Disusun
Oleh :
Makhlis
Irhamni (13410055)
Ihwan
Fasihin (13410058)
Nofi
Retnosari (13410070)
Amalia
Chusnas Sa’adah (13410075)
JURUSAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS
ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN
SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu filsafat islam yaitu
beermula hendak zuhud dari dunia yang fana. Tetapi, lantaran banyaknya campur gaul dengan negeri dan bangsa lain itu kedalamnya.
Karena tasawuf bukanlah agama, melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya
diijinkan oleh agama dan setengahnya pula dengan tidak sadar, telah tergelincir
dari agama, atau terasa enaknya pelajaran agama lain dan terikut dengan tidak
diingat.
Agama islam adalah agama yang
menyeru umatnya untuk mencari rezeki dan mengambil dan mengambil sebab-sebab
buat mencapai kemuliaan, ketinggian dan keagungan dalam perjuangan
hidupsa-bangsa, seperti pemikiran-pemikiran dan tasawuf – tasawuf Hamka yang
akan dibahas didalam makalah ini.
Hamka merupakan salah satu tokoh ulama Islam yang
berhasil mempengaruhi pemikiran keislaman Indonesia melalui konsep dan ide yang
dihasilkannya. Ini terlihat dari tulisan-tulisan yang pernah dituangkannya di
dalam salah satu rubrik pada majalah Pedoman Masyarakat dengan judul “Bahagia”,
yang kemudian dibukukan dengan judul Tasawuf Modern, mendapat tempat di hati
pembacanya. Tulisan-tulisan tersebut mulai disusun pada tahun 1937 dan berakhir
pada nomor ke-43 tahun 1938, baru kemudian dibukukan atas permintaan sahabat
Hamka yang bernama Oei Ceng Hein, salah seorang mubaligh yang terkenal di
Bintuhan.
Sebagaimana yang tertera dalam pengantar cetakan
pertama, Hamka memberikan keterangan tentang mengapa rubrik yang dipakai di
dalam menuangkan tulisannya itu bernama Tasawuf Modern. Menurutnya, meskipun
tulisan yang ia tuangkan juga merujuk pada buku-buku tasawuf (klasik), akan
tetapi hal itu dimaksudkan untuk mengetengahkan ilmu tasawuf yang telah
dipermodern. Di dalam catatan pendahuluan buku ini disebutkan bahwa meletakkan
rubrik ‘Tasawuf Modern’ itu pun menjadi bukti bahwasanya ia juga mencintai
hidup di dalam tasawuf, yaitu tasawuf yang diartikan dengan kehendak
memperbaiki budi dan men-shifa’-kan (membersikan) bathin. Hal yang menurutnya
sebagai ‘keterangan yang modern’ meskipun asalnya terdapat dari buku-buku
tasawuf juga. Jadi Tasawuf Modern yang dimaksud ialah keterangan ilmu tasawuf
yang dipermodern.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Biografi Hamka
Nama lengkap Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim
Amrullah. Beliau dilahirkan pada 17 Februari 1908 (14 Muharram 1326). Dan wafat
pada 24 Juli 1981 M. Ia dilahirkan di desa Kampung Molek, Maninjau, Sumatera
Barat. Dalam sejarah nasional, daerah Maninjau merupakan tempat di mana
dilahirkan tokoh-tokoh politik, ekonomi, pendidikan dan pergerakan Islam
seperti Mohammad Natsir, A.R Sutan Mansyur, Rasuna Said, dan lain-lain.
Dilihat dari nasab keturunannya, Hamka adalah
keturunan tokoh-tokoh ulama Minangkabau yang tidak semuanya memiliki faham
keislaman yang sama, baik itu dalam masalah furû’ maupun ushûl. Kakek Hamka
sendiri, Syaikh Muhammad Amrullah adalah penganut tarekat mu’tabarah
Naqsabandiyah yang sangat disegani dan dihormati bahkan dipercaya memiliki
kekeramatan dan disebut-sebut sebagai wali. Kerapkali masyarakat setempat
mencari berkah melalui sisa makanan, sisa minuman atau sisa air wudhu dan
sebagainya. Syaikh Muhammad Amrullah mengikuti jejak ayahnya Tuanku Syaikh
Pariaman dan saudaranya Tuanku Syaikh Gubug Katur. Ia pernah berguru di Makkah
dengan Sayyid Zaini, Syaikh Muhammad Hasbullah, bahkan ikut belajar kepada
mereka yang lebih muda seperti Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Taher Jalaludin.
