BAB I
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Membicarakan sejarah Islam, maka tidak
akan terlepas dari sejarah Arab pra Islam. Dimana Islam lahir, bagaimana
kondisi sosial budayanya, dan seperti apa agama dan kepercayaannya. Dengan
mempelajari sejarah Arab pra Islam, maka kita akan mengetahui sejarah peradaban
Islam secara utuh.
Islam tidak lahir di dalam masyarakat
yang polos dan belum memiliki kebudayaan, melainkan Islam lahir di dalam
masyarakat yang memiliki sosial kebudayaan dan kepercayaan yang komplek. Islam
hadir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sudah memiliki kebudayaan yang
tinggi, baik itu kebudayaan asli masyarakat Arab maupun hasil akulturasi
kebudayaan di sekitar tanah Arab. Dari itu, maka dapat diketahui betapa
beratnya perjuangan menyebarkan agama Islam di Jazirah Arab.
Perlu diketahui disini bahwa pada masa
itu, bangsa Arab merupakan bangsa yang sudah berkebudayaan tinggi. Ilmu
pengetahuan telah berkembang dan pola pikir masyarakatnya telah maju. Jadi
dapat disimpulkan bahwa sebutan Jahiliyah
pada kebanyakan kisah sejarah tidak mengacu pada kerendahan akal dan
kebudayaannya, melainkan kebodohan mereka dalam hal kepercayaan, yaitu
menyembah berhala-berhala. Hal ini penting agar kia tidak salah penafsiran.
BAB II
PEMBAHASAN
ARAB PRA-ISLAM
A.
Letak Geografis
Secara
geografis, Arab terletak di Semenanjung Arab, Asia Barat. Sebelah barat
berbatasan
dengan Laut Merah dan Benua Afrika, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Arab
atau dahulu disebut Teluk Persia dan Iran, sebelah utara berbatasan dengan Laut
Tengah, Gurun Irak dan Gurun Syam(Siria), sedangkan sebelah selatan berbatasan
dengan Samudra Hindia. Jazirah Arab memiliki garis pantai lebih kurang 3000 km.
Luas lebih kurang 3.000.000 km persegi.[1]
Ditinjau
dari iklimnya, Jazirah Arab adalah salah satu dari negeri-negeri terkering dan
terpanas di atas muka bumi. Walaupun
negeri ini berbatasan dengan laut disebelah timur dan barat, namun di daerah
perairan masih terlampau kecil untuk mengimbangi keadaan udara yang bertiup
dari daratan Afrika dan Asia yang tak berhujan. Meskipun Samudra Hndia di
Sebelah selatan memiliki curah hujan, tetapi jatuh di daerah pesisir, sehingga
tidak seberapa meninggalkan hujan untuk daerah pedalaman. Hujan hanya jatuh di
daerah tepi Jazirah Arab, terutaman di Yaman.[2]
Secara
garis besar, Jazirah Arab terdiri atas 2 bagian, yaitu bagian tengah dan bagian
tepi.
1.
Bagian
Tengah
Terdiri
dari Najed di bagian utara dan Al Ahqaf di bagian selatan. Daerah bagian tengah
merupakan daerah yang jarang turun hujan sehingga menjadikan daerahnya
tergolong daerah gurun. Hal ini yang mengakibatkan penduduk daerah tengah hidup
secara berpindah-pindah atau nomadik. Mereka berpindah-pindah untuk mencari
sumber air dan padang rumput untuk pakan ternak mereka. Kehidupan mereka yang
mengembara di gurun inilah yang mengakibatkan mereka disebut juga Penduduk
Gurun atau orang-orang Badui. Meraka
hidup secara berkabilah-kabilah atau bersuku-suku.
2.
Bagian
Tepi
Merupakan daerah yang melingkari
Jazirah Arab. Daerah-daerah ini merupakan daerah yang langsung menghadap laut.
Daerah-daerah yang menjadi bagian tepi diantaranya Al Ahsa’(Bahrain) dan Oman
di sebelah timur, Mahrah, Hadramaut dan Yaman di sebelah selatan, Hejaz di
sebelah barat, dan Syam di sebelah utara.
Daerah tepi merupakan daerah yang makmur karena daerah
ini hujan turun dengan teratur. Hal ini dikarenakan angin yang membawa uap air
dari Samudra Hindia akan menurunkan hujan di daerah tepi, terutama di Yaman. Dengan
siklus hujan yang teratur, penduduk daerah tepi hidup secara menetap. Mereka
mendirikan kota-kota dan kerajaan-kerajaan, dan
hidup teratur dengan bermacam-macam kebudayaannya. Oleh karena itu,
penduduk daerah tepi disebut Ahlul Hadar atau
penduduk negri.
Berikut akan diuraikan kota-kota dan kerajaan-kerajaan
daerah tepi yang pernah menjadi kekuatan besar pada zaman sebelum Islam.
2.1.
Yaman
Pada
zaman sebelum Islam, Yaman pernah menjadi daerah paling penting di Jazirah
Arab. Yaman merupakan daerah yang subur
karena hujan turun secara teratur. Penduduknya hidup secara makmur dan
teratur. Sistem pengairan tertata dengan rapi. Waduk-waduk dibangun dan sistem
pertanian tertata dengan baik.
Pada zamannya, Yaman juga memegang peranan penting dalam
perdagangan internasional. Komoditi dagang dari India, Tiongkok, Sumatra,
Mesir, dan Siria berdatangan di negeri Yaman. Di Yaman pula pernah berdiri
kerajaan-kerajaan besar dan disegani. Di antara kerajaan-kerajaan yang pernah
berdiri di Yaman antara lain: Ma’in, Qutban, Saba’, dan Himyar.
Kerajaan Ma’in berdiri kira-kira tahun 1200 SM, dan
Kerajaan Qutban berdiri kira-kira tahun 1000 SM. Kerajaan Qutban inilah yang
menjadi pengawas Selat Bab el Mandeb. Akan tetapi, informasi mengenai dua
kerajaan ini sangat sedikit.
