Header Ads

29 August 2016

HUBUNGAN AKHLAK DAN TASAWUF DALAM ISLAM


Hasil gambar untuk AKHLAK-TASAWUF-
Nama Kelompok 2 :
Rumaisha Nur Fatin                         (13410009)
Devi Arviana                                     (13410020)
Zubas Muchlis R.A                           (13410022)
Farid Husni Rahman                        (13410024)
Lulu Fikriyah Ulya                           (13410037)

HUBUNGAN AKHLAK DAN TASAWUF DALAM ISLAM
Sebelum membahas lebih lanjut mengenai hubungan antara akhlak tan tasawuf dalam Islam, alangkah baiknya jika memahami dahulu definisi dari akhlak dan tasawuf.
A.    AKHLAK
a.      Pengertian Akhlak
            Pengertian akhlak secara etimologi kata alkhlak berasal dari bahasa arab akhlaq, dalam bentuk ajama’ sedang mufradnya adalah khuluq.
Kata khuluq (bentuk mufrad dari akhlaq) ini berasal dari fiil madhi kholaqa yang dapat mempunyai bermacam-macam arti tergantung pada masdhar yang digunakan. Ada beberapa kata arab yang seakar dengan kata al-khuluq ini dengan perbedaan makna. Namun karena ada kesamaan akar kata, maka berbagai makna tersebut tetap saling berhubungan. Diantaranya adalah kata al-khalq artinya ciptaan. Dalam bahasa arab kata al-khalq artinya menciptakan sesuatu tanpa didahuli oleh sebuah contoh, atau dengan kata lain mencipakan sesuatu dari tiada. Dan yang bisa melakukan hal ini hanyalah Allah SWT sehingga hanya Allah SWT lah yang berhak berpredikat al-khaliq atau al-khallaq.
Arti-arti diatas mempnyai konsekwensi logis dalam penggunaan kata al-khuluq yang diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Sehingga dapat dijelaskan al-khuluq (budi pekerti) mengandung segi-segi penyesuaian dengan makna di atas. Oleh karena itu, al-khuluq itu sifatnya diciptakan oleh si pelaku itu sendiri, dan ini bisa bernilai baik (ahsan) dan buruk (qabih) tergantung pada sifat perbuatan itu. Kemudian al-khuluq itu bisadianggab baik dengan memenuhi aturan-aturan agama. Sifat al-khuluq itu tidak hanya mengacu pada pola hubungan kepada Allah, namun juga mengacu pada pola hubungan dengan sesama manusia serta makhluk lainnya. Bila khuluq seorang itu baik maka ia akan mendapatkan kebaikan (kebahagiaan) di akhirat nanti.
Selanjutnya kata khuluq ini juga mengandung segi-segi penyesuaian dengan perkataan al-khalaq yang berarti ciptaan serta erat hubungannya dengan kata al-khaliq yang berarti pencipta. Dan perkataan makhluq yang berarti yang diciptakan. Perumusan pengertian tersebut timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khaliq dengan makhluq dan antara makhluq dengan makhluq lainnya. Sehingga pola-pola hubungan ini menjadi pembahasan ruang lingkup akhlaq.
Inilah ciri khusus kata akhlak dalam bahasa arab yang digunakan untuk menyebut perangai manusia dalam kajian  bahasa (etimologi).
Sementara itu dari sudut pandang terminologi (istilah), ada banyak pendapat yang mengemukakan istilah akhlak. Diantaranya adalah dikemukakan al-ghazali:
“Akhlak adalah suatu sifat yang tertanam dalam jiwa yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dan gampang tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Maka bila sifat itu memunculkan perbuatan baik dan terpuji menurut akal dan syariat maka sifat itu disebut akhlak yang baik, dan bila yang muncul dari sifat itu perbuatan-perbuatan buruk maka disebut akhlak yang buruk.”
Pengertian diatas memberikan pemahaman bawa al-khuluq disebut juga sebagai kondisi atau sifat yang terpatri dan meresap dalam jiwa, sehingga si pelaku perbuatan melakukan sesuatu itu secara spontan dan mudah tanpa dibuat-buat, karena seandainya ada orang yang mendermakan hartanya dalam keadaan jarang sekali untuk dilakukan (mungkin karena terpaksa atau mencari muka), maka bukanlah orang tersebut dianggap dermawan sebagai pantulan kepribadiannya. Sifat yang telah meresap dan terpatri dalam jiwa itu juga disyariatkan dapat menimnbulkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan lagi.
Ibnu maskawih memberikan definisi, khuluq ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong kearah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pemikiran. Gerak jiwa tersebut meliputi 2 hal. Yang pertama, alamiah dan bertolak dari watak. Yang kedua tercipta melalui keiasaan atau latihan.
Jadi akhlak merupakan manivestasi iman, islam, dan ihsan yang merupakan refleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada diri seseorang sehingga dapat melairkan perilaku secara konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan berdasarkan interest tertentu.
Dalam pembahasan akhlak sering muncul beberapa istilah yang bersinonim dengan akhlak yakni etika dan moral. Adapun perbedaannya adalah:

