Header Ads

24 December 2014

SEJARAH BAHASA INDONESIA


Oleh : ahmad syafii*

Abstrak:
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan di negara Republik Indonesia memiliki arti penting dalam proses perjalanan bangsa. Namun demikian sejarah Bahasa Indonesia itu sendiri jarang diperhatikan oleh banyak kalangan. Padahal, sejarah merupakan salah satu pijakan penting dalam proses kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itulah tulisan kecil ini ditulis, guna memberikan sedikit pengetahuan tentang sejarah perkembangan Bahasa Indonesia dari zaman kerajaan, hingga zaman kontemporer saat ini.
Kata kunci : Bahasa Indonesia, Sejarah, Ejaan.
PENDAHULUAN
Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Republik Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang. Bahasa Indonesia tidak terbentuk secara otomatis. Namun melewati proses-proses akulturasi yang panjang. Lewat proses-proses inilah, Bahasa Indonesia terbentuk menjadi bahasa tersendiri. Juga tentunya menggunakan kata-kata serapan yang berasal dari bahasa-bahasa dalam konteksnya.
Membicarakan bahasa tentu tidak akan pernah lepas dari konteks masyarakat yang menggunakan bahasa tersebut (penutur). Dalam hal ini adalah masyarakat Indonesia. Sejarah Indonesia yang panjang tentu mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia ini.
Banyak ahli bahasa mengatakan bahwa Bahasa Indonesia berasal dari Bahasa Melayu. Lalu pertanyaannya, mengapa Bahasa Melayu yang dipilih menjadi bahasa persatuan, mengapa tidak Jawa yang merupakan jumlah penduduk terbesar?.
ZAMAN KERAJAAN
Bahasa Indonesia adalah salah satu varian dari Bahasa Melayu. Yaitu sebuah bahasa Austronesia dari cabang-cabang bahasa Sunda-Sulawesi yang digunakan sebagai Lingua Franca[1] di nusantara sejak abad-abad awal penanggalan modern.
  Arkeolog Harry Truman Simanjuntak mengatakan, Bahasa Melayu dan ratusan bahasa daerah lainnya di nusantara sebenarnya berakar dari Bahasa Austronesia yang mulai muncul sekitar 6.000-10.000 tahun lalu. Penyebaran penutur bahasa Austronesia ini merupakan fenomena besar dalam sejarah umat manusia karena sebagai suatu rumpun bahasa, Austronesia merupakan yang terbesar di dunia, meliputi 1.200 bahasa dan dituturkan oleh hampir 300 juta populasi. Masyarakat penuturnya tersebar luas di wilayah sepanjang 15 ribu km meliputi lebih dari separuh bola bumi, yaitu dari Madagaskar di barat hingga Pulau Paskah di ujung timur, dari Taiwan-Mikronesia di utara hingga Selandia Baru di selatan.[2]
Aksara pertama dalam Bahasa Melayu atau Jawi ditemukan di pesisir tenggara Pulau Sumatera, mengindikasikan bahwa bahasa ini menyebar ke berbagai tempat di Nusantara dari wilayah ini, berkat penggunaannya oleh Kerajaan Sriwijaya yang menguasai jalur perdagangan. Istilah Melayu atau sebutan bagi wilayahnya sebagai Malaya sendiri berasal dari Kerajaan Malayu yang bertempat di Batang Hari, Jambi, dimana diketahui Bahasa Melayu yang digunakan di Jambi menggunakan dialek "o" sedangkan dikemudian hari bahasa dan dialek Melayu berkembang secara luas dan menjadi beragam.
Menurut Drs. Zuber Usman, Bahasa Melayu menjadi pilihan bahasa  pada masa kerajaan-kerajaan agama Hindu-Budha dikarenakan memiliki keunggulan psikologis, yaitu karena kesederhanaan sifatnya dan lebih demokratis[3]. Lebih lanjut dia menjelaskan, karena letak melayu (negeri-negeri yang menggunakan Bahasa Melayu) di bagian barat menjadi pusat lalu lintas sejak mulainya bahasa ini digunakan dalam perhubungan, baik sesama penduduk nusantara, maupun dalam hubungan dagang dan kebudayaan dengan bangsa asing. Untuk itulah diperlukan kalimat atau susunan perkataan yang sederhana dan tepat. Maka Bahasa Melayu yang bersifat sederhana dapat diterima. Sebab itu pula membuat Bahasa Melayu menjadi tersebarluas. Selian itu juga karena dalam Bahasa Melayu tidak di kenal tingkatan bahasa (bahasa kasar dan bahasa halus) semakin memudahkan Bahasa Melayu di terima di Nusantara.
            Masuknya islam ke Indonesia juga tidak kalah penting peranannya dalam proses perkembangan bahasa. Setelah Dinasti Abasiyah runtuh banyak alim ulama dan kaum cendikiawan kerajaan Baghdad mengungsi atau melarikan diri ke bagian dunia sebelah timur, ke Persia, Gujarat dan India. Dari hal itu pula menjadikan dorongan bagi mereka untuk memasuki tempat-tempat baru yang memiliki harapan untuk perkembangan ajaran islam juga untuk keperluan keamanan diri.[4]
Pemusatan mubaligh islam di Samudra Pasai dan Malaka dalam rangka penyiaran islam keseluruh nusantara menyebabkan lahirnya sebuah bagian kebudayaan yang penting. Artinya lahirlah kasusastraan dan kepustakaan islam dalam Bahasa Melayu dizaman kerajaan Malaka.
Masuknya agama Islam ke kepulauan nusantara, membuat kedudukan Bahasa Melayu semakin penting. Para pembawa ajaran Islam memanfaatkan Bahasa Melayu sebagai sarana komunikasi. Di samping itu, pembawa ajaran Islam ikut memperkaya khasanah kosa kata dalam Bahasa Melayu.
ZAMAN PENJAJAHAN
              Ketika para penjajah seperti Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda mulai memasuki wilayah nusantara, Bahasa Melayu sudah berakar dimana-mana. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya perjanjian-perjanjian, surat-surat juga pengumuman-pengumuman yang dilakukan antara raja-raja dengan penjajah ditulis dengan Bahasa Melayu. Selama zaman penjajahan, Bahasa Melayu telah menjadi bahasa administrasi dalam mendampingi penjajahan.
Pada tahun 1901, Indonesia sebagai Hindia-Belanda mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) Van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Kemudian pada tahun 1908 Pemerintah Hindia-Belanda (VOC) mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie Voor De Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat). Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie Voor De Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908, yang kemudian pada tahun 1917 ia diubah menjadi Balai Pustaka. Balai itu menerbitkan buku-buku novel seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran Bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.[5]
Istilah Bahasa Indonesia itu sendiri dimulai dari kongres pemuda pertama (1928). Dalam kongres itu disepakati agar Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan. Dalam kongres itu, sebenarnya oleh Muhammad Yamin diusulkan bahwa ayat ketiga dalam rancangan sumpah pemuda istilah yang digunakan adalah Bahasa Melayu. Namun oleh M. Thabrani istilah itu tentang. Menurut dia ketika sudah dinyatakan adanya bangsa dan tanah air Indonesia, mengapa tidak disebut Bahasa Indonesia saja. Usulan tersebut diterima kemudian jadilah nama Bahasa Indonesia yang digunakan hingga sekarang ini. Sebagai catatan bahwa istilah Indonesia diciptakan oleh seorang dokter Inggris bernama George Windsor Earl pada tahun 1850 yang dieja sebagai ‘Indunesian’, yang kemudian oleh J.R.Logan diubah menjadi ‘Indonesian’.[6]
