Shalat merupakan rukun kedua dari
lima rukun Islam. Umat Islam sepakat bahwa menjalankan ibadah shalat 5 waktu
(subuh, dhuhur, ashar, maghrib, dan isya’) adalah kewajiban. Tapi ternyata
banyak perbedaan dalam menjalankan ibadah shalat, meskipun hukumnya sama-sama
wajib.
Dari dulu aku sering bingung (dan dilanjutkan bengong) atas perbedaan-perbedaan shalat umat Islam. Tapi kebingunganku sekarang jadi sedikit tercerahkan. Makashii banget buat pak nurul yakin atas tugasnya untuk membandingan pendapat 4 mazhab tentang shalat wajib.
Ini ringkasan tugas yang aku kerjain bareng temen-temen sekelompok.
Dari dulu aku sering bingung (dan dilanjutkan bengong) atas perbedaan-perbedaan shalat umat Islam. Tapi kebingunganku sekarang jadi sedikit tercerahkan. Makashii banget buat pak nurul yakin atas tugasnya untuk membandingan pendapat 4 mazhab tentang shalat wajib.
Ini ringkasan tugas yang aku kerjain bareng temen-temen sekelompok.
Isi :
Semua orang Islam sepakat bahwa
orang yang menentang kewajiban shalat wajib lima waktu atau meragukannya, ia bukan
termasuk orang Islam, sekalipun ia mengucapkan syahadat, karena shalat
termasuk salah satu rukun Islam. (Mughniyah; 2001)
Para ulama mazhab berbeda pendapat tentang hukum orang yang
meninggalkan shalat karena malas dan meremehkan, dan ia meyakini bahwa shalat
itu wajib. (Mughniyah; 2001)
v Syafi’i, Maliki dan Hambali :
Harus dibunuh.
v Hanafi : ia aharus ditahan selama-lamanya,
atau sampai ia shalat. (Mughniyah; 2001)
Rukun-rukun dan fardhu-fardhu shalat : (Mughniyah; 2001)
Rukun-rukun dan fardhu-fardhu shalat : (Mughniyah; 2001)
1.
NIAT : semua ulama mazhab sepakat bahwa mengungkapkan niat dengan
kata-kata tidaklah diminta. (Mughniyah; 2001)
Ibnu Qayyim berpendapat dalam bukunya Zadul Ma’ad,
sebagaimana yang dijelaskan dalam jilid pertama dari buku Al-Mughni,
karya Ibnu Qudamah, sebagai berikut : Nabi Muhammad saw bila menegakkan shalat,
beliau langsung mengucapkan “Allahu akbar” dan beliau tidak mengucapkan apa-apa
sebelumnya, dan tidak melafalkan niat sama sekali. (Mughniyah; 2001)
2.
TAKBIRATUL IHRAM : shalat tidak akan sempurna tanpa takbiratul
ihram. Nama takbiratul ihram ini berdasarkan sabda Rasulullah saw :
(Mughniyah; 2001)
“Kunci shalat adalah bersuci, dan yang mengharamkannya (dari
perbuatan sesuatu selain perbuatan-perbuatan shalat) adalah takbir,
dan penghalalnya adalah salam.”
§ Maliki dan Hambali : kalimat takbiratul
ihram adalah “Allah Akbar” (Allah Maha Besar) tidak boleh menggunakan
kata-kata lainnya. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. (Mughniyah; 2001)
Syafi’i : boleh mengganti “Allahu Akbar” dengan ”Allahu Al-Akbar”, ditambah dengan alif dan lam pada kata “Akbar”. (Mughniyah; 2001)
§ Hanafi : boleh dengan kata-kata lain yang
sesuai atau sama artinya dengan kata-kata tersebut, seperti “Allah Al-A’dzam”
dan “Allahu Al-Ajall” (Allah Yang Maha Agung dan Allah Yang Maha Mulia).
(Mughniyah; 2001)
§ Syafi’i,
Maliki dan Hambali
sepakat bahwa mengucapkannya dalam bahasa Arab adalah wajib, walaupun orang
yang shalat itu adalah orang ajam (bukan orang Arab). (Mughniyah; 2001)
§ Hanafi : Sah mengucapkannya dengan bahasa
apa saja, walau yang bersangkutan bisa bahasa Arab. (Mughniyah; 2001)
§ Semua
ulama mazhab sepakat
: syarat takbiratul ihram adalah semua yang disyaratkan dalam shalat.
Kalau bisa melakukannya dengan berdiri; dan dalam mengucapkan kata “Allahu
Akbar” itu harus didengar sendiri, baik terdengar secara keras oleh dirinya, atau
dengan perkiraan jika ia tuli. (Mughniyah; 2001)
3.
