Header Ads

22 November 2014

SERI FILSAFAT : PRAGMATISME JOHN DEWEY


Pragmatisme merupakan salah satu cabang ilmu filsafat modern yng muncul di amerika. Filsafah ini muncul sekitar abad 19. Filsafah ini cenderung kepada filsafah Epistemologi (cabang dari filsafat yang menyelidiki sumber-sumber serta kebenaran pengetahuan) dan aksiologi (penyelidikan terhadap nilai atau martabat dan tindakan manusia) dan sedikit perhatian terhadap metafisik.
Pada awalnya, pragmatisme merupakan sebuah usaha untuk menggabungkan antara ilmu pengetahuan dengan filsafat. Hal ini bertujuan agar filsafat mampu berguna secara tepat bagi kehidupan praktis manusia.
Akhirnya pragmatisme berkembang menjadi sebuah pemahaman yang menjawab dari perdebatan yang selalu timbul antara filosofi-metafisik yang hampir mewarnai peradaban manusia sejak zaman yunani kuno.
Pada akhirnya filsafat ini lebih terkenal sebagai suatu metode dalam mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu atau yang menyangkut kebijaksanaan tertentu.
1.      Apakah pengertian Pragmatisme itu?
2.      Bagaimana biografi John Dewey?
3.      Bagaimana pandangan John Dewey mengenai pengalaman, demokrasi dan pendidikan?
4.      Bagaimana analisis kritis atas kekuatan dan kelemahan dari pragmatisme?
Pragmatisme berasal dari kata pragma (yunani) ang berarti tindakan, perbuatan. Sering kali kata ini oleh orang pada umumnya di hubungkan dengan istilah praktis.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pragmatisme ialah (1) kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dsb), bergantung pd penerapannya bagi kepentingan manusia; (2) paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu tidak tetap, melainkan tumbuh dan berubah terus; (3) pandangan yang memberi penjelasan yang berguna tentang suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis.
Secara istilah, pragmatisme dapat diartikan sebuah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.[1]
Pegangan pragmatisme adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi diterimanya, asal bermanfaat, bahkan kebenaran mistis dipandang sebagai berlaku juga, asal kebenaran mistis itu membawa akibat praktis yang bermanfaat.[2]
John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika, pendidik dan pengkritik sosial yang  lahir di Burlington, Vermont dalam tahun 1859. Ketika kecil dia adalah anak yang gemar membaca namun tidak menjadi seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. kemudian melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 meraih gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas terakhir ini, Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya pragmatisme. Walaupun demikian, pengaruh terbesar darang dari guru dan sahabatnya G.S. Morris, seorang idealis. Dari tahun 1884 samai 1888, Dewey mengajar pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat. Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini dijalankan sampai tahun 1894, ketika ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian hari. Ia menjabat sebagai pemimpin departemen filsafat dari tahun 1894-1904 di universitas ini. Ia kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolah-sekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah[3]. Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang telah mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi selain menekuni pendidikan, ia juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika.
Pengalaman Dewey tidak hanya berhenti sampai di Universitas Chicago. Terakhir ia berkarya sebagai dosen di Universitas Colombia dalam tahun 1904. Di universitas ini, Dewey berkarya sebagai seorang profesor filsafat sampai ia pensiun pada tahun 1929. Dalam periode ini, Dewey banyak mengadakan perjalanan antara lain ke negara-negara Eropa serta Jepang, Cina, Meksiko, dan Rusia. Di Jepang, misalnya, ia memberikan kuliah-kuliah dalam bentuk ceramah yang kemudian menjadi dasar pengembangan filsafat rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia juga berkunjug ke Turki untuk mengadakan rekunstruksi terhadap sistem pendidikan yang dijalankan di sana. Hal yang sama juga dilakukan dalam kunjugannya ke Meksiko dan Rusia dalam tahun 1928.[4]
Sejak ia berhenti dari universitas Colombia, ia aktif dalam pengembangan filsafat dan melanjutkan karya-karya doktrinnya. Dengan berbagai usaha dan kerja yang dilakukannya selama masih bekerja di universitas-universitas maupun setelah itu, ia kemudian dikenal sebagai seorang yang mengembangkan filsafat secara baru di Amerika. Pemikirannya banyak mempengaruhi perkembangan filsafat, politik, pendidikan, religiusitas dan kesenian di Amerika.
Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Artinya bahwa tidak ada pengalaman yang bergerak sendiri. Semuanya saling berhubungan satu sama lain. Menurutnya, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan menuju pengalaman-pengalaman.[5]
Atas dasar ini pula, Dewey merumuskan tujuan filsafat sebagai memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tidak bermanfaat. Dalam konteks ini, filsafat digunakan sebagai dasar dan fungsi sosial.
Dewey beranggapan bahwa baik apa yang dikembangkan oleh kaum empiris maupun kaum rasionalis terlalu statis di satu pihak dan terlampau mekanistik di lain pihak. Dewey mengakui bahwa antara manusia dan lingkungan alamiahnya terdapat dialektika yang konfliknya “terselesaikan” dalam pengalaman.