Sejak kongres pemuda ini, dikenal dua nama, yaitu Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Namun kedua nama itu tidak tinggal dua nama saja, melainkan dua wujud, dua bahasa. Pada waktu itu, ada kesan umum bahwa Bahasa Indonesia cukup kacau. Oleh sebab itu, diselenggarakan kongres Bahasa Indonesia I dengan tujuan untuk mencari pegangan bagi semua pemakai bahasa, mengatur bahasa, dan mengusahakan agar Bahasa Indonesia tersebar luas.
Kongres itu diprakarsai oleh Raden Mas Soedardjo Tjokrosisworo, wartawan Harian Soeara Oemoem Surabaya. Kongres itu diadakan di Medan. Medan menjadi pilihan tempat kongres karena di kota itu dianggap Bahasa Indonesia dipakai dan dipelihara, baik dalam kalangan rumah tangga maupun masyarakat.
ZAMAN PASCA KEMERDEKAAN
            Setelah kemerdekaan, mulailah Bahasa Indonesia menjadi bahasa yang mengglobal. Disini akan dijelaskan secara singkat perubahan-perubahan yang pernaah dilakukan dari mulai penjajahan hingga saat ini.
Pernyeragaman ejaan yang pertama dimulai tahun 1901. Ejaan resmi Bahasa Melayu di daerah jajahan Belanda disusun oleh CH. A. Van Ophuijsen yang dijabarkan melalui karyanya Kitab Logat Melajoe, dinamakan ejaan Van Ophuijsen.
Kedua adalah ejaan Soewandi atau ejaan Republik 1947 ejaan ini diresmikan oleh Soewandi(Menteri Pendidikan) pada tanggal 19 maret 1947. Tujuannya, menyederhanakan sistem ejaan Van Ophuijen(zaman penjajahan).
            Ejaan baku ketiga adalah Sistem Pembaharuan 1957. Ejaan ini disusun sebagai tanggapan atas resolusi penyempurnaan ejaan dalam kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Sistem Pebaharuan 1957 ini tidak pernah diberlakukan.
            keempat bernama ejaan Wilkinson. R.J. Wilkinson adalah ketua panitia permerintahan persekutuan tanah Melayu di semenanjung Malaya yang dibentuk pada bulan Oktober 1904. Didaerah jajahan Inggris saat itu ejaan Romawi berkembang pesat.
Kelima adalah ejaan Za’aba. Ejaan ini berbeda sedikit dari ejaan Wilkinson, diajarkan di sekolah-sekolah Melayu di semenanjung Malaya.
Ejaan keenam, ejaan Fajar Asia. Ejaan ini diciptakan oleh penulis Melayu tahun 50-an yang sebenarnya disusun selama masa penjajahan Jepang.
Ketujuh adalah ejaan Melindo (ejaan Bahasa Melayu-Indonesia). Sama dengan sistem pembaharuan, ejaan ini tidak pernah terlaksana. Hal ini disebabkan karena konfrotasi antara Republik Indonesia dan persekutuan tanah Melayu.
Ejaan kedelapan adalah ejaan baru bahasa Malaysia (di Malaysia) dan ejaan baru bahasa Indonesia (di Indonesia). Ejaan yang sama ini dibentuk setelah masa konfrontasi selesai. Ejaan Melindo yang tidak efisien dan tidak memuaskan (dari sudut linguistik) menyebabkan gagasan untuk memperbaikinya kembali. Akhirnya terbentuklah dua ejaan dengan nama yang berbeda ini.
Ejaan kesembilan, merupakan ejaan yang masih digunakan saat ini, yaitu Ejaan Yang Disempurnakan. Ejaan Yang Disempurnakan merupakan ejaan hasil penyempurnaan terhadap ejaan-ejaan sebelumnya. Ejaan ini diresmikan oleh presiden Republik Indonesia pada tanggal 16 Agustus 1972. Peresmian ejaan baru ini berdasarkan Putusan Presiden No. 57 Tahun 1972. Untuk itu Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan buku kecil yang berjudul pedoman ejaan bahasa indonesia yang disempurnakan.
Karena penuntutan itu perlu dilengkapi, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12 Oktober 1972, No. 156/P/1972 ( Amran Halim, Ketua ), menyusun buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No. 0196/1975 memberlakukan Pedomaan Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurkan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Namun pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9 September 1987.
PERISTIWA-PERISTIWA PENTING YANG BERKAITAN DENGAN BAHASA INDONESIA.[7]
1.      Tahun 1801 disusunlah ejaan resmi Bahasa Melayu oleh Ch. A. Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Ejaan ini dimuat dalam Kitab Logat Melayu.
2.      Tahun 1908 pemerintah kolonial mendirikan sebuah badan penerbit buku-buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka. Badan penerbit ini menerbitkan novel-novel, seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran Bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.
3.      Tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kayo menggunakan Bahasa Indonesia dalam pidatonya. Hal ini untuk pertamakalinya dalam sidang Volksraad (dewan rakyat), seseorang berpidato menggunakan Bahasa Indonesia.
4.      Tanggal 28 Oktober 1928 secara resmi pengokohan Bahasa Indonesia menjadi bahasa persatuan.
5.      Tahun 1933 berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana.
6.      Tahun 1936 Sutan Takdir Alisyahbana menyusun Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia.
7.      Tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.
8.      Tanggal 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang-Undang Dasar 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.
9.      Tanggal 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan ejaan Republik (ejaan soewandi) sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.
10.  Tanggal 28 Oktober – 2 November 1954 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini merupakan perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan Bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.
11.  Tanggal 16 Agustus 1972 H. M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.
12.  Tanggal 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).
13.  Tanggal 28 Oktober – 2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan Bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi Bahasa Indonesia.
14.  Tanggal 21 – 26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan Bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan Bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
15.  Tanggal 28 Oktober – 3 November 1988 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia V di Jakarta. Kongres ini dihadiri oleh kira-kira tujuh ratus pakar Bahasa Indonesia dari seluruh Indonesia dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.
16.  Tanggal 28 Oktober – 2 November 1993 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VI di Jakarta. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.
17.  Tanggal 26-30 Oktober 1998 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel Indonesia, Jakarta. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa.

