Oleh : ahmad
syafii*
Abstrak:
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di negara Republik Indonesia memiliki arti penting dalam proses perjalanan bangsa.
Namun demikian sejarah Bahasa Indonesia itu sendiri jarang diperhatikan oleh
banyak kalangan. Padahal, sejarah merupakan salah satu pijakan penting dalam
proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itulah tulisan kecil ini
ditulis, guna memberikan sedikit pengetahuan tentang sejarah perkembangan
Bahasa Indonesia dari zaman kerajaan, hingga zaman kontemporer saat ini.
Kata kunci : Bahasa
Indonesia, Sejarah, Ejaan.
PENDAHULUAN
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Republik
Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Bahasa Indonesia tidak terbentuk
secara otomatis. Namun melewati proses-proses akulturasi yang panjang. Lewat
proses-proses inilah, Bahasa Indonesia terbentuk menjadi bahasa tersendiri.
Juga tentunya menggunakan kata-kata serapan yang berasal dari bahasa-bahasa
dalam konteksnya.
Membicarakan bahasa tentu tidak akan pernah
lepas dari konteks masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut (penutur). Dalam
hal ini adalah masyarakat Indonesia. Sejarah Indonesia yang panjang tentu
mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia ini.
Banyak ahli bahasa mengatakan bahwa Bahasa
Indonesia berasal dari Bahasa Melayu. Lalu pertanyaannya, mengapa Bahasa Melayu
yang dipilih menjadi bahasa persatuan, mengapa tidak Jawa yang merupakan jumlah
penduduk terbesar?.
ZAMAN KERAJAAN
Bahasa Indonesia adalah salah satu varian dari Bahasa
Melayu. Yaitu sebuah bahasa Austronesia dari cabang-cabang bahasa Sunda-Sulawesi
yang digunakan sebagai Lingua Franca[1]
di nusantara sejak abad-abad awal penanggalan modern.
Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengatakan,
Bahasa Melayu dan ratusan bahasa daerah lainnya di nusantara sebenarnya berakar
dari Bahasa Austronesia yang mulai muncul sekitar 6.000-10.000 tahun lalu. Penyebaran
penutur bahasa Austronesia ini merupakan fenomena besar dalam sejarah umat manusia karena sebagai
suatu rumpun bahasa, Austronesia merupakan yang terbesar di dunia, meliputi
1.200 bahasa dan dituturkan oleh hampir 300 juta populasi. Masyarakat
penuturnya tersebar luas di wilayah sepanjang 15 ribu km meliputi lebih dari
separuh bola bumi, yaitu dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di ujung
timur, dari Taiwan-Mikronesia di utara hingga Selandia Baru di selatan.[2]
Aksara
pertama dalam Bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau
Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di
Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang
menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya
sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang
Hari, Jambi, dimana diketahui Bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan
dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu
berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Menurut
Drs. Zuber Usman, Bahasa Melayu menjadi pilihan bahasa pada masa kerajaan-kerajaan agama Hindu-Budha
dikarenakan memiliki keunggulan psikologis, yaitu karena kesederhanaan sifatnya
dan lebih demokratis[3].
Lebih lanjut dia menjelaskan, karena letak melayu (negeri-negeri yang
menggunakan Bahasa Melayu) di bagian barat menjadi pusat lalu lintas sejak
mulainya bahasa ini digunakan dalam perhubungan, baik sesama penduduk
nusantara, maupun dalam hubungan dagang dan kebudayaan dengan bangsa asing. Untuk itulah diperlukan kalimat atau susunan
perkataan yang sederhana dan tepat. Maka Bahasa Melayu yang bersifat sederhana
dapat diterima. Sebab itu pula membuat Bahasa Melayu menjadi tersebarluas.
Selian itu juga karena dalam Bahasa Melayu tidak di kenal tingkatan bahasa (bahasa
kasar dan bahasa halus) semakin memudahkan Bahasa Melayu di terima di
Nusantara.
Masuknya islam ke Indonesia
juga tidak kalah penting peranannya dalam proses perkembangan bahasa. Setelah Dinasti
Abasiyah runtuh banyak alim ulama dan kaum cendikiawan kerajaan Baghdad mengungsi
atau melarikan diri ke bagian dunia sebelah timur, ke Persia, Gujarat dan India.
Dari hal itu pula menjadikan dorongan bagi mereka untuk memasuki tempat-tempat
baru yang memiliki harapan untuk perkembangan ajaran islam juga untuk keperluan
keamanan diri.[4]
Pemusatan mubaligh islam di Samudra Pasai dan Malaka
dalam rangka penyiaran islam keseluruh nusantara menyebabkan lahirnya sebuah
bagian kebudayaan yang penting. Artinya lahirlah kasusastraan dan kepustakaan
islam dalam Bahasa Melayu dizaman kerajaan Malaka.
Masuknya agama Islam ke kepulauan nusantara,
membuat kedudukan Bahasa Melayu semakin penting. Para pembawa ajaran Islam
memanfaatkan Bahasa Melayu sebagai sarana komunikasi. Di samping itu, pembawa
ajaran Islam ikut memperkaya khasanah kosa kata dalam Bahasa Melayu.
