu, seorang ulama fiqh
terkemuka , Ibnu Daud Al-asfahani mengelurkan fatwa yang mengatakan bahwa
ajaran Al-hallaj sesat. Atas dasar fatwa ini al-Hallaj dipenjarakan. Tetapi
setelah satu tahun di dalam penjara, dia dapat melarikan diri dengan
pertolongan seorang penjaga yang menaruh simpati kepadanya. Mendengar jawaban ini, ibnu Atha’ tidak dapat menahan
tangisnya. Kemudian berkata,”Dibandingkan dengan Al-Hallaj, kita lebih hina
daripada debu.”
Orang-orang mengatakan bahwa pada malam pertama
Al-Hallaj dipenjara, para penjaga mendatangi kamar tahannya, tetapi mereka
tidak menemukan dirinya. Seluruh penjara mereka geledah namun sia-sia. Pada
malam kedua, mereka mencarinya, tetapi mereka tidak menemukan Al-Hallaj dan
kamar tahananya. Pada malam ketiga barulah mereka dapat menemukan al-hallaj didalam kamarnya.
“Dimana engkau di malam pertama, dan
dimanakah engkau berserta kamar tahananmu di malam kedua ?” tetapi, kini engkau
dan kamar tahananmu pula sudah ada disini. Mengapa bisa demikian?” tanya
penjaga.
“Pada malam pertama,”Kata Al-Hallaj,” aku
pergi ke hadirat Allah. Oleh karena itu, aku tidak ada di tempat. Pada malam
kedua, Allah berada di tempat ini. Oleh karena itu, aku dan kamar tahananku ini
menjadi sirna. Pada malam ketiga aku disuruh kembali ke tempat ini agar
hukum-Nya dapat dilaksanakan. Kini laksanakanlah kewajiban kalian.”
Ketika
Al-Hallaj dijebloskan kedalam penjara, ada 300 orang yang dikurung di tempat
itu. Malam itu Al-Hallaj berkata kepada mereka “Maukah kalian jika aku
membebaskan kalian?”
Orang-orang
yang berada didalam penjara itu tercengang. Mereka tidak percaya dengan apa
yang baru saja didengarnya.
“Mengapa engkau tidak membebaskan dirimu
sendiri?” jawab mereka
“Aku adalah
tawanan Allah. Aku adalah panjaga pintu keselamatan,” jawab Al-Hallaj. “jika
kukehendaki, dengan sebuah gerakan isyarat saja semua belenggu yang mengikat
kalian dapat kuputuskan. Apakah kalian tidak percaya dengan kata-kata ku?”
Kemudian
Al-Hallaj membuat suatu gerakan dengan jarinya dan put Kembali
Al-Hallaj membuat suatu gerakan dan seketika itu juga terlihat sebuah celah
ditembok penjara.
“sekarang
pergilah kalian. Jagalah diri kalian baik-baik!” seru Al-hallaj
“Apakah
engkau tidak turut bersama kami?” tanya mereka.
“Tidak. Aku mempunyi sebuah rahasia dengan
Dia, yang tidak dapat disampaikan kecuali diatas tiang gantung.”
Esok harinya, para penjaga bertanya kepada
Al-Hallaj.” Ke manakah semua tahanan disini?”
“Aku telah
membebaskan mereka.”jawab Al-Hallaj.
“Engkau sendiri, mengapa tidak meninggalkan
tempat ini?” tanya mereka.
“Dengan
berbuat demikian. Allah akan mencela diriku. Oleh karena itu, aku tidak
melarikan diri.”
Kejadian itu disampaikan kepada khalifah.
“Pasti akan
timbul kerusuhan. Bunulah Al-Hallaj atau pukulilah dia dengan kayu sehingga ia
menarik ucapan-ucapannya kembali,” kata khalifah
Tiga ratus kali Al-Hallaj dipukul dengan
kayu. Setiap kali tubuhnya dipukul, terdengar sebuah seruan lantangnya yang
berseru,’janganlah takut wahai putra Manshur!”
