Header Ads

07 November 2014

AKHLAK TASAWUF : HAMKA DAN AJARAN TASAWUFNYA










Disusun Oleh :
                              Makhlis Irhamni              (13410055)
                              Ihwan Fasihin                 (13410058)
                              Nofi Retnosari                 (13410070)
                              Amalia Chusnas Sa’adah       (13410075)



JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Tasawuf adalah salah satu filsafat islam yaitu beermula hendak zuhud dari dunia yang fana. Tetapi, lantaran banyaknya campur gaul dengan negeri dan bangsa lain itu kedalamnya. Karena tasawuf bukanlah agama, melainkan suatu ikhtiar yang setengahnya diijinkan oleh agama dan setengahnya pula dengan tidak sadar, telah tergelincir dari agama, atau terasa enaknya pelajaran agama lain dan terikut dengan tidak diingat.
Agama islam adalah agama yang menyeru umatnya untuk mencari rezeki dan mengambil dan mengambil sebab-sebab buat mencapai kemuliaan, ketinggian dan keagungan dalam perjuangan hidupsa-bangsa, seperti pemikiran-pemikiran dan tasawuf – tasawuf Hamka yang akan dibahas didalam makalah ini.
Hamka merupakan salah satu tokoh ulama Islam yang berhasil mempengaruhi pemikiran keislaman Indonesia melalui konsep dan ide yang dihasilkannya. Ini terlihat dari tulisan-tulisan yang pernah dituangkannya di dalam salah satu rubrik pada majalah Pedoman Masyarakat dengan judul “Bahagia”, yang kemudian dibukukan dengan judul Tasawuf Modern, mendapat tempat di hati pembacanya. Tulisan-tulisan tersebut mulai disusun pada tahun 1937 dan berakhir pada nomor ke-43 tahun 1938, baru kemudian dibukukan atas permintaan sahabat Hamka yang bernama Oei Ceng Hein, salah seorang mubaligh yang terkenal di Bintuhan.
Sebagaimana yang tertera dalam pengantar cetakan pertama, Hamka memberikan keterangan tentang mengapa rubrik yang dipakai di dalam menuangkan tulisannya itu bernama Tasawuf Modern. Menurutnya, meskipun tulisan yang ia tuangkan juga merujuk pada buku-buku tasawuf (klasik), akan tetapi hal itu dimaksudkan untuk mengetengahkan ilmu tasawuf yang telah dipermodern. Di dalam catatan pendahuluan buku ini disebutkan bahwa meletakkan rubrik ‘Tasawuf Modern’ itu pun menjadi bukti bahwasanya ia juga mencintai hidup di dalam tasawuf, yaitu tasawuf yang diartikan dengan kehendak memperbaiki budi dan men-shifa’-kan (membersikan) bathin. Hal yang menurutnya sebagai ‘keterangan yang modern’ meskipun asalnya terdapat dari buku-buku tasawuf juga. Jadi Tasawuf Modern yang dimaksud ialah keterangan ilmu tasawuf yang dipermodern.