Akan tetapi ayah Hamka, Syaikh Abdul Karim Amrullah (lahir 17 Shafar 1296 H/16
Februari 1879) yang biasa dipanggil dengan sebutan Haji Rasul, memiliki
pemahaman yang berbeda dengan pendahulunya. Meskipun sama-sama belajar di
Makkah, Haji Rasul terkenal sangat menolak praktek-praktek ibadah yang pernah
dilakukan dan di da’wahkan ayah dan kakeknya. Ia terkenal sebagai tokoh pembaharu
(al-tajdîd). Dalam kondisi dan situasi yang penuh dengan pertentangan antara
kaum muda dan kaum tua itulah Hamka dilahirkan dan melihat sendiri sepak
terjang yang dilakukan ayahnya. Situasi itu agaknya memiliki persamaan
sabagaimana yang pernah terjadi di akhir tahun 1910 di kota Surabaya antara
kaum muda dan kaum tua (Kaum tua dipimpin oleh Kiai Wahab Hasbullah dan kaum
muda dikomandoi oleh Kiai Haji Mas Mansyur, Ahmad Syurkati, dan Fakih Hasjim).
Pada kenyataannya, Hamka sendiri banyak mengikuti cara berfikir ayahnya dalam
memahami pokok-pokok agama Islam, meskipun berbeda dalam sisi pendekatan. Haji
Rasul keras, sementar Hamka lebih santun.
Hamka mengawali masa pendidikan di dalam pengawasan
langsung ayahnya. Ia mulai mempelajari al Qur’an dari orang tuanya hingga usia
enam tahun, yang ketika itu berpindah rumah dari Maninjau ke Padang Panjang di
tahun 1948. Setahun kemudian di usia Hamka yang ke tujuh tahun sang ayah
memasukkannya ke sekolah desa. Di sekolah desa itu ia hanya menjalaninya selama
tiga tahun. Akan tetapi di sisi lain ia juga mendapatkan pendidikan di sekolah
sekitarnya (sekolah-sekolah agama di Padang Panjang dan Parabek dekat Bukit
Tinggi) kira-kira tiga tahun lamanya pula. Para sejarawan mengenal Hamka dengan
semangat otodidaknya yang gigih. Ia belajar sendiri tentang buku-buku yang
menurutnya penting. Ilmu-ilmu seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah,
sosiologi dan politik baik yang datang dari Islam maupun Barat ditelaahnya
dengan bermodal pendidikan yang pernah diterimanya. Ketika Hamka berusia 16
tahun, pencarian ilmunya dilanjutkan dengan hijrah ke tanah Jawa pada tahun
1924. Di Jawa ia berinteraksi dengan beberapa tokoh Pergerakan Islam modern
seperti H. Oemar Said, Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah
1944-1952), R.M Soerejo, Pranoto (1871-1959), dan KH Fakhrudin (ayah dari KH
Abdur Razzaq). Kota Yogjakarta terlihat memiliki arti penting dalam proses
perkembangan pribadi dan pemikiran Hamka. Kota itu telah memberikan kesadaran
baru dalam beragama yang selama ini difahami olehnya. Ia sendiri menyebutkan
bahwa di kota inilah ia menemukan “Islam sebagai sesuatu yang hidup, yang
menyodorkan suatu pendirian dan perjuangan yang dinamis.” Di Yogjakarta, Hamka
lebih banyak menginternalisasikan ilmu-ilmu yang lebih berorientasi kepada
peperangan terhadap keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan, serta bahaya
kristenisasi yang mendapat sokongan dari pemerintah kolonial Belanda. Hal itu
berbeda dengan pendidikan semasa masih di kampung halaman yang lebih
berorientasikan pada pembersihan akidah dari syirik, bid’ah dan khurafat di
mana penampilan perjuangan itu sudah terlihat semenjak munculnya Perang Paderi
sampai kemasa tiga serangkai; Haji Abdullah Ahmad, Syeikh Abdul Karim Amrullah
dan Syeikh Muhammad Djamil Djambek. Ditahun-tahun berikutnya, Hamka kemudian
mulai banyak berkiprah dan mengabdikan diri kepada umat, baik melalui gerakan
Muhammadiyah maupun pada lembaga lainnya.