1.      Etika
Etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, melainkan tentang  nilai-nilai dan moral berkaitan dengan tindakan manusia, melainkan tentang idenya.
2.      Moral
Moral adalah nilai dasar dalam masyarakat untuk memilih antara nilai hiduo (moral) juga adat istiadat yang menjadi dasar untuk menunjukan baik dan buruk.

b.      Ruang lingkup akhlaq
Cakupan ruang lingkup akhlaq maliputi semua aspek kehidupan manusia sesuai dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, sosial, penghuni, dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam serta sebagai makhluq ciptaan Allah. Dengan kata lain akhlaq meliputi:
1.      Akhlak pribadi
2.      Akhlak keluarga
3.      Akhlak sosial
4.      Akhlak politik
5.      Akhlak jabatan
6.      Akhlak terhadap Allah
7.      Akhlak terhadap alam
Dalam islam akhlak (perilaku) manusia tidak dibatasi pada perilaku sosial namun juga menyangkaut pada seluruh ruang lingkup kehidupan manusia yang meliputi
1.      Hubungan antara manusia dengan Allah SWT. Seperti akhlak terhadap tuhan
2.      Hubungan manusia dengan sesamanya
a.       Akhlak terhadap keluarga
b.      Akhlak terhadap masyarakat
3.      Hubungan manusia dengan lingkungan
4.      Akhlak terhadap diri sendiri

c.       Dasar-Dasar Akhlaq
1.      Al-quran
Dalam quran QS.Al-qalam:4 yang artinya
“sesungguhnya engkau (Muhammad SAW) adalah orang yang berakhlak mulia ”
Penggunakan istilah khulukun ‘adhim menunjukan keagungan dan keangkuhan moralitas rosulullah SAW.


2.      Hadits
Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa “sesungguhnya saya ini diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”
Hadits tersebut menunjukan bahwa akhlak menempati posisi kunci dalam kehidupan umat manusia, maka substansi misi rosulullah SAW sendiri adalah untuk menyempurnakan akhlak seluruh umat manusia agar dapat mencapai akhlak yang mulia.

d.      Tujuan Akhlak
Tujuan akhlak adalah untuk mencapai kebahagiaan hidup umat manusia dalam kehidupannya baik didunia maupun diakhirat.
Seseorang yang berakhlakul karimah pantang berbohong sekalipun terhadap diri sendiri dan tidak pernah menipu apalagi menyesatkan orang lain.
e.       Karakteristik Akhlak dalam Islam
1.      Akhlak meliputi hal-hal yang bersifat umum dan terperinci.
Dijelaskan dalam QS.An-Nahl ayat 90 yang menyuruh perintah untuk berakhlak secara umum: untuk berbuat adil, berbuat kebaikan, melarang perbuatan keji dan munkar dan permusuhan.
Sedangkan contoh ayat yang menjelaskan akhlak secara terperinci adalah QS.Al-Hujurat: 12 menujukan larangan untuk saling mencela, serta memanggil dengan gelar yang buruk.
2.      Akhlak bersifat menyeluruh
Menurut At-Tahawani (abad 2 H), penyusun Kasysyaf Isthilahat al-funun mendefinisikan ilmu akhlak yang disebutkan dangan istilah ilmu-ilmu perilaku sebagai “pengetahuan tentang apa yang baik dan tidak baik”
            Dengan bahasa lain, ilmu ini membahas tentang diri manusia dari segi kecenderungan-kecenderungannya, hasrat-hasratnya, dan beragam potensi yang membuat manusia condong pada kebaikan atau keburukan. Ia juga membahas perilaku manusia dalam menghiasi diri dengan keutamaan dan menjauhkan diri dari perilaku buruk dan rendah.