BERDIRI : semua ulama mazhab sepakat
bahwa berdiri dalam shalat fardhu itu wajib sejak mulai dari takbiratul
ihram sampai ruku’, harus tegap, bila tidak mampu ia boleh shalat dengan
duduk. Bila tidak mampu duduk, ia boleh shalat dengan miring pada bagian kanan,
seperti letak orang yang meninggal di liang lahat, menghadapi kiblat di hadapan
badannya, menurut kesepakatan semua ulama mazhab selain Hanafi.
Hanafi berpendapat : siapa yang tidak bisa duduk, ia boleh shalat
terlentang dan menghadap kiblat dengan dua kakinya sehingga isyaratnya dalam
ruku’ dan sujud tetap menghadap kiblat. (Mughniyah; 2001)
Dan bila tidak mampu miring ke kanan, maka menurut Syafi’i
dan Hambali ia boleh shalat terlentang dan kepalanya menghadap ke
kiblat. Bila tidak mampu juga, ia harus mengisyaratkan dengan kepalanya atau
dengan kelopak matanya. (Mughniyah; 2001)
§ Hanafi : bila sampai pada tingkat ini
tetapi tidak mampu, maka gugurlah perintah shalat baginya, hanya ia harus
melaksanakannya (meng-qadha’-nya) bila telah sembuh dan hilang sesuatu
yang menghalanginya. (Mughniyah; 2001)
§ Maliki : bila sampai seperti ini, maka
gugur perintah shalat terhadapnya dan tidak diwajibkan meng-qadha’-nya.
(Mughniyah; 2001)
§ Syafi’i dan Hambali : shalat itu
tidaklah gugur dalam keadaan apa pun. Maka bila tidak mampu mengisyaratkan
dengan kelopak matanya (kedipan mata), maka ia harus shalat dengan hatinya dan
menggerakkan lisannya dengan dzikir dan membacanya. Bila juga tidak mampu
untuk menggerakkan lisannya, maka ia harus menggambarkan tentang melakukan
shalat di dalam hatinya selama akalnya masih berfungsi. (Mughniyah; 2001)
4. BACAAN : Ulama Mazhab Berbeda Pendapat.
Ø
Hanafi
: membaca Al-Fatihah dalam shalat fardhu tidak diharuskan, dan membaca bacaan
apa saja dari Al-Quran itu boleh, berdasarkan Al-Quran surat Muzammil ayat 20 :
(Mughniyah; 2001)
”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus shalah).
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan aalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
”Bacalah apa yang mudah bagimu dari Al-Quran,” (Bidayatul Mujtahid, Jilid I, halaman 122, dan Mizanul Sya’rani, dalam bab shifatus shalah).
Boleh meninggalkan basmalah, karena ia tidak termasuk bagian dari surat. Dan tidak disunnahkan membacanya dengan keras atau pelan. Orang yang shalat sendiri ia boleh memilih apakah mau didengar sendiri (membaca dengan perlahan) atau mau didengar oleh orang lain (membaca dengan keras), dan bila suka membaca dengan sembunyi-sembunyi, bacalah dengannya. Dalam shalat itu tidak ada qunut kecuali pada shalat witir. Sedangkan menyilangkan dua tangan aalah sunnah bukan wajib. Bagi lelaki adalah lebih utama bila meletakkan telapak tangannya yang kanan di atas belakang telapak tangan yang kiri di bawah pusarnya, sedangkan bagi wanita yang lebih utama adalah meletakkan dua tangannya di atas dadanya. (Mughniyah; 2001)
Ø Syafi’i : membaca Al-Fatihah adalah wajib
pada setiap rakaat tidak ada bedanya, baik pada dua rakaat pertama maupun pada
dua rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah. Basmalah
itu merupakan bagian dari surat, yang tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan
apa pun. Dan harus dibaca dengan suara keras pada shalat subuh, dan dua rakaat
pertama pada shalat maghrib dan isya’, selain rakaat tersebut harus dibaca
dengan pelan. Pad shlat subuh disunnahkan membaca qunut setelah
mengangkat kepalanya dari ruku’ pad rakaat kedua sebagaimana juga disunnahkan
membaca surat Al-Quran setelah membaca Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama
saja. Sedangkan menyilangkan dua tangan bukanlah wajib, hanya disunnahkan bagi
lelaki dan wanita. Dan yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya
yang kanan di belakang telapak tangannya yang kiri di bawah dadanya tapi di
atas pusar dan agak miring ke kiri. (Mughniyah; 2001)
Ø Maliki : membaca Al-Fatihah itu harus pada
setipa rakaat, tak ada bedanya, baik pada rakaat-rakaat pertama maupun pada
rakaat-rakaat terakhir, baik pada shalat fardhu maupun shalat sunnah,
sebagaimana pendapat Syafi’i, dan disunnahkan membaca surat Al-Quran
setelah Al-Fatihah pada dua rakaat yang pertama. Basmalah bukan termasuk
bagian dari surat, bahkan disunnahkan untuk ditinggalkan. Disunnahkan
menyaringkan bacaan pad shalat subuh dan dua rakaat pertama pada shalat maghrib
dan isya’, serta qunut pada shalat subuh saja. Sedangkan menyilangkan
kedua tangan adalah boleh, tetapi disunnahkan untuk mengulurkan dua tangan pada
shalat fardhu. (Mughniyah; 2001)
Ø Hambali : wajib membaca Al-Fatihah pada
setiap rakaat, dan sesudahnya disunnahkan membaca surat Al-Quran pada dua
rakaat yang pertama. Dan pada shalat subuh, serta dua rakaat pertama pada
shalat maghrib dan isya’ disunnahkan membacanya dengan nyaring. Basmalah merupakan
bagian dari surat, tetapi cara membacanya harus pelan-pelan dan tidak boleh
dengan keras. Qunut hanya pada shalat witir bukan pada
shalat-shalat lainnya. Sedangkan menyilangkan dua tangan disunahkan bagi lelaki
dan wanita, hanya yang paling utama adalah meletakkan telapak tangannya yang
kanan pada belakang telapak tangannya yang kiri, dan meletakkan di bawah pusar.