Kerajaan Saba’ atau Sabaiah merupakan salah satu kerajaan
yang terletak di Yaman. Kerajaan itu berdiri di atas reruntuhan kerajaan
Quthban. Pendirinya bernama Saba’. Beribu kota di Ma’rib. Kerajaan Sabaiah
merupakan kerajaan yang sudah maju peradabannya pada waktu itu. Terbukti dengan
berdirinya sebuah bendungan serba guna yang diberi nama Saddu Ma’rib(bendungan Ma’rib). Bendungan Ma’rib ini sangat besar
sekali kegunaanya. Digunakan untuk menampung air hujan yang turun selama tiga
bulan dalam setahun, kemudian darinya dialirkan ke kebun-kebun dan
ladang-ladang yang ada di tanah rendah. Sehingga tanah Yaman menjadi subur dan
dan makmur.
Sepeninggalan Raja Saba’, Kerajaan Sabaiah diperintah
oleh raja-raja sesudahnya. Diantara raja yang paling terkenal adalah Ratu
Bilqis yang hidup pada zaman Nabi Sulaiman a.s. Ceritera
tentang Ratu Bulqis, Nabi Sulaiman dan burung hud hud tersebut di dalam al
Quran (Q.S. Naml 20-44, dan at Thabari I:345 – 350).
Suatu ketika, kerajaan Sabaiayah lalai dalam menjaga dan
memelihara Bendungan Ma’rib. Penduduknya tenggelam dalam kemewahan dan
kelezatan materi. Mereka hidup dengan berfoya-foya dan berpaling dari Allah.
Mereka juga lalai dalam menjaga dan memelihara Saddu Ma’rib. Akibatnya Saddu
Ma’rib itu pun rusak dan runtuh. Menurut Sedillot, keruntuhan Bendungan
Ma’rib terjadi pada tahun 120 SM. Keruntuhan ini yang mengakibatkan timbulnya
banjir besar di Kota Ma’rib. Hal ini yang memaksa para penduduknya untuk
meninggalkan Kota Ma’rib dan menetap di daerah-daerah di sebelah utara Yaman,
salah satunya adalah Yatrib. Hal inilah yang mengakibatkan berakhirnya Kerajaan
Saba’. Kisah tentang Kerajaan Saba’ dapat diketahui di dalam Al Qur’an Surat
Saba’.[3]
Sesudah
berakhirnya Kerajaan Sabaiyah, berdirilah Kerajaan Himyar di atas reruntuhan
Kerajaan Sabaiyah. Kerajaan ini berdiri di atas reruntuhan Kerajaan Saba’ dan berpusat
di San’a. Didirikan oleh Suku Himyar, salah satu sabang dari Kaum Saba’. Kisah
paling terkenal dalam sejarah Kerajaan Himyar adalah tentang pembunuhan 12.000
penduduk Najran yang beragama Nasrani pada tahun 534 M. Tindakan ini dilakukan
oleh raja terakhir Kerajaan Himyar, Yusuf Zu Nuas. Raja Zu Nuas yang beragama
Yahudi memaksa penduduk Najran yang beragama Nasrani untuk masuk ke dalam Agama
Yahudi. Karena Penduduk Najran tidak bersedia meninggalkan agamanya, maka oleh
Raja Zu Nuas mereka dibakar.
Tindakan
pembantaian inilah yang membuat Kekaisaran Romawi Timur dibawah Justianus I
Kaisar, sebagai pelindung agama Nasrani memerintahkan Negus(raja)
Habsyah(Ethiopia) yang juga beragama Nasrani untuk menyerang Yaman. Kerajaan
Yaman dapat ditalukkan oleh kerajaan Habsyah dan menjadi jajahannya dengan
gubernur pertamanya adalah Aryath.[4]
2.2.
Kerajaan
Manazirah dan Kerajaan Ghassasinah
Kerajaan
Manazirah dan Kerajaan Ghassasinah merupakan dua kerajaan yang terletak di
sebelah utara Jazirah Arab. Kerajaan Manazirah didirikan di Mesopotamia oleh
Bani Lakhim(Lachmides) dari Yaman yang pindah karena runtuhnya Bendungan Ma’rib.
Sedangkan Kerajaan Ghassasinah didirikan oleh seorang keturunan Qahthan yang
bernama Amar Muzaiqiyah bin Amar Musama’ yang juga berpindah dari Yaman pada
akhir abad ketiga sesudah Saddu Ma’rib
runtuh.[5]
Pada
dasarnya kedua kerajaan tersebut merupakan kerajaan boneka dari Kekaisaran
Romawi Timur dan Kerajaan Persia. Kerajaan Manazirah di bawah kendali Kerajaan
Persia, sedangkan Kerajaan Ghassasinah di bawah Kerajaan Romawi
Timur(Bizantium). Kedua kerajaan tersebut dijadikan buffer state[6]
oleh kerajaan yang berpengaruh. Kerajaan Manazirah digunakan oleh Kerajaan
Persia untuk menghalau segala serangan dari Kerajaan Romawi Timur. Demikian
juga dengan Kerajaan Ghassasinah digunakan oleh Kerajaan Romawi Timur sebagai
tameng penghalau serangan dari Kerajaan Persia. Dikarenakan antara Kerajaan
Persia dan Kerajaan Romawi Timur selalu bermusuhan, maka antara Kerajaan
Ghassasinah dan Kerajaan Manazirah juga terlibat permusuhan. Pada masa kerajaan
Ghassasinah diperintah oleh Raja Al Harits bin Jabalah(529-569 M), terjadi
pertempuran antara Kerajaan Manazirah dengan Kerajaan Ghassasinah. Kerajaan
Ghassasinah berhasil mengalahkan Kerajaan Manazirah. Oleh karena itu, Kaisar
Yustisianus mengangkat Al Harits sebagai raja seluruh Jazirah Arab.[7]
B.
Sosial Budaya
Kehidupan
Sosial dan Budaya Masyarakat Arab
1.