BAB II
PEMBAHASAN
1.     Biografi Hamka
Nama lengkap Hamka adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Beliau dilahirkan pada 17 Februari 1908 (14 Muharram 1326). Dan wafat pada 24 Juli 1981 M. Ia dilahirkan di desa Kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat. Dalam sejarah nasional, daerah Maninjau merupakan tempat di mana dilahirkan tokoh-tokoh politik, ekonomi, pendidikan dan pergerakan Islam seperti Mohammad Natsir, A.R Sutan Mansyur, Rasuna Said, dan lain-lain.
Dilihat dari nasab keturunannya, Hamka adalah keturunan tokoh-tokoh ulama Minangkabau yang tidak semuanya memiliki faham keislaman yang sama, baik itu dalam masalah furû’ maupun ushûl. Kakek Hamka sendiri, Syaikh Muhammad Amrullah adalah penganut tarekat mu’tabarah Naqsabandiyah yang sangat disegani dan dihormati bahkan dipercaya memiliki kekeramatan dan disebut-sebut sebagai wali. Kerapkali masyarakat setempat mencari berkah melalui sisa makanan, sisa minuman atau sisa air wudhu dan sebagainya. Syaikh Muhammad Amrullah mengikuti jejak ayahnya Tuanku Syaikh Pariaman dan saudaranya Tuanku Syaikh Gubug Katur. Ia pernah berguru di Makkah dengan Sayyid Zaini, Syaikh Muhammad Hasbullah, bahkan ikut belajar kepada mereka yang lebih muda seperti Syaikh Ahmad Khatib dan Syaikh Taher Jalaludin. Akan tetapi ayah Hamka, Syaikh Abdul Karim Amrullah (lahir 17 Shafar 1296 H/16 Februari 1879) yang biasa dipanggil dengan sebutan Haji Rasul, memiliki pemahaman yang berbeda dengan pendahulunya. Meskipun sama-sama belajar di Makkah, Haji Rasul terkenal sangat menolak praktek-praktek ibadah yang pernah dilakukan dan di da’wahkan ayah dan kakeknya. Ia terkenal sebagai tokoh pembaharu (al-tajdîd). Dalam kondisi dan situasi yang penuh dengan pertentangan antara kaum muda dan kaum tua itulah Hamka dilahirkan dan melihat sendiri sepak terjang yang dilakukan ayahnya. Situasi itu agaknya memiliki persamaan sabagaimana yang pernah terjadi di akhir tahun 1910 di kota Surabaya antara kaum muda dan kaum tua (Kaum tua dipimpin oleh Kiai Wahab Hasbullah dan kaum muda dikomandoi oleh Kiai Haji Mas Mansyur, Ahmad Syurkati, dan Fakih Hasjim). Pada kenyataannya, Hamka sendiri banyak mengikuti cara berfikir ayahnya dalam memahami pokok-pokok agama Islam, meskipun berbeda dalam sisi pendekatan. Haji Rasul keras, sementar Hamka lebih santun.
Hamka mengawali masa pendidikan di dalam pengawasan langsung ayahnya. Ia mulai mempelajari al Qur’an dari orang tuanya hingga usia enam tahun, yang ketika itu berpindah rumah dari Maninjau ke Padang Panjang di tahun 1948. Setahun kemudian di usia Hamka yang ke tujuh tahun sang ayah memasukkannya ke sekolah desa. Di sekolah desa itu ia hanya menjalaninya selama tiga tahun. Akan tetapi di sisi lain ia juga mendapatkan pendidikan di sekolah sekitarnya (sekolah-sekolah agama di Padang Panjang dan Parabek dekat Bukit Tinggi) kira-kira tiga tahun lamanya pula. Para sejarawan mengenal Hamka dengan semangat otodidaknya yang gigih. Ia belajar sendiri tentang buku-buku yang menurutnya penting. Ilmu-ilmu seperti falsafah, kesusasteraan, sejarah, sosiologi dan politik baik yang datang dari Islam maupun Barat ditelaahnya dengan bermodal pendidikan yang pernah diterimanya. Ketika Hamka berusia 16 tahun, pencarian ilmunya dilanjutkan dengan hijrah ke tanah Jawa pada tahun 1924. Di Jawa ia berinteraksi dengan beberapa tokoh Pergerakan Islam modern seperti H. Oemar Said, Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo (ketua Muhammadiyah 1944-1952), R.M Soerejo, Pranoto (1871-1959), dan KH Fakhrudin (ayah dari KH Abdur Razzaq). Kota Yogjakarta terlihat memiliki arti penting dalam proses perkembangan pribadi dan pemikiran Hamka. Kota itu telah memberikan kesadaran baru dalam beragama yang selama ini difahami olehnya. Ia sendiri menyebutkan bahwa di kota inilah ia menemukan “Islam sebagai sesuatu yang hidup, yang menyodorkan suatu pendirian dan perjuangan yang dinamis.” Di Yogjakarta, Hamka lebih banyak menginternalisasikan ilmu-ilmu yang lebih berorientasi kepada peperangan terhadap keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan, serta bahaya kristenisasi yang mendapat sokongan dari pemerintah kolonial Belanda. Hal itu berbeda dengan pendidikan semasa masih di kampung halaman yang lebih berorientasikan pada pembersihan akidah dari syirik, bid’ah dan khurafat di mana penampilan perjuangan itu sudah terlihat semenjak munculnya Perang Paderi sampai kemasa tiga serangkai; Haji Abdullah Ahmad, Syeikh Abdul Karim Amrullah dan Syeikh Muhammad Djamil Djambek. Ditahun-tahun berikutnya, Hamka kemudian mulai banyak berkiprah dan mengabdikan diri kepada umat, baik melalui gerakan Muhammadiyah maupun pada lembaga lainnya.