B.     TASAWUF
a.      Pengertian Tasawuf
Tasawuf dalam pengertian umum berarti kecenderungan mistisme universal yang ada sejak dahulu kala, berasaskan sikap zuhud terhadap keduniaan (asketisme), dan bertujuan membangun hubungan (ittishal) dengan al-mala’ yang merupakan sumber kebaikan, emanasi, dan ilumunasi .
Dengan pengertian ini, tasawuf bukan monopoli umat tertentu, kebudayaan tertentu, agama tertentu, maupun aliran filsafat tertentu. Ia hadir di tengah masayarakat yunani kuno dalam filsafat Phytagoras. Di kalangan bangsa persia, ia mewujud dalam filsafat Mani dan Zaroaster, sedangkan di india mistisme terkandung dalam ajaran budhisme, brahma, dan kitab wedha.
b.      Latar Belakang Timbulnya Tasawuf
1)      Zaman Nabi
Meskipun secara tekstual tidak ditemukan ketentuan agar umat Islam melaksanakan tasawuf akan tetapi kegiatan tasawuf telah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw sebelum diangkat menjadi rasul, ia telah berulang kali pergi ke Gua Hira dengan membawa sedikit perbekalan. Tujuannya disamping untuk mengasingkan diri dari masyarakat kota Mekkah yang sedang hanyut dalam kehidupan kebendaan dan penyembahan berhala, juga untuk merenung dalam rangka mencari hakekat kebenaran yang disertai dengan melakukan banyak berpuasa dan beribadah, sehingga jiwanya menjadi semakin suci.
Peri hidup Rasulullah dan sahabat-sahabatnya tidak didasarkan pada nilai-nilai material, nilai-nilai yang bersifat duniawi, misalnya mencari kekayaan pribadi, tetapi bertumpu pada nilai-nilai ibadah, mencari keridhaan Allah Swt Akhlak mereka demikian tinggi, tunduk, patuh kepada Allah, tawadhu’ (merendah diri) dan sebagainya, bagaikan tanaman padi, kian berisi kian merunduk. Peri hidup Nabi dan para sahabatnya yang terpuji (akhlaqul karimah) tersebut antara lain:
a)      Hidup zuhud (tidak mementingkan keduniaan).
b)      Hidup qanaah (menerima apa adanya).
c)      Hidup taat (senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya).
d)     Hidup istiqamah (tetap beribadah).
e)      Hidup mahabbah (sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, melebihi cinta kepada dirinya dan makhluk lainnya).
f)       Hidup ubudiah (mengabdikan diri kepada Allah).
Jadi tasawwuf  itu pada dasarnya adalah pindah dari suatu hal keadaan kepada suatu hal keadaan yang lain. Pindah dari alam kebendaan kepada alam kerohaniaan.
Mengenai kehidupan Nabi Muhammad saw telah banyak diceritakan, betapa kesederhanaan rumah tangga beliau sehari-hari. Jangankan perabot rumah tangga yang serba mewah dan makanan yang lezat-lezat, alat-alat rumah tangga yang sederhana saja tidak lengkap begitu juga dalam hal makanan, makanan yang biasa untuk makan sehari-hari saja kadang tidak ada. Ia tidur di atas sepotong tikar bukan di atas kasur yang empuk, makanan yang dihidangkan istrinya hanyalah sepotong roti kering yang dengan segelas air minum, dengan sebutir korma atau dua butir korma.
Dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari diceritakan bahwa Aisyah pernah mengeluh kepada keponakannya, Urwah, seraya berkata, “Urwah, lihatlah, kadang-kadang berhari-hari dapurku tidak menyala dan aku bingung karenanya”. Urwah bertanya, “Jadi, apakah yang kamu makan sehari-hari?” Aisyah menjawab, “Paling untuk yang menjadi pokok itu adalah korma dan air, kecuali jika ada tetangga-tetangga Anshar mengantarkan sesuatu kepada Rasulullah, maka dapatlah kami merasakan seteguk susu”. Rasulullah menegaskan, “Kami adalah golongan yang tidak makan kecuali kalau lapar dan jika kami makan tidaklah sampai kenyang”.
Dikisahkan pula pada suatu hari Rasulullah pergi ke masjid. Disana ia berjumpa dengan Abu Bakar dan Umar. Ia bertanya, “Apa yang menyebabkan sahabat-sahabat ini keluar masjid?” Abu Bakar dan Umar menjawab, “Untuk menghibur diri dari lapar”. Rasulullah berkata pula, “Aku pun keluar untuk menghibur laparku. Marilah kita pergi ke rumah Abul Hasim, barangkali di sana ada sesuatu yang boleh di makan.
