Header Ads

29 August 2016

Konsep Ma’rifat dalam tasawuf







Hasil gambar untuk Konsep Ma’rifat dalam tasawuf      

Konsep Ma’rifat dalam tasawuf
(the gnosis)

Tujuan utama yang menjadi inti ajaran tasawuf adalah mencapai penghayatan ma’rifat pada dzatullah.
Ma’rifat  berasal  dari  bahasa  arab,  yakni  kata  arafa, ya’rifu, irfan, ma’rifat yang  berarti  pengetahuan  dan pengalaman.  Ma’ rifat juga berarti pengetahuan yang mendalam tentang rahasia hakikat agama.  Ma’ rifat ini berupa ilmu yang lebih tinggi daripada yang didapati manusia pada umumnya. Ma’rifat ini dalam tasawuf adalah penghayatan atau pengamalan kejiwaan. Oleh karena itu, alat untuk menghayati Dzat Allah bukan pikiran atau panca indra, akan tetapi hati atau kalbu (القلب ). Dalam ajaran tasawuf gati atau kalbu ini merupakan organ yang amat penting, karena dengan mata hatilah mereka merasa bisa menghayati segala rahasia yang ada dalam alam gaib dan puncaknya adalah penghayatan ma’rifat pada Dzatullah. Dalam bab tentang keajaiban hati, Imam al-Ghazali mengatakan :
فشرف الإنسان وفضيلته التي فاق بها جملة من أصناف الخلق باستعداده لمعرفة الله سبحانه التي هي في الدنيا جماله وكماله وفخره وفي الآخرة عدته وذخره وإنما استعد للمعرفة بقلبه لا بجارحة من جوارحه فالقلب هو العالم بالله
وهو المتقرب إلى الله وهو العامل لله وهو الساعي إلى الله وهو المكاشف بما عند الله ولديه وإنما الجوارح أتباع وخدم وآلات يستخدمها القلب ويستعملها استعمال المالك للعبد واستخدام الراعي للرعية والصانع للآلة فالقلب هو المقبول عند الله إذا سلم من غير الله وهو المحجوب عن الله إذا صار مستغرقاً بغير الله وهو المطالب وهو المخاطب وهو المعاتب وهو الذي يسعد بالقرب من الله فيفلح إذا زكاه وهو الذي يخيب ويشقى إذا دنسه ودساه وهو المطيع بالحقيقة لله تعالى وإنما الذي ينتشر على الجوارح من العبادات أنواره وهو العاصي المتمرد على الله تعالى وإنما الساري إلى الأعضاء من الفواحش آثاره وبإظلامه واستنارته تظهر محاسن الظاهر ومساويه إذ كل إناء ينضح بما فيه وهو الذي إذا عرفه الإنسان فقد عرف نفسه وإذا عرف نفسه فقد عرف ربه وهو الذي إذا جهله الإنسان فقد جهل نفسه وإذا جهل نفسه فقد جهل ربه ومن جهل قلبه فهو بغيره أجهل. (إحياء علوم الدين ج 3 ص 2)
Kemuliaan dan kelebihan manusia yang mengatasi segala jenis makhluk lainnya adalah kesiapannya untuk ma’rifat pada Allah SWT, yang di dunia merupakan keindahan, kesempurnaan, dan kebanggaannya; dan di akhirat merupakan harta kekayaan dan simpanannya. Adapun alat untuk mencapai penghayatan ma’rifat adalah kalbu (hati), bukannya anggota badan lainnya. Maka hati itulah yang alim terhadap Allah dan dia pula yang bertaqarrub (ibadah) pada Allah, dan hati pula yang beramal untuk Allah, dan dia pula yang berusaha menuju Allah, dan hati pula pembuka tabir untuk menghayati alam gaib yang berada di sisi Allah. Adapun anggota badan adalah khadamnya dan alatnya yang dipergunakan oleh hati, laksana sang raja memerintah pada hamba atau khadamnya, atau laksana gembala menghalau (memimpin) yang digembalanya, atau sang tukang mempergunakan perlengkapanya. Maka hati akan diterima Allah apabila bersih dari apa yang selain Allah, dan hati itu akan terdinding dari Allah apabila tertimbuni apa yang selain Allah. Maka hati itu yang disuruh Tuhan, dan hati pula yang diperintah untuk ibadah dan yang tercelanya. Hati itu yang berusaha mendekatkan diri pada Allah, maka berbahagialah bila hatinya bersih dan sebaliknya tidak akan sampai pada Allah dan celaka bila hatinya kotor dan tersesat. Hatinya pula yang taat sesungguhnya pada Allah, adapun gerak ibadah semua anggota badan adalah pancaran hatinya. Dia itulah kalbu (hati), bila manusia kenal padanya pasti kenal akan dirinya sendiri, dan bila kenal akan dirinya, pasti kenal akan Tuhannya. Dan sebaliknya bila manusia tidak mengenal akan hatinya, pasti tidak kenal akan dirinya, dan bila tidak kenal akan dirinya, pasti kenal akan Tuhannya. Dan bila seseorang tidak kenal akan hatinya, pasti akan kenal terhadap apa saja yang selainnya.



