“Jangan gunakan paksaan tetapi biarkan
pendidikan menjadi sesuatu yang menyenangkan dan Anda akan lebih mudah
menemukan bakat-bakat alam”
Plato
Perguruan
tinggi adalah proses pembelajaran tertinggi dalam sistem pendidikan formal
kita. Berbeda dengan tingkatan-tingkatan sebelumnya, perguruan tinggi diberikan
kebebasan akademik untuk mengembangkan keilmuan pada masing-masing bidang.
Selain untuk mengembangkan keilmuan akademik mahasiswa, perguruan tinggi juga
mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri siswa baik dari UKM-UKM,
organisasi intra maupun ekstra kampus.
Bukan
kebebasan yang tidak terikat, pembatasan masa studi juga diperlukan Agar mahasiswa
tidak asal-asalan dalam menjalani proses pembelajaran di perguruan tinggi.
Dengan hitung-hitungan dari jumlah SKS yang wajib ditempuh, pemerintah
memberikan pembatasan masa studi di dalam perguruan tinggi maksimal 14 semester
( 7 tahun ).
BERAWAL DARI PASAR...
Asean Free Trade
Asociation (AFTA) atau biasa disebut MEA (Masyarakat
Ekonomi Asean) memang memberi efek yang cukup signifikan terhadap masyarakat Indonesia.
Kerjasama antar negara ASEAN ini selain berimbas pada sistem perekonomian Indonesia
juga berimbas pada kebijakan pendidikannya. Kemendikbud sebagai pengatur sistem
pendidikan langsung memberikan respon terkait kualitas lulusan perguruan tinggi
dalam menghadapi AFTA ini. Sepintas respon pemerintah wajar dan masuk akal,
namun kalau dilihat dari sejumlah kebijakan yang telah dijalankan oleh Mendikbud
periode sekarang serta pejabat di periode-periode sebelumnya, maka tidak
sedikit peran Pemerintah, c.q. Kemendikbud, yang punya andil besar terhadap
kesemrawutan dari sistem pendidikan nasional kita.
AFTA
menjadikan bebasnya tenaga kerja asing masuk ke indonesia. Hal ini membuat
khawatir pemerintah terkait dengan persaingan tenaga kerja. Sepertinya alasan
tersebut mendorong pemerintah mengeluarkan peraturan berupa permendikbud no 49
tahun 2014 tentang standar nasional pendidikan tinggi (SNPT).
Point
penting yang menjadi sorotan publik terkait kebijakan ini adalah pada pasal 17
ayat 3 point yang menyatakan bahwa masa studi program sarjana 4 sampai 5 tahun.
Hal ini merupakan pengurangan masa studi mahasiswa yang sebelumnya dapat
ditempuh selama 14 semester (7 tahun).
SUDUT PANDANG HUKUM...
Mangatta
Toding Allo, Mahasiswa Fakultas Hukum UGM yang merupakan Menteri Kajian
Strategis BEM KM UGM 2014 dalam tulisannya menyayangkan dikeluarkannya permendikbud
ini. Menurutnya kebijakan ini memiliki kelemahan dari sudut pandang
perundang-udangan. Jika dilihat dari Pasal 8 ayat (2) UU No. 12/2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sebuah peraturan harus memiliki
kekuatan mengikat yaitu :
·
diperintahkan
oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; atau
·
dibentuk
berdasarkan kewenangan.
Kemendikbud nomor 49 tahun 2014 terutama yang
terkait dengan masa studi mahasiswa, dinilai kurang bersambungan dengan
perudang-undangan yang berada di atasnya, yaitu UU DIKTI yang bersifat
fundamental yakni terkait hak dan kebebasan akademik mahasiswa dalam
pengembangan dirinya.
Pasal 17 ayat
(3) Permendikbud bertentangan dengan beberapa pasal di UU Dikti yaitu:
·
Pasal 13 ayat (1),
(2), (3) dan (4)
Dalam
pasal ini intinya mahasiswa sebagai sivitas akademika diposisikan sebagai insan
yang dewasa dan memiliki kesadaran sendiri mengembangkan potensi diri di
perguruan tinggi. Dalam ayat (4) mahasiswa memiliki hak mendapatkan pelayanan
pendidikan sesuai dengan bakat, minat, potensi, dan kemampuannya.
