Pragmatisme
merupakan salah satu cabang ilmu filsafat modern yng muncul di amerika. Filsafah
ini muncul sekitar abad 19. Filsafah ini cenderung kepada filsafah Epistemologi
(cabang dari filsafat yang menyelidiki sumber-sumber serta kebenaran
pengetahuan) dan aksiologi (penyelidikan terhadap nilai atau martabat dan
tindakan manusia) dan sedikit perhatian terhadap metafisik.
Pada
awalnya, pragmatisme merupakan sebuah usaha untuk menggabungkan antara ilmu
pengetahuan dengan filsafat. Hal ini bertujuan agar filsafat mampu berguna
secara tepat bagi kehidupan praktis manusia.
Akhirnya
pragmatisme berkembang menjadi sebuah pemahaman yang menjawab dari perdebatan yang
selalu timbul antara filosofi-metafisik yang hampir mewarnai peradaban manusia
sejak zaman yunani kuno.
Pada
akhirnya filsafat ini lebih terkenal sebagai suatu metode dalam mengambil
keputusan melakukan tindakan tertentu atau yang menyangkut kebijaksanaan
tertentu.
1. Apakah
pengertian Pragmatisme itu?
2. Bagaimana
biografi John Dewey?
3. Bagaimana
pandangan John Dewey mengenai pengalaman, demokrasi dan pendidikan?
4. Bagaimana
analisis kritis atas kekuatan dan kelemahan dari pragmatisme?
Pragmatisme
berasal dari kata pragma (yunani) ang berarti tindakan, perbuatan.
Sering kali kata ini oleh orang pada umumnya di hubungkan dengan istilah
praktis.
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, pragmatisme ialah (1) kepercayaan bahwa kebenaran
atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dsb),
bergantung pd penerapannya bagi kepentingan manusia; (2) paham yang menyatakan
bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah terus; (3)
pandangan yang memberi penjelasan yang berguna tentang suatu permasalahan dengan
melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis.
Secara istilah,
pragmatisme dapat diartikan sebuah aliran dalam filsafat yang berpandangan
bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan
bagi kehidupan nyata.[1]
Pegangan
pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala
sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi
diterimanya, asal bermanfaat, bahkan kebenaran mistis dipandang sebagai berlaku
juga, asal kebenaran mistis itu membawa akibat praktis yang bermanfaat.[2]
John
Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika, pendidik dan pengkritik sosial
yang lahir di Burlington, Vermont dalam
tahun 1859. Ketika kecil dia adalah anak yang gemar membaca namun tidak menjadi
seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke
Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. kemudian
melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884
meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di
universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce,
orang yang menggagas munculnya pragmatisme. Walaupun demikian, pengaruh
terbesar darang dari guru dan sahabatnya G.S. Morris, seorang idealis. Dari
tahun 1884 samai 1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang
filsafat. Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir
tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang
filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, ketika ia pindah ke
Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya
tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Ia menjabat sebagai pemimpin
departemen filsafat dari tahun 1894-1904 di universitas ini. Ia kemudian
mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School.
Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di
sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis
sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan
tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti,
ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan
pemecahan masalah[3].
Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme
yang telah mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi selain menekuni
pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika.
Pengalaman
Dewey tidak hanya berhenti sampai di Universitas Chicago. Terakhir ia berkarya
sebagai dosen di Universitas Colombia dalam tahun 1904. Di universitas ini,
Dewey berkarya sebagai seorang profesor filsafat sampai ia pensiun pada tahun
1929. Dalam periode ini, Dewey banyak mengadakan perjalanan antara lain ke
negara-negara Eropa serta Jepang, Cina, Meksiko, dan Rusia. Di Jepang,
misalnya, ia memberikan kuliah-kuliah dalam bentuk ceramah yang kemudian
menjadi dasar pengembangan filsafat rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia juga
berkunjug ke Turki untuk mengadakan rekunstruksi terhadap sistem pendidikan
yang dijalankan di sana. Hal yang sama juga dilakukan dalam kunjugannya ke
Meksiko dan Rusia dalam tahun 1928.[4]
Sejak ia
berhenti dari universitas Colombia, ia aktif dalam pengembangan filsafat dan
melanjutkan karya-karya doktrinnya. Dengan berbagai usaha dan kerja yang
dilakukannya selama masih bekerja di universitas-universitas maupun setelah
itu, ia kemudian dikenal sebagai seorang yang mengembangkan filsafat secara
baru di Amerika. Pemikirannya banyak mempengaruhi perkembangan filsafat,
politik, pendidikan, religiusitas dan kesenian di Amerika.