Uraian diatas menunjukkan betapa pentingnya hati dalam ajaran tasawuf. Rumusan al-Ghazali lebih sederhana dan jelas. Mudah dimengerti. Beliau memang merupakan juru bicara yang terpercaya dalam kalangan para sufi. Imam al-Ghazali menekankan pada fungsi hati (qalbu) sebagai alat menganggap atau untuk melihat perbendaharaan yang tersembunyi dalam alam ghaib dan untuk ma’rifat pada Dzat Allah. Kemudian, al-Ghazali dalam kitabnya mengatakan :
فكما أن المهندس يصور أبنية الدار في بياض ثم يخرجها إلى الوجود على وفق تلك النسخة فكذلك فاطرالسموات والأرض كتب نسخة العالم من أوله إلى آخره في اللوح المحفوظ ثم أخرجه إلى الوجود على وفق تلك النسخة . (إحياء علوم الدين ج 3 ص 20)
seperti halnya para arsitek menggambar gedung yang akan dibangunnya di atas kertas, baru kemudian dilaksanakan pembangunannya sesuai dengan naskah alam semesta secara lengkap dari awal hingga akhirnya di dalam kenyataan sesuai dengan naskah tersebut. (Ihya’ ‘Ulum al-Din, III, hlm.20).

Dari nukilan ringkas di atas tampak bahwa Imam al-Ghazali mencoba menjelaskan hubungan antara ilmu laduniyah (ilmu ghaib yang ada di sisi Allah) yang ada dalam ajaran tasawuf disebut ilmu kasyaf, atau yang oleh Imam al-Ghazali disebut Ilmu ilhamiyah, dengan ilmu yang dipelajari para ilmuwan yang beliau sebut ilmu ta’limiyah. Hubungan antara keduanya menurut Imam al-Ghazali laksana hubungan naskah asli dengan duplikatnya (tindasannya). Jadi, mirip betul teori plato bahwa ilmu yang ada dalam alam ide itu lebih murni dari pada yang telah digelar dalam alam raya. Namun antara keduanya adalah persis sama, seperti halnya naskah asli dengan duplikatnya atau tindasannya. Ilmu laduniyah (ilhamiyah) bisa dicapai oleh para sufi melalui penghayatan kasyaf, sedang ilmu ta’limiyah hanya bisa dipelajari oleh para ilmuwan setapak demi setapak dengan merangkak-merangkak. Oleh karena itu para sufi tidak telaten belajar melalui pengkajian buku-buku atau penelitian secara gramet terhadap kenyataan alamiyah seperti halnya ilmuwan. Mereka ingin jalan pintas untuk menggapai sumber asli dari segala ilmu yang tersurat di Lauh al-Mahfudl. Dalam hal ini Imam al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din, III hlm.18 mengatakan :