Khusus di bidang politik, peran Hamka dimulai dari aktivitasnya di tahun 1925 di dalam Partai Serikat Islam. Hingga pada tahun 1945 ia membantu perjuangan melawan pihak kolonial melalui pidato-pidato dan menyertai kegiatan gerilya di hutan belantara Medan, Hamka kemudian dilantik menjadi ketua Front Pertahanan Nasional Indonesia (1947). Menjadi anggota konstituante mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah untuk Partai Masyumi pada tahun 1955. Konstituante dibubarkan (1959) dan dengan dibubarkannya Masyumi pula (1960) ia memusatkan kegiatanya dalam da’wah melalui ta’lim dan tabligh dan menjadi imam masjid agung Al Azhar Kebayoran Jakarta. Merasakan hidup di Penjara pada rezim Soekarno, atas tuduhan (fitnah) makar anti Soekarno (GAS: Gerakan Anti Soekarno). Ia dipenjarakan di rumah sakit pemberian Rusia tepatnya di daerah Rawa Mangun yang diberi nama R.S Persahabatan. Bersamanya pula Mr. Kasman, Ghazali Sahlan, Dalari Umar, Yusuf Wibisono. Hamka sendiri baru dibebaskan pada 23 Mei 1966. Sebelumnya telah ditangkap pula rekan-rekannya seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Syahrir, Mohammad Roem, Prawoto, Yunan Nasution dan Isa Anshori pada tahun 1962 karena dituduh sebagai pemberontak PRRI. Hamka terpilih sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1975 oleh pemerintahan Orde Baru, yang kemudian terpilih kembali pada periode kedua tahun 1980, dengan salah satu ungkapannya yang terkenal “Kalau saya diminta menjadi ketua Majelis Ulama, saya terima. Akan tetapi ketahuilah, saya sebagai ulama tidak dapat dibeli”. Hamka tidak hanya memiliki kemampuan memberikan pidato atau mengisi ceramah di depan podium, akan tetapi ia juga seorang penulis yang sangat produktif. Jumlah tulisannya dalam bentuk buku hingga mencapai 118 buah, dari Khatibul Ummah, Tasawuf Modern (1939), dan yang terakhir Tafsir Al Azhar 30 Juz.
Khusus di bidang politik, peran Hamka dimulai dari aktivitasnya di tahun 1925 di dalam Partai Serikat Islam. Hingga pada tahun 1945 ia membantu perjuangan melawan pihak kolonial melalui pidato-pidato dan menyertai kegiatan gerilya di hutan belantara Medan, Hamka kemudian dilantik menjadi ketua Front Pertahanan Nasional Indonesia (1947). Menjadi anggota konstituante mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah untuk Partai Masyumi pada tahun 1955. Konstituante dibubarkan (1959) dan dengan dibubarkannya Masyumi pula (1960) ia memusatkan kegiatanya dalam da’wah melalui ta’lim dan tabligh dan menjadi imam masjid agung Al Azhar Kebayoran Jakarta. Merasakan hidup di Penjara pada rezim Soekarno, atas tuduhan (fitnah) makar anti Soekarno (GAS: Gerakan Anti Soekarno). Ia dipenjarakan di rumah sakit pemberian Rusia tepatnya di daerah Rawa Mangun yang diberi nama R.S Persahabatan. Bersamanya pula Mr. Kasman, Ghazali Sahlan, Dalari Umar, Yusuf Wibisono. Hamka sendiri baru dibebaskan pada 23 Mei 1966. Sebelumnya telah ditangkap pula rekan-rekannya seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Syahrir, Mohammad Roem, Prawoto, Yunan Nasution dan Isa Anshori pada tahun 1962 karena dituduh sebagai pemberontak PRRI. Hamka terpilih sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1975 oleh pemerintahan Orde Baru, yang kemudian terpilih kembali pada periode kedua tahun 1980, dengan salah satu ungkapannya yang terkenal “Kalau saya diminta menjadi ketua Majelis Ulama, saya terima. Akan tetapi ketahuilah, saya sebagai ulama tidak dapat dibeli”. Hamka tidak hanya memiliki kemampuan memberikan pidato atau mengisi ceramah di depan podium, akan tetapi ia juga seorang penulis yang sangat produktif. Jumlah tulisannya dalam bentuk buku hingga mencapai 118 buah, dari Khatibul Ummah, Tasawuf Modern (1939), dan yang terakhir Tafsir Al Azhar 30 Juz.
