Nama Kelompok 2 :
Rumaisha Nur Fatin (13410009)
Devi Arviana (13410020)
Zubas Muchlis R.A (13410022)
Farid Husni Rahman (13410024)
Lulu Fikriyah Ulya (13410037)
HUBUNGAN
AKHLAK DAN TASAWUF DALAM ISLAM
Sebelum membahas
lebih lanjut mengenai hubungan antara akhlak tan tasawuf dalam Islam, alangkah
baiknya jika memahami dahulu definisi dari akhlak dan tasawuf.
A.
AKHLAK
a.
Pengertian
Akhlak
Pengertian
akhlak secara etimologi kata alkhlak berasal dari bahasa arab akhlaq, dalam
bentuk ajama’ sedang mufradnya adalah khuluq.
Kata khuluq
(bentuk mufrad dari akhlaq) ini berasal dari fiil madhi kholaqa yang dapat
mempunyai bermacam-macam arti tergantung pada masdhar yang digunakan. Ada
beberapa kata arab yang seakar dengan kata al-khuluq ini dengan perbedaan
makna. Namun karena ada kesamaan akar kata, maka berbagai makna tersebut tetap
saling berhubungan. Diantaranya adalah kata al-khalq artinya ciptaan. Dalam
bahasa arab kata al-khalq artinya menciptakan sesuatu tanpa didahuli oleh
sebuah contoh, atau dengan kata lain mencipakan sesuatu dari tiada. Dan yang
bisa melakukan hal ini hanyalah Allah SWT sehingga hanya Allah SWT lah yang
berhak berpredikat al-khaliq atau al-khallaq.
Arti-arti diatas
mempnyai konsekwensi logis dalam penggunaan kata al-khuluq yang diartikan budi
pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Sehingga dapat dijelaskan
al-khuluq (budi pekerti) mengandung segi-segi penyesuaian dengan makna di atas.
Oleh karena itu, al-khuluq itu sifatnya diciptakan oleh si pelaku itu sendiri,
dan ini bisa bernilai baik (ahsan) dan buruk (qabih) tergantung pada sifat
perbuatan itu. Kemudian al-khuluq itu bisadianggab baik dengan memenuhi
aturan-aturan agama. Sifat al-khuluq itu tidak hanya mengacu pada pola hubungan
kepada Allah, namun juga mengacu pada pola hubungan dengan sesama manusia serta
makhluk lainnya. Bila khuluq seorang itu baik maka ia akan mendapatkan kebaikan
(kebahagiaan) di akhirat nanti.
Selanjutnya kata
khuluq ini juga mengandung segi-segi penyesuaian dengan perkataan al-khalaq
yang berarti ciptaan serta erat hubungannya dengan kata al-khaliq yang berarti
pencipta. Dan perkataan makhluq yang berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian
tersebut timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara
khaliq dengan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq lainnya. Sehingga
pola-pola hubungan ini menjadi pembahasan ruang lingkup akhlaq.
Inilah ciri
khusus kata akhlak dalam bahasa arab yang digunakan untuk menyebut perangai
manusia dalam kajian bahasa (etimologi).
Sementara itu
dari sudut pandang terminologi (istilah), ada banyak pendapat yang mengemukakan istilah akhlak.
Diantaranya adalah dikemukakan al-ghazali:
“Akhlak adalah
suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan. Maka bila sifat itu memunculkan perbuatan baik dan terpuji
menurut akal dan syariat maka sifat itu disebut akhlak yang baik, dan bila yang
muncul dari sifat itu perbuatan-perbuatan buruk maka disebut akhlak yang
buruk.”
Pengertian
diatas memberikan pemahaman bawa al-khuluq disebut juga sebagai kondisi atau
sifat yang terpatri dan meresap dalam jiwa, sehingga si pelaku perbuatan
melakukan sesuatu itu secara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat, karena
seandainya ada orang yang mendermakan hartanya dalam keadaan jarang sekali
untuk dilakukan (mungkin karena terpaksa atau mencari muka), maka bukanlah orang
tersebut dianggap dermawan sebagai pantulan kepribadiannya. Sifat yang telah
meresap dan terpatri dalam jiwa itu juga disyariatkan dapat menimnbulkan
perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tanpa memerlukan pemikiran dan
pertimbangan lagi.