فإذا عرفت هذا فاعلم أن ميل أهل التصوف إلى العلوم الإلهامية دون التعليمية فلذلك لم يحرصوا على دراسة العلم وتحصيل ما صنفه المصنفون والبحث عن الأقاويل والأدلة المذكورة بل قالوا الطريق تقديم المجاهدة ومحو الصفات المذمومة وقطع العلائق كلها والإقبال بكنه الهمة على الله تعالى ومهما حصل ذلك كان الله هو المتولي لقلب عبده والمتكفل له بتنويره بأنوار العلم وإذا تولى الله أمر القلب فاضت عليه الرحمة وأشرق النور في القلب وانشرح الصدر وانكشف له سر الملكوت وانقشع عن وجه القلب حجاب الغرة بلطف الرحمة وتلألأت فيه حقائق الأمور الإلهية فليس على العبد إلا الاستعداد بالتصفية المجردة وإحضار الهمة مع الإرادة الصادقة والتعطش التام والترصد بدوام الانتظار لما يفتحه الله تعالى من الرحمة
فالأنبياء والأولياء انكشف لهم الأمر وفاض على صدورهم النور لا بالتعلم والدراسة والكتابة للكتب بل بالزهد في الدنيا والتبري من علائقها وتفريغ القلب من شواغلها والإقبال بكنه الهمة على الله تعالى (إحياء علوم الدين ج 3 ص 19)