aktivitas berpikir selalu merupakan sarana untuk memecahkan masalah-masalah. Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginan–keinginan yang muncul dalam diri subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang disebut Dewey teori instrumentalia tentang pengetahuan. Yang dimaksudkan dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan.[6] Teori ini juga yang mendorongnya untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai pragmatisme.
Pada bidang demokrasi dan pendidikan dewey berpendapat bahwa keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokrtatis adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik.
Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi.
Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan kebiasaan yang lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib.
1.      Kekuatan pragmatisme
a.       Dengan munculnya pragmatisme di kehidupan kontemporer, khususnya amerika, telah membawa kemajuan yang sangat pesat dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
b.      Pragmatisme berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas dan selalu menyangsikan segala yang ada. dari sikap skeptis tersebut, pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen-eksperimen sehingga muncullah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di badang sosial dan ekonomi.
c.       Sesuai dengan coraknya yang sekuler, pragmatisme tidak mudah percaya pada “kepercayaan yang mapan”. Suatu kepercayaan diterima apabila terbukti kebenarannya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui adanya sesuatu yang sakral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan kelompok pragmatisme merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia dan gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat modern.
2.      Kelemahan Pragmatisme
a.       Dengan sifatnya yang tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika dan kebenaran absolute (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila terbukti secara alamiah, dan percaya bahwa dunia ini mampu diciptakan oleh manusia sendiri, secara tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang transendental (ketuhanan). Kemudian pada perkembangan selanjutnya, pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada ateisme.
b.      Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptkan pola pikir masyarakat yang matrealis. Manusia berusaha secara keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat lahiriyah. Maka dalam otak masyarakat pragmatisme telah di hinggapi oleh penyakit matrealisme.
c.       Untuk mencapai matrealismenya, manusia mengejarnya dengan berbagai cara, tanpa memperdulikan lagi dirinya merupakan anggota dari masyarakat sosial. Ia bekerja tanpa mengenal batas waktu, maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan :
1.      pragmatisme adalah sebuah aliran dalam filsafat yang berpandangan bahwa kriteria kebenaran sesuatu ialah, apakah sesuatu itu memiliki kegunaan bagi kehidupan nyata.
2.      Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Artinya bahwa tidak ada pengalaman yang bergerak sendiri. Semuanya saling berhubungan satu sama lain. Menurutnya, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan menuju pengalaman-pengalaman.
3.      Pada bidang demokrasi dan pendidikan dewey berpendapat bahwa keduanya memiliki hubungan yang sangat erat. Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokrtatis adalah dapat terwujud bila dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik.
4.      Kekuatan pragmatisme
a.       membawa kemajuan yang sangat pesat dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi.
b.      mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk berlomba-lomba membuktikan suatu konsep lewat penelitian-penelitian, pembuktian-pembuktian dan eksperimen-eksperimen sehingga muncullah temuan-temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan yang mampu mendorong secara dahsyat terhadap kemajuan di badang sosial dan ekonomi.
c.       pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan manusia dan gerakan-gerakan progresif dalam masyarakat modern.
5.      Kelemahan Pragmatisme
a.       secara tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang transendental (ketuhanan). Kemudian pada perkembangan selanjutnya, pragmatisme sangat mendewakan kemampuan akal dalam mencapai kebutuhan kehidupan, maka sikap-sikap semacam ini menjurus kepada ateisme.
b.      Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah sesuatu yang nyata, praktis, dan langsung dapat di nikmati hasilnya oleh manusia, maka pragmatisme menciptkan pola pikir masyarakat yang matrealis.
c.       manusia hidup semakin egois individualis. Dari sini, masyarakat pragmatisme menderita penyakit humanisme.









[1]) Mudzakir, Syadali Ahmad, Filsafat Umum (Pustaka Setia : Bandung) 2004. Hlm 123
[2]) Hadiwijono Harun, Sari Sejarah Filsafat 2, (Kanisius : Yogyakarta), 1988. hlm 130
[3]) Frederick Mayer, A History of Modern Philosophy (New York: American Book Company, 1951), hlm. 535.
[4]) Ibid, hlm. 535-536.
[5]) Hadiwijono Harun, Sari Sejarah Filsafat 2 (Kanisius : Yogyakarta) 1988. hlm134
[6]) J. Ohoitimur,Aliran-Aliran Utama Filsafat Barat Kontemporer, hlm. 76-79.

0 Comments:

Post a Comment