DAFTAR PUSTAKA


Ikram Achdiati, dkk. 2009, SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA : bahasa, sastra, dan aksara, Jakarta : PT. Rajagravindo Persada.
Utsman Zuber, 1970, Bahasa Persatuan: Kedudukan, Sedjarah, Dan Persoalan-Persoalannja, Djakarta: Gunung Agung.





[1] Lingua franca adalah sebuah istilah linguistik yang artinya "bahasa pengantar" atau "bahasa pergaulan" di suatu tempat di mana terdapat penutur bahasa yang berbeda-beda.
[2] Diakses dari http://abdmuhni.blogspot.com/ pada hari rabu tanggal 19 februari 2014 pukul 08.17 WIB.
[3][3] Zuber Utsman, Bahasa Persatuan: Kedudukan, Sedjarah, Dan Persoalan-Persoalannja, (Djakarta: Gunung Agung) 1970, hlm. 24
[4] Ibid. hlm 25.
[5] Diakses dari http://coretanwnh.blogspot.com/ tanggal 19 Februari 2014 pukul 21.07 WIB
[6] Achdiati Ikram, dkk. SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA : bahasa, sastra, dan aksara (Jakarta : PT. Rajagravindo Persada, 2009) hlm. 33
[7] Diakses dari http://kartikaade.wordpress.com/ pada hari Sabtu, tanggal 22 Februari 2014, pukul 16:59 WIB.

0 Comments:

Post a Comment