Jika engkau telah tahu yang demikian itu, katakanlah bahwa kecenderungan para ahli tasawuf ialah kepada ilmu-ilmu ilhami bukannya pada ilmu ta’limiyah (yang dipelajari), oleh karena itu  mareka tak bernafsu untuk mempelajari ilmu dan mengkaji kitab-kitab yang disusun para pengarangnya, dan membahas pendapat-pendapat mereka beserta dalil-dalil yang disebutkannya. Akan tetapi para sufi mengatakan jalannya adalah mendahulukan mujahadah (latihan rohani) dan menghapuskan segala sifat yang tercela, dan melepaskan segala kaitan hati dengan dunia secara keseluruhan, dan menghadapkan sepenuh hati hanya pada Allah-lah yang akan merahmati hati hambanya-Nya, dan terbukalah baginya rahasia alam gaib dan tersikaplah segala kealpaan dengan rahmat Allah, maka bercahayalah segala hakikat keilahiyan (ketuhanan). Maka yang diperlukan bagi hamba tak lain hanyalah mempersiapkan diri dengan pnyucian hati saja, dan menghadap-kan keteguhan kemauannya (terpusat pada Allah) dengan niat yang benar dan kerinduan jiwa yang meluap-luap, kemudian sabr menanti rahmat apa yang akan dibukakan Allah SWT. Para nabi dan para wali telah dianugrahkanterbukanya tabir, dan tersinari dada mereka dengan nur ilmi, bukan dengan jalan belajar dan mengkaji buku-buku yang tersurat. Akan tetapi hanya dengan perantaraan menjauhi (zuhud) pada keduniaan, dan melepaskan segala persangkutan hati (pada selain Allah), dan mengosongkan hati dari segala yang menyibukkan (mlalaikan), dan menekunkan pemusatan hati hanya pada Allah ta’ala saja.
Uraian diatas menunjukkan betapa erat kaitan antara penghayatan kasyaf dalam tasawuf denga ilmu gaib (occult science). Ilmu gaib memang merupakan anak kandung dari ajaran tasawuf. Bahkan ilmu gaib juga merupakan kebanggaan dan mereka jadikan tanda keluarbiasaan seseorang sufi. Ilmu gaib ini mereka namakan keramat dan mereka anggap atau bahkan mereka yakini sebagai khariqu al-‘adah (luar biasa), sejenis dengan mu’jizatnya para nabi. sufi menguasai ilmu gaib atau keramat mereka gelari sebagai wali Allah (the saint, orang yang suci kekasih Allah). Bahkan para sufi pada umumnya, dan khususnya Imam al-Ghazali memandang dan meyakini bahwa penghayatan kejiwaan yang mistis atau kasyaf itu sebagai wahyu minor, selapis nilainya di bawah wahyu kenabian.
 R.A. Nicholsan mengatakan bahwa tingkatan yang tertinggi daripada makrifat  tercapai bila kesadaran akan kefana’annya telah lenyap. Dengan demikian sang sufi penghayatannya menanjak terus ke arah lebih tinggi yang mereka sebut ma’rifat, dan kemudian Hakikat. Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa dasar pikiran sufisme (tasawuf) mengarah pada mengarah pada filsafat serba Tuhan. Menurut DR. Abdul Karim As-Salawi tanjakan yang harus ditempuh kaum sufi untuk mencapai ma’rifat ada tiga, yakni : 1. Syari’at, 2. Thariqah, 3. Hakekat.
Tasawuf pada dasarnya memang ekstrem kerohanian yang mengarah ke paham serba Tuhan. Sejak dari maqam tawakal, kemudina konsep ahwal dan akhirnya penghayatan fana. Yakni mengarah kepada kesadaran bahwa manusia itu sama sekali tidak punya ikhtiar, semua perbuatan dan gerakan semata-mata digerakkan oleh Allah SWT. Manusia laksana “wayang”, hanya bergerak bila digerakkan oleh sang dhalang (Tuhan).
Sebenarnya, upaya para sufi untuk menjalin hubungan dan mendapat petunjuk langsung dari Tuhan itu sendiri secara tidak langsung merupakan pemberontakan atau cetusan kurang mantap mereka hanya berpengang pada syariat dan ayat-ayat suci al-Qur’an yang telah tersurat. Mereka ingin lebih mantap melihat langsung secara face to face dengan Allah dan menerima wangsit sendiri dari Dia. Hal ini menunjukkan perbedaan yang mendasar antara ahli syariat sebagai para pencari syurgawi dengan menjalankan sesuatu sesuai syariat dengan para sufi sebagai pencari Tuhan. Pencari tuhan dengan ilmu kasyfi inilah timbul tradisi zikir dengan kifayat yang neka-neka, bid’ah, tanpa mengikuti cara-cara Rasulullah. Dan kasyaf inilah yang kemudian diungkapkan dengan istilah ma’rifat adalah munculnya filsafat atau kepercayaan yang neka-neka yang serba ghaib yang disebut khurafat.
Tasawuf sebagai gerakan pencarian Tuhan secara langsing sejak awal pertumbuhannya bisa dipandang merupakan gerakan protes. Cetusan kurang mantap mereka hanya berpengang pada syariat dan ayat-ayat suci al-Qur’an yang telah tersurat. Mereka ingin lebih mantap melihat langsung secara face to face dengan Allah dan menerima wangsit sendiri dari Allah. Dari segi ini berarti nilai wahyu dan syariat sedikit atau banyak berkurang dikalangan sufi. Surga dan Neraka tidak begitu penting atau  berkurang fungsinya bagi para sufi. Menurut logika sufisme dan mistik pada umunya, tujuan utama mereka adalah samapai kepada Allah dan itu merupakan tujuan nomer satu. Adapun jalan yang ditempuh atau thariqah apa saja adalah nomer dua. Karena dalam thariqah di ajaran ini telah disinggung bahwa jalan menuju Tuhan sebanyak bilangan bintang di langit atau sebanyak bilangan nafas manusia. Jalan ini diibarat kan semua sungai yang ada di dunia. Jika ditelusuri sungai itu akan berujung atau bermuara pada laut. Dan laut di dunia ini adalah menyatu atau memang hanya satu. Dari tamsil ini muncul ajaran tentang kesatuan atau kesamaan segala macam agama (wahdat al-adyan). Yang intinya agama apa saja, asal dijalankan dengan sungguh-sungguh, pasti akan sampai pada Tuhan. Sehingga logika ini menunjukkan bahwa syari’at itu relatif. Syariat agama apa saja sama benarnya dan dapat menghantar manusia sampai kepada Tuhan.
Ma’rifatullah (mengenal Allah) bukanlah mengenali dzat Allah, karena hal ini tidak mungkin terjangkau oleh kapasitas manusia yang terbatas. Sebab bagaimana mungkin manusia yang terbatas ini mengenali sesuatu yang tidak terbatas?. Segelas susu yang dibikin seseorang tidak akan pernah mengetahui seperti apakah orang yang telah membuatnya menjadi segelas susu.
Menurut Ibn Al Qayyim : Ma’rifatullah yang dimaksudkan oleh ahlul ma’rifah (orang-orang yang mengenali Allah) adalah ilmu yang membuat seseorang melakukan apa yang menjadi kewajiban bagi dirinya dan konsekuensi pengenalannya”.
Ma’rifatullah tidak dimaknai dengan arti harfiah semata, namun ma’riaftullah dimaknai dengan pengenalan terhadap jalan yang mengantarkan manusia dekat dengan Allah, mengenalkan rintangan dan gangguan yang ada dalam perjalanan mendekatkan diri kepada Allah.
Seseorang dianggap ma’rifatullah (mengenal Allah) jika ia telah mengenali
1.      Asma’ (nama) Allah
2.      Sifat Allah dan
3.      Af’al (perbuatan) Allah, yang terlihat dalam ciptaan dan tersebar dalam kehidupan alam ini.
                                                                                         