Ibnu maskawih memberikan
definisi, khuluq ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan
perbuatan dengan tidak menghajatkan pemikiran. Gerak jiwa tersebut meliputi 2
hal. Yang pertama, alamiah dan bertolak dari watak. Yang kedua tercipta melalui
keiasaan atau latihan.
Jadi akhlak
merupakan manivestasi iman, islam, dan ihsan yang merupakan refleksi sifat dan
jiwa secara spontan yang terpola pada diri seseorang sehingga dapat melairkan
perilaku secara konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan berdasarkan interest
tertentu.
Dalam pembahasan
akhlak sering muncul beberapa istilah yang bersinonim dengan akhlak yakni etika
dan moral. Adapun perbedaannya adalah:
1.
Etika
Etika
adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, melainkan
tentang nilai-nilai dan moral berkaitan
dengan tindakan manusia, melainkan tentang idenya.
2.
Moral
Moral
adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai hiduo (moral)
juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menunjukan baik dan buruk.
b.
Ruang
lingkup akhlaq
Cakupan ruang lingkup akhlaq maliputi
semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk
individu, sosial, penghuni, dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam
serta sebagai makhluq ciptaan Allah. Dengan kata lain akhlaq meliputi:
1. Akhlak
pribadi
2. Akhlak
keluarga
3. Akhlak
sosial
4. Akhlak
politik
5. Akhlak
jabatan
6. Akhlak
terhadap Allah
7. Akhlak
terhadap alam
Dalam islam akhlak (perilaku)
manusia tidak dibatasi pada perilaku sosial namun juga menyangkaut pada seluruh
ruang lingkup kehidupan manusia yang meliputi
1.
Hubungan antara manusia
dengan Allah SWT. Seperti akhlak terhadap tuhan
2. Hubungan
manusia dengan sesamanya
a. Akhlak
terhadap keluarga
b. Akhlak
terhadap masyarakat
3. Hubungan
manusia dengan lingkungan
4.
Akhlak terhadap diri
sendiri
c.
Dasar-Dasar
Akhlaq
1. Al-quran
Dalam quran
QS.Al-qalam:4 yang artinya
“sesungguhnya engkau
(Muhammad SAW) adalah orang yang berakhlak mulia ”
Penggunakan istilah
khulukun ‘adhim menunjukan keagungan dan keangkuhan moralitas rosulullah SAW.
2. Hadits
Dalam sebuah hadits
disebutkan bahwa “sesungguhnya saya ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan
akhlak yang mulia”
Hadits tersebut
menunjukan bahwa akhlak menempati posisi kunci dalam kehidupan umat manusia,
maka substansi misi rosulullah SAW sendiri adalah untuk menyempurnakan akhlak
seluruh umat manusia agar dapat mencapai akhlak yang mulia.
d.
Tujuan
Akhlak
Tujuan akhlak adalah untuk mencapai
kebahagiaan hidup umat manusia dalam kehidupannya baik didunia maupun
diakhirat.
Seseorang yang berakhlakul karimah
pantang berbohong sekalipun terhadap diri sendiri dan tidak pernah menipu
apalagi menyesatkan orang lain.
e.
Karakteristik
Akhlak dalam Islam
1. Akhlak
meliputi hal-hal yang bersifat umum dan terperinci.
Dijelaskan dalam
QS.An-Nahl ayat 90 yang menyuruh perintah untuk berakhlak secara umum: untuk
berbuat adil, berbuat kebaikan, melarang perbuatan keji dan munkar dan
permusuhan.
Sedangkan contoh ayat
yang menjelaskan akhlak secara terperinci adalah QS.Al-Hujurat: 12 menujukan
larangan untuk saling mencela, serta memanggil dengan gelar yang buruk.
2. Akhlak
bersifat menyeluruh
Menurut
At-Tahawani (abad 2 H), penyusun Kasysyaf Isthilahat al-funun mendefinisikan
ilmu akhlak yang disebutkan dangan istilah ilmu-ilmu perilaku sebagai
“pengetahuan tentang apa yang baik dan tidak baik”
Dengan
bahasa lain, ilmu ini membahas tentang diri manusia dari segi
kecenderungan-kecenderungannya, hasrat-hasratnya, dan beragam potensi yang
membuat manusia condong pada kebaikan atau keburukan. Ia juga membahas perilaku
manusia dalam menghiasi diri dengan keutamaan dan menjauhkan diri dari perilaku
buruk dan rendah.
B.
TASAWUF
a.