Rasulullah sering berpuasa sunat, maksudnya antara lain agar saat-saat lapar itu tidak sia-sia, tetap dalam ibadah kepada Allah. Kerap kali pula ia beribadah di mesjid. Setelah beberapa waktu berada di mesjid, ia pulang ke rumahnya dan bertanya kepada Aisyah, “Wahai Aisyah, adakah hari ini sesuatu yang dapat dimakan?” Tatkala Aisyah menjawab bahwa tidak ada sesuatu pun yang dapat dimakan, ia kembali lagi ke mesjid dan menghabiskan waktunya untuk sembahyang sunat. Beberapa saat kemudian ia kembali ke rumahnya dan bertanya kepada Aisyah tentang makanan, Aisyah menjawab seperti jawaban semula. Hal seperti itu dilakukan Rasulullah sampai beberapa kali dan mendapat jawaban yang sama, sampai akhirnya ia mendapatkan sepotong roti di rumahnya dari pemberian Usman bin Affan.
Aisyah menerangkan lebih lanjut bahwa keluarga Muhammad dalam sehari tidak pernah makan sampai dua kali. Makanan disimpan di rumah tidak lebih dari sepotong roti untuk dimakan tiga orang.
Nabi Muhammad-lah yang pertama kali memberikan contoh tentang hidup sederhana, tentang menerima apa adanya, menjadikan hidup rohani lebih tinggi daripada hidup kebendaan yang mewah penuh ria, dan mengajak manusia untuk meninggalkan berburu kekayaan duniawi berlebihan sehingga melupakan tujuan hidup manusia yang pokok. Ia pula yang mengajarkan bahwa kekayaan dan kesenangan duniawi itu tidak abadi, oleh sebab itu ia mengajak kepada manusia untuk meraih kelezatan hidup yang lebih tinggi dan abadi, yakni dengan mendekatkan diri kepada zat Yang Maha Pencipta, Maha Kuasa, Allah SWT. Hidup kerohanian tersebut bertujuan untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah. Hal ini dinyatakan dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Artinya :
Tidak Kami ciptakan manusia dan Kami Tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami dekat kepada manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya. (QS. Al-Qaf : 16)
juga firmannya lagi:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
Artinya:
Jika hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku, maka sesungguhnya Aku dekat, dan aku akan mengabulkan seruan yang memanggil jika Aku dipanggil (doa orang yang memanjatkan doa). (QS. Al-Baqarah :186)
Dari Ibnu Mas’ud diceritakan bahwa ia pernah masuk ke rumah Rasulullah dan didapatinya Rasulullah sedang berbaring di atas sehelai anyaman daun korma sampai memberikan bekas pada pipinya. Dengan rasa haru Ibnu Mas’ud bertanya, “Rasulullah, apakah tidak baik kalau aku mencarkan sebuah bantal untukmu?” Rasulullah menjawab, “Aku tidak memerlukan itu. Aku di dunia adalah laksana seorang yang sedang bepergian, sebentar berteduh di kala hari sangat terik di bawah naungan pohon kayu yang rindang untuk kemudian berangkat lagi dari situ ke arah tujuannya”.
Sehubungan dengan harta benda dikisahkan pula bahwa pada suatu hari pernah diletakkan di hadapan Rasulullah tujuh puluh ribu dirham emas, pada hari itu juga semua uang emas itu dibagi-bagikan tanpa sekepingpun yang tertinggal. Dalam kaitan dengan hal ini diceritakan pula dalam sejarah bahwa ketika Nabi sedang sakit dan menjelang akhir hayatnya, ia teringat bahwa di rumahnya masih tersimpan tujuh buah dinar emas. Dalam keadaan sakit payah, ia memanggil ahli rumahnya untuk segera membagi-bagikan mata uang tersebut kepada fakir miskin. Cerita ini dibenarkan oleh Aisyah yang mengaku bahwa ia lupa kalau ia menyimpan uang itu, karena kesibukan mengurus Nabi yang sedang sakit Tatkala orang bertanya kepadanya, apa yang diperbuatnya dengan tujuh dinar itu, ia menjawab, bahwa ia segera pergi mengambilnya dan menyerahkan kepada Rasulullah Aisyah bertanya mengenai bagaimana perasaan Rasulullah ketika menghadap Tuhan dengan mata uang di tangannya. Lalu Rasulullah membagi-bagikan mata uang itu kepada fakir-miskin, sedangkan ia sendiri pergi menghadap Tuhannya dengan pakaian yang kasar.