Seruan-seruan
itu tentu saja makin menguatkan dan menyakinkan hati Al-Hallaj untuk tetap
berpegang teguh pada keyakinanya, Allah pasti tidak akan menyia-nyiakan
cintanya.
Kemudian
Al-Hallaj digiring ke tempat tiang gantungan. Sementara itu, para penjaga
menggodanya,”Bagaimana perasaanmu saat ini Hallaj?”
“Kenaikan bagi manusia-manusia sejati adalah
di puncak tiang gantungan,” jawab Al-Hallaj tegar.uslah semua belenggu mereka.
Tawanan-tawanan itu bertanya pula,”kemanakah kami harus pergi, sedangkan pintu
penjara masih terkunci?”
Dari Baghdad melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas. Disanalah dia bersembunyi empat tahun lamanya, dengan tidak merubah pendirian dan pandangan hidupnya. Akhirnya di tahun 301 (903 M) dapat juga dia ditangkap kembali, dimasukan pula ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 301 H (903 M) diadakanlah persidangan ulama di bawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum bunuh dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad. Kemudian di bakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.
Al-hallaj adalah seorang alim dalam ilmu agama islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Suraij, ia adalah seorang yang hafal Al-Qur’an dan surat dengan pemahamannya, menguasai ilmu fiqh dan hadits, serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf. Dia adalah seorang zahid yang terkenal pada masanya, dan banyak lagi sifat-sifat kesalehannya. Keahlian dan kepribadiannya yang demikian itulah yang menjadikannya mampu melahirkan karya-karya gemilang, terutama tentang tasawuf.
Tentang karya-karya al-Hallaj, menurut Ibnu Nadim mencatat bahwasanya karangannya tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Sebagian daripadanya adalah :
• Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal asmaul kulliyah.
• Kitab Al Ushul wal Furu’.
• Kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts.
• Kitab Al ‘Adlu wat Tauhid.
• Kitab ‘Ilmul Baqa dan Fana.
• Kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa.
• Kitab “Hua, Hua”.
• Kitab At Thawwasin.
Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 kitab itu, dan kitab At- Thawasin merupakan kitabnya yang paling jelas menggambarkan tentang paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami, sehingga kata Al-Taftazani mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya. Disamping itu, kitab itu berisi rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.
B. Ajaran Al-Hallaj : Al-Huluul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ Sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks arab pernyataan tersebut berbunyi :
إ ن الله ا صطفى ا جسا ما حل فيها بمعا نى الر بو بية و ا زا ل عنها معا نى البشر ية.
“Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan.”
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dalam bukunya bernama al-thawasin.
Faham al-Huluul dapat dikatakan sebagai lanjutan atau bentuk lain dari faham
(ajaran) al-ittihad yang dipopulerkan oleh Abu Yazid al-Bustami (874 M/ 261 H). Tetapi dua konsep ajaran ini berbeda. Dalam ajaran al-ittihad, diri manusia lebur dan yang ada hanya diri Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sedangkan dalam konsep al-Huluul-nya al-Hallaj, diri manusia tidak hancur. Dalam konsep al-ittihad yang dilihat satu wujud, sedangkan dalam konsep ajaran al-Huluul disana ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh .
Helbert W. Mason mengatakan Al-Huluul adalah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan. Tetapi dalam kesimpulannya konsep al-Huluul-nya al-Hallaj bersifat majaziy, tidak dalam pengertian yang sebenarnya (haqiqiy) . Menurut Nashiruddin at-Thusiy, al-Huluul adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifst-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan.
Sebelum Tuhan menjadikan makhluk. Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang di dalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada dzatnya dan Ia pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuknya. Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.
Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dipahami dari ayat yang berbunyi :
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-baqarah ayat 34).
Menurut al-Hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada nabi Adam, karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimana agama Nasrani. Ia menjelma dalam diri Isa as.
Paham bahwa Allah menjadikan Adam menurut bentukNya, dapat pula dipahami dari isyarat yang terdapat dalam hadits yang berbunyi :
إ ن الله خلق ا د م على صو ر ته.
“Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya”.
Dengan melihat ayat dan hadits tersebut, al-Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan juga terdapat sifat kemanusiaan nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah hulul. Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses al-Fana.
Kalau sifat-sifat kemanusian itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya, disitu baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya. dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia, sebagaimana diungkapkannya dalam syair berikut :
“ Jiwamu disatukan dengan jiwaku
sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh engkau, ia menyentuh aku pula
Dan ketika itu dalam tiap hal engkau adalah aku”
Pada syair yang lain al-Hallaj juga mengatakan :
“ Aku adalah dia yang aku cintai
dan dia yang kucintai adalah aku.
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh
Jika engkau lihat aku, engkau lihat dia.
Dan jika engkau lihat dia, engkau melihat kami .
Dengan cara inilah menurut al-Hallaj seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan. Hanya saja dalam konsep al-Huluul diri al-Hallaj tidak lebur berbeda dengan konsep ittihad –nya al-Bustami dimana ia lebur yang ada hnaya Tuhan. Sebenarnya al-Hallaj tidak mengakui dirinya Tuhan sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya :
“Aku adalah Yang Maha Benar….
Dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku.
Aku hanya satu dari Yang Maha Benar,
Maka bedakanlah antara kami “.
Tujuan dari al-Huluul adalah mencapai persatuan secara bathin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al-Huluul adalah ketuhanan (lahut), menjelma kedalam diri insan (nasut) dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam perjalanan hidup kebatinan . Untuk memahami doktrin al-Huluul ini seharusnya merujuk kepada penjelasan al-Hallaj sendiri seperti berikut ini : “Siapa yang membiasakan dirinya dalam ketaatan, sabar atas kenikmatan dan keinginan, maka ia akan naik ketingkat muqarrabin. Kemudian ia senatiasa suci dan meningkat terus hingga terbebas dari sifat-sifat kemanusiaan ini. Apabila sifat-sifat kemanusiaan dalam dirinya lenyap, maka roh Tuhan akan mengambil tempatdalam tubuhnya sebagaimana ia mengambil tempat pada diri Isa bin Maryam. Dan ketika itu seorang sufi tidak lagi punya kehendak kecuali apa yang dikehendak oleh ruh Tuhan sehingga seluruh perbuatannya merupakan perbuatan Tuhan”.
Penjelasan ini setidaknya menginformasikan tiga hal berkaitan dengan bangunan konsep al-Huluul. Pertama, terkait dengan pra kondisi al-Huluul tersebut. Seperti al-ittihad, fana’ an- Nafs juga merupakan pra kondisi atau pintu gerbang menuju al-Huluul. Kalau fana’an-nafs telah membuat Abu Yazid al-Bustami sampai kepada terjadinya al-ittihad, maka bagi al-Hallaj itu mendorongnya samapi kepada al-Huluul. Kedua, menyangkut makna hakikat al-Huluul. Ketika al-fana mencapai puncak yang ditandai dengan leburnya nasut sufi secara total sehingga dirinya dikuasai oleh lahut nya, maka disaat itulah nasut Tuhan turun dan mengambil tempat pada diri sufi untuk bersatu dengan lahut-Nya. Inilah makna substansi al-Huluul. At-Taftazani berpendapat bahwa doktrin al-Huluul itu merupakan kesadaran psikologis.
Oleh karenanya kesatuan dalam faham ini hanya bersifat figuratif bukan merupakan kesatuan yang riil. Dengan kata lain, persatuan figuratif dalam al-Huluul masih mengakui adanya perbedaan dan pemisahaan antara ruh Tuhan dan ruh sufi sebagaimana tampak begitu jelas dalam ungkapan al-Hallaj sendiri “Ruh-Mu disatukan dengan ruh-ku / mu’zijat ruhuka fi ruhiy” dan “ Kami adalah dua ruh yang bertempat pada satu tubuh / Nahnu ruhaani halalnaa badanan”. Ketiga, Menyangkut dampak psikologis yang mengiringi al-Huluul. Ketika tercapai puncak al-Huluul, seluruh kehendak sufi terserap dan diliputi oleh kehendak Tuhan. Sehingga seluruh aktifitas yang muncul bukan lagi aktifitas sufi melainkan aktifitas Tuhan, hanya saja melalui organ tubuh sufi. Dengan demikian pernyataan ”Ana Al-Haqq” tidak dapat dipandang sebagai ucapan al-Hallaj untuk mengepresikan dirinya sebagai al-Haqq (Tuhan) melainkan perkataan Tuhan untuk mengepresikan dirinya sebagai Tuhan , Hanya saja melalui lisan al-Hallaj.
