Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Umum
Dosen
Pengampu: Mukh. Nursikin,M.S.I
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN
KALIJAGA YOGYAKARTA
FAULTAS ILMU TARBIYAH DAN
KEGURUAN
Jl. Marsda Adisucipto, Yogyakarta,
55281
Oleh :
Kelompok I P.A.I Kelas D
Teguh
Mulyono (13410121)
Rina Dwi
Hartanti (13410122)
Mardiana
Nur Hasanah (13410123)
Rizki Nur
Tri Rahayu (13410152)
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Al-Hadist merupakan sumber kedua di samping Al-Qur’an, maka pembelajaran
Hadis saat ini bukan hanya di pesantren-pesantren melainkan juga di Perguruan
Tinggi Islam. Sebelumnya pembelajaran Hadist lebih menekankan pada pemahaman
yang tertulis pada kitab-kitab Hadis dengan asumsi bahwa Hadist tersebut
merupakan Hadist yang asli diturunkan dari Rasulullah. Al-Qur’an dan Hadist
merupakan sumber inspirasi dan ajaran yang tidak habis-habisnya bagi umat Islam
sehingga kesinambungan sejarahnya bisa diruntut.Meski demikian baik Al-Qur’an
maupun Hadist mempunyai sejarah yang berbeda. Perbedaan historis itu
menyebabkan kemunculan dan perkembangan ilmu-ilmu mengenai keduanya memiliki
alur yang berbeda pula. Perbedaan itu antara lain mengenai sejarah
pendokumentasian dan pencatatannya. Al-Qur’an sejak awal diturunkannya telah
dicatat dan dikumpulkan secara teratur oleh para sahabat. Pencatatan Al-Qur’an
merupakan pekerjaan yang tidak pernah dirahasiakan atau aktivitas publik, sementara
Hadits baru didokumentasikan setelah melewati fase dua generasi lebih, sehingga
sumber pertama setelah Nabi yaitu Sahabat, hampir tidak ditemukan lagi.
Periwayatan Al-Qur’an dilalui dengan tanpa keterputusan antara sumber
pertama dengan sumber berikutnya. Artinya periwayatan Al-Qur’an selalu
muttawatir, sedangkan Hadits tidak demikian. Bahkan bila dikalkulasi, jumlah
hadits yang muttawatir lebih sedikit dibanding keseluruhan hadits yang
kebanyakan lebih bersifat ahad.Dalam periwayatan hadits tidak hanya memakai
kata-kata langsung yang digunakan oleh nabi, tetapi juga boleh memakai
terjemahan atas kata-kata yang digunakan oleh Nabi yaitu apa yang dikenal
dengan periwayatan dengan makna. Hal ini mengakibatkan adanya beberapa versi
redaksi hadits yang memiliki konsekuensi dan implikasi yang luas. Bahkan
mungkin jumlah periwayatan hadits dengan makna ini lebih banyak daripada yang
menggunakan kata-kata langsung yang dipakai oleh Nabi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah pengertian
hadist?
2. Penyebab
terjadinya pengkodifikasian Hadist?
3. Proses
pengkodifikasian Hadist?
4. Siapakah ahli
hadist ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
AL-Hadist
Kata Hadist dalam bahasa
Arab, bermakna komunikasi,cerita,perbincangan yang religious atau
sekuler,historis atau kekinian.Sementara menurut istilah Hadist
adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diucapkan ,disiarkan dan
disampaikan kepada manusia baik melalui pendengaran maupun wahyu yang diterima
hanya dalam keadaan sadar atau dalam mimpi ,walaupun hanya sekali terjadi
sepanjang hidupnya ,walaupun hanya disaksikan oleh satu orang saja. Dalam penggunaan secara ajektif (sifat), kata Hadist bermakna baru. Kata ini, didalam
Al-Qur’an, digunakan sebanyak 23 kali. Berikut ini adalah beberapa ayat yang
tersebut :
a.
Komunikasi religious, pesan atau Al-Qur’an :
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik,
yaitu Al-Qur’an.(QS.39:23). Maka serahkanlah (hai Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang
yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur’an). (QS.68:44)
b.