Begitu kesederhanaan Rasulullah, sehingga pada waktu wafat pun ia tidak meninggalkan untuk keluarganya uang barang sedinar atau sedirham pun.
Abdurahman bin Auf menceritakan, bahwa pada waktu Nabi wafat tidak ada sesuatu yang ditinggalkannya, kecuali sepotong roti, sebilah pedang, dan seekor keledai yang biasa menjadi tunggangannya sehari-hari, serta sebidang tanah yang sudah diwakafkan.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Tabrani, dan Baihaqi, Rasulullah bersabda, “Zuhudlah terhadap dunia, supaya Tuhan mencintaimu. Dan Zuhudlah pada yang ada di tangan manusia supaya manusia pun cinta akan engkau.
Hidup secara zuhud sudah dilakukan Rasulullah sebelum ia menjadi Rasul Ketika itu Muhammad suka menyendiri, berkhalwat atau bertafakur di Goa Hira. Di sana ia memikirkan dan merenungi alam raya ini dengan segala isinya. Ia renungi semua itu dengan mata hatinya. Dengan demikian pandangan lahir bathinnya menjadi sangat bersih dan suci, kepribadiannya sangat sempurna. Ia memang seorang manusia seperti kita, tapi qalbu yang ada di dalam dirinya bersih dan suci, sehingga ia dapat dengan cepat menerima dan merasa apa yang bersifat suci. Sungguh layak jika Muhammad menerima wahyu dari Yang Maha Suci. Fiman Allah:
وَكَذَلِكَ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ رُوحاً مِّنْ أَمْرِنَا مَا كُنتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلَا الْإِيمَانُ وَلَكِن جَعَلْنَاهُ نُوراً نَّهْدِي بِهِ مَنْ نَّشَاء مِنْ عِبَادِنَا وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَى صِرَاطٍ مُّسْتَقِيمٍ
Artinya:
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan Al-Qur’an itu cahaya, yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus. (QS. Asy Syuura: 52)
Menurut Syekh Abdul Baqy Surur, bahwa tahannus Rasulullah di Goa Hira, merupakan cahaya-cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf, itulah cikal-bakal atau benih-benih pertama bagi kehidupan kerohanian yang disebut dengan ilham hati atau renungan-renungan Ruhaniyat.
Cara hidup Nabi di Goa Hira merupakan gambaran yang lengkap bagi kehidupan sufi. Renungan-renungan Nabi di Goa Hira mengenai alam raya membawanya untuk merasakan kebesaran dan keagungan Allah. Di tempat yang sunyi sepi itu pula Nabi melupakan dan memutuskan hubungan, menjauhkan ingatan dari semua makhluk, hanya ada satu dalam ingatannya, yakni Allah Swt.
Menurut para ahli tasawuf, cara-cara yang dilakukan Nabi di Goa Hira merupakan jalan-jalan pertama dan utama untuk sampai kepada kasyaf, untuk memperoleh limpahan-limpahan ilham dan untuk memperoleh isyraq atau pancaran Nur dari Allah. Semua itu ibarat jalan adalah jalan yang mendaki, yakni pendakian bathin ke arah usaha menghubungkan diri dengan Allah yang Maha Pencipta dan Maha Agung. Sesudah menjadi Rasul, Rasulullah meneruskan taqarub (mendekatkan diri) kepada Allah dengan berzikir, istighfar, shalat tahajud sampai jauh malam. Ia memperkuat bathinnya dengan menjalani hidup kerohanian.
Untuk itulah Rasulullah menyediakan ruangan khusus di samping mesjid Madinah untuk tempat tinggal dan pendidikan dalam ilmu agama untuk para sahabat Nabi yang ikhlas mengikuti perjuangan Nabi menyebarkan Islam dan mau menjalani hidup kerohanian. Mereka itu disebut Ahl Suffah. Pada mulanya jumlah mereka 400 orang, lambat laun bertambah sampai berlipat ganda. Mereka mempunyai akhlak yang luhur, iman dan keyakinan mereka sangat kuat, ketawakalan dan keikhlasan mereka sangat luhur. Rasulullah pernah berkata kepada Abu Hurairah, “Ahl Suffah itu adalah tamu-tamu orang Islam, mereka tidak mempunyai keluarga, tidak mencintai harta benda, dan tidak terikat kepada seseorang manusia pun, hatinya hanya tertuju kepada Allah dan Rasul-Nya.
Demikianlah keteladanan hidup kerohanian dari Rasulullah kemudian menjadi contoh sikap hidup para sahabatnya. Imam Ghazali berpendapat, “Bahwa aku yakin benar-benar kaum suffi itulah yang telah menempuh jalan yang dicontohkan oleh Nabi dan yang dikehendaki oleh Allah Taala.”