(Mughniyah; 2001)
Ø Empat
mazhab menyatakan bahwa
membaca amin adalah sunnah, berdasarkan hadits Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah saw bersabda : (Mughniyah; 2001)
”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
”kalau ingin mengucapkan Ghairil maghdzubi ’alaihim waladzdzaallin, maka kalian harus mengucapkan amin.”
5. RUKU’ : semua
ulama mazhab sepakat bahwa
ruku’ adalah wajib di dalam shalat. Namun mereka berbeda pendapat tentang wajib
atau tidaknya ber-thuma’ninah di dalam ruku’, yakni ketika ruku’ semua
anggota badan harus diam, tidak bergerak. (Mughniyah; 2001)
Ø Hanafi : yang diwajibkan hanya semata-mata
membungkukkan badan dengan lurus, dan tidak wajib thuma’ninah.
Mazhab-mazhab yang lain : wajib membungkuk sampai dua telapak tangan orang yang
shalat itu berada pada dua lututnya dan juga diwajibkan ber-thuma’ninah
dan diam (tidak bergerak) ketika ruku’. (Mughniyah; 2001)
Ø Syafi’i,
Hanafi, dan Maliki
: tidak wajib berdzikir ketika shalat, hanya disunnahkan saja mengucapkan :
(Mughniyah; 2001)
Subhaana rabbiyal ’adziim
”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Subhaana rabbiyal ’adziim
”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Ø Hambali : membaca tasbih ketika
ruku’ adalah wajib. (Mughniyah; 2001)Kalimatnya menurut Hambali :
Subhaana rabbiyal ’adziim
”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Subhaana rabbiyal ’adziim
”Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung”
Ø Hanafi : tidak wajib mengangkat kepala dari
ruku’ yakni i’tidal (dalam keadaan berdiri). (Mughniyah; 2001)
Dibolehkan untuk langsung sujud, namun hal itu makruh. Mazhab-mazhab
yang lain : wajib mengangkat kepalanya dan ber-i’tidal, serta
disunnahkan membaca tasmi’, yaitu mengucapkan :
Sami’allahuliman hamidah
”Allah mendengar orang yang memuji-Nya”
Sami’allahuliman hamidah
”Allah mendengar orang yang memuji-Nya”
6. SUJUD : semua
ulama mazhab sepakat bahwa
sujud itu wajib dilakukan dua kali pada setipa rakaat. Mereka berbeda
pendapat tentang batasnya. (Mughniyah; 2001)
·
Maliki, Syafi’i, dan Hanafi : yang wajib (menempel) hanya dahi,
sedangkan yang lain-lainnya adalah sunnah. (Mughniyah; 2001)
·
Hambali :
yang diwajibkan itu semua anggota yang tujuh (dahi, dua telapak tangan, dua
lutut, dan ibu jari dua kaki) secara sempurna. Bahkan Hambali menambahi
hidung, sehingga menjadi delapan. (Mughniyah; 2001)
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu.
Perbedaan juga terjadi pada tasbih dan thuma’ninah di dalam sujud, sebagaimana dalam ruku’. Maka mazhab yang mewajibkannya di dalam ruku’ juga mewajibkannya di dalam sujud. Hanafi : tidak diwajibkan duduk di antara dua sujud itu.