Bahasa
Bangsa
Arab secara keseluruhan berbahasa Arab. Namun, dialek atau logat yang digunakan
di masing-masing daerah berbeda-beda. Perbedaan ini diakibatkan oleh seberapa
besar pengaruh kebudayaan asing yang masuk di daerah tersebut. Bahasa asing
yang masuk dan mempengaruhi kebudayaan Bangsa Arab tersebut juga akan
mempengaruhi kemurnian Bahasa Arab sendiri. Secara garis besar, Bahasa Arab
dapat dibedakan menjadi Bahasa Arab murni dan Bahasa Arab yang terpengaruh.
Bahasa
Arab murni banyak ditemui di daerah tengah Jazirah Arab, meliputi Najed di
bagian utara dan Al Ahqaf di bagian selatan. Kemurnian tersebut diakibatkan
oleh sangat sedikitnya peran serta penduduk Gurun dalam hubungan internasional.
Selain itu, keadaan alam gurun yang tidak bersahabat menjadikan bangsa asing
tiada berkenan atau berminat masuk ke daerah tengah tersebut. Akibatnya bangsa
Gurun tiada pernah berhubungan dengan bangsa lain. Mereka juga tiada pernah
terjajah oleh bangsa lain. Hal ini yang mengakibatkan bahasa penduduk Gurun
terpelihara kemurniannya.
Bahasa Arab yang
terpenaruh, banyak ditemui di daerah tepi Jazirah Arab atau daerah penduduk
negri, meliputi daerah Yaman, Siria, dan Hejaz. Ketidakmurnian tersebut
diakibatkan oleh masuknya kebudayaan bangsa asing ke daerah tersebut. Masuknya
bangsa asing tersebut diakibatkan oleh proses hubungan internasional yang
berlangsung di darah tersebut. Salah satu bentuk hubangan internasional
tersebut adalah perdagangan. Dengan
banyaknya kaum saudagar dari bangsa lain, diantaranya Tiongkok, India, Sumatra,
Mesir, dan Imperium Romawi yang menetap di daerah tepi mengakibatkan
bertambahnya pengetahan tentang bahasa masing-masing bangsa. Hal ini
mengakibatkan bercampurnya bahasa asing tersebut dengan bahasa asli, Bahasa
Arab. Akibatnya Bahasa Arab daerah tepi Jazirah Arab tidak murni lagi. Selain
itu, kesuburan dan kemakmuran daerah tepi Jazirah Arab mengkibatkan banyak
kerajaan besar di sekitarnya berhasrat untuk menguasai daerah tepi Jazirah Arab
tersebut. Akibat dari penjajahan bangsa asing tersebut, Bahasa Arab penduduk
negri tidak murni lagi.
2.
Syair
Masyarakat
Arab sangat gemar bersyair. Mereka sangat meninggikan kedudukan syair dalam
kebudayaan mereka. Syair Arab diciptakan untuk melukiskan adat istiadat, tata
susila, agama dan kepercayaan,
peperangan, kepahlawanan, pesona keindahan alam, dan sebagainya. Syair
Arab merupakan syair yang unik karena dengan syair, seseorang dapat ditinggikan
derajatnya, atau sebaliknya. Dengan syair pula dapat mendatangkan pengikut,
atau dapat juga menghindarkan seseorang dari masyarakat. Bahkan dengan syair,
seseorang dapat memicu perang, namun
juga bisa mereda ketegangan.
Ada
tujuh syair indah yang digantung di dinding Ka’bah dan dikenal dengan nama Al Mullaqatus Sab’i. Kebiasaan bangsa
Arab pula yang mengadakan pambacaan syair di pusat-pusat keramaian atau di
pasar-pasar tradisional. Adapun pasar-pasar di Mekah yang sering mengadakan
pembacaan syair antara lain Ukaz, Majinnah, dan Zu Majaz.
Syair-syair
jahili menceritakan tentang kehidupan padang pasir, perburuan,unta, kebangsaan,
berhala, ratapan dan pujian terhadap wanita yang dikasihi.
Karya
penyair Jahili sebagian kecil terhimpun dalam diwan al syi’iri. Syair jahiliyah tertua diperkirakan dikarang pada
tahun 150 sebelum masa kenabian. Diantara yang terhimpun ada disebutkan dalam: al mu’alaqotussab’u yang dikumpulkan
oleh Hamzah al Riswan, al mufasshalat
yang dikumpulkan oleh al Dhabiyi berisi 128 kasidah, diwan al husamah oleh Abu Taman.[8]
3.
Ilmu
Pengetahuan
a)
Ilmu
bangunan. Ilmu bangunan bangsa Arab dapat diketahui dari kepandaian mereka
membuat bangunan-bangunan rumah dan gedung-gedung dari gunung-gunug batu yang
dipahat. Selain rumah-rumah dan bangunan-bangunan tersebut, mereka juga dapat
membangun Ma’rib atau bendungan, yaitu bangunan untuk menampung air hujan.
Dengan adanya Ma’rib ini, perkebunan dan pertanian dapat diairi dengan baik.
Dari sini dapat dikatakan sistem irigasi masyarakat Arab sudah cukup baik.
b)
Ilmu
Sejarah. Ilmu ini secara khusus berkaitan dengan silsilah atau nasab suatu
kabilah. Kebanggaan terhadap kabilah masing-masing membuat bangsa arab menjaga
dengan baik silsilah leluhur mereka.
c)
Ilmu
Falak atau Astronomi. Ilmu falak bangsa Arab sebelum Islam dapat dikatakan
masih sederhana. Di dalam pengetahuan bangsa Arab pra Islam, terdapat 12
kelompok bintang atau Buruuj, 6 Buruuj berada di sebelah utara dan 6 Buruuj
lagi di sebelah selatan. 6 Buruuj di utara adalah Mizan, Agrab, Qus, Juddi, Dalwu
dan Hut. Sedangkan 6 Buruuj disebelah selatan adalah Hamal, Seer, Jauzak,
Sarthon, Asal dan Sumbullah.
4.
Kebiasaan-kebiasaan
4.1. Kebiasaan Buruk.
a)
Memandang
rendah derajat wanita dan membunuh bayi perempuan yang baru lahir. Wanita
dianggapnya adalah benda mati, bisa diperjual-belikan atau diperlakukan
sekehendak hatinya. Perbudakan dan pelampiasan nafsu laki-laki sudah
merajalela. Para hartawan yang memiliki banyak hamba sahaya perempuan dapat
dijadikan sebagai mata pencaharian dengan cara menjual kehormatannya dan
upahnya diambil oleh tuannya.