2)      Zaman Sesudah Nabi
Setelah Nabi Muhammad saw wafat, kekhalifahan Islam diteruskan oleh para sahabatnya, yakni Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Meskipun menjadi khalifah atau kepala negara yang biasanya hidup serba mewah, namun cara-cara hidup mereka tidak sedikitpun mencerminkan hidup mewah sebagaimana kehidupan raja-raja pada umumnya. Mereka tetap hidup sederhana, wara’, tawadhu’, zuhud sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi.
Sebagai contoh berikut ini dikemukakan salah satu sisi dari kehidupan para khalifah tersebut. Menurut riwayat bahwa Abu Bakar Siddiq hidup dengan sehelai kain saja. Terhadap lidahnya sendiri ia berkata, “Lidah inilah yang senantiasa mengancamku”. Dan ia berkata pula, “Apabila seorang hamba Allah telah dimasuki rasa berbangga diri karena sesuatu dari hiasan dunia ini, Maka Allah akan murka kepadanya, sampai perhiasan itu diceraikannya.”
Pandangan hidup beliau adalah bahwa sifat dermawan adalah buah dari taqwa, kekayaan adalah buah dari keyakinan dan martabat didapat sebagai buah dari tawadhu’.
Umar bin Khatab pun memiliki jiwa yang bersih dan kesucian rohani yang tinggi. Rasulullah pernah berkata tentang diri Umar, bahwa Allah telah meletakkan kebenaran di ujung lidah Umar dan hatinya. Pangkat khalifah yang merupakan kekuasaan tertinggi tidak mengurangi nilai kehidupan rohaninya, bahkan sejak menjadi khalifah kehidupan kerohaniannya semakin ia tingkatkan. Pernah pada suatu ketika datang kiriman zakat dari negeri Yaman, lalu diadakan pertemuan besar, karena Khalifah hendak memberikan nasihatnya. Dalam nasihat tersebut ia mengharapkan agar semua yang hadir mematuhi nasihatnya. Tiba-tiba salah seorang yang hadir berdiri seraya berkata, “Kami tidak akan taat kepada engkau ya, Amirul Mukminin!”. Khalifah bertanya, “Mengapa?” Lalu orang itu berkata pula, “Bagaimana kami akan taat, Tuan membagi-bagikan zakat kiriman yang dari Yaman ini kepada orang lain, sementara Tuan hanya mengambil sebagian kecil saja, padahal pakaian Tuan hanya satu persalinan, tidak ada pakaian musim panas dan tidak ada pakaian musim dingin. Sebelum tuan mengambil satu persalinan lagi, kami tidak akan taat” Mendengar sanggahan orang itu khalifah Umar merasa sulit untuk menjawab, lalu ia berpaling kepada puteranya yang bernama Abdullah, dan berkata, “Hai Abdullah, bagaimana menurut pendapatmu?” Abdullah pun berdiri dan berkata kepada penyanggah itu, “Jika masalahnya hanya pakaian yang satu persalinan lagi, biarlah saya yang akan menanggungnya.” Mendengar jawaban Abdullah, orang yang menyanggah tadi merasa puas dan menyatakan akan patuh dan taat kepada khalifah.
Usman bin Affan adalah Khalifah yang ketiga. Ia adalah seorang Khalifah yang berada. Walaupun ia banyak harta, tetapi ia tetap memperhatikan hidup yang sederhana. Hartanya digunakan untuk menolong yang lemah, untuk perjuangan mengembangkan agama Islam. Ia terkenal orang yang senantiasa membaca dan menelaah Al-Qur’an, Tentang Al-Qur’an ia pernah berkata, “Ini adalah surat yang dikirim oleh Tuhan-Ku. Tidak layak jika ada seorang hamba melalaikan surat dari tuannya. Hendaklah senantiasa dibaca, agar supaya segala isi surat itu dapat dijalankannya.” Menurut riwayat, Usman bin Affan wafat dibunuh oleh pemberontak ketika sedang membaca Al-Qur’an.
Khalifah Ali bin Abi Thalib pun tidak kurang ketinggian hidup kerohaniannya. Dalam tugas-tugasnya yang besar dan mulia, menyebabkan ia tidak perduli bahwa pakaian yang dikenakannya telah  robek.   Ketika  pakaiannya  robek,  ia  sendiri  yang menambalnya. Pernah orang bertanya, “Mengapa sampai begini, Amirul Mukminin?” Beliau menjawab, “Untuk mengkhusyu’kan hati dan untuk menjadi teladan bagi orang yang beriman.
Selain dari sahabat Nabi yang empat sebagaimana disebutkan di atas, hidup kerohanian juga dilaksanakan oleh sahabat-sahabat yang lain, di antaranya adalah Huzaifah bin Yaman. Ia terkenal salah seorang sahabat Nabi yang zahid.
Ia menjadi tempat bertanya pula mengenai ilmu yang pelik-pelik. Umar sering datang kepada Huzaifah untuk menanyakan apakah pada dirinya terdapat kesalahan atau tanda-tanda munafik, atau apa sikap-sikap yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, kadang-kadang Huzaifah mengecam Umar dan Umar pun dengan ikhlas memperbaiki atas segala kekhilafannya.
Kepopuleran Huzaifah tersebar ke daerah-daerah di luar negeri Arab. Demikianlah, Hasan Basri, seorang tokoh sufi yang terkenal datang berguru kepada Huzaifah.
Sahabat lain yang dengan tegas menentang gaya hidup mewah adalah Abu Dzar Al-Ghiffari. Ia melihat bahwa ketulusan beragama sudah mulai lemah, karena pengaruh harta, dan justru hal yang demikian, bahkan pula dilakukan oleh gubernur Muawiyah, yang semestinya menjadi teladan dengan berani dan terus terang menentang pengumpulan harta benda untuk kepentingan diri sendiri. Abu Dzar berpegang kepada ayat Al-Qur’an:
وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ وَلاَ يُنفِقُونَهَا فِي سَبِيلِ اللّهِ فَبَشِّرْهُم بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Artinya: Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka berita bukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. (Q.S At-Taubah:34)
Sikap Abu Dzar yang demikian, oleh Muawiyah dipandang sebagai pengganggu ketenteraman umum, Abu Dzar dituduh telah membangkang terhadap pemerintah yang sah dan melemahkan semangat perjuangan. Fitnah ini disampaikan kepada Khalifah Usman. Akibatnya, Khalifah Usman mengasingkan Abu Dzar ke luar kotaMadinah, ke sebuah dusun bernama Rizbah.
Dengan peristiwa yang dialami Abu Dzar ini, mulailah muncul golongan kaum Zahid, yaitu golongan yang mengutamakan hidup kebathinan dan kerohanian.
Setelah Abu Dzar orang yang terkenal menentang cara hidup mewah pada masa sahabat, terkenal pula nama Said bin Zubair seorang tabi’in yang kuat pribadinya. Ia seorang zahid yang betul berani mengusir siapa saja yang bersalah, walaupun yang bersalah itu seorang Khalifah, ia mengangkat Gubernur Irak, seorang tokoh yang gagah perkasa, namun terkenal kejam, bernama Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi. Hajjaj tidak segan-segan membunuh orang untuk menegakkan kekuasaan Bani Umayah. Melihat tindakan semena-mena itu, Sa’id Zubair sangat kecewa. Ia tidak takut sedikitpun kepada keperkasaan Hajjaj dan tetap berani menegurnya. Tentu saja Hajjaj merasa tersinggung. Maka dituduhnya seorang pencinta Ali, bermadzhab Syi’ah, yaitu Mashab yang sangat dibenci saat itu. Sa’id pun ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Ketika akan dibunuh, Hajjaj berkata kepada algojo, “Jangan hadapkan mukanya ke arah kiblat, biar dia mati membelakangi kiblat. Sa’id menjawab, “Kemana pun engkau hadapkan mukaku, disanalah wajah Allah.”