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan tentang Al-hallaj mengenai ajarannya tentang al-Hullu, mudah-mudahan bermanfaat khususnya bagi yang membuat makalah ini, umumnya bagi yang membacanya. Wallahu ‘Alam bi Al-Shawab.
Dari Baghdad melarikan diri ke Sus dalam wilayah Ahwas. Disanalah dia bersembunyi empat tahun lamanya, dengan tidak merubah pendirian dan pandangan hidupnya. Akhirnya di tahun 301 (903 M) dapat juga dia ditangkap kembali, dimasukan pula ke dalam penjara sampai delapan tahun lamanya. Akhirnya pada tahun 301 H (903 M) diadakanlah persidangan ulama di bawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah. Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H jatuhlah hukuman kepadanya. Dia dihukum bunuh dengan cemeti, lalu disalib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, dipenggal lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu gerbang kota Baghdad. Kemudian di bakar dan abunya dihanyutkan ke sungai Dajlah.
Al-hallaj adalah seorang alim dalam ilmu agama islam. Sebagaimana dikatakan oleh Ibn Suraij, ia adalah seorang yang hafal Al-Qur’an dan surat dengan pemahamannya, menguasai ilmu fiqh dan hadits, serta tidak diragukan lagi keahliannya dalam ilmu tasawuf. Dia adalah seorang zahid yang terkenal pada masanya, dan banyak lagi sifat-sifat kesalehannya. Keahlian dan kepribadiannya yang demikian itulah yang menjadikannya mampu melahirkan karya-karya gemilang, terutama tentang tasawuf.
Tentang karya-karya al-Hallaj, menurut Ibnu Nadim mencatat bahwasanya karangannya tidak kurang dari 47 buah banyaknya. Sebagian daripadanya adalah :
• Al Ahruful muhaddasah, wal azaliyah, wal asmaul kulliyah.
• Kitab Al Ushul wal Furu’.
• Kitab Sirrul ‘Alam wal mab’uts.
• Kitab Al ‘Adlu wat Tauhid.
• Kitab ‘Ilmul Baqa dan Fana.
• Kitab Madhun Nabi wal Masaul A’laa.
• Kitab “Hua, Hua”.
• Kitab At Thawwasin.
Kedelapan kitab ini adalah yang terpenting di antara 47 kitab itu, dan kitab At- Thawasin merupakan kitabnya yang paling jelas menggambarkan tentang paham tasawufnya. Susunan bahasanya sangat sulit dipahami, sehingga kata Al-Taftazani mungkin banyak pembaca tidak mengerti apa yang dimaksudkan penulisnya. Disamping itu, kitab itu berisi rumus-rumus dan istilah-istilah yang tidak gampang dimengerti.
B. Ajaran Al-Hallaj : Al-Huluul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ Sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks arab pernyataan tersebut berbunyi :
إ ن الله ا صطفى ا جسا ما حل فيها بمعا نى الر بو بية و ا زا ل عنها معا نى البشر ية.
“Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu) dan menempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan.”
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dalam bukunya bernama al-thawasin.
Faham al-Huluul dapat dikatakan sebagai lanjutan atau bentuk lain dari faham
(ajaran) al-ittihad yang dipopulerkan oleh Abu Yazid al-Bustami (874 M/ 261 H). Tetapi dua konsep ajaran ini berbeda. Dalam ajaran al-ittihad, diri manusia lebur dan yang ada hanya diri Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Sedangkan dalam konsep al-Huluul-nya al-Hallaj, diri manusia tidak hancur. Dalam konsep al-ittihad yang dilihat satu wujud, sedangkan dalam konsep ajaran al-Huluul disana ada dua wujud tetapi bersatu dalam satu tubuh .