Pembunuhan bayi
perempuan yang baru lahir juga merupakan adat istiadat yang telah mendarah
daging dalam kehidupan masyarakat Arab sebelum Islam. Motif pembunuhan bayi
perempuan ini dalam tradisi Arab antara lain karena takut anaknya kelak
dirampas oleh musuh untuk dijadikan budak dan darinya akan melahirkan anak yang
juga seorang budak secara turun-temurun. Hal ini, meurut mereka dapat
menurunkan martabat kabilah mereka. Dianggapnya anak perempuan tidak cakap
berperang dan tidak sanggup membela diri jika pihak lain menang perang. Selain
itu wanita dinggapnya tidak mampu membiayai hidupnya di padang pasir yang serba
keras. Intinya masyarakat Arab menganggap bahwa perempuan sangat tidak
produktif dalam hidup dan tidak efektif dalam perang. Kabilah yang suka
mengubur bayi perempuan adalah Bani
Tamim dan Bani Asad.
Menurut
Prof. Dr. Ahmad Amin, tidak semua kabilah Arab suka membunuh bayi perempuan.
Diantara mereka ada yang menempatkan perempuan dengan kehormatan. Bahkan tidak
jarang diantara mereka yang mati membela kaum perempuan. Kaum perempuan juga
diberi kesempatan untuk mengambil kayu api, mengambil air di perigi-perigi,
memeras susu, menjahit, dan lain sebagainya. Namun kedudukan merekan tetap jauh
lebih rendah dibanding kaum pria.[9]
b)
Berjudi
dan mabuk. Kebiasaan berjudi merupakan kebiasaan yang amat disenangi. Bila
mereka menang dalam perjudian, maka mereka akan mabuk-mabukan sepuasnya.
Minuman keras yang paling disukai adalah khamer dan nabidz. Khamer dibuat dari
anggur sedangakan nabadz dibuat dari selain anggur.
c)
Perampokan
dan pencurian. Kebiasaan ini merupakan akibat dari sulitnya kehidupan di padang
pasir. Sebelum Islam datang, perampokan dan pencurian ini biasa dilakukan
secara berkelompok maupun perseorangan. Sasarannya adalah kafilah-kafilah yang
lewat di padang pasir.
d)
Perkelahian
dan peperangan. Kebiasaan ini merupakan dampak dari usaha mempertahankan diri,
kefanatikan, merendahkan kabilah lain, menuntut balas, atau bahkan akibat dari
hal-hal sepele. Peperangan ini dapat berlangsung hingga bertahun-tahun bahkan
berpuluh tahun. Bahkan ada pula persaingan yang berlangsung lintas generasi,
seperti persaingan antara Suku Khazraj dan Suku Aus. Peperangan juga dapat
diakibatkan oleh persoalan sepele. Seperti Perang Dahis yang berlangsung 40
tahun, mulanya adalah peperangan yang diakibatkan oleh saling tuduh antara dua
orang yang berlaku curang dalam pacuan kuda. Demikian juga perang Basus yang
diakibatkan perselisihan tentang seekor unta yang bernama Basus. Unta tersebut
di lukai oleh salah seorang dari Suku Kulaib bin Wail. Pemilik unta tidak
terima dan menuntut balas terhadap pembunuh. Maka terjadilah perang Basus.[10]
4.2. Kebiasaan Baik
a)
Setia.
Bangsa Arab jika telah menyatakan bai’ah kepada seseorang, maka mereka akan
menepati ba’ahnya walaupun dengan mengorbankan harta dan keluarga, bahkan
darahnya sekalipun. Hal ini tercermin saat warga Yatsrib melakukan Bai’ah kepada
Nabi Muhammad, maka mereka rela melindungi nabi dengan apapun, termasuk dengan
darahnya.
b)
Menghormati
tamu. Hal ini tercermin dari kebiasaan Suku Qurais yang senantiasa menjamu tamu
dengan baik saat datang musim haji. Selain itu kisah tentang Ali bin Abi Thalib
yang menjadikan Abu Dzar al Ghiffari sebagai tamunya selama tiga hari saat Abu
Dzar mencari Muhammad di Mekkah. Selama tiga hari tiga malam itu pula Ali tidak
menanyakan perihal kedatangan Abu Dzar ke Mekah, karena secara adat tidak boleh
menanyakan tamu sebelum empat hari.
c)
Dermawan.
Hal ini tercermin dari kisah pemboikotan keluarga Hasyim dan Abdul Muthalib
yang melindungi nabi. Dari pemboikotan
yang menyengsarakan itu maka muncul orang –orang dari suku lain yang dermawan
yang mengirimkan makanan secara diam-diam.
5.
Suku
Bangsa
Bangsa arab merupakan bangsa dari
keturunan Syam bin Nuh, dari rumpun Semit, saudara Yapet dan Ham. Diceritakan
bahwa Yapet merupakan nenek moyang orang-orang Eropa, Ham merupakan nenek
moyang orang-orang Afrika sedangkan Semit merupakan nenek moyang orang-orang
Asia Barat.
Pada awalnya, Bangsa Semit bertempat
tinggal di Lembah Mesopotamia, yaitu di tengah-tengah sungai Eufrat dan
Tigris(Dijlah). Karena bertambahnya penduduk, maka bangsa Semit pun menyebar ke
daerah-daerah di sekitarnya, termasuk Jazirah Arab.[11]
Dalam perkembangannya, bangsa Arab
terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, Arab
Ba’idah, yaitu kelompok yang telah punah, seperti kaum ‘Ad, Tsamud, Ainun,
Amiel, Jadis, Imlieq, Jurhum, Ula dan Wabar. Kedua, Arab Baqiya, yaitu kelompok yang keturunannya masih ada hingga
sekarang. Arab Baqiyah terdiri dari dua golongan, yaitu ‘Arabiah dan
Musta’riban. Bangsa Arab ‘Arabiah tinggal di daerah selatan Jazirah Arab, yaitu
Yaman sedangkan Musta’riban bertempat tinggal di utara Jazirah Arab, yaitu
Hijaz, Nadj, Nabatiyah, dan Palmyra. Jadi bangsa Arab terbagi atas bangsa Arab
selatan keturunan Bani Qahthan dan Arab selatan keturunan Bani Adnan bin Ismail
bin Ibrahim.[12]
6.