c.       Objek Tasawuf
Objek pembahasan tasawuf ialah jiwa manusia, tasawuf membahas tentang sikap jiwa manusia dalam hubungan dengan Allah dan sikapnya dalam berhubungan dengan sesama makhluk. Dalam hal ini tasawuf ingin membersihkan hati itu dari sifat-sifat buruk dan tercela dalam rangka hubungan tersebut, bila hati sudah suci dan bersih dari noda atau kotoran niscaya akan baiklah kehidupan manusia itu, rosulullah SAW bersabda:
“ketahuilah bahwa didalam tubuh manusia itu ada segumpal darah, bila segumpal datrah itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, dan bila segumpal darah itu buruk, maka buruklah tubuh seluruhnya. Segumpal darah itu adalah hati.” (HR.Bukhori dan Muslim).

d.      Tujuan Tasawuf
Tasawuf  diciptakan sebagai media lintasan untuk mencapai  maqashid al-syar’i (tujuan-tujuan syara’). Adapun tujuan-tujuan tasawuf adalah sebagai berikut:
1)      Berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil
2)      Melepaskan diri dari penyakit-penyakit kalbu
3)      Menghiasi diri dari akhlak-akhlak yang mulia
4)      Menggapai derajat ikhsan dalam ibadah
5)      Menstabilkan akidah shuhbah ilahiyah (persahabatan ketuhanan),dalam arti bahwa Allah SWT. melihat hamba-hambaNya dari atas arasy dan meliputi mereka dari segala arah dengan ilmu,kekuasaan(qudrat), pendengaran(sama’), dan penglihatan(bashar)-Nya.
6)      Menggapai kekuatan iman yang dulu pernah dimiliki para sahabat Rasulullah saw, menyebarkan ilmu-ilmu syariat dan meniupkan ruh kehidupan kepadanya, sehingga karenanya dihasilkan motifasi bagi kaum muslimin untuk dapat memimpin kembali umat-umat, baik ilmiah, pemikiran, keagamaan maupun politik. Selain itu, mereka juga mampu mengembalikan kepemimpinan global  ke pangkuannya, baik peta politik maupun ekonomi, serta dapat menyelamatkan bangsa-bangsa yang ada dari alienasi dan kehancuran.

