Header Ads

08 November 2014

MAKALAH KODIFIKASI AL-HADIST

UNTUK PPT KLIK DISINI : PPT 1 DAN PPT 2
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Umum
Dosen Pengampu:  Mukh. Nursikin,M.S.I

uin.jpg 

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
FAULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
Jl. Marsda Adisucipto, Yogyakarta, 55281
Telp. (0274) 513056, Email. ftk@uin-suka.ac.id


Oleh : Kelompok I  P.A.I  Kelas D
Teguh Mulyono                       (13410121)
Rina Dwi Hartanti                  (13410122)
Mardiana Nur Hasanah           (13410123)
Rizki Nur Tri Rahayu              (13410152)



 BAB I
PENDAHULUAN
A.   LATAR BELAKANG MASALAH
Al-Hadist merupakan sumber kedua di samping Al-Qur’an, maka pembelajaran Hadis saat ini bukan hanya di pesantren-pesantren melainkan juga di Perguruan Tinggi Islam. Sebelumnya pembelajaran Hadist lebih menekankan pada pemahaman yang tertulis pada kitab-kitab Hadis dengan asumsi bahwa Hadist tersebut merupakan Hadist yang asli diturunkan dari Rasulullah. Al-Qur’an dan Hadist merupakan sumber inspirasi dan ajaran yang tidak habis-habisnya bagi umat Islam sehingga kesinambungan sejarahnya bisa diruntut.Meski demikian baik Al-Qur’an maupun Hadist mempunyai sejarah yang berbeda. Perbedaan historis itu menyebabkan kemunculan dan perkembangan ilmu-ilmu mengenai keduanya memiliki alur yang berbeda pula. Perbedaan itu antara lain mengenai sejarah pendokumentasian dan pencatatannya. Al-Qur’an sejak awal diturunkannya telah dicatat dan dikumpulkan secara teratur oleh para sahabat. Pencatatan Al-Qur’an merupakan pekerjaan yang tidak pernah dirahasiakan atau aktivitas publik, sementara Hadits baru didokumentasikan setelah melewati fase dua generasi lebih, sehingga sumber pertama setelah Nabi yaitu Sahabat, hampir tidak ditemukan lagi.
Periwayatan Al-Qur’an dilalui dengan tanpa keterputusan antara sumber pertama dengan sumber berikutnya. Artinya periwayatan Al-Qur’an selalu muttawatir, sedangkan Hadits tidak demikian. Bahkan bila dikalkulasi, jumlah hadits yang muttawatir lebih sedikit dibanding keseluruhan hadits yang kebanyakan lebih bersifat ahad.Dalam periwayatan hadits tidak hanya memakai kata-kata langsung yang digunakan oleh nabi, tetapi juga boleh memakai terjemahan atas kata-kata yang digunakan oleh Nabi yaitu apa yang dikenal dengan periwayatan dengan makna. Hal ini mengakibatkan adanya beberapa versi redaksi hadits yang memiliki konsekuensi dan implikasi yang luas. Bahkan mungkin jumlah periwayatan hadits dengan makna ini lebih banyak daripada yang menggunakan kata-kata langsung yang dipakai oleh Nabi.






B.   RUMUSAN MASALAH
1.     Apakah pengertian hadist?
2.    Penyebab terjadinya pengkodifikasian Hadist?
3.    Proses pengkodifikasian Hadist?
4.    Siapakah ahli hadist ?



















BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian AL-Hadist
Kata Hadist dalam bahasa Arab, bermakna komunikasi,cerita,perbincangan yang religious atau sekuler,historis atau kekinian.Sementara menurut istilah Hadist adalah segala peristiwa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW yang diucapkan ,disiarkan dan disampaikan kepada manusia baik melalui pendengaran maupun wahyu yang diterima hanya dalam keadaan sadar atau dalam mimpi ,walaupun hanya sekali terjadi sepanjang hidupnya ,walaupun hanya disaksikan oleh satu orang saja. Dalam penggunaan secara ajektif (sifat),