Sistem
Kekerabatan dan Kabilah
Masyarakat Arab pra Islam merupakan
masyarakat dengan sistem kekerabatan sistem partilinial (Patriarchat-agnatic),
yaitu hubungan kekerabatan yang berdasarkan garis keturunan bapak. Wanita tidak
memiliki kedudukan yang penting waktu itu. Bahkan dapat dikatakan bahwa
memiliki anak perempuan adalah aib baik suatu keluarga. Maka tidak jarang
terjadi penguburan hidup-hidup bayi perempuan, seperti yang dinyatakan dalam
ayat Al-qur'an surat An-Nahal Ayat 58-59, yang
artinya : dan apabila salah seorang diantara mereka dikabarkan dengan kelahiran anak perempuan, lalu mereh pada mukanya, sedang ia berduka cita. Ia menyembunyikan diri dari kaumnya, karena kejelekan berita tersebut, apakah anak perempuan tersebut terus dipelihara dengan menanggung hina atau dikubur hidup-hidup kedalam tanah. Ketahuilah amat kejam hukuman yang mereka lakukan.
artinya : dan apabila salah seorang diantara mereka dikabarkan dengan kelahiran anak perempuan, lalu mereh pada mukanya, sedang ia berduka cita. Ia menyembunyikan diri dari kaumnya, karena kejelekan berita tersebut, apakah anak perempuan tersebut terus dipelihara dengan menanggung hina atau dikubur hidup-hidup kedalam tanah. Ketahuilah amat kejam hukuman yang mereka lakukan.
Sedemikian
perlakuan mereka terhadap perempuan, dikarenakan anggapan mereka yang
menganggap bahwa anak perempuan tidak mampu membantu dalam peperangan, tidak
mampu pula membela kabilah, tidak mampu mengangkat senjata dan akan menjadi
beban dalam kabilah.
Bangsa Arab
merupakan bangsa yang memiki loyalitas yang tinggi terhadap kebilah atau
sukunya. Bahkan dapat dikatakan mereka sangat fanatik terhadapa kabilahnya.
Demi membela kabilah atau sukunya, masyarakat Arab akan rela menghunus pedang
dan menumpahkan darah sesama bangsa Arab. Sebegitu loyalnya, hingga hidup
mereka dapat dikatakan sepenuhnya untuk kabilah.
Setiap
kabilah bangsa Arab memiliki seorang pemimpin kabilah. Pemimpin kabilah
tersebut dipilih dari golongannya sendiri, dengan mempertimbangkan kecakapan,
pengeruh, keluhuran, dan kebaikan nashab.
Sebagaimana
diketahui bahwa Jazirah Arab terdiri oleh dua bagian yaitu bagian tengah
Jazirah Arab dan bagian tepi Jazirah Arab. Bagian tengan merupakan bagian dari
Jazirah Arab yang sebagian besar terdiri dari gurun dan tanah tandus. Kondisi
tanah tersebut berpengaruh terhadap cara hidup bangsa Arab bagian tengah.
Kehidupan mereka menjadi nomadik atau berpindah-pindah. Kabilah yang hidup
berpindah-pindah atau mengembara inilah yang disebut penduduk Gurun atau
disebut juga Suku Badui. Mereka hidup secara berpindah-pindah, mengembara
mencari sumber air dan padang rumput untuk binatang ternak. Seringkali antar
kabilah dalam suku Badui terjadi perkelahian bahkan peperangan untuk
memperebutkan sumber air dan padang rumput untuk menggembalakan ternak. Inilah
yang menjadikan Suku Badui gemar
berperang. Penduduk Gurun ini banyak ditemui di daerah tengah Jazirah Arab,
terutama di Nejad.
Sedangkan
penduduk Jazirah Arab bagian tepi merupakan bangsa Arab yang sudah hidup
menetap di kota-kota. Penduduk yang
menetap inilah yang disebut Penduduk Negeri atau Ahlul Hadlar. Meraka banyak mendiami daerah daerah tepi Jazirah
Arab, seperti di Yaman, Hejaz, Hirrah, dan Ghassinah. Daerah-daerah tersebut
dapat dikatakan subur karena karena hujan turun dengan teratur. Hal ini yang
mengakibatkan Ahlul Hadlar hidup secara menetap, mendirikan bangunan-bangunan
di kota, mendirikan kerajaan-kerajaan dan memiliki kebudayaan cukup tinggi di masanya.[13]
Nasab
Bangsa Arab dapat dibedakan menjadi dua, yaitu nasab murni dan nasab campuran.
Nasab murni merupakan garis keturunan Bangsa Arab yang masih terjaga dan tidak
tercampur dengan nasab bangsa lain. Kebanyakan nasab murni merupakan nasab penduduk
gurun yang mendiami daerah tengah Jazirah Arab.
Sebagaimana kita ketahui bahwa kondisi tanah penduduk Gurun yang
sedemikian ekstrem membuat tiada satu bangsa pun yang berminat dengan daerah
gurun tersebut. Akibatnya Penduduk Gurun tidak pernah terjajah oleh bangsa
lain. Hal ini yang mengakibatkan nashab Penduduk Gurun masih murni karena tiada
pernah berhubungan dengan bangsa lain.Sedangkan nasab campuran merupakan garis
keturunan Bangsa Arab yang telah bercampur dengan bangsa lain. Kebanyakan nasab
campuran merupakan penduduk negri yang mendiami daerah tepi Jazirah Arab.
Ketidakaslian tersebut diakibatkan oleh hubungan antara penduduk negri dengan
bangsa lain yang sedemikian intensnya. Hubunga tersebut dapat dikatakan adalah
hubungan perhikahan atau nashab.