Pengertian
Tasawuf
Tasawuf dalam
pengertian umum berarti kecenderungan mistisme universal yang ada sejak dahulu
kala, berasaskan sikap zuhud terhadap keduniaan (asketisme), dan bertujuan
membangun hubungan (ittishal) dengan al-mala’ yang merupakan sumber kebaikan,
emanasi, dan ilumunasi .
Dengan
pengertian ini, tasawuf bukan monopoli umat tertentu, kebudayaan tertentu,
agama tertentu, maupun aliran filsafat tertentu. Ia hadir di tengah masayarakat
yunani kuno dalam filsafat Phytagoras. Di kalangan bangsa persia, ia mewujud
dalam filsafat Mani dan Zaroaster, sedangkan di india mistisme terkandung dalam
ajaran budhisme, brahma, dan kitab wedha.
b.
Latar
Belakang Timbulnya Tasawuf
1)
Zaman Nabi
Meskipun secara tekstual tidak ditemukan ketentuan agar umat Islam
melaksanakan tasawuf akan tetapi kegiatan tasawuf telah dilakukan oleh Nabi
Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi rasul, ia telah berulang kali pergi ke
Gua Hira dengan membawa sedikit perbekalan. Tujuannya disamping untuk mengasingkan
diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan
dan penyembahan berhala, juga untuk merenung dalam rangka mencari hakekat
kebenaran yang disertai dengan melakukan banyak berpuasa dan beribadah,
sehingga jiwanya menjadi semakin suci.
Peri hidup Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak didasarkan pada
nilai-nilai material, nilai-nilai yang bersifat duniawi, misalnya mencari
kekayaan pribadi, tetapi bertumpu pada nilai-nilai ibadah, mencari keridhaan
Allah Swt Akhlak mereka demikian tinggi, tunduk, patuh kepada Allah, tawadhu’
(merendah diri) dan sebagainya, bagaikan tanaman padi, kian berisi kian
merunduk. Peri
hidup Nabi dan para sahabatnya yang terpuji (akhlaqul karimah) tersebut
antara lain:
a)
Hidup zuhud
(tidak mementingkan keduniaan).
b)
Hidup qanaah
(menerima apa adanya).
c)
Hidup taat
(senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).
d) Hidup istiqamah (tetap beribadah).
e)
Hidup mahabbah
(sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melebihi cinta kepada dirinya dan
makhluk lainnya).
f)
Hidup ubudiah
(mengabdikan diri kepada Allah).
Jadi
tasawwuf itu pada dasarnya adalah pindah
dari suatu hal keadaan kepada suatu hal keadaan yang lain. Pindah dari alam
kebendaan kepada alam kerohaniaan.
Mengenai
kehidupan Nabi Muhammad saw telah banyak diceritakan, betapa kesederhanaan
rumah tangga beliau sehari-hari. Jangankan perabot rumah tangga yang serba
mewah dan makanan yang lezat-lezat, alat-alat rumah tangga yang sederhana saja
tidak lengkap begitu juga dalam hal makanan, makanan yang biasa untuk makan
sehari-hari saja kadang tidak ada. Ia tidur di atas sepotong tikar bukan di atas kasur yang
empuk, makanan yang dihidangkan istrinya hanyalah sepotong roti kering yang
dengan segelas air minum, dengan sebutir korma atau dua butir korma.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari
diceritakan bahwa Aisyah pernah mengeluh kepada keponakannya, Urwah, seraya
berkata, “Urwah, lihatlah, kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak menyala dan
aku bingung karenanya”. Urwah bertanya, “Jadi, apakah yang kamu makan
sehari-hari?” Aisyah menjawab, “Paling untuk yang menjadi pokok itu adalah
korma dan air, kecuali jika ada tetangga-tetangga Anshar mengantarkan sesuatu
kepada Rasulullah, maka dapatlah kami merasakan seteguk susu”. Rasulullah
menegaskan, “Kami adalah golongan yang tidak makan kecuali kalau lapar dan jika
kami makan tidaklah sampai kenyang”.
Dikisahkan pula pada suatu hari Rasulullah pergi ke
masjid. Disana ia berjumpa dengan Abu Bakar dan Umar. Ia bertanya, “Apa yang
menyebabkan sahabat-sahabat ini keluar masjid?” Abu Bakar dan Umar menjawab,
“Untuk menghibur diri dari lapar”. Rasulullah berkata pula, “Aku pun keluar
untuk menghibur laparku. Marilah kita pergi ke rumah Abul Hasim, barangkali di
sana ada sesuatu yang boleh di makan.