2.
Pemikiran Tasawwuf Hamka
Di dalam literatur Hamka, ia tidak menggunakan istilah
Tazkiyatun Nafs sebagaimana yang sering dipakai sebagian ulama untuk merujuk
kepada model penyucian jiwa di dalam Islam.# Akan tetapi, jika dilihat dari misi dan definisi yang disebutkan Hamka
melalui istilah tasawuf, maka kita akan menemukan kesamaan maksud. Dalam
mendefinisikan istilah tasawuf Hamka menyebutnya sebagai ‘ilmu’. Artinya, Hamka
menilai bahwa tasawuf adalah sebuah disiplin ilmu yang telah mapan di dalam
kajian Islam. Dr. Hamka,
Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), cet. Ke-2,
hlm. 202. Hamka
menjelaskan bahwa tasawuf adalah Shifâ’ul Qalbi, artinya membersihkan hati,
pembersihan budi pekerti dari perangai-perangai yang tercela, lalu memperhias
diri dengan perangai yang terpuji.[1] Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Modern,(Jakarta: Pustaka
Panjimas, 1988), hlm. 1-5. Hamka juga berpendapat lain,
bahwa tasawuf adalah membersihkan
jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi, menekan segala kelobaan dan kerakusan,
memerangi sahwat, terlebih dari untuk
keperluan diri
sendiri.2 Dari definisi yang dijelaskan Hamka di atas dapatlah
kita melihat kesamaan misi antara Tazkiyatun Nafs dan tasawuf, di mana keduanya
menginginkan sebuah upaya yang satu, yaitu pembersihan diri atau jiwa seseorang
dari perangai buruk dan dosa yang di anggap buruk oleh syari’at Islam. Oleh
sebab itulah, paparan di atas sejalan dengan apa yang dijelaskan Hamka ketika
menafsirkan QS. Asy-Syams: 9-10 dalam Tafsir al Azhar: 9-10,“Sungguh beruntung
orang yang mensucikan (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya”.
Menurutnya, penyakit yang paling berbahaya bagi jiwa ialah mempersekutukan
Allah dengan yang lainnya. Termasuk juga mendustakan kebenaran yang dibawa oleh
Rasul, atau memiliki sifat hasud, dengki kepada sesama manusia, benci, dendam,
sombong, angkuh dan lain-lain. Maka seseorang yang beriman hendaknya
mengusahakan pembersihan jiwa dari luar dan dalam, dan janganlah mengotorinya.
Sebab menurut Hamka, kekotoran itulah yang justru akan membuka segala pintu kepada
berbagai kejahatan besar.
Meskipun Hamka menggunakan istilah tasawuf, akan
tetapi tasawuf yang dikemukakan Hamka bukanlah tasawuf sebagaimana yang
difahami kebanyakan orang. Tasawuf yang dikembangkan Hamka adalah tasawuf yang
memiliki basis pada koridor syari’at agama (Tasawwûf Masyrû’). Oleh sebab
itulah, di dalam penilaian Hamka, tasawuf tidaklah memiliki sumber lain
melainkan bersumberkan murni dari Islam. Dirinya sangat menekankan keharusan
setiap individu untuk melakukan pelaksanaan tasawuf agar tercapai budi pekerti
yang baik.