Helbert W. Mason mengatakan Al-Huluul adalah penyatuan sifat ketuhanan dengan sifat kemanusiaan. Tetapi dalam kesimpulannya konsep al-Huluul-nya al-Hallaj bersifat majaziy, tidak dalam pengertian yang sebenarnya (haqiqiy) . Menurut Nashiruddin at-Thusiy, al-Huluul adalah faham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifst-sifat kemanusiaan yang ada didalam tubuh itu dilenyapkan.
Sebelum Tuhan menjadikan makhluk. Ia hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendian-Nya itu terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang di dalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf. Yang dilihat Allah hanyalah kemuliaan dan ketinggian zat-Nya. Allah melihat kepada dzatnya dan Ia pun cinta pada zat-Nya sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak ini. Ia pun mengeluarkan dari yang tiada bentk copy dari diri-Nya yang mempunyai sifat dan nama-Nya. Bentuk copy ini adalah Adam. Setelah menjadikan Adam dengan cara itu, Ia memuliakan dan mengagungkan Adam. Ia cinta pada Adam, dan pada diri Adam Allah muncul dalam bentuknya. Dengan demikian pada diri Adam terdapat sifat-sifat yang dipancarkan Tuhan yang berasal dari Tuhan sendiri.
Dengan cara demikian maka manusia mempunyai sifat ketuhanan dalam dirinya. Hal ini dipahami dari ayat yang berbunyi :
Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan orang-orang yang kafir.” (Q.S. Al-baqarah ayat 34).
Menurut al-Hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada nabi Adam, karena pada diri Adam Allah menjelma sebagaimana agama Nasrani. Ia menjelma dalam diri Isa as.
Paham bahwa Allah menjadikan Adam menurut bentukNya, dapat pula dipahami dari isyarat yang terdapat dalam hadits yang berbunyi :
إ ن الله خلق ا د م على صو ر ته.
“Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya”.
Dengan melihat ayat dan hadits tersebut, al-Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan dalam diri Tuhan juga terdapat sifat kemanusiaan nasut). Jika sifat ketuhanan yang ada dalam diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang ada dalam diri Tuhan maka terjadilah hulul. Untuk sampai ke tahap seperti ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses al-Fana.
Kalau sifat-sifat kemanusian itu telah hilang dan yang tinggal hanya sifat-sifat ketuhanan dalam dirinya, disitu baru Tuhan dapat mengambil tempat dalam dirinya. dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia, sebagaimana diungkapkannya dalam syair berikut :
“ Jiwamu disatukan dengan jiwaku
sebagaimana anggur disatukan dengan air suci
Dan jika ada sesuatu yang menyentuh engkau, ia menyentuh aku pula
Dan ketika itu dalam tiap hal engkau adalah aku”
Pada syair yang lain al-Hallaj juga mengatakan :
“ Aku adalah dia yang aku cintai
dan dia yang kucintai adalah aku.
Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh
Jika engkau lihat aku, engkau lihat dia.
Dan jika engkau lihat dia, engkau melihat kami .
Dengan cara inilah menurut al-Hallaj seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan. Hanya saja dalam konsep al-Huluul diri al-Hallaj tidak lebur berbeda dengan konsep ittihad –nya al-Bustami dimana ia lebur yang ada hnaya Tuhan. Sebenarnya al-Hallaj tidak mengakui dirinya Tuhan sebagaimana ia ungkapkan dalam syairnya :
“Aku adalah Yang Maha Benar….
Dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku.
Aku hanya satu dari Yang Maha Benar,
Maka bedakanlah antara kami “.