Rasulullah sering berpuasa sunat, maksudnya antara
lain agar saat-saat lapar itu tidak sia-sia, tetap dalam ibadah kepada Allah.
Kerap kali pula ia beribadah di mesjid. Setelah beberapa waktu berada di
mesjid, ia pulang ke rumahnya dan bertanya kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, adakah
hari ini sesuatu yang dapat dimakan?” Tatkala Aisyah menjawab bahwa tidak ada
sesuatu pun yang dapat dimakan, ia kembali lagi ke mesjid dan menghabiskan
waktunya untuk sembahyang sunat. Beberapa saat kemudian ia kembali ke rumahnya
dan bertanya kepada Aisyah tentang makanan, Aisyah menjawab seperti jawaban
semula. Hal seperti itu dilakukan Rasulullah sampai beberapa kali dan mendapat
jawaban yang sama, sampai akhirnya ia mendapatkan sepotong roti di rumahnya
dari pemberian Usman bin Affan.
Aisyah menerangkan lebih lanjut bahwa keluarga
Muhammad dalam sehari tidak pernah makan sampai dua kali. Makanan disimpan di
rumah tidak lebih dari sepotong roti untuk dimakan tiga orang.
Nabi Muhammad-lah yang pertama kali memberikan contoh
tentang hidup sederhana, tentang menerima apa adanya, menjadikan hidup rohani
lebih tinggi daripada hidup kebendaan yang mewah penuh ria, dan mengajak
manusia untuk meninggalkan berburu kekayaan duniawi berlebihan sehingga
melupakan tujuan hidup manusia yang pokok. Ia pula yang mengajarkan bahwa
kekayaan dan kesenangan duniawi itu tidak abadi, oleh sebab itu ia mengajak
kepada manusia untuk meraih kelezatan hidup yang lebih tinggi dan abadi, yakni
dengan mendekatkan diri kepada zat Yang Maha Pencipta, Maha Kuasa, Allah SWT.
Hidup kerohanian tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya
kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ
وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ
الْوَرِيدِ
Artinya :
Tidak Kami ciptakan manusia dan Kami Tahu apa yang
dibisikkan dirinya kepadanya. Kami dekat kepada manusia daripada pembuluh darah
yang ada di lehernya. (QS. Al-Qaf : 16)
juga firmannya lagi:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي
فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
Artinya:
Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka
sesungguhnya Aku dekat, dan aku akan mengabulkan seruan yang memanggil jika Aku
dipanggil (doa orang yang memanjatkan doa). (QS. Al-Baqarah :186)
Dari Ibnu Mas’ud diceritakan bahwa ia pernah masuk ke
rumah Rasulullah dan didapatinya Rasulullah sedang berbaring di atas sehelai
anyaman daun korma sampai memberikan bekas pada pipinya. Dengan rasa haru Ibnu
Mas’ud bertanya, “Rasulullah, apakah tidak baik kalau aku mencarkan sebuah
bantal untukmu?” Rasulullah menjawab, “Aku tidak memerlukan itu. Aku di dunia
adalah laksana seorang yang sedang bepergian, sebentar berteduh di kala hari
sangat terik di bawah naungan pohon kayu yang rindang untuk kemudian berangkat
lagi dari situ ke arah tujuannya”.
Sehubungan dengan harta benda dikisahkan pula bahwa
pada suatu hari pernah diletakkan di hadapan Rasulullah tujuh puluh ribu dirham
emas, pada hari itu juga semua uang emas itu dibagi-bagikan tanpa sekepingpun
yang tertinggal. Dalam kaitan dengan hal ini diceritakan pula dalam sejarah
bahwa ketika Nabi sedang sakit dan menjelang akhir hayatnya, ia teringat bahwa
di rumahnya masih tersimpan tujuh buah dinar emas. Dalam keadaan sakit payah,
ia memanggil ahli rumahnya untuk segera membagi-bagikan mata uang tersebut
kepada fakir miskin. Cerita ini dibenarkan oleh Aisyah yang mengaku bahwa ia
lupa kalau ia menyimpan uang itu, karena kesibukan mengurus Nabi yang sedang
sakit Tatkala orang bertanya kepadanya, apa yang diperbuatnya dengan tujuh
dinar itu, ia menjawab, bahwa ia segera pergi mengambilnya dan menyerahkan
kepada Rasulullah Aisyah bertanya mengenai bagaimana perasaan Rasulullah ketika
menghadap Tuhan dengan mata uang di tangannya. Lalu Rasulullah membagi-bagikan
mata uang itu kepada fakir-miskin, sedangkan ia sendiri pergi menghadap
Tuhannya dengan pakaian yang kasar.