Hamka mendasarkan konsep tasawufnya ini pada kerangka
agama dibawah pondasi aqîdah yang bersih dari praktek-praktek kesyirikan, dan
amalan-amalan lain yang bertentangan dengan syari’at. Sebab bagaimanapun juga
Hamka benar-benar menyadari bahwa tasawuf yang telah menjadi ilmu tersendiri
ini , pada perjalanannya mendapatkan pencemaran dari pandangan hidup lain dan
tak jarang bagi para pelakunya terjerumus pada praktek-praktek yang tidak di
syari’atkan oleh Islam. Hamka mengatakan, “Karena kita tidak dapat memungkiri
bahwa ajaran asli itu (tasawuf) di jaman akhir sudah banyak dicampuri, kalau
tidak boleh dikatakan dikotori oleh pengaruh yang lain itu.” Hamka juga
menyebutkan keadaan ilmu tasawuf yang diterima oleh sebagian besar muslim di
negeri ini telah mendapat percampuran dengan hikayat, dongeng-dongeng, serta
pemahaman dan keyakinan-keyakinan lain, terutama dari agama nenek moyangnya
yaitu Hindu. Dalam proses menuju ma’rifat sebagai puncak kebahagiaan para pelaku
tasawuf (kedekatan yang intens kepada Allah), di mana tasawuf menjembatani hal
itu, maka Hamka menjelaskan bahwa secara umum ilmu tasawuf menawarkan trilogi
konsep sebagai pencapaian kearah itu di antaranya:
-
Takhalli
yaitu sebuah usaha pembebasan diri
dari sifat-sifat tercela.
-
Tahalli
sementara tahalli, sebagai usaha untuk mengisi dan berhias diri dengan
sikap-sikap terpuji.
-
Tajalli
Tajalli merupakan penghayatan rasa
ketuhanan atau dalam istilah Hamka, “Kelihatan Allah di dalam hati. Bukan di
mata, tapi terasa di hati, bahwa Dia ada”.
Untuk menimbulkan persepsi yang berbeda di kalangan
khalayak ramai tentang tasawuf, Hamka kemudian memunculkan istilah tasawuf
modern. Penggunaan istilah tasawuf yang diimbuhi dengan kata ‘modern’
sebenarnya merupakan suatu terobosan yang rentan kritik. Hal itu mengingat
ketokohan Hamka yang lahir dari pergerakan kaum modernis yang berafiliasi dalam
gerakan Muhammadiyah, dimana dalam faham keagamaannya organisasi ini menentang
praktek-praktek tasawuf pada umumnya. Di mana tasawuf yang ditawarkan Hamka berdasar pada prinsip tauhid, bukan
pencarian pengalaman mukasyafah.
3.
Ajaran Tasawuf Hamka
Diantara ajaran tasawuf Hamka
adalah:
a)
Zuhud
Zuhud menurut konsepsi Hamka
yaitu “tidak ingin,” dan “tidak
demam” kepada dunia, kemegahan, harta benda, dan pangkat. Dengan demikian, maka
seorang yang zahid adalah orang yang hatinya tidak terikat oleh materi. Ada
atau tidak adanya materi adalah sama saja, stabil dalam kehidupannya. Namun
tentu saja secara pisik tetap bergelimang dengan materi, karena ia sebagai
makhluk yang mempunyai dua dimensi, rohani dan jasmani. Dari paradigma di atas
maka konsepsi zuhud Hamka dapat menjawab permasalahan di atas. Yaitu dengan
jalan meninggalkan hal-hal yang berlebihan, walaupun halal, menunjukkan sikap
hemat, hidup sederhana, dan menghindari berlebih-lebihan, kemewahan atau
pemilikan harta yang lebih bernilai sebagai promotor status dari pada sebagai
harta kekayaan produktif. Zuhud juga dapat melahirkan sikap menahan diri
memanfaatkan harta untuk kepentingan produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah
harta bukan saja aset ilahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga
sebagai aset sosial dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif terhadap pemanfaatan
harta dalam masyarakat.
b)
Qana’ah
Qana’ah adalah menerima apa
adanya (menerima cukup).