C.           HUBUNGAN ANTARA AKHLAK DAN TASAWUF
Hubungan antara akhlak dengan tasawuf sangatlah erat dan bisa dikatakan seperti dua mata uang, karena untuk mencapai akhlak yang mulia diperlukan proses-proses yang biasanya dilakukan oleh kalangan mutashawwifin (pengamal tasawuf). Sementara bagian yang terpenting dalam tasawuf adalah pencapaian akhlak yang mulia disamping hal-hal yang terkait dengan kebutuhan.
Apa yang dilakukan kalangan mutashawwifin akhirnya akan membuahkan pada akhlak mulia. Namun demikian tidak semua kajian dan pengalaman tasawuf masuk ke bidang akhlak. Oleh karena itu akhlak tasawuf adalah proses-proses pencapaian akhlakul karimah melalui metode tasawuf yang diilhami oleh kehidupan para salafus shalih.
Akhlak tasawuf ini menjadi penting untuk menghindari kajian akhlak yang hanya berada pada tataran pemikiran dan wacana yang tentu akan jauh untuk dapat memberikan bekas pada mahasiswa menjadi orang-orang yang memiliki akhlak mulia. Dilain pihak akhlak tasawuf juga berguna untuk membatasi kajian salah satu aspek dalam dunia tasawuf, yaitu tasawuf akhlaki, yang berarti mengesampingkan tasawuf falsafi.
Secara singkat akhlak tasawuf memfokuskan pada dataran Tazkiyah al-Nafs (penyucian jiwa) yang sering diistilahkan juga dengan tathahur, tahaquq dan takhaluq, membersihkan diri dari sifat madzmumah (tercela) dan menghiasi dengan akhlak mahmudah (terpuji). Hal yang perlu di perhatikan adalah faktor dari sekedar fikri (pemikiran) dan nadzari (teoritis).
Selama ini terlalu banyak orang berbicara akhlak akan tetapi tidak bisa memberi sibghah menjadikan mahasiswa berakhlakul karimah. Hal ini terjadi karena pembahasan akhlak biasanya hanya berbicara pada ranah kognitif tanpa disertai ranah afektif dan psikomotorik. Yang terjadi banyak mahasiswa mendapatkan nilai tinggi dalam mata kuliah akhlak akan tetapi rendah akhlaknya. Sehingga dari penyajian akhlak tasawuf secara komprehensif ini diharapkan pembelajaran akhlak dapat diperoleh hasil semaksimal.

0 Comments:

Post a Comment