Begitu kesederhanaan Rasulullah, sehingga pada waktu
wafat pun ia tidak meninggalkan untuk keluarganya uang barang sedinar atau sedirham
pun.
Abdurahman bin Auf menceritakan, bahwa pada waktu Nabi
wafat tidak ada sesuatu yang ditinggalkannya, kecuali sepotong roti, sebilah
pedang, dan seekor keledai yang biasa menjadi tunggangannya sehari-hari, serta
sebidang tanah yang sudah diwakafkan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah,
Tabrani, dan Baihaqi, Rasulullah bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, supaya
Tuhan mencintaimu. Dan Zuhudlah pada yang ada di tangan manusia supaya manusia
pun cinta akan engkau.
Hidup secara zuhud sudah dilakukan Rasulullah sebelum
ia menjadi Rasul Ketika itu Muhammad suka menyendiri, berkhalwat atau
bertafakur di Goa Hira. Di sana ia memikirkan dan merenungi alam raya ini
dengan segala isinya. Ia renungi semua itu dengan mata hatinya. Dengan demikian
pandangan lahir bathinnya menjadi sangat bersih dan suci, kepribadiannya sangat
sempurna. Ia memang seorang manusia seperti kita, tapi qalbu yang ada di dalam
dirinya bersih dan suci, sehingga ia dapat dengan cepat menerima dan merasa apa
yang bersifat suci. Sungguh layak jika Muhammad menerima wahyu dari Yang Maha
Suci. Fiman Allah:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
رُوحاً مِّنْ أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ
وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُوراً نَّهْدِي بِهِ مَنْ نَّشَاء مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ
لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu
(Al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah
Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan
Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di
antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk
kepada jalan yang lurus. (QS. Asy Syuura: 52)
Menurut Syekh Abdul Baqy Surur, bahwa tahannus
Rasulullah di Goa Hira, merupakan cahaya-cahaya pertama dan utama bagi nur
tasawuf, itulah cikal-bakal atau benih-benih pertama bagi kehidupan kerohanian
yang disebut dengan ilham hati atau renungan-renungan Ruhaniyat.
Cara hidup Nabi di Goa Hira merupakan gambaran yang
lengkap bagi kehidupan sufi. Renungan-renungan Nabi di Goa Hira mengenai alam
raya membawanya untuk merasakan kebesaran dan keagungan Allah. Di tempat yang
sunyi sepi itu pula Nabi melupakan dan memutuskan hubungan, menjauhkan ingatan dari
semua makhluk, hanya ada satu dalam ingatannya, yakni Allah Swt.
Menurut para ahli tasawuf, cara-cara yang dilakukan
Nabi di Goa Hira merupakan jalan-jalan pertama dan utama untuk sampai kepada
kasyaf, untuk memperoleh limpahan-limpahan ilham dan untuk memperoleh isyraq
atau pancaran Nur dari Allah. Semua itu ibarat jalan adalah jalan yang mendaki,
yakni pendakian bathin ke arah usaha menghubungkan diri dengan Allah yang Maha
Pencipta dan Maha Agung. Sesudah menjadi Rasul, Rasulullah meneruskan taqarub (mendekatkan
diri) kepada Allah dengan berzikir, istighfar, shalat tahajud sampai jauh
malam. Ia memperkuat bathinnya dengan menjalani hidup kerohanian.
Untuk itulah Rasulullah menyediakan ruangan khusus di
samping mesjid Madinah untuk tempat tinggal dan pendidikan dalam ilmu agama
untuk para sahabat Nabi yang ikhlas mengikuti perjuangan Nabi menyebarkan Islam
dan mau menjalani hidup kerohanian. Mereka itu disebut Ahl Suffah. Pada mulanya
jumlah mereka 400 orang, lambat laun bertambah sampai berlipat ganda. Mereka
mempunyai akhlak yang luhur, iman dan keyakinan mereka sangat kuat, ketawakalan
dan keikhlasan mereka sangat luhur. Rasulullah pernah berkata kepada Abu
Hurairah, “Ahl Suffah itu adalah tamu-tamu orang Islam, mereka tidak mempunyai
keluarga, tidak mencintai harta benda, dan tidak terikat kepada seseorang
manusia pun, hatinya hanya tertuju kepada Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah keteladanan hidup kerohanian dari
Rasulullah kemudian menjadi contoh sikap hidup para sahabatnya. Imam Ghazali
berpendapat, “Bahwa aku yakin benar-benar kaum suffi itulah yang telah menempuh
jalan yang dicontohkan oleh Nabi dan yang dikehendaki oleh Allah Taala.”