Tujuan dari al-Huluul adalah mencapai persatuan secara bathin. Untuk itu Hamka mengatakan bahwa al-Huluul adalah ketuhanan (lahut), menjelma kedalam diri insan (nasut) dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci bersih dalam perjalanan hidup kebatinan . Untuk memahami doktrin al-Huluul ini seharusnya merujuk kepada penjelasan al-Hallaj sendiri seperti berikut ini : “Siapa yang membiasakan dirinya dalam ketaatan, sabar atas kenikmatan dan keinginan, maka ia akan naik ketingkat muqarrabin. Kemudian ia senatiasa suci dan meningkat terus hingga terbebas dari sifat-sifat kemanusiaan ini. Apabila sifat-sifat kemanusiaan dalam dirinya lenyap, maka roh Tuhan akan mengambil tempatdalam tubuhnya sebagaimana ia mengambil tempat pada diri Isa bin Maryam. Dan ketika itu seorang sufi tidak lagi punya kehendak kecuali apa yang dikehendak oleh ruh Tuhan sehingga seluruh perbuatannya merupakan perbuatan Tuhan”.
Penjelasan ini setidaknya menginformasikan tiga hal berkaitan dengan bangunan konsep al-Huluul. Pertama, terkait dengan pra kondisi al-Huluul tersebut. Seperti al-ittihad, fana’ an- Nafs juga merupakan pra kondisi atau pintu gerbang menuju al-Huluul. Kalau fana’an-nafs telah membuat Abu Yazid al-Bustami sampai kepada terjadinya al-ittihad, maka bagi al-Hallaj itu mendorongnya samapi kepada al-Huluul. Kedua, menyangkut makna hakikat al-Huluul. Ketika al-fana mencapai puncak yang ditandai dengan leburnya nasut sufi secara total sehingga dirinya dikuasai oleh lahut nya, maka disaat itulah nasut Tuhan turun dan mengambil tempat pada diri sufi untuk bersatu dengan lahut-Nya. Inilah makna substansi al-Huluul. At-Taftazani berpendapat bahwa doktrin al-Huluul itu merupakan kesadaran psikologis.
Oleh karenanya kesatuan dalam faham ini hanya bersifat figuratif bukan merupakan kesatuan yang riil. Dengan kata lain, persatuan figuratif dalam al-Huluul masih mengakui adanya perbedaan dan pemisahaan antara ruh Tuhan dan ruh sufi sebagaimana tampak begitu jelas dalam ungkapan al-Hallaj sendiri “Ruh-Mu disatukan dengan ruh-ku / mu’zijat ruhuka fi ruhiy” dan “ Kami adalah dua ruh yang bertempat pada satu tubuh / Nahnu ruhaani halalnaa badanan”. Ketiga, Menyangkut dampak psikologis yang mengiringi al-Huluul. Ketika tercapai puncak al-Huluul, seluruh kehendak sufi terserap dan diliputi oleh kehendak Tuhan. Sehingga seluruh aktifitas yang muncul bukan lagi aktifitas sufi melainkan aktifitas Tuhan, hanya saja melalui organ tubuh sufi. Dengan demikian pernyataan ”Ana Al-Haqq” tidak dapat dipandang sebagai ucapan al-Hallaj untuk mengepresikan dirinya sebagai al-Haqq (Tuhan) melainkan perkataan Tuhan untuk mengepresikan dirinya sebagai Tuhan , Hanya saja melalui lisan al-Hallaj.
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan tentang Al-hallaj mengenai ajarannya tentang al-Hullu, mudah-mudahan bermanfaat khususnya bagi yang membuat makalah ini, umumnya bagi yang membacanya. Wallahu ‘Alam bi Al-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta : LSIK, 1993.
B. Lewis, The Encyclopaedia of Islam, vol.III, E.J. Brill, Leiden, 1971.
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1983.
Hamka, Tasauf Perkembangan dan Pemurniannya, Jakarta : PT. Pustaka Panji Mas, 1984.
Leonard Lewisohn dkk, Warisan Sufi : Sufisme Klasik dari Permulaan Hingga Rumi, Yogyakarta : Pustaka Sufi, 2002.
Buku aliyah kelas XI
0 Comments:
Post a Comment