Konsep
kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Bagi Dewey, pengalaman sebagai
suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang
mengultimatumkan suatu interelasi. Artinya bahwa tidak ada pengalaman yang
bergerak sendiri. Semuanya saling berhubungan satu sama lain. Menurutnya,
pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan menuju
pengalaman-pengalaman.[5]
Atas
dasar ini pula, Dewey merumuskan tujuan filsafat sebagai memberikan garis-garis
pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat
tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tidak
bermanfaat. Dalam konteks ini, filsafat digunakan sebagai dasar dan fungsi
sosial.
Dewey
beranggapan bahwa baik apa yang dikembangkan oleh kaum empiris maupun kaum
rasionalis terlalu statis di satu pihak dan terlampau mekanistik di lain pihak.
Dewey mengakui bahwa antara manusia dan lingkungan alamiahnya terdapat
dialektika yang konfliknya “terselesaikan” dalam pengalaman.
aktivitas
berpikir selalu merupakan sarana untuk memecahkan masalah-masalah. Hal ini
mengandaikan bahwa aktivitas inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas
kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan yang muncul dalam diri subyek
ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang disebut Dewey teori instrumentalia
tentang pengetahuan. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah
suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep,
pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang
bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran
berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai
konsekuensi-konsekuensi di masa depan.[6]
Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah
instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme.
Pada
bidang demokrasi dan pendidikan dewey berpendapat bahwa keduanya memiliki
hubungan yang sangat erat. Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokrtatis
adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih
menjadi suatu kebiasaan yang baik.
Dewey
sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu
masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana
untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi.
Pendidikan
merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang
lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih
pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya
secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib.
1. Kekuatan
pragmatisme
a. Dengan
munculnya pragmatisme di kehidupan kontemporer, khususnya amerika, telah
membawa kemajuan yang sangat pesat dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan
tekhnologi.
b. Pragmatisme
berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala
yang ada. dari sikap skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan
memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep
lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen-eksperimen
sehingga muncullah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan yang mampu
mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di badang sosial dan ekonomi.
c. Sesuai
dengan coraknya yang sekuler, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan
yang mapan”. Suatu kepercayaan diterima apabila terbukti kebenarannya lewat
pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang
sakral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatisme
merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia dan
gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat modern.
2. Kelemahan
Pragmatisme
a. Dengan
sifatnya yang tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran
absolute (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara
alamiah, dan percaya bahwa dunia ini mampu diciptakan oleh manusia sendiri,
secara tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang transendental
(ketuhanan). Kemudian pada perkembangan selanjutnya, pragmatisme sangat
mendewakan kemampuan akal dalam mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap
semacam ini menjurus kepada ateisme.
b. Karena
yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang
nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh manusia, maka
pragmatisme menciptkan pola pikir masyarakat yang matrealis. Manusia berusaha
secara keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat lahiriyah. Maka
dalam otak masyarakat pragmatisme telah di hinggapi oleh penyakit matrealisme.
c. Untuk
mencapai matrealismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa
memperdulikan lagi dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosial. Ia bekerja
tanpa mengenal batas waktu, maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup
semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita
penyakit humanisme.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan :
1. pragmatisme
adalah sebuah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran
sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
2. Konsep
kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Bagi Dewey, pengalaman sebagai
suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang
mengultimatumkan suatu interelasi. Artinya bahwa tidak ada pengalaman yang
bergerak sendiri. Semuanya saling berhubungan satu sama lain. Menurutnya,
pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan menuju
pengalaman-pengalaman.
3. Pada
bidang demokrasi dan pendidikan dewey berpendapat bahwa keduanya memiliki
hubungan yang sangat erat. Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokrtatis
adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih
menjadi suatu kebiasaan yang baik.
4. Kekuatan
pragmatisme
a. membawa
kemajuan yang sangat pesat dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
b. mampu
mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan
suatu konsep lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan
eksperimen-eksperimen sehingga muncullah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu
pengetahuan yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di badang
sosial dan ekonomi.
c. pendukung
terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia dan gerakan-gerakan progresif
dalam masyarakat modern.
5. Kelemahan
Pragmatisme
a. secara
tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang transendental
(ketuhanan). Kemudian pada perkembangan selanjutnya, pragmatisme sangat
mendewakan kemampuan akal dalam mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap
semacam ini menjurus kepada ateisme.
b. Karena
yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang
nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh manusia, maka
pragmatisme menciptkan pola pikir masyarakat yang matrealis.
c. manusia
hidup semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita
penyakit humanisme.
[1]) Mudzakir, Syadali Ahmad, Filsafat Umum (Pustaka Setia :
Bandung) 2004. Hlm 123
[3]) Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York:
American Book Company, 1951), hlm. 535.
[4]) Ibid, hlm. 535-536.
[5]) Hadiwijono Harun, Sari Sejarah Filsafat 2 (Kanisius :
Yogyakarta) 1988. hlm134
[6]) J. Ohoitimur,Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer, hlm.
76-79.
0 Comments:
Post a Comment