Kemudian dengan bekal pengetahuan itu, ia menunjukkan :
1.      Sikap shidq (benar) dalam ber -mu’amalah (bekerja) dengan Allah,
2.       Ikhlas dalam niatan dan tujuan hidup yakni hanya karena Allah.
3.      Pembersihan diri dari akhlak-akhlak tercela dan kotoran-kotoran jiwa yang membuatnya bertentangan dengan kehendak Allah SWT
4.      Sabar/menerima pemberlakuan hukum/aturan Allah atas dirinya
5.      Berda’wah/ mengajak orang lain mengikuti kebenaran agamanya.
6.      Membersihkan da’wahnya itu dari pengaruh perasaan, logika dan subyektifitas siapapun. Ia hanya menyerukan ajaran agama seperti yang pernah diajarkan Rasulullah Figur teladan dalam ma’rifatullah ini adalah Rasulullah SAW.

KONSEP DASAR TASAWUF

1.   Hulul

Kata “hulul” yang sinonimnya “infusion” diartikan dengan “penyerapan” yakni menyerap keseluruh bagian obyek yang dapat menerimanya (the infusion spreads to all part of the receptive obyec). Hulul yang demikian digambarkan oleh al-Hallaj “hulul lahut fi nasut” (penyerapan roh ketuhanan ke dalam tubuh manusia). Hulul yang seperti ini terjadi bilamana jiwa seseorang telah suci dan bersih di dalam menempuh perjalanan hidup batin dan kerohaniannya, berpindah dari satu maqam ke maqam yang lebih tinggi, dari awam Muslimin, Mukminin, Salihin, dan Muqarabin.
Pada tingkat muqarabin ini manusia telah dekat dirinya dengan Tuhan, Di atas tingkat muqarabin, roh ketuhanan (lahut) menyerap (masuk) ke dalam roh manusia dan (nasut) yang akhirnya lenyap (fana) lah roh kemanusiaan karena telah bersatu dengan roh ketuhanan laksana persatuan antara gula dengan air. Dalam kitabnya yang berjudul “Tawasin” al-Hallaj berkata
“Kau telah mencampur rohmu ke dalam rohku seperti percampuran air anggur dengan air murni. Apabila sesuatu menyentuhmu maka akupun tersentuh karena kau dan aku satu dalam segala hal”.