2)
Zaman
Sesudah Nabi
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, kekhalifahan Islam
diteruskan oleh para sahabatnya, yakni Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab,
Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Meskipun menjadi khalifah atau kepala
negara yang biasanya hidup serba mewah, namun cara-cara hidup mereka tidak
sedikitpun mencerminkan hidup mewah sebagaimana kehidupan raja-raja pada
umumnya. Mereka tetap hidup sederhana, wara’, tawadhu’, zuhud sebagaimana yang
dicontohkan oleh Nabi.
Sebagai contoh berikut ini dikemukakan salah satu sisi
dari kehidupan para khalifah tersebut. Menurut riwayat bahwa Abu Bakar Siddiq
hidup dengan sehelai kain saja. Terhadap lidahnya sendiri ia berkata, “Lidah
inilah yang senantiasa mengancamku”. Dan ia berkata pula, “Apabila seorang
hamba Allah telah dimasuki rasa berbangga diri karena sesuatu dari hiasan dunia
ini, Maka Allah akan murka kepadanya, sampai perhiasan itu diceraikannya.”
Pandangan hidup beliau adalah bahwa sifat dermawan
adalah buah dari taqwa, kekayaan adalah buah dari keyakinan dan martabat didapat
sebagai buah dari tawadhu’.
Umar bin Khatab pun memiliki jiwa yang bersih dan
kesucian rohani yang tinggi. Rasulullah pernah berkata tentang diri Umar, bahwa
Allah telah meletakkan kebenaran di ujung lidah Umar dan hatinya. Pangkat
khalifah yang merupakan kekuasaan tertinggi tidak mengurangi nilai kehidupan
rohaninya, bahkan sejak menjadi khalifah kehidupan kerohaniannya semakin ia
tingkatkan. Pernah pada suatu ketika datang kiriman zakat dari negeri Yaman,
lalu diadakan pertemuan besar, karena Khalifah hendak memberikan nasihatnya.
Dalam nasihat tersebut ia mengharapkan agar semua yang hadir mematuhi
nasihatnya. Tiba-tiba salah seorang yang hadir berdiri seraya berkata, “Kami
tidak akan taat kepada engkau ya, Amirul Mukminin!”. Khalifah bertanya, “Mengapa?”
Lalu orang itu berkata pula, “Bagaimana kami akan taat, Tuan membagi-bagikan
zakat kiriman yang dari Yaman ini kepada orang lain, sementara Tuan hanya
mengambil sebagian kecil saja, padahal pakaian Tuan hanya satu persalinan,
tidak ada pakaian musim panas dan tidak ada pakaian musim dingin. Sebelum tuan
mengambil satu persalinan lagi, kami tidak akan taat” Mendengar sanggahan orang
itu khalifah Umar merasa sulit untuk menjawab, lalu ia berpaling kepada
puteranya yang bernama Abdullah, dan berkata, “Hai Abdullah, bagaimana menurut
pendapatmu?” Abdullah pun berdiri dan berkata kepada penyanggah itu, “Jika
masalahnya hanya pakaian yang satu persalinan lagi, biarlah saya yang akan
menanggungnya.” Mendengar jawaban Abdullah, orang yang menyanggah tadi merasa
puas dan menyatakan akan patuh dan taat kepada khalifah.
Usman bin Affan adalah Khalifah yang ketiga. Ia adalah
seorang Khalifah yang berada. Walaupun ia banyak harta, tetapi ia tetap
memperhatikan hidup yang sederhana. Hartanya digunakan untuk menolong yang
lemah, untuk perjuangan mengembangkan agama Islam. Ia terkenal orang yang
senantiasa membaca dan menelaah Al-Qur’an, Tentang Al-Qur’an ia pernah berkata,
“Ini adalah surat yang dikirim oleh Tuhan-Ku. Tidak layak jika ada seorang
hamba melalaikan surat dari tuannya. Hendaklah senantiasa dibaca, agar supaya
segala isi surat itu dapat dijalankannya.” Menurut riwayat, Usman bin Affan
wafat dibunuh oleh pemberontak ketika sedang membaca Al-Qur’an.