·
Mazhab-mazhab yang lain : wajib duduk di antara dua sujud. (Mughniyah; 2001)
7. TAHIYYAT : tahiyyat di dalam shalat
dibagi menjadi dua bagian : pertama yaitu tahiyyat yang terjadi setelah
dua rakaat pertama dari shalat maghrib, isya’, dzuhur, dan ashar dan tidak
diakhiri dengan salam. Yang kedua adalah tahiyyat yang diakhiri dengan
salam, baik pada shalat yang dua rakaat, tiga, atau empat rakaat. (Mughniyah;
2001)
·
Hambali :
tahiyyat pertama itu wajib. Mazhab-mazhab lain : hanya sunnah.
·
Syafi’i, dan Hambali : tahiyyat terakhir adalah wajib.
·
Maliki dan
Hanafi : hanya sunnah, bukan wajib. (Mughniyah; 2001)
Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi :
Attahiyatu lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera”
’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Maliki (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Syafi’i : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah
”Kehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Kalimat (lafadz) tahiyyat menurut Hanafi :
Attahiyatu lillahi washolawaatu waththoyyibaatu wassalaamu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, shalawat dan kebaikan serta salam sejahtera”
’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Maliki (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillaahi azzaakiyaatu lillaahi aththoyyibaatu ashsholawaatu lillah
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, kesucian bagi Allah, kebaikan dan shalawat juga bagi Allah”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Menurut Syafi’i : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaatu lillaah
”Kehormatan, barakah-barakah, shalawat, dan kebaikan adalah kepunyaan Allah”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
·
Menurut Hambali : (Mughniyah; 2001)
Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Allahumma sholli ’alaa muhammad
”Ya Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad”
Attahiyyatu lillahi washsholawaatu waththoyyibaatu
”Kehormatan itu kepunyaan Allah, juga shalawat dan kebaikan”
Assalaamu’alaika ayyuhannabiyyu warahmatullahi wabarakaatuh
”Salam sejahtera kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta barakah-Nya”
Assalaamu’alainaa wa ’alaa ’ibaadillahishshoolihiin
”Semoga kesejahteraan tercurah kepada kami dan kepada hamba-hamba Allah yang saleh”
Asyhadu anlaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah
”Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah Yang Esa tidak ada sekutu bagi-Nya”
Waasyhadu anna muhammadan ’abduhu warosuuluh
”Dan aku bersaksi bahwa muhammad adalah hamba-Nya dan rasul-Nya”
Allahumma sholli ’alaa muhammad
”Ya Allah, berikanlah shalawat kepada muhammad”
8.
MENGUCAPKAN SALAM (MUGHNIYAH; 2001)
Ø Syafi’i,
Maliki, dan Hambali
: mengucapkan salam adalah wajib.
Ø Hanafi : tidak wajib. (Bidayatul
Mujtahid, Jilid I, halaman 126).
Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu :
Assalaamu’alaikum warahmatullaah
”Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian”.
Menurut empat mazhab, kalimatnya sama yaitu :
Assalaamu’alaikum warahmatullaah
”Semoga kesejahteraan dan rahmat Allah tercurah kepada kalian”.
Ø Hambali : wajib mengucapkan salam dua kali,
sedangakan yang lain hanya mencukupkan satu kali saja yang wajib. (Mughniyah;
2001)
9.
TERTIB : diwajibkan tertib antara
bagian-bagian shalat. Maka takbiratul Ihram wajib didahulukan dari
bacaan Al-Quran (salam atau Al-Fatihah), sedangkan membaca Al-Fatihah wajib
didahulukan dari ruku’, dan ruku’ didahulukan daru sujud, begitu seterusnya.
(Mughniyah; 2001)
10. BERTURUT-TURUT
: diwajibkan mengerjakan
bagian-bagian shalat secara berurutan dan langsung, juga antara satu bagian
dengan bagian yang lain. Artinya membaca Al-Fatihah langsung setelah bertakbir
tanpa ada selingan. Dan mulai ruku’ setelah membaca Al-Fatihah atau ayat
Al-Quran, tanpa selingan, begitu seterusnya. Juga tidak boleh ada selingan
lain, antara ayat-ayat, kalimat-kalimat, dan huruf-huruf. (Mughniyah; 2001)
Daftar Pustaka
As’ad,
Aliy. 1980. ”Fathul Mu’in”. Kudus: Menara Kudus.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2001. ”Fiqih Lima Mazhab”. Jakarta: Lentera.
Mughniyah, Muhammad Jawad. 2001. ”Fiqih Lima Mazhab”. Jakarta: Lentera.
Muttaqin,
Zainal, dkk. 1987. ”Pendidikan Agama Islam Fiqh”. Semarang: PT Karya
tiga Putra.
Rasjid,
Sulaiman. 2010. ”Fiqh Islam”. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Ridlwan,
Dahlan, dkk. 2005. ”Fiqh”. Jakarta : Media Ilmu.
Rifa’i,
Mohammad. 1976. ”Risalah Tuntunan Shalat Lengkap”. Semarang : PT. Karya
Toha Putra.
0 Comments:
Post a Comment