ZAMAN PENJAJAHAN
Ketika para penjajah seperti Spanyol, Portugis,
Inggris, dan Belanda mulai memasuki wilayah nusantara, Bahasa Melayu sudah
berakar dimana-mana. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya perjanjian-perjanjian,
surat-surat juga pengumuman-pengumuman yang dilakukan antara raja-raja dengan
penjajah ditulis dengan Bahasa Melayu. Selama zaman penjajahan, Bahasa Melayu
telah menjadi bahasa administrasi dalam mendampingi penjajahan.
Pada
tahun 1901, Indonesia sebagai Hindia-Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan
pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia)
di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari
penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) Van Ophuijsen, dibantu oleh
Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Kemudian pada tahun
1908 Pemerintah Hindia-Belanda (VOC) mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku
bacaan yang diberi nama Commissie Voor De Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat).
Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie Voor De Volkslectuur
("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908, yang kemudian pada
tahun 1917 ia diubah menjadi Balai Pustaka. Balai itu menerbitkan buku-buku
novel seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam,
penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran Bahasa
Melayu di kalangan masyarakat luas.[5]
Istilah Bahasa Indonesia itu sendiri dimulai
dari kongres pemuda pertama (1928). Dalam kongres itu disepakati agar Bahasa
Indonesia menjadi bahasa persatuan. Dalam kongres itu, sebenarnya oleh Muhammad
Yamin diusulkan bahwa ayat ketiga dalam rancangan sumpah pemuda istilah yang
digunakan adalah Bahasa Melayu. Namun oleh M. Thabrani istilah itu tentang.
Menurut dia ketika sudah dinyatakan adanya bangsa dan tanah air Indonesia,
mengapa tidak disebut Bahasa Indonesia saja. Usulan tersebut diterima kemudian
jadilah nama Bahasa Indonesia yang digunakan hingga sekarang ini. Sebagai
catatan bahwa istilah Indonesia diciptakan oleh seorang dokter Inggris bernama George
Windsor Earl pada tahun 1850 yang dieja sebagai ‘Indunesian’, yang kemudian
oleh J.R.Logan diubah menjadi ‘Indonesian’.[6]
Sejak kongres pemuda ini, dikenal dua nama,
yaitu Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Namun kedua nama itu tidak tinggal
dua nama saja, melainkan dua wujud, dua bahasa. Pada waktu itu, ada kesan umum
bahwa Bahasa Indonesia cukup kacau. Oleh sebab itu, diselenggarakan kongres Bahasa
Indonesia I dengan tujuan untuk mencari pegangan bagi semua pemakai bahasa,
mengatur bahasa, dan mengusahakan agar Bahasa Indonesia tersebar luas.
Kongres itu diprakarsai oleh Raden Mas
Soedardjo Tjokrosisworo, wartawan Harian Soeara Oemoem Surabaya. Kongres itu
diadakan di Medan. Medan menjadi pilihan tempat kongres karena di kota itu
dianggap Bahasa Indonesia dipakai dan dipelihara, baik dalam kalangan rumah tangga
maupun masyarakat.
ZAMAN PASCA KEMERDEKAAN
Setelah kemerdekaan, mulailah Bahasa Indonesia
menjadi bahasa yang mengglobal. Disini akan dijelaskan secara singkat
perubahan-perubahan yang pernaah dilakukan dari mulai penjajahan hingga saat
ini.
Pernyeragaman ejaan yang pertama dimulai tahun 1901. Ejaan resmi Bahasa
Melayu di daerah jajahan Belanda disusun oleh CH. A. Van Ophuijsen yang
dijabarkan melalui karyanya Kitab Logat Melajoe, dinamakan ejaan Van Ophuijsen.
Kedua adalah ejaan Soewandi atau ejaan Republik
1947 ejaan ini diresmikan oleh Soewandi(Menteri Pendidikan) pada tanggal 19
maret 1947. Tujuannya, menyederhanakan sistem ejaan Van Ophuijen(zaman
penjajahan).
Ejaan baku ketiga adalah
Sistem Pembaharuan 1957. Ejaan ini disusun sebagai tanggapan atas resolusi
penyempurnaan ejaan dalam kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Sistem
Pebaharuan 1957 ini tidak pernah diberlakukan.
keempat bernama ejaan Wilkinson.
R.J. Wilkinson adalah ketua panitia permerintahan persekutuan tanah Melayu di
semenanjung Malaya yang dibentuk pada bulan Oktober 1904. Didaerah jajahan Inggris
saat itu ejaan Romawi berkembang pesat.
Kelima adalah ejaan Za’aba. Ejaan ini berbeda sedikit dari ejaan Wilkinson,
diajarkan di sekolah-sekolah Melayu di semenanjung Malaya.
Ejaan keenam, ejaan Fajar Asia. Ejaan ini diciptakan oleh penulis Melayu
tahun 50-an yang sebenarnya disusun selama masa penjajahan Jepang.