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak kurang
ketinggian hidup kerohaniannya. Dalam tugas-tugasnya yang besar dan mulia,
menyebabkan ia tidak perduli bahwa pakaian yang dikenakannya telah robek.
Ketika pakaiannya robek,
ia sendiri yang menambalnya. Pernah orang bertanya,
“Mengapa sampai begini, Amirul Mukminin?” Beliau menjawab, “Untuk
mengkhusyu’kan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang yang beriman.
Selain dari sahabat Nabi yang empat sebagaimana
disebutkan di atas, hidup kerohanian juga dilaksanakan oleh sahabat-sahabat yang
lain, di antaranya adalah Huzaifah bin Yaman. Ia terkenal salah seorang sahabat
Nabi yang zahid.
Ia menjadi tempat bertanya pula mengenai ilmu yang
pelik-pelik. Umar sering datang kepada Huzaifah untuk menanyakan apakah pada
dirinya terdapat kesalahan atau tanda-tanda munafik, atau apa sikap-sikap yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam, kadang-kadang Huzaifah mengecam Umar dan Umar
pun dengan ikhlas memperbaiki atas segala kekhilafannya.
Kepopuleran Huzaifah tersebar ke daerah-daerah di luar
negeri Arab. Demikianlah, Hasan Basri, seorang tokoh sufi yang terkenal datang
berguru kepada Huzaifah.
Sahabat lain yang dengan tegas menentang gaya hidup
mewah adalah Abu Dzar Al-Ghiffari. Ia melihat bahwa ketulusan beragama sudah
mulai lemah, karena pengaruh harta, dan justru hal yang demikian, bahkan pula
dilakukan oleh gubernur Muawiyah, yang semestinya menjadi teladan dengan berani
dan terus terang menentang pengumpulan harta benda untuk kepentingan diri
sendiri. Abu Dzar berpegang kepada ayat Al-Qur’an:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ
يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya: Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka berita bukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (Q.S At-Taubah:34)
Sikap Abu Dzar yang demikian, oleh Muawiyah dipandang
sebagai pengganggu ketenteraman umum, Abu Dzar dituduh telah membangkang
terhadap pemerintah yang sah dan melemahkan semangat perjuangan. Fitnah ini
disampaikan kepada Khalifah Usman. Akibatnya, Khalifah Usman mengasingkan Abu
Dzar ke luar kotaMadinah, ke sebuah dusun bernama Rizbah.
Dengan peristiwa yang dialami Abu Dzar ini, mulailah
muncul golongan kaum Zahid, yaitu golongan yang mengutamakan hidup kebathinan
dan kerohanian.
Setelah Abu Dzar orang yang
terkenal menentang cara hidup mewah pada masa sahabat, terkenal pula nama Said
bin Zubair seorang tabi’in yang kuat pribadinya. Ia seorang zahid yang betul
berani mengusir siapa saja yang bersalah, walaupun yang bersalah itu seorang Khalifah,
ia mengangkat Gubernur Irak, seorang tokoh yang gagah perkasa, namun terkenal
kejam, bernama Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi. Hajjaj tidak segan-segan membunuh
orang untuk menegakkan kekuasaan Bani Umayah. Melihat tindakan semena-mena itu,
Sa’id Zubair sangat kecewa. Ia tidak takut sedikitpun kepada keperkasaan Hajjaj
dan tetap berani menegurnya. Tentu saja Hajjaj merasa tersinggung. Maka
dituduhnya seorang pencinta Ali, bermadzhab Syi’ah, yaitu Mashab yang sangat
dibenci saat itu. Sa’id pun ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Ketika akan
dibunuh, Hajjaj berkata kepada algojo, “Jangan hadapkan mukanya ke arah kiblat,
biar dia mati membelakangi kiblat. Sa’id menjawab, “Kemana pun engkau hadapkan
mukaku, disanalah wajah Allah.”
c.
Objek
Tasawuf
Objek pembahasan
tasawuf ialah jiwa manusia, tasawuf membahas tentang sikap jiwa manusia dalam
hubungan dengan Allah dan sikapnya dalam berhubungan dengan sesama makhluk.