Cerita tentang masalah sekuler atau umum :
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok
ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan
permbicaraan yang lainnya. (QS.6.68)
c.
Cerita historis :
Apakah telah sampai kepadamu cerita Musa? (QS.20:9)
d.
Cerita atau perbincangan yang masih hangat :
Dan ingatlah ketika nabi membicarakan secara rahasia
kepada salah seorang istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. (QS.66:3)
Kita dapat menyimpulkan bahwa kata Hadist telah
digunakan didalam Al-Qur’an dalam suatu pengertian cerita, komunikasi atau
pesan, baik itu bercorak religious atu sekuler, dari sejarah masa silam ataupun
yang tengah berlaku (kekinian).
B.
Penyebab
Terjadinya Pengkodifikasian Hadis
Dari
abad pertama Hijriah, mulai dari zaman Rasul hingga zaman Khulafa Rasydin serta
sebagian zaman Amawiyah, hadist-hadist Nabi berpindah melalui mulut kemulut. Masing-masing
perawi meriwayatkan perawinya berdasarkan pada kekuatan hafalannya. Pada masa
tersebut belum ada ide-ide yang mampu menggerakan mereka untuk membukukannya. Hingga pada tahun 99 Hijriyah, ide untuk membukuannya
Hadis Nabi pertama kali diawali oleh Kahlifah
Umar bin Abdul Aziz, dimana beliau mengirimkan surat kepada Abu Bakar
bin Muhammad bin Hazm, yang mengatakan “periksalah dan tulislah semua
Hadis-hadis Nabi, sunnah-sunnah yang sudah dikerjakan atau hadis dari Amrah ;
karena saya khawatir hal itu akan punah”.[1]Beliau
sadar bahwa perawi yang membendaharakan hadis dalam dadanya , kian lama kian
banyak yang meninggal. Umar bin Abdul
Aziz khawatir apabila tidak segera
dibukukan dan dikumpulkan hadis-hadis tersebut akan hilang bersama penghafalnya
hingga kea lam kubur. Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberikan tugas
kepada Ibnu Syihab al-Zuhri dan yang lainnya umtuk mengumpulkan dan
menuliskannya. Sebenarnya ada beberapa penyebab Umar bin Abdul Aziz ingin
segera membukukan hadis-hadis tersebut:
1. Belum
terbentuknya dewan hadis, yang membuat beliau khawatir akan hilang dan
lenyapnya hadis-hadis Nabi dari pembendaharaan masyrakat.
2. Pembersihan
terhadap hadis-hadis maudlu’ yang
dibuat-buat oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk memperthankan
ideology golongannya dan mazhabnya yang mulai tercium sejak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a.
3. Alasan
bahwa terdapat larangan Nabi tentang penulisan hadis karena takut akan
tercampur dengan Al- Qur’an telah hilang semenjak Al-Qur’an itu sendiri
dimushafkan.
4. Perang
saudara yang mengakibatkan para ulam hadis kian berkurang.
Dengan
alasan itulah Umar bin Abdul Aziz terdorong untuk segera membukukannya.
C. Proses Pengkodifikasian.
Pada
masa perkembangannya banyak sekali ragam dan bentuk dari hadis, jika menelusuri
pada tiap-tiap periode dengan segala aspeknya akan terlihat jelas pembukuan
tersebut melalui beberapa periode :
1).
Pembukuan hadis
Pembukun
hadis tidaklah serta merta langsung dituliskan dalam sebuah kitab namun melalui
sebuah proses pengumpulan . Orang yang pertama menghimpun hadis Nabi atas
perintah Umar bin Abdul Aziz adalah Abu Bakar bin Hizm. Ia mulai menghimpunnya
sekitar tahun 100 H. Namun menurut pendapat para Ulama hadis bahwa orang yang
pertama menghimpunnya adalah Ibnu Syihab Az –
Zuhri. Yang dapat ditegaskan dalam sejarah pengumpulan pada abad kedua, sebagai
berikut :
1.