7.
Mata
pencaharian.
Bangsa
Arab merupakan bangsa yang hidup secara majemuk dalam hal mata pencaharian.
Kebanyakan dari merekan hidup dengan berniaga. Banyak juga diantara mereka yang
berternak dan berkebun. Secara umum kebanyakan penduduk yang berniaga merupakan
penduduk yang hidup di daerah tepi Jazirah Arab. Daerah yang menjadi lintas
perniagaan adalah Syam, Mekah dan Yaman. Sedangkan daerah yang sebagian besar
penduduknya bertani adalah penduduk Yatsrib. Sementara itu, penduduk gurun
hidup dengan berternak. Binatang ternak yang menjadi andalan adalah unta dan
biri-biri.
C. Agama dan Kepercayaan
Bangsa
Arab sebelum Islam sudah mengenal beberapa kepercayaan. Kepercayaan-kepercayaan
tersebut adalah: Agama Tauhid, Agama Ashabiyah, Agama Yahudi, Agama Nasrani,
Penyembah berhala.
1.
Agama
Tauhid, yaitu agama yang mengesakan Allah, tiada tuhan selain Dia. Agama Tauhid
ini dibawa oleh para nabi dan rosul, seperti Nabi Luth untuk Kaum Sodom, Nabi
Musa untuk Kaum Israel, Nabi Hud untuk Kaum ‘Ad. Sedangkan ajaran yang dibawa
oleh Nabi Ibrahim dan Ismail disebut Agama Hanif, yaitu agama yang mengikuti
ajaran Nabi Ibrahim dan tidak mengikuti cara ibadah bangsa Arab Jahiliyah.
Menjelang lahirnya Nabi
Muhammad s.a.w., pemeluk agama Hanif ni hanya tinggal beberapa orang saja,
diantaranya: a) Waraqah Bin Naufal, b) Zaid
bin Nufail, c) Khlid bin Sinan, d) Ummayah bin Abi Sult.
Ajaran agama Hanif yang
masih tersisa waktu itu adalah:
a)
Mempercayai adanya Allah sebagai penguasa alam.
b)
Mempercayai
adanya malaikat.
c)
Larangan
berzina.
d)
Memulyakan
Ka’bah dan melakukan ibadah haji.
e)
Haram
menikahi istri-istri bapaknya(yang telah meninggal), haram menikahi
anak-anaknya sendiri, saudara ayah, saudara ibu, dua orang wanita bersaudara
dengan berhimpunan, dan sebagainya.[14]
2.
Agama
Ashabiyah, yaitu kepercayaan dan penyembahan kepada benda-benda langit seperti
matahari, bulan, bintang, dan sebagainya. Agama ini mula-mulanya dianut oleh
bangsa Arab bani Qahthan pada masa kerajaan Saba’ di Yaman.
3.
Agama
Yahudi, merupakan agama yang awal mulanya dianut oleh bangsa Israel dari
syariat Nabi Musa a.s.. Ketika Nabi Musa dan para pengikutnya melarikan diri
dari kejaran Fir’aun dan tentaranya, mereka menyeberangi Laut Merah dan pindah
ke Palestina. Namun, ternyata agama Yahudi tidak mendapat sambutan yang baik di
tanah palestina. Bahkan bangsa Romawi terus melakukan pengejaran dan
bembantaian terhadap para pengikut agama Yahudi. Akhinya mereka melarikan diri
ke Jazirah Arab dan bermukim di kota-kota Yatsrib, Wadil Qura, Yaman, dan
Khaibar. Ketika Yaman dibawah Raja Yusuf Zu Nuas, ia bersikeras memaksa
penduduk yang beragama Nasrani untuk masuk Agama Yahudi. Tetapi maksud itu
tidak berhasil karena Justinian I, Kaisar Romawi Timur(518-527 M) sebagai
pelindung agama Nasrani memerintahkan Raja Habsyah(Ethiopia) untuk menyerang
Yaman. Akhirnya Habsyah menang dan Yaman menjadi jajahan Habsyah.[15]
Ternyata
Agama Yahudi kurang mendapat sambutan yang baik Bangsa Arab dikarenakan agama
Yahudi menganggap bangsa Israil adalah bangsa unggulan dan terpilih. Sehingga
mereka menganggap bangsa lain dibawah Bangsa Israil. Karena bangsa Arab adalah
bangsa yang sangat menjunjung tinggi harga diri, maka meraka enggan dianggap
bawahan bangsa lain. Itulah yang menjadikan Bangsa Arab tidak tertarik dengan
agama Yahudi.
4.
Agama
Nasrani. Agama ini cukup banyak di terima bangsa Arab, terutama di bagian utara
apalagi yang dibawah atau berbatasan dengan Kekaisaran Romawi. Selain di utara
agama Nasrani juga banyak dianut oleh penduduk di selatan, terutama di Yaman.
Setelah Yaman berhasil ditkalukkan oleh Habsyi dan menjadi jajahan Kerajaan
Habsyi, agama ini dapat berkebang dengan leluasa.
Kemudahan
agama Nasrani untuk dapat diterima penduduk dikarenakan agama Nasrani tidak
membedakan status sosial dan bersifat universal. Berbeda dengan agama Yahudi,
Agama Nasrani didasari oleh prinsip-prinsip kemanusiaan dan menentang
chauvinesme. Namun agama ini juga belum sampai mengakar pada masyarakat Arab.
Penyebabnya adalah banyaknya kepercayaan yang aneh-aneh yang tidak dapat
diterima oleh pemahaman bangsa Arab.
5.
Kepercayaan
Watsani(penyembah berhala). Kepercayaan ini berawal dari sebuah berhala yang
bernama Hubal. Pada mulanya, Hubal ini merupakan berhala pemberian dari Suku
Amaliqoh di syam kepada seorang pembesar Suku Khuza’ah. Suku Khuza’ah merupakan
suku dari Yaman yang pindah ke Mekah karena runtuhnya Bendungan Ma’rib. Mereka
dapat merebut Ka’bah dan menguasai Mekah dari Bani Ismail. Oleh seorang
pembesar Suku Khuza’ah tersebut, berhala Hubal di Baitullah. Ka’bah yang
awalnya merupakan tempat penyembahan kepada Allah Yang Maha Esa, kini menjadi
tempat penyembahan berhala. Dalam perkembangannya, banyak sekali bermunculan
berhala-berhala di sekeliling Ka’bah, bahkan di Shafa dan Marwah.