Qana’ah mengandung 5 perkara,
yaitu:
·
Menerima dengan rela akan apa yang ada
·
Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas dan
berusaha
·
Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan
·
Bertawakkal kepada Tuhan
·
Tidak tertarik oleh tipu daya dunia
Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya “Qana’ah itu
adalah harta yang tak akan hilang dan pura (simpanan) yang tidak akan lenyap”.
Orang yang bersifat qana’ah telah memagar hartanya sekedar
apa yang dalam tangannya dan tidak menjalar pikirannya kepada yang lain.
c)
Tawakkal
Tawakkal yaitu menyerahkan
keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada Tuhan semesta alam. Dia yang
kuat dan kuasa, kita lemah dan tak berdaya.
Di samping itu, dengan zuhud akan tampil sifat positif
lainnya, seperti:
-
qana’ah (menerima apa yang telah ada/dimiliki)
-
tawakkal
(pasrah kepada Allah Swt.)
-
wara’ yaitu
menjaga diri agar jangan sampai makan barang yang meragukan (syubhat)
-
sabar, yakni tabah menerima keadan dirinya baik
keadaan itu menyenangkan, menyusahkan dan sebagainya
-
syukur, yakni menerima nikmat dengan hati lapang, dan
mempergunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya.
Penghayatan tasawufnya berupa pengamalan taqwa yang
dinamis, bukan keinginan untuk bersatu dengan Tuhan (unitive state), dan
refleksi tasawufnya berupa penampakan semakin tingginya semangat dan nilai
kepekaan social-religius (sosial keagamaan), bukan karena ingin mendapatkan
karâmah (kekeramatan) yang bersifat magis, metafisis dan yang sebangsanya.
Keberadaan tasawuf yang fahami oleh Hamka adalah semata-mata hendak menegakkan
prilaku dan budi manusia yang sesuai dengan karakter Islam yang seimbang atau
menurut bahasa Hamka, i’tidal. Untuk itulah, manusia dalam prosesnya mesti mengusahakan
benar-benar ke arah terbentuknya budi pekerti yang baik, terhindar dari
kejahatan dan penyakit jiwa atau penyakit batin. Hamka menegaskan, “Budi
pekerti jahat adalah penyakit jiwa, penyakit batin, penyakit hati. Penyakit ini
lebih berbahaya dari penyakit jasmani. Orang yang ditimpa penyakit jiwa akan
kehilangan makna hidup yang hakiki, hidup yang abadi. Ia lebih berbahaya dari
penyakit badan. Dokter mengobati penyakit jasmani menurut syarat-syarat
kesehatan. Sakit itu hanya kehilangan hidup yang fana. Oleh sebab itu hendaklah
dia utamakan menjaga penyakit yang hendak menimpa jiwa, penyakit yang akan
menghilangkan hidup yang kekal itu”. Hamka menambahkan, ”Adapun jalan tasawuf
ialah merenung ke dalam diri sendiri. Membersihkan diri dan melatihnya dengan
berbagai macam latihan (riyâdhah al-nafs), sehingga kian lama kian terbukalah
selubung diri dan timbullah cahaya yang gemilang”. Maka menurutnya kehidupan
bertasawuf tidaklah seperti yang digambarkan oleh para sufi pada umumnya,
hingga melemahan gerak manusia. Dalam membangun hidup bertasawuf, Hamka
melandasinya dengan kekuatan Aqidah. Sebab dengan kekuatan inilah, perjalanan
tasawuf akan terhindar dari bentuk-bentuk kemusyrikan yang sering kali terjadi
pada seorang sufi.
4.Daftar Karya Buya Hamka
Ø
Etika Hamka Konstruksi Etik Berbasis Rasional
Religius
Ø
Lembaga Budi
Ø
Pelajaran Agama Islam
Ø
Tasawuf Modern
Ø
Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaanya
5. Aktivitas lainnya
- Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat, 1936-1942
- Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956
- Memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen Agama),
1950-1953
0 Comments:
Post a Comment