Khusus di bidang politik, peran Hamka dimulai dari aktivitasnya di tahun 1925 di dalam Partai Serikat Islam. Hingga pada tahun 1945 ia membantu perjuangan melawan pihak kolonial melalui pidato-pidato dan menyertai kegiatan gerilya di hutan belantara Medan, Hamka kemudian dilantik menjadi ketua Front Pertahanan Nasional Indonesia (1947). Menjadi anggota konstituante mewakili daerah pemilihan Jawa Tengah untuk Partai Masyumi pada tahun 1955. Konstituante dibubarkan (1959) dan dengan dibubarkannya Masyumi pula (1960) ia memusatkan kegiatanya dalam da’wah melalui ta’lim dan tabligh dan menjadi imam masjid agung Al Azhar Kebayoran Jakarta. Merasakan hidup di Penjara pada rezim Soekarno, atas tuduhan (fitnah) makar anti Soekarno (GAS: Gerakan Anti Soekarno). Ia dipenjarakan di rumah sakit pemberian Rusia tepatnya di daerah Rawa Mangun yang diberi nama R.S Persahabatan. Bersamanya pula Mr. Kasman, Ghazali Sahlan, Dalari Umar, Yusuf Wibisono. Hamka sendiri baru dibebaskan pada 23 Mei 1966. Sebelumnya telah ditangkap pula rekan-rekannya seperti Mohammad Natsir, Syafruddin Prawiranegara, Syahrir, Mohammad Roem, Prawoto, Yunan Nasution dan Isa Anshori pada tahun 1962 karena dituduh sebagai pemberontak PRRI. Hamka terpilih sebagai ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) pada tahun 1975 oleh pemerintahan Orde Baru, yang kemudian terpilih kembali pada periode kedua tahun 1980, dengan salah satu ungkapannya yang terkenal “Kalau saya diminta menjadi ketua Majelis Ulama, saya terima. Akan tetapi ketahuilah, saya sebagai ulama tidak dapat dibeli”. Hamka tidak hanya memiliki kemampuan memberikan pidato atau mengisi ceramah di depan podium, akan tetapi ia juga seorang penulis yang sangat produktif. Jumlah tulisannya dalam bentuk buku hingga mencapai 118 buah, dari Khatibul Ummah, Tasawuf Modern (1939), dan yang terakhir Tafsir Al Azhar 30 Juz.
2.     Pemikiran Tasawwuf Hamka
Di dalam literatur Hamka, ia tidak menggunakan istilah Tazkiyatun Nafs sebagaimana yang sering dipakai sebagian ulama untuk merujuk kepada model penyucian jiwa di dalam Islam.# Akan tetapi, jika dilihat dari misi dan definisi yang disebutkan Hamka melalui istilah tasawuf, maka kita akan menemukan kesamaan maksud. Dalam mendefinisikan istilah tasawuf Hamka menyebutnya sebagai ‘ilmu’. Artinya, Hamka menilai bahwa tasawuf adalah sebuah disiplin ilmu yang telah mapan di dalam kajian Islam. Dr. Hamka, Prinsip dan Kebijaksanaan Dakwah Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), cet. Ke-2, hlm. 202. Hamka menjelaskan bahwa tasawuf adalah Shifâ’ul Qalbi, artinya membersihkan hati, pembersihan budi pekerti dari perangai-perangai yang tercela, lalu memperhias diri dengan perangai yang terpuji.[1] Prof. Dr. Hamka, Tasawuf Modern,(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hlm. 1-5. Hamka juga berpendapat lain, bahwa tasawuf adalah membersihkan jiwa, mendidik dan mempertinggi derajat budi, menekan segala kelobaan dan kerakusan, memerangi sahwat, terlebih dari untuk keperluan diri sendiri.2 Dari definisi yang dijelaskan Hamka di atas dapatlah kita melihat kesamaan misi antara Tazkiyatun Nafs dan tasawuf, di mana keduanya menginginkan sebuah upaya yang satu, yaitu pembersihan diri atau jiwa seseorang dari perangai buruk dan dosa yang di anggap buruk oleh syari’at Islam. Oleh sebab itulah, paparan di atas sejalan dengan apa yang dijelaskan Hamka ketika menafsirkan QS. Asy-Syams: 9-10 dalam Tafsir al Azhar: 9-10,“Sungguh beruntung orang yang mensucikan (jiwa itu). Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya”. Menurutnya, penyakit yang paling berbahaya bagi jiwa ialah mempersekutukan Allah dengan yang lainnya. Termasuk juga mendustakan kebenaran yang dibawa oleh Rasul, atau memiliki sifat hasud, dengki kepada sesama manusia, benci, dendam, sombong, angkuh dan lain-lain. Maka seseorang yang beriman hendaknya mengusahakan pembersihan jiwa dari luar dan dalam, dan janganlah mengotorinya. Sebab menurut Hamka, kekotoran itulah yang justru akan membuka segala pintu kepada berbagai kejahatan besar.