·
Pasal 14 ayat (2)
Dalam
pasal ini mahasiswa dalam mengembangkan minat, bakat, dan kemampuan dirinya
dapat dilaksanakan melalui organisasi kemahasiswaan.
Pasal
17 ayat 3 secara terang membatasi kebebasan mahasiswa sebagai insan yang dewasa yang
memiliki kesadaran sendiri dalam mengembangkan potensinya. Hal ini menjadi
penghianatan dan pertentangan dari semangat UU Dikti terutama pada pasal 13 dan
pasal 14 yang mengutamakan kebebasan pengembangan diri mahasiswa dalam menempuh
jenjang pendidikan tinggi.
Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
Peraturan Menteri harus mengacu pada peraturan diatasnya, dalam hal ini
contohnya adalah Undang-Undang. Hal inilah yang membuat beberapa ahli
berpendapat bahwa berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, Peraturan Menteri tersebut
dapat dijadikan objek pengujian Mahkamah Agung.
DI SISI LAIN...
Disamping
itu, ada analisa yang menarik terkait dengan permendikbud ini. Jika dilihat
dari redaksi yang digunakan oleh pemerintah, kemendikbud menggunakan istilah “masa studi terpakai”. Seperti yang
tertera dalam pasal 17 ayat 3, Masa studi
terpakai bagi mahasiswa dengan beban belajar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
sebagai berikut:
Pemerintah
tidak menggunakan istilah “masa studi
maksimal” atau “masa studi yang harus
ditempuh”. Jika merujuk kepada pasal 17 ayat (2), disebutkan bahwa “mahasiswa wajib menempuh beban belajar
paling sedikit…” Pasal ini kurang lebih bermakna “untuk bisa lulus program
sarjana, mahasiswa wajib menempuh beban belajar minimal sekian SKS”. Orang awam
sekalipun akan paham bahwa yang dimaksudkan di sini adalah “syarat minimal”,
bukan ketentuan “maksimal”. Konsekuensi ayat (2) tersebut kepada ayat ketiga
adalah bahwa “masa studi terpakai 4-5 tahun itu adalah masa studi minimal yang
diperlukan untuk menempuh beban sekian SKS”. Apabila lebih dari itu tentu saja
diperbolehkan.
Memang
perlu kajian yang lebih mendalam terkait penafsiran teks permendikbud tersebut.
Mungkin kajian tafsir hermenutika romantis (pendekatan linguistik) akan bisa
membantu terkait pemahaman di dalam undang-undang. Namun yang jelas, di dalam
rentetan pasal tersebut ada keniscayaan: bahwa 4-5 tahun masa studi hanyalah
perhitungan waktu di atas kertas berdasarkan jumlah SKS minimal yang
diperlukan. Kurang lebih itu sama dengan prediksi sebelum pertandingan
sepkabola dimulai: tim A dengan sederet pemain hebat akan menang lebih dari
tiga gol melawan tim B yang baru saja promosi dari kasta kedua.
ALASANNYA....
Dikeluarkannya
sebuah kebijakan pastinya tidak lepas dari landasannya. Berangkat dari hal
tersebut mari kita mulai menilai apa yang diinginkan oleh pemerintah. ada
beberapa alasan dikeluarkannya kebijakan tersebut, Pertama adalah terkait kurikulum. Kurikulum pendidikan
tinggi dievaluasi maksimal 4 tahun sekali. Dalam evaluasi tersebut terkadang
ada beberapa mata kuliah yag ditambah, dihapus, ataupun dibagi menjadi 2
semester berbeda (kasus ini terjadi pada beberapa jurusan di UIN suka ketika
krsan ada beberapa mahasiswa yang mengeluh karena ada perubahan kurikulum
sehingga mereka harus melakukan mediasi dengan pihak fakultas karena ada
beberapa mata kuliah yang tidak ada dalam penawaran tapi menjadi beban mata
kuliah). Untuk itu dalam pembatasan ini pemerintah bertujuan agar tidak ada
mahasiswa yang kesusahan karena menggunakan beberapa jenis kurikulum berbeda.