Pemikiran Al Hallaj berpangkal dari keyakinan bahwa Tuhan dapat ditemukan dalam kalbu masing-masing. Pemikiran tersebut mengantarkannya untuk merumuskan berbagai paham, diantaranya: kesatuan manusia dengan Tuhan (hulul), penciptaan alam melalui cahaya Muhammad (nur Muhammad), dan kesatuan segala agama (wahdatul adyan). Al Hallaj percaya bahwa Tuhan dapat mengambil tempat (hulul) dalam tubuh manusia yang telah membersihkan sifat kemanusiaannya. Pengalaman ini membuatnya mengeluarkan ucapan Ana Al Haq (Akulah Sang Kebenaran). Pernyataan tersebut menjadi salah satu pokok tuduhan bahwa Al Hallaj telah mengaku sebagai Tuhan. Berikut ini kami paparkan sebagian perkataan mereka : Al-Hallaj berkat: Maha Suci menampakkan sifat kemanusiannya, Kami rahasiakan sifat ketuhanannya yang cemerlang ,Kemudian Ia menampakkan diri pada mahluknya, Dalam bentuk orang yang sedang makan dan minum, Hingga mahluknya dapat menentukannya, seperti jarak antara kedipan mata dengan kedipan yang lain. Siapakah dia ? Dialah Rabbu Al-Arbab yang tergambar dalam seluruh bentuk pada hamban-Nya, Fulan.  Al-Hallaj percaya bahwa gambar Allah dalam manusia (nasut) bisa mencapai harus dipenuhi dalam persatuan dengan kodrat Ilahi (lahut) setelah yang dimodelkan. Dia melihat Yesus sebagai contoh tertinggi dimuliakan, atau disempurnakan, kemanusiaan, sebagai actualizer dari konsep Al-Quran tentang gambar Allah dalam manusia. (Yesus juga akan menjadi cap orang-orang kudus pada hari penghakiman.
Al-Hallaj menemukan dalam diri Yesus jenis yang sempurna "manusia didewakan," berubah menjadi wakil Tuhan, kesatuan ilahi akan dan alam. Dia, seperti Yesus, menjadi satu dengan al-Haqq ("The One True," atau "Kebenaran") dirinya sendiri. Jadi kita menemukan dia membuat pernyataan Yesus mengingatkan, barangkali dengan meditasi sadar pada angka ini di dalam Injil keempat.
Akulah Dia yang saya cintai, dan dia yang kucintai adalah aku, kami adalah dua jiwa tinggal dalam satu tubuh. Ketika kamu melihat saya, kamu lihat dia, dan ketika kamu melihat bahtera dia, kamu lihat kami.  Ini rasa persatuan dan kesatuan dengan Allah yang menuntunnya Kebenaran mengatakan dalam kesaksian, "Akulah Kebenaran", dan untuk ini ia dihukum mati. Untuk kaum Muslim ortodoks, ini penghujatan, karena Allah tidak akan bersekutu dengan ciptaan-Nya. Teologis ini juga ada masalah, karena hulul adalah istilah untuk doktrin Kristen dibenci inkarnasi, meskipun al-Hallaj tidak berarti bahwa dengan istilah itu. Lebih lanjut, istilah lahut dan nasut digunakan dalam kekristenan Suriah selama dua kodrat Kristus.
Hallaj bukan penganut panteisme, meskipun beberapa telah diklasifikasikan dia demikian. Dia tertarik dalam persekutuan pribadi dengan Allah. The pantheists belakangan memanfaatkan pikirannya, tetapi di abad yang mengikutinya bahwa panteisme berkembang, dengan Abu Sa'id Hallaj tidak pernah mengaku Allah menjadi segalanya, ia mengakui transendensi Allah. Tapi ia merasa Tuhan mengisi dia dan bekerja di dalam Dia.  Dia melihat dirinya, pada kenyataannya, sebagai tanda:  Jika kamu tidak mengenali Allah, setidaknya mengenali tanda-tanda-Nya, tanda bahwa Aku, Akulah Kebenaran Kreatif (ana 'l-haqq), karena melalui kebenaran, kebenaran selalu saya . Dan aku, sekalipun aku dibunuh dan disalibkan, dan meski tangan dan kaki dipotong - aku tidak menarik kembali. Kalau roh ketuhanan telah turun dan masuk serta bersatu dengan roh kemanusiaan apa saja yang keluar dari manusia semuanya dari Tuhan. Al-Hallaj dalam “Tawasin” berkata “Aku adalah engkau tidak diragukan, kemahasucianmu adalah juga kemahasucianku, mentauhidkan engkau adalah juga mentauhidkan aku, berbuat maksiat kepadamu juga berbuat maksiat kepadaku”. Karena itu menurut al-Hallaj manusia dapat menjelma menjadi Tuhan atau sekurangnya mempunyai sifat ketuhanan, bukan saja pada diri Isa bin Maryam bahkan siapa saja yang mampu menfanakan dirinya ke dalam Tuhan dan baqa di dalam Tuhan ia akan menjadi Tuhan dan pada saat itu tiak ada perbedaan antara dirinya sebagai nasut (manusia) dan Tuhan sebagai Lahut. Dalam bukunya “Tawasin” al-Hallaj berkata: Aku adalah rahasia al-Haq, bukankah al-Haq itu aku, bahkan aku adalah al-Haq, maka bedakan antara kami”. Perbedaan antara dirinya dengan Tuhan diterangkan al-Hallaj dalam bukunya “Tawasin” katanya “Tidak ada perbedaan antaraku dan antara Tuhanku melainkan dari dua sisi; adanya kami dari pada-Nya dan segala keperluan kami dari pada-Nya.