Ketujuh adalah ejaan Melindo (ejaan Bahasa Melayu-Indonesia). Sama
dengan sistem pembaharuan, ejaan ini tidak pernah terlaksana. Hal ini
disebabkan karena konfrotasi antara Republik Indonesia dan persekutuan tanah
Melayu.
Ejaan kedelapan adalah ejaan baru bahasa Malaysia (di Malaysia) dan
ejaan baru bahasa Indonesia (di Indonesia). Ejaan yang sama ini dibentuk
setelah masa konfrontasi selesai. Ejaan Melindo yang tidak efisien dan tidak
memuaskan (dari sudut linguistik) menyebabkan gagasan untuk memperbaikinya
kembali. Akhirnya terbentuklah dua ejaan dengan nama yang berbeda ini.
Ejaan kesembilan, merupakan ejaan yang masih digunakan saat ini, yaitu Ejaan
Yang Disempurnakan. Ejaan Yang Disempurnakan merupakan ejaan hasil
penyempurnaan terhadap ejaan-ejaan sebelumnya. Ejaan ini diresmikan oleh
presiden Republik Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1972. Peresmian ejaan baru ini
berdasarkan Putusan Presiden No. 57 Tahun 1972. Untuk itu Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan mengeluarkan buku kecil yang berjudul pedoman ejaan bahasa
indonesia yang disempurnakan.
Karena
penuntutan itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 (
Amran Halim, Ketua ), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975
memberlakukan Pedomaan Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurkan dan Pedoman
Umum Pembentukan Istilah.
Namun pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi
dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.
PERISTIWA-PERISTIWA PENTING YANG BERKAITAN DENGAN BAHASA INDONESIA.[7]
1. Tahun 1801 disusunlah
ejaan resmi Bahasa Melayu oleh Ch. A. Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi
Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab
Logat Melayu.
2. Tahun 1908 pemerintah
kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama
Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun
1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel,
seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam,
penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran Bahasa
Melayu di kalangan masyarakat luas.
3. Tanggal 16 Juni 1927 Jahja
Datoek Kayo menggunakan Bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk
pertamakalinya dalam sidang Volksraad (dewan rakyat), seseorang berpidato
menggunakan Bahasa Indonesia.
4. Tanggal 28 Oktober 1928
secara resmi pengokohan Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan.
5. Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan
sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh
Sutan Takdir Alisyahbana.
6. Tahun 1936 Sutan Takdir
Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
7. Tanggal 25-28 Juni 1938
dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat
disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesia telah
dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
8. Tanggal 18 Agustus 1945
ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36)
menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
9. Tanggal 19 Maret 1947
diresmikan penggunaan ejaan Republik (ejaan soewandi) sebagai pengganti ejaan
Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
10. Tanggal 28 Oktober – 2
November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini
merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan Bahasa
Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa
negara.
11. Tanggal 16 Agustus 1972 H.
M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang
DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
12. Tanggal 31 Agustus 1972
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku
di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
13. Tanggal 28 Oktober – 2
November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres
yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain
memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan Bahasa Indonesia sejak
tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia.
14. Tanggal 21 – 26 November
1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini
diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam
putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesia harus
lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar
Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk
menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal
mungkin.
15. Tanggal 28 Oktober – 3
November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres
ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar Bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia
dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia,
Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan
dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada
pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata
Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
16. Tanggal 28 Oktober – 2
November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta.
Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari
mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India,
Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres
mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya
menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa
Indonesia.
17. Tanggal 26-30 Oktober 1998
diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta.
Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.
DAFTAR PUSTAKA
Ikram Achdiati, dkk. 2009, SEJARAH
KEBUDAYAAN INDONESIA : bahasa, sastra, dan aksara, Jakarta : PT.
Rajagravindo Persada.
Utsman Zuber, 1970, Bahasa Persatuan:
Kedudukan, Sedjarah, Dan Persoalan-Persoalannja, Djakarta: Gunung Agung.
[1] Lingua franca adalah sebuah istilah linguistik yang artinya
"bahasa pengantar" atau "bahasa pergaulan" di suatu tempat
di mana terdapat penutur bahasa yang berbeda-beda.
[2] Diakses dari http://abdmuhni.blogspot.com/ pada hari rabu tanggal 19 februari 2014 pukul
08.17 WIB.
[3][3] Zuber Utsman, Bahasa
Persatuan: Kedudukan, Sedjarah, Dan Persoalan-Persoalannja, (Djakarta:
Gunung Agung) 1970, hlm. 24
[6] Achdiati Ikram, dkk. SEJARAH
KEBUDAYAAN INDONESIA : bahasa, sastra, dan aksara (Jakarta : PT.
Rajagravindo Persada, 2009) hlm. 33
[7] Diakses dari http://kartikaade.wordpress.com/ pada hari Sabtu, tanggal 22 Februari 2014,
pukul 16:59 WIB.
0 Comments:
Post a Comment