Pengumpulan
pertama di kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H = 669 M – 150 H = 767 M)
2.
Pengumpulan
pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (151 M – 768 M)
Atau Ibnu Abi Dzi’bin.
Atau Malik ibn Anas (93 H = 703 M – 179 H = 798 M)
Atau Ibnu Abi Dzi’bin.
Atau Malik ibn Anas (93 H = 703 M – 179 H = 798 M)
3.
Pengumpulan pertama di kota Bashrah, Al Rabi’
ibn Shabih (160 H = 777 M)
Atau Hammad ibn Salamah (176 H)
Atau Sa,id ibn Abi Arubah (156 H = 773 M)
Atau Hammad ibn Salamah (176 H)
Atau Sa,id ibn Abi Arubah (156 H = 773 M)
4.
Pengumpulan
pertama di Kufah, Sufyan Ats Tsaury (161 H)
5.
Pengumpulan
pertama di Syam, Al Auza’y (156 H)
6.
Pengumpulan
pertama di Wasith, Husyaim Al Wasithy (104 H = 722 M – 188 H = 804 M)
7.
Pengumpulan
pertama di Yaman, Ma’mar Al Azdy (95 H = 753 M – 153 H = 770 M)
8.
Pengumpulan
pertama di Rei, Jarir Al Dlabby (110 H = 728 M – 188 H = 804 M)
9.
Pengumpulan
pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (118 H = 735 M – 181 H = 797 M)
10.
Pengumpulan
pertama di Mesir, Al Laits ibn Sa’ad (175 H)
Para Ulama tersebut diatas merupakan orang-orang yang ahli dan hidup pada abad kedua hijriah. Pengumpulan hadis terjadi pada satu periode dan tidak diketahui mana yang lebih dahulu.
Para Ulama tersebut diatas merupakan orang-orang yang ahli dan hidup pada abad kedua hijriah. Pengumpulan hadis terjadi pada satu periode dan tidak diketahui mana yang lebih dahulu.
2).
Pembukuan Secara Menyeluruh
Pada awal masa penyusunannya fatwa
dari para sahabat dan tabi’in tidak dapat dipsahkan dalam proses tersebut,
tidak pula diadakan pemilihan bab-bab tertentu. Semua itu dibukukan secara
bersama dan menyeluruh. Sehingga dalam kitab hadis tersebut terdapat hadis-hadis yang marfu’, mauquf, serta
hadis-hadis yang maqthu ‘.
Sistematika penulisan hadis pada waktu itu dengan menghimpun hadis-hadis yang
tergolong munasabah, atau hadis-hadis
yang memiliki hubungan serta kesamaan satu dengan yang lainnya dihimpun dalam
satu bab, kemudian disusun menjadi beberapa bab sehingga menjadi satu kitab. Namun
masih bercampur dengan hadis dan autsar
dari para sahabat serta tabi’in.
3).
Penulisan Hadis Secara Terpisah
Pada
abad ketiga hingga pertengahan abad keempat, masa ini dianggap masa paling
sukses dalam pembukuan hadis. Karena para Ulama telah mampu memisahkan antara
hadis dengan yang bukan hadis (autsar para sahabat dan tabi’in) dengan meniliti
sanad dan matan nya. Masa ini disebut “masa menghimpun dan mentasbih Hadis”. Sistem
pembukuan hadis pada masa ini adalah sebagai berikut :
1. Penulis menghimpun semua pernyataan yang dilontarkan oleh
Ulama – Ulama Kalam kepada pribadi Ulama – Ulama Hadits sendiri (misalnya si X
tidak adil atau tidak dlabit, jadi tidak dapat diterima haditsnya). atau
ditujukan kepada Hadits – Haditsnya sendiri (dikatakan hadits ini tidak dapat
diterima karena mengandung khufarat atau bertentangan dengan dalil lain dan
sebagainya, jadi tak mungkin datang dari Nabi). Kemudian si penulis menanggapi
dan menjawab semua serangan tersebut dengan alasan – alasan yang kuat, sehingga
dapat menjaga nama baik Ulama Hadits dan membersihkan Hadits – Hadits yang
dicatatnya.