Meskipun Hamka menggunakan istilah tasawuf, akan tetapi tasawuf yang dikemukakan Hamka bukanlah tasawuf sebagaimana yang difahami kebanyakan orang. Tasawuf yang dikembangkan Hamka adalah tasawuf yang memiliki basis pada koridor syari’at agama (Tasawwûf Masyrû’). Oleh sebab itulah, di dalam penilaian Hamka, tasawuf tidaklah memiliki sumber lain melainkan bersumberkan murni dari Islam. Dirinya sangat menekankan keharusan setiap individu untuk melakukan pelaksanaan tasawuf agar tercapai budi pekerti yang baik.
Hamka mendasarkan konsep tasawufnya ini pada kerangka agama dibawah pondasi aqîdah yang bersih dari praktek-praktek kesyirikan, dan amalan-amalan lain yang bertentangan dengan syari’at. Sebab bagaimanapun juga Hamka benar-benar menyadari bahwa tasawuf yang telah menjadi ilmu tersendiri ini , pada perjalanannya mendapatkan pencemaran dari pandangan hidup lain dan tak jarang bagi para pelakunya terjerumus pada praktek-praktek yang tidak di syari’atkan oleh Islam. Hamka mengatakan, “Karena kita tidak dapat memungkiri bahwa ajaran asli itu (tasawuf) di jaman akhir sudah banyak dicampuri, kalau tidak boleh dikatakan dikotori oleh pengaruh yang lain itu.” Hamka juga menyebutkan keadaan ilmu tasawuf yang diterima oleh sebagian besar muslim di negeri ini telah mendapat percampuran dengan hikayat, dongeng-dongeng, serta pemahaman dan keyakinan-keyakinan lain, terutama dari agama nenek moyangnya yaitu Hindu. Dalam proses menuju ma’rifat sebagai puncak kebahagiaan para pelaku tasawuf (kedekatan yang intens kepada Allah), di mana tasawuf menjembatani hal itu, maka Hamka menjelaskan bahwa secara umum ilmu tasawuf menawarkan trilogi konsep sebagai pencapaian kearah itu di antaranya:
-           Takhalli
 yaitu sebuah usaha pembebasan diri dari sifat-sifat tercela.
-          Tahalli
sementara tahalli, sebagai usaha untuk mengisi dan berhias diri dengan sikap-sikap terpuji.
-           Tajalli
 Tajalli merupakan penghayatan rasa ketuhanan atau dalam istilah Hamka, “Kelihatan Allah di dalam hati. Bukan di mata, tapi terasa di hati, bahwa Dia ada”.
Untuk menimbulkan persepsi yang berbeda di kalangan khalayak ramai tentang tasawuf, Hamka kemudian memunculkan istilah tasawuf modern. Penggunaan istilah tasawuf yang diimbuhi dengan kata ‘modern’ sebenarnya merupakan suatu terobosan yang rentan kritik. Hal itu mengingat ketokohan Hamka yang lahir dari pergerakan kaum modernis yang berafiliasi dalam gerakan Muhammadiyah, dimana dalam faham keagamaannya organisasi ini menentang praktek-praktek tasawuf pada umumnya. Di mana tasawuf yang ditawarkan Hamka berdasar pada prinsip tauhid, bukan pencarian pengalaman mukasyafah.
3.      Ajaran Tasawuf Hamka
Diantara ajaran tasawuf Hamka adalah:
a)      Zuhud
Zuhud menurut konsepsi Hamka yaitu “tidak ingin,” dan “tidak demam” kepada dunia, kemegahan, harta benda, dan pangkat. Dengan demikian, maka seorang yang zahid adalah orang yang hatinya tidak terikat oleh materi. Ada atau tidak adanya materi adalah sama saja, stabil dalam kehidupannya. Namun tentu saja secara pisik tetap bergelimang dengan materi, karena ia sebagai makhluk yang mempunyai dua dimensi, rohani dan jasmani. Dari paradigma di atas maka konsepsi zuhud Hamka dapat menjawab permasalahan di atas. Yaitu dengan jalan meninggalkan hal-hal yang berlebihan, walaupun halal, menunjukkan sikap hemat, hidup sederhana, dan menghindari berlebih-lebihan, kemewahan atau pemilikan harta yang lebih bernilai sebagai promotor status dari pada sebagai harta kekayaan produktif. Zuhud juga dapat melahirkan sikap menahan diri memanfaatkan harta untuk kepentingan produktif. Zuhud mendorong untuk mengubah harta bukan saja aset ilahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi juga sebagai aset sosial dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif terhadap pemanfaatan harta dalam masyarakat.
b)      Qana’ah
Qana’ah adalah menerima apa adanya (menerima cukup).
Qana’ah mengandung 5 perkara, yaitu:
·         Menerima dengan rela akan apa yang ada
·         Memohonkan kepada Tuhan tambahan yang pantas dan berusaha
·         Menerima dengan sabar akan ketentuan Tuhan
·         Bertawakkal kepada Tuhan
·         Tidak tertarik oleh tipu daya dunia
Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya “Qana’ah itu adalah harta yang tak akan hilang dan pura (simpanan) yang tidak akan lenyap”.
Orang yang bersifat qana’ah telah memagar hartanya sekedar apa yang dalam tangannya dan tidak menjalar pikirannya kepada yang lain.
c)      Tawakkal
Tawakkal yaitu menyerahkan keputusan segala perkara, ikhtiar dan usaha kepada Tuhan semesta alam. Dia yang kuat dan kuasa, kita lemah dan tak berdaya.