Yang
kedua adalah terkait dengan aliran mahasiswa masuk dan keluar. Pemerintah
menilai, masa studi yang lama seakan membuat perguruan tinggi cenderung
“menerima lebih banyak dan mengeluarkan lebih sedikit”. hal ini dinilai akan
berimbas pada kuota penerimaan mahasiswa baru yang bisa semakin menurun. Selain
itu penumpukan itu juga dinilai akan mengganggu kuota kelas pada mata kuliah
(kasus ini juga terjadi pada beberapa
jurusan di uin suka yang mana ada beberapa mahasiswa yang mengeluh ketika akan
mengambil mata kuliah tertentu karena kehabisan kelas sehingga harus meminta
pihak fakultas untuk menambah kuota, padahal pihak fakultas kesulitan dalam
jumlah ruang kelas dan dosen mengajar. Dilain pihak ada beberapa mahasiswa yang
terpaksa mengambil mata kuliah semester atasnya padahal mata kuliah semester
yang di tempuh belum terambil semua karena kekurangan kuota tersebut. Hal ini
mengganggu sistem keruntutan mata kuliah yang telah diatur).
Yang
ketiga adalah alasan yang cukup mulia, yaitu meringankan beban biaya untuk
orang tua. Dengan masa kuliah yang dibatasi tersebut membuat orangtua dapat
sedikit terbantu dengan tidak perlu membayar uang kuliah lebih dari 10
semester. Selain itu peraturan ini dinilai membantu mengoptimalkan dana bantuan
yang diberikan kepada setiap mahasiswa (khususnya PTN).
MENJAWAB...
terkait
dengan perubahan kurikulum, hal itu tidak menjadi alasan kuat mengapa masa
studi diperpendek. Perubahan kurikulum itu seharusnya efek dari perubahan
paradigma masyarakat ( bukan karena perubahan pemerintahan dari satu
pemerintahan ke pemerintahan lainnya) dan tidak ada hubungan secara langsung dengan
pemendekan masa studi.
Di
sisi lain, mahasiswa-mahasiswa pergerakan ataupun bidang minat bakat
menyayangkan –untuk tudak mengatakan menolak-- kebijakan ini. Menurut mereka
dengan pembatasan masa studi akan menciptakan budaya mahasiswa pragmatis. Mahasiswa
hanya berfikiran lulus cepat dan mencari pekerjaan. Mahasiswa didik menjadi
pekerja bukan menjadi cendikiawan. Padahal semangat pendidikan seharusnya
bersandar pada pembukaan UUD 45 Alenia ke 4 yang memiliki semangat untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa (masalah tujuan pendidikan ini pernah ramai diperdebatkan
antara Fuad Hasan dengan Habibie).
Efek
selanjutnya adalah menumpuknya para sarjana pengangguran. Pemerintah yang
sebelumnya ingin mengurangi penumpukan mahasiswa malah membuat masalah baru
dengan menambah sarjana pengangguran. Kecuali pemerintah bisa memberikan
skenario untuk menampung para sarjana yang lulus cepat tersebut. Namun hingga
saat ini belum ada langkah konkrit pemerintah terkait dengan permasalahan ini.
Untuk
masalah pembayaran, bila mau di telusuri lebih dalam, sebenarnya bukan
kekurangan dana pendidikan yang menjadi masalah utama, tapi pemanfaatan dana
itu yang kurang maksimal. Kita lihat saja penggunaan dana. Lihat saja
keterserapan dana hingga oktober 2014. bisa dilihat di bappeda. Keterserapan
dana belum mencapai angka 80% padahal sebentar lagi tutup tahun. Lalu kemana
larinya dana itu, silahkan tebak sendiri?