Apabila roh ketuhanan telah turun dan masuk ke dalam tubuh atau jasad, tidak ada kehendak yang berlaku melainkan kehendak Allah. Roh Allah telah menyerap ke dalam dirinya sebagaimana roh ketuhanan yang telah menyerap ke dalam tubuh Isa bin Maryam. Itulah sebabnya katanya Allah memerintahkan malaikat agar bersujud kepada Adam karena dalam tubuhs udah ada roh ketuhanan.

Al-Hallaj adalah pencetus teori hulul dalam kajian sufistik Hulul menurutnya adalah bahwa Tuhan memilih tubuh manusia tertentu untuk bersemanyam di dalamnya dengan sifat ketuhanan-Nya (lahut), setelah sifat kemanusiaan (nasut) yang ada pada manusia dilenyapkan. Ketika itu seorang sufi tidak sadar diri sehingga ucapan ganjil yang keluar dari mulutnya di luar kesadarannya, hal ini dalam kajian sufistik disebut syathahat. Namun al-Hallaj tidak menjelaskan bagaimana posisi nasut Tulian ketika hulul dengan manusia, dan ketika menyatunya lahut Tuhan dengan lahut manusia apakah ungkapan syathahat itu sepenuhnya dari Tuhan ataukah dari Tuhan dan manusia sekaligus.

Ajaran Hulul al-Hallaj dan ajaran Ittihad Abi Yazid sama-sama mengajarkan tentang persatuan antara Tuhan dan Hamba. Adapun letak perbedaannya kalau ittihad roh manusia naik dan menyatu kedalam diri Tuhannya (khaliq), sedangkan ajaran Hulul roh ketuhanan telah turun dan masuk ke dalam tubuh atau jasad sang hamba (makhluq).