Di samping itu, dengan zuhud akan tampil sifat positif lainnya, seperti:
-          qana’ah (menerima apa yang telah ada/dimiliki)
-           tawakkal (pasrah kepada Allah Swt.)
-           wara’ yaitu menjaga diri agar jangan sampai makan barang yang meragukan (syubhat)
-          sabar, yakni tabah menerima keadan dirinya baik keadaan itu menyenangkan, menyusahkan dan sebagainya
-          syukur, yakni menerima nikmat dengan hati lapang, dan mempergunakan sesuai dengan fungsi dan proporsinya.
Penghayatan tasawufnya berupa pengamalan taqwa yang dinamis, bukan keinginan untuk bersatu dengan Tuhan (unitive state), dan refleksi tasawufnya berupa penampakan semakin tingginya semangat dan nilai kepekaan social-religius (sosial keagamaan), bukan karena ingin mendapatkan karâmah (kekeramatan) yang bersifat magis, metafisis dan yang sebangsanya. Keberadaan tasawuf yang fahami oleh Hamka adalah semata-mata hendak menegakkan prilaku dan budi manusia yang sesuai dengan karakter Islam yang seimbang atau menurut bahasa Hamka, i’tidal. Untuk itulah, manusia dalam prosesnya mesti mengusahakan benar-benar ke arah terbentuknya budi pekerti yang baik, terhindar dari kejahatan dan penyakit jiwa atau penyakit batin. Hamka menegaskan, “Budi pekerti jahat adalah penyakit jiwa, penyakit batin, penyakit hati. Penyakit ini lebih berbahaya dari penyakit jasmani. Orang yang ditimpa penyakit jiwa akan kehilangan makna hidup yang hakiki, hidup yang abadi. Ia lebih berbahaya dari penyakit badan. Dokter mengobati penyakit jasmani menurut syarat-syarat kesehatan. Sakit itu hanya kehilangan hidup yang fana. Oleh sebab itu hendaklah dia utamakan menjaga penyakit yang hendak menimpa jiwa, penyakit yang akan menghilangkan hidup yang kekal itu”. Hamka menambahkan, ”Adapun jalan tasawuf ialah merenung ke dalam diri sendiri. Membersihkan diri dan melatihnya dengan berbagai macam latihan (riyâdhah al-nafs), sehingga kian lama kian terbukalah selubung diri dan timbullah cahaya yang gemilang”. Maka menurutnya kehidupan bertasawuf tidaklah seperti yang digambarkan oleh para sufi pada umumnya, hingga melemahan gerak manusia. Dalam membangun hidup bertasawuf, Hamka melandasinya dengan kekuatan Aqidah. Sebab dengan kekuatan inilah, perjalanan tasawuf akan terhindar dari bentuk-bentuk kemusyrikan yang sering kali terjadi pada seorang sufi.
4.Daftar Karya Buya Hamka
Ø  Etika Hamka Konstruksi Etik Berbasis Rasional Religius
Ø  Lembaga Budi
Ø  Pelajaran Agama Islam
Ø  Tasawuf Modern
Ø  Tasawuf Perkembangan dan Pemurniaanya
5. Aktivitas lainnya
- Memimpin Majalah Pedoman Masyarakat, 1936-1942
- Memimpin Majalah Panji Masyarakat dari tahun 1956
- Memimpin Majalah Mimbar Agama (Departemen Agama), 1950-1953






[1]

0 Comments:

Post a Comment