Ini
sebenarnya contoh kekurangan pemerintah
dalam pengelolaan dana terutama dana pendidikan. Beberapa hal yang menjadi problem
adalah ketakutan para pejabat dalam mengelola dana. Ketakutan ini pastinya
berasal dari kekurangan skill mereka dalam mengelola dana. Contoh paling dekat
untuk kemenag adalah uin suka sendiri. Bisa dicek di bagian keuangan uin suka
bagaimana keadaan keuangan yang sebenarnya. Jadi kembali lagi permasalahannya
bukan di pengadaan dana melainkan pemanfaatannya.
Untuk
itu permasalahan pemotongan masa studi dengan alasan pemborosan anggaran negara
adalah suatu hal yang tidak mendasar. Namun demikian kami tidak menjustifikasi
bahwa itu 100% salah. Sebetulnya kami juga mendukung niatan baik pemerintah
untuk mengurangi beban orang tua tersebut. Untuk itu kami memberikan sedikit
solusi. Dalam hal ini pemerintah lebih khusus pihak universitas harus
mengetahui alasan pasti mengapa seorang mahasiswa molor kuliahnya. Dengan
demikian bisa diberikan kebijakan-kebijakan yang akomodatif.
Apabila
alasan molornya mahasiswa karena hal positif, maka pihak univ seharusnya
memberikan sedikit keleluasaan terhadap masa studi dan tentunya terhadap
subsidi pembiayaannya. Namun apabila alasannya negatif bisa diberikan
punishment berupa dia harus membayar full semua biaya perkuliahan tersebut
tanpa ada subsidi (misalnya) dari mulai habisnya masa 10 semester tersebut.
Dengan harapan ketika beban pembiayaan sedikit ditambah memberikan efek
semangat mahasiswa untuk segera menyelesaikan studinya. Kami kira contoh
kebijakan seperti ini lebih maslahat untuk semua.
UIN BELUM MENJAWAB...
Terlepas
dari itu semua, hingga kini pihak rektorat UIN Sunan Kalijaga belum bisa
memberi kepastian tentang penafsiran yang sebenarnya terkait dengan kebijakan
baru tersebut. Bahkan hingga seminar yang diadakan untuk dosen-dosen yang
dilakukan beberapa minggu yang lalu dengan menghadirkan langsung perwakilan
dari kemendikbud terkait dengan penafsiran peraturan tersebut belum juga
memberikan jawaban yang pasti, apakah 4-5 tahun itu memang benar-benar maksimal
masa studi, atau 4-5 tahun itu bukan sesuatu yang maksimal sehingga bisa lebih
dari itu. Juga terkait dengan 4 tahunnya apakah itu sesuatu yang bersifat
prediktif (seperti yang tertera di atas) sehingga bisa lebih cepat, atau
sesuatu yang mutlak artinya harus 4 tahun sehingga tidak ada lagi istilah
mahasiswa lulus tercepat (terkait hal ini ada analisa yang mengatakan bahwa
dengan adanya mahasiswa yang lulus cepat, dalam persaingannya di dunia kerja
dianggap tidak adil, mahasiswa yang lulus cepat dianggap common sense sebagai representasi mahasiswa yang baik, mahasiswa
yang ideal. Padahal dalam kenyataannya bahkan banyak mahasiswa yang lulus agak
lama namun mereka malah lebih kompeten dibanding dengan yang lulus cepat).
Akhirnya
harus kita sadari tugas mahasiswa adalah sebagai pengawas pemerintah. Sikap
kritis mahfasiswa adalah suatu hal yang niscaya harus di hadirkan dalam ranah
intelektualnya. Ketika kebebasan akademik suatu negara mulai dibatasi, sudah
mulai terlihat masa depan yang penuh dengan para budak kapitalis.
Jadi,
yang salah siapa: pemerintah yang salah tafsir terhadap aturan yang mereka buat
sendiri, atau kita mahasiswa yang tidak mampu mencermati isi peraturan tersebut
sehingga gagal menggugatnya?
Ditulis
oleh ahmad syafii, aktif di kelompok studi ilmu pendidikan (KSiP) mahasiswa
semester 3 fakultas ilmu tarbiyah dan keguruan UIN sunan kalijaga.
0 Comments:
Post a Comment