1.      Wahdatul Wujud
Wahdatul Wujud mempunyai pengertian secara awam yaitu bersatunya Tuhan dengan manusia yang telah mencapai hakiki atau dipercaya telah suci. Pengertian sebenarnya adalah merupakan penggambaran bahwa Tuhan-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya. Allah adalah sang Khalik, Dia-lah yang telah menciptakan manusia, Dia-lah Tuhan dan kita adalah bayangannya. Dari pengertian yang hampir sama, terdapat pula kepercayaan selain wahdatul wujud. Yaitu Wahdatul Syuhud. Pengertiannya yaitu kita dan semuanya adalah bagian dari dzat Allah.           
Jadi keduanya berpengertian, kita dapat bersatu dengan dzat Allah. Dalam penggambaran karya-karya suluk di jawa yang berisi mengkritik ajaran para wali sembilan, misalnya suluk karya Syekh Siti Jenar (contoh lainnya adalah serat gatholokoco, dinamakan serat karena penulis suluk ini, Gatholokoco berpendapat bahwa suluk lebih cenderung ke islam), manusia dianggap memiliki 20 sifat-sifat Allah. Contohnya di antaranya; dzat Allah terdapat pada diri kita, jadi kita tidak perlu salat karena dzat Allah sudah ada pada diri kita (Jawa: Islam Abangan). Hal-hal tersebut di atas dianggap sangat bertentangan dengan syariat islam menurut pengertian umum, dan Syekh Siti Jenar dihukum oleh para wali sembilan. (Sejarah Syekh Siti Jenar tidak terlalu jelas).
Dalam dunia tasawuf, sering terdapat perbedaan antara ilmu syariat dan ilmu ma'rifat. Sebagai orang islam tentu saja diharuskan menguasai ilmu syariat. Dan ilmu ma'rifat atau ilmu tashawuf dengan kata lain ilmu hikmah, sangat ditekankan untuk mengambil sebuah hikmah. Hal tersebut telah diabadikan oleh Allah dalam Al-Qur'an Surat Al Kahfi tentang pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir. Hal tersebut menunjukan Ilmu Syariat yang dikuasai Nabi Musa dari kitabnya (Taurat) dan Nabi Khidir yang mendapatkan langsung ilmunya dari petunjuk Allah yang penuh hikmah atau ilmu ma'rifat.
Dalam penggambaran awal tersebut sudah ditunjukan betapa susahnya memahami ilmu ma'rifat dengan ilmu syariat. Penggambarannya adalah seperti pertemuan antara daratan dan lautan. Dimana Musa diberitahukan, ia akan menemukan orang yang lebih pandai darinya disaat ikan yang dibawanya hilang. Ikan mati tersebut hidup kembali di suatu tempat ketika Nabi Musa dan pembantunya beristirahat. Hal itu merupakan penggambaran ilmu yang sangat susah sekali dimana ikan mati dapat hidup kembali, seperti Nabi Musa yang tidak dapat bersabar melihat perilaku Nabi Khidir yang dilihat secara syariat sangat bertentangan. Tetapi hal tersebut dilakukan Nabi Khidir dari petunjuk Allah yang penuh dengan hikmah. Jadi tentu saja hal-hal ma'rifat hanya dapat dipahami secara pribadi bagi orang yang diturunkan kepadanya secara langsung.
Meskipun ilmu ma'rifat terlihat sangat bertentangan dengan ilmu syariat, tetapi sebenarnya tidak. Jadi ilmu tersebut dapat dikatakan ilmu tinggi yang digali dari perjalanan pikir para wali dan tidak untuk disebarluaskan. Hal tersebut seperti terjadi pada Syekh Siti Jenar yang mendengarkan wejangan yang diberikan oleh Sunan Ampel kepada orang yang akhirnya menjadi seorang wali, yaitu Sunan Bonang. Siti Jenar adalah orang awam yang salah tangkap menerima wejangan tersebut. Tetapi dari kedua konsep tersebut, para ulama masih berbeda pendapat.
Ilmu syariat dan ilmu ma'rifat akan selalu menemui kesulitan untuk diajarkan terutama ke masyarakat awam karena ilmu ma'rifat bersifat pribadi dan ghaib. Hal itu merupakan rahasia bagi orang yang menerimanya.

2.      Ittihad
Ittihad adalah paham yang dipopulerkan Abu Yazid al-Bustami. Ittihad sendiri memiliki arti "bergabung menjadi satu", sehingga paham ini berarti seorang sufi dapat bersatu dengan Allah setelah terlebih dahulu melebur dalam sandaran rohani dan jasmani (fana) untuk kemudian dalam keadaan baqa, bersatu dengan Allah. Dalam paham ini, seorang untuk mencapai Ittihad harus melalui beberapa tingkatan yaitu fana dan baqa'. Fana merupakan peleburan sifat-sifat buruk manusia agar menjadi baik. Pada saat ini, manusia mampu menghilangkan semua kesenangan dunia sehingga yang ada dalam hatinya hanya Allah (baqa). Inilah inti ittihad, "diam pada kesadara ilahi". Tokoh pembawa faham ittihad adalah Abu Yazid Al-busthami. Menurutnya manusia adalah pancaran Nur Ilahi, oleh karena itu manusia hilang kesadaranya [sebagai manusia maka pada dasarnya ia telah menemukan asal mula yang sebenarnya, yaitu nur ilahi atau dengan kata lain ia menyatu dengan Tuhan. Menurut aqidah islamiyah yang murni, Tuhan adalah maha Esa, bersifat dengan sifat-sifat-Nya yang sempurna, tidak dapat disekutui oleh sesuatupun. Zat, sifat dan perbuatan Allah adalah maha Esa, tidak menerima persekutuan. Jika Allah dapat bersatu dengan manusia atau alam semesta sebagaimana anggapan dan keyakinan dalam tasawuf falsafi, maka berarti hilanglah ke-maha Esaan-Nya, dan ini adalah mustahil bagi Allah SWT.

    II.            DAFTAR PUSTAKA
Simuh, tasawuf dan perkembangannya dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo,1996.

0 Comments:

Post a Comment