Dalam hal ini tasawuf ingin membersihkan hati itu dari sifat-sifat buruk dan
tercela dalam rangka hubungan tersebut, bila hati sudah suci dan bersih dari
noda atau kotoran niscaya akan baiklah kehidupan manusia itu, rosulullah SAW
bersabda:
“ketahuilah
bahwa didalam tubuh manusia itu ada segumpal darah, bila segumpal datrah itu
baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, dan bila segumpal darah itu buruk, maka
buruklah tubuh seluruhnya. Segumpal darah itu adalah hati.” (HR.Bukhori dan
Muslim).
d.
Tujuan Tasawuf
Tasawuf diciptakan sebagai media lintasan untuk
mencapai maqashid al-syar’i
(tujuan-tujuan syara’). Adapun tujuan-tujuan tasawuf adalah sebagai berikut:
1)
Berupaya
menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil
2)
Melepaskan
diri dari penyakit-penyakit kalbu
3)
Menghiasi
diri dari akhlak-akhlak yang mulia
4)
Menggapai
derajat ikhsan dalam ibadah
5)
Menstabilkan
akidah shuhbah ilahiyah (persahabatan ketuhanan),dalam arti bahwa Allah SWT.
melihat hamba-hambaNya dari atas arasy dan meliputi mereka dari segala arah
dengan ilmu,kekuasaan(qudrat), pendengaran(sama’), dan penglihatan(bashar)-Nya.
6)
Menggapai
kekuatan iman yang dulu pernah dimiliki para sahabat Rasulullah saw, menyebarkan
ilmu-ilmu syariat dan meniupkan ruh kehidupan kepadanya, sehingga karenanya
dihasilkan motifasi bagi kaum muslimin untuk dapat memimpin kembali umat-umat, baik
ilmiah, pemikiran, keagamaan maupun politik. Selain itu, mereka juga mampu
mengembalikan kepemimpinan global ke
pangkuannya, baik peta politik maupun ekonomi, serta dapat menyelamatkan
bangsa-bangsa yang ada dari alienasi dan kehancuran.
C.
HUBUNGAN ANTARA AKHLAK DAN TASAWUF
Hubungan antara akhlak dengan tasawuf sangatlah erat dan bisa
dikatakan seperti dua mata uang, karena untuk mencapai akhlak yang mulia
diperlukan proses-proses yang biasanya dilakukan oleh kalangan mutashawwifin
(pengamal tasawuf). Sementara bagian yang terpenting dalam tasawuf adalah
pencapaian akhlak yang mulia disamping hal-hal yang terkait dengan kebutuhan.
Apa
yang dilakukan kalangan mutashawwifin akhirnya akan membuahkan pada
akhlak mulia. Namun demikian tidak semua kajian dan pengalaman tasawuf masuk ke
bidang akhlak. Oleh karena itu akhlak tasawuf adalah proses-proses
pencapaian akhlakul karimah melalui metode tasawuf yang diilhami oleh
kehidupan para salafus shalih.
Akhlak
tasawuf ini menjadi penting untuk menghindari kajian akhlak yang hanya berada
pada tataran pemikiran dan wacana yang tentu akan jauh untuk dapat memberikan
bekas pada mahasiswa menjadi orang-orang yang memiliki akhlak mulia. Dilain
pihak akhlak tasawuf juga berguna untuk membatasi kajian salah satu aspek dalam
dunia tasawuf, yaitu tasawuf akhlaki, yang berarti mengesampingkan tasawuf
falsafi.
Secara singkat akhlak tasawuf memfokuskan pada dataran Tazkiyah
al-Nafs (penyucian jiwa) yang sering diistilahkan juga dengan tathahur,
tahaquq dan takhaluq, membersihkan diri dari sifat madzmumah
(tercela) dan menghiasi dengan akhlak mahmudah (terpuji). Hal yang perlu di
perhatikan adalah faktor dari sekedar fikri (pemikiran) dan nadzari
(teoritis).
Selama ini terlalu banyak orang berbicara akhlak akan tetapi tidak
bisa memberi sibghah menjadikan mahasiswa berakhlakul karimah. Hal ini
terjadi karena pembahasan akhlak biasanya hanya berbicara pada ranah kognitif
tanpa disertai ranah afektif dan psikomotorik. Yang terjadi banyak mahasiswa
mendapatkan nilai tinggi dalam mata kuliah akhlak akan tetapi rendah akhlaknya.
Sehingga dari penyajian akhlak tasawuf secara komprehensif ini diharapkan
pembelajaran akhlak dapat diperoleh hasil semaksimal.
0 Comments:
Post a Comment