Karena ka’bah merupakan
tempat ibadah Haji bangsa Arab, maka berdatanganlah seluruh bangsa dari jazirah
Arab ke Baitullah. Orang-orang yang berhaji menanyakan tentang berhal-berhala
tersebut. Suku Khuza’ah dan Quraisy mengatakan bahwa berhala-berhala tersebut
merupakan “ perantara” untuk mendekatkan diri kepada Allah. Perbuatan tersebut
pun ditiru oleh kabilah-kabilah bangsa Arab. Maka dibuatlah berhala berhala di
masing-masing daerah, seperti Manah oleh Suku Aus dan Khazraj di Madinah, Uzza
oleh Suku Quraisy di Mekah, Lata oleh suku Tsaqif dan Hubal oleh Suku Khoziman.
Ketika
Nabi Muhammad Saw. mengusai Mekah pada 20 Ramadhan 8 H dalam Faktul Makkah,
nabi membersihkan Ka’bah dari berhala-berhala yang mengotori Ka’bah. Diriwayatkan bahwa saat itu jumlah
berhala di sekeliling Ka’bah berjumlah
360 berhala.[16]
Menurut
Bamyeh dalam The Social Origins of Islam: Mind, Economy, Ciscourse(1999),
membagi tiga kategori religiusitas masyarakat Arab, yaitu paganisme, kitabisme, hanifisme.[17]
Sedangkan
dalam Pre Islamic beduin Beligion(1981) karya Henninger mengurakan bahwa
kehidupan religius masyarakat Arab terbagi oleh fethisisme(penyembahan kepada batu dan sejenisnya), animisme(kepercayaan kepada sesuatu yang
impersonal, hanya berupa spirit dan tidak dikenal), manisisme(kepercayaan bahwa nenek moyang adalah wakil tuhan yang
berhak disembah), totemisme(kepercayaan
akan kekuatan impersonal yang menguasai dunia),astral tradisisme(kepercayaan kepada tiga serang kai benda langit
yaitu matahari , bulan dan venus), dan monoteisme.[18]
Watt
dalam Muhammad’s mecca(1988), melalui kajian terhadap al Quran dikombinasikan
dengan sumber arkeologis dan literal
lain, mengidentifikasi adnya empat sistem
kepercayaan[19]:
1.
Fatalisme
Kepercayaan yang
meyakini bahwa waktulah yang menetukan segalanya. Kepercayaan ini berangkat
dari keyakinan bahwa waktu adalah realitas objektif yang tidak terelakan.
Menurut mereka, terdapat dua hal yang wujudnya ditakdirkan: kematian dan
rezeki.
Keyakinan ini adalah
sesuatu yang sangat mungkin dalam kehidupan masyarakat Arab yang hidup di
padang pasir yang ganas. Dalam kehidupan yang semacam ini tidak ada jaminan apa
yang akan terjadi sesudahnya. Sehingga mereka berkeyakinan bahwa segala sesuatu
yang terjadi meupakan produk waktu.
2.
Paganisme
Terdapat
sepuluh tuhan yang disembah dalam masyarakt arab.tiga diantaranya diwujudkan
dalam tuhan feminim, yaitu Latta, Uzzah, dan Manat. Mereka ditempatkan di
tempat-tempat suci disektar Mekah,Thaif, Nakhla, Qudaid. Tujuh lainnya
berkarakter tuhan maskulin antara lain Wadd yang sisembah oleh Suku Kalb, Suwa’
yang disembah oleh Suku Yanbu, Yaghuts
yang disembah oleh Suku Madhij, Yauq oleh Suku Khiwan dan Nasr oleh suku di
Yaman dan Himyar.
3.
Kepercayaan
kepada Allah sebagai Super Tuhan
Kepercayaan Allah
sebagai Tuhan ini sudah ada jauh sebelum islam datang. Konsep Allah sebagai
Tuhan dalam masyarakat Arab pra Islam setidaknya mengandung beberapa
pengertian:
a)
Sebaga
Tuhan pencipta Alam(29:61)
b)
Sebagai
pemberi hujan dan kehidupan kepada yang ada di muka bumi(29:63)
c)
Digunakan
sebagi sumpah sakral(35:42 dan 16:38)
d)
Sebagai
objek penyembahan dari apa yang dapat dikatakan sebagai monoteisme
sementara(31:32 dan 29: 65)
e)
Sebagai
Tuhan Ka’bah(106:1-3)
f)
Sebagai
Tuhan yang disembah melalui perantara dewa lain(1:18, 39:3, dan 46: 28)
Dari
kepercayaan ini dapat disimpulakan bahwa kepercayaan ini merupakan kepercayaan
dimana mereka menyembah Allah namun di lain sisi mereka juga melakuan
penyekutuan. Inilah praktek syirik.
4.
Monotheisme
Ajaran
ini dibawa oleh Nabi Ibrahim. Kepercayaan masyarakat arab tentang Agama
monoteisme ini banyak sedikitnya depengaruhi oleh dua agama yang telah dahulu
mendahului yaitu Nasrani dan Yahudi.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka dapat
kita simpulkan bahwa sebutan Jahiliyan kepada masyarakat Arab, bukanlah bodoh
dalam artian pengetahuan dan pola pikir mereka, melainkan bosoh disini adalah
bodoh dalam hal kepercayaan. Bangsa Arab merupakan bangsa dengan kebudayaan
maju dan tingkat pengetahuan serta kecerdasan tinggi. Hal ini terbukti dengan
hasil-hasil budaya mereka yang bernilai tinggi pada zamanny. Salah satu contoh
hasil pemikiran bangsa Arab adalah ilmu bangunan, ilmu astronomi dan sejarah.