2.
Penulis
menghimpun hadits melalui “musnad”, yakni menghimpun semua hadits dari tiap –
tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah – masalahnya (matan) dan nilai (ada yang shahih,
hasan, dan dlaif).
3.
Penulis
menghimpun hadits – hadits melalui bab – bab seperti kitab Fiqh dan tiap bab
memuat hadits – hadits yang sama maudlu’nya
/ masalahnya. Misalnya bab shalat, bab zakat, dan sebagainya.
D. Ahli Hadist
Seseorang yang
mencari Hadits, mendengarnya, menulisnya, membacanya, memahami makna-maknanya,
kemudian konsisten dengan perintah-perintahnya, menjauhi larangan-larangannya,
mengangungkan dengan mengikutinya, menyebarkannya, mendakwahkannya,
mempertahankannya, tidak mempertentangkan satu dengan lainnya, tidak mengikuti
ra’yi dan tidak mendahulukan akal atasnya maka pada saat itulah dia termasuk
ahli hadits.Para ulama memberi gelar kepada orang yang suka berkelana mencari
Hadist, dan juga kepada yang mempelajarinya, baik itu dilakukan dinegerinya
maupun negara tetangga. Dengan cara demikian dapat diketahui tingkatan derajat
dan beragam kesulitan dalam menyampaikan Hadist.
Tiga gelar yang
paling terkenal yang membedakan seorang ahli Hadis dengan yang lain adalah:
a. al-Musnid ( orang yang meriwayatkan hadis
sekalian dengan isnadnya),
b. al-Muhdits
(orang yang mengetahui sanad dan illatnya), nama-nama tokoh, dan hadis yang
‘ali serta yang nazil.
c. al-Hafizh,
hafal sejumlah besar matan serta berbagai kitab yang mrnghimpun ribuan hadits.
Sedangkan al-Hafizh adalah gelar yang paling tinggi derajatnya, mengetahui
dengan rinci sunah-sunah rasullulah serta dapat membedakan sanad-sanadnya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara garis besar, penyebab terjadinya kodifikasi hadits
adalah untuk menghilangkan kekhawatiran akan hilangnya Al – Hadits dan
memelihara Al – Hadits dari bercampurnya dengan hadits – hadits palsu.
Proses - proses kodifikasi hadits melalui beberapa tahap,
yaitu: pengumpulan hadits, penulisan hadits secara menyeluruh, penulisan hadits
secara terpisah, dan penulisan hadits shahih.
Dari uraian singkat
mengenai sejarah perjalanan hadits, diketahui bahwa umat islam sejak sejarahnya
yang paling awal, sudah mempraktikkan bagaimana memelihara dan mengatur arus
informasi (hadits). Mereka meyakini dan merasakan serta melaksanakan sesuatu
tanggung jawab untuk menjaga bukann hanya kesinambungan hadits tetapi juga
disertai dengan menjaga keotentikannya.Informasi dari Nabi diakui bukan
merupakan komoditi yang dipaketkan yang lantas dijual, tapi merupakan tali
kehidupan yang mengikat dan mereka hidup bersama dengannya.
Seseorang
yang mencari hadits, mendengarnya, menulisnya, membacanya, memahami makna-maknanya,
kemudian konsisten dengan perintah-perintahnya, menjauhi larangan-larangannya,
mengangungkan dengan mengikutinya, menyebarkannya, mendakwahkannya,
mempertahankannya, tidak mempertentangkan satu dengan lainnya, tidak mengikuti
ra’yi dan tidak mendahulukan akal atasnya maka pada saat itulah dia termasuk
ahli hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Azami, Muh Mustofa.
1994.Hadis Nabawi. Jakarta : Pustaka
Firdaus.
Azami, Muh Mustofa.
1992. Metodologi Kritik Hadits.
Jakarta Pusat : Pustaka Hidayah
http://aan888.blogspot.com/2013/05/makalah-sejarah-kodifikasi-hadist.html
0 Comments:
Post a Comment