Contoh hasil karya bangsa Arab yang terkenal adalah Bendungan Ma’rib pada zaman
kerajaan Sabaiyah. Hal ini membuktikan bahwa bangsa Arab bukan bangsa Jahil dalam artian pengetahuan mereka.
Bangsa Arab hidup dengan berbagai
kebudayaan dan kondisi sosial. Kebudayaan-kebudayaan tersebut ada yang asli dan
ada yang hasil akulturasi kebudayaan bangsa lain. Mereka hidup di tengah-tengah
permusuhan dua kerajaan besar yang saling memperebutkan pengaruh dan jajahan,
yaitu Kerajaan Persia dan Kerajaan Romawi Timur(Bizantium).
Dari itu dapat kita bayangkan betapa
beratnya perjuangan Nabi Muhammad dalam menyebarkan dakwah Islam. Dalam
dakwahnya, Beliau harus berhadapan dengan kebudayaan dan kondisi sosial serta
situasi politik bangsa Arab yang sedemikian mengakar. Bukan perkara mudah
karena menghadapi bangsa Arab berarti menghadapi bangsa dengan segala kebiasaan
dan kepercayaan yang mendarah daging. Dakwah Islam kepada bangsa Arab adalah
perjuangan berat karena bangsa Arab bukan bangsa yang polos tanpa kebudayaan
dan kepercayaan, melainkan bangsa yang memiliki budaya dan kepercayaan yang
mengakar
Daftar
Pustaka
Esha,
H. Muhammad In’am, M.Ag. 2011. Percikan Sejarah dan Peradaban Islam. Malang:
UIN Malang Press.
Ismail,
Drs. Faisal. 1984. Sejarah Kebudayaan Islam dari Zaman Permulaan Hingga Zaman Khulafaurrasyidin.
Yogyakarta: CV. Bumi Aksara.
SJ.,
M.Ag, Drs. Fadil. 2008. Pasang Surut Peradaban Islam Dalam Lintasan Sejarah.
Malang: UIN-Malang Press.
Syalabi,
Prof. Dr. Ahmad. 1973. Sejarah dan Kebudayaan Islam, jilid I, cetakan ketiga,
terjemahan Prof. Mukhtar Yahya. Jakarta: PT. Jaya Murni
[1] [1] Drs.
Faisal Islmail. Sejarah Kebudayaan Islam dari zama permulaan hingga zaman Khulafaurrasyidin(Yogyakarta:
Bina Usaha, 1984), 2.
[2] Drs. Fadil SJ., M. Ag, Pasang
Surut Peradaban Islam(malang: UIN Malang Press,2008), 44.
[3] Drs. Faisal Islmail. Sejarah
Kebudayaan Islam dari zama permulaan hingga zamanKhulafaurrasyidin(Yogyakarta:
Bina Usaha, 1984), 13.
[4] Drs. Faisal Islmail. Sejarah
Kebudayaan Islam dari zama permulaan hingga zamanKhulafaurrasyidin(Yogyakarta:
Bina Usaha, 1984), 13.
[5] Drs. Fadil SJ., M. Ag, Pasang
Surut Peradaban Islam(malang: UIN Malang Press,2008), 52.
[6] Kerajaan kecil yang dijadikan
tameng oleh kerajaan besar untuk menghalau serangan dari kerajaan musuh.
[7] Drs. Fadil SJ., M. Ag, Pasang
Surut Peradaban Islam(malang: UIN Malang Press,2008), 52.
[8] Drs. Fadil SJ., M. Ag, Pasang
Surut Peradaban Islam(malang: UIN Malang Press,2008), 86.
[9]. Drs. Faisal Islmail. Sejarah
Kebudayaan Islam dari zama permulaan hingga zamanKhulafaurrasyidin(Yogyakarta:
Bina Usaha, 1984), 20.
[10]. Drs. Faisal Islmail. Sejarah
Kebudayaan Islam dari zama permulaan hingga zamanKhulafaurrasyidin(Yogyakarta:
Bina Usaha, 1984), 21.
[11] Drs. Fadil SJ., M.Ag.,
pasang-surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah(Malang:UIN-Malang
Press,2008), 46.
[12] Drs. Fadil SJ., M.Ag.,
pasang-surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah(Malang:UIN-Malang
Press,2008), 47.
[13] . Drs. Faisal Islmail. Sejarah Kebudayaan
Islam dari zama permulaan hingga zamanKhulafaurrasyidin(Yogyakarta: Bina Usaha,
1984),6-8.
[14] Drs. Faisal Ismail. Sejarah
dan kebudayaan Islam dari zaman Permulaan hingga zaman
Khulafaurrasyidin(Yogyakarta, Bina Usaha, 1984), 22.
[15] Drs. Faisal Ismail. Sejarah
dan kebudayaan Islam dari zaman Permulaan hingga zaman
Khulafaurrasyidin(Yogyakarta, Bina Usaha, 1984), 23.
[16] Drs. Faisal Ismail. Sejarah dan
kebudayaan Islam dari zaman Permulaan hingga zaman
Khulafaurrasyidin(Yogyakarta, Bina Usaha, 1984), 25.
[17] H. Muhammad In’am Esha M.Ag.
percikan Filsafat Sejarah dan Kebudayaan Islam(Malang: UIN Maliki- Press,2011)
hlm.63, mengutip dari Muhammad A. Bamyeh, The
Social Origins of Islam: Mind, Economy,
Ciscourse(london: University Of Mennesota Press,1999), 80.
[18] H. Muhammad In’am Esha M.Ag.
percikan Filsafat Sejarah dan Kebudayaan Islam(Malang: UIN Maliki- Press,2011)
hlm.63, Joseph Henninger, pre islamic beduin religion, dalam merlin l. Swartz,
studies on islam,(oxford university press, 1981),6-7.
[19] H. Muhammad In’am Esha M.Ag.
percikan Filsafat Sejarah dan Kebudayaan Islam(Malang: UIN Maliki- Press,2011)
hlm.64, mangutip dari W. Montgomery Watt. Muhammad’s Mecca History in The
Qur’an(Edinburg: Edinburg University Press,1988), 26-31.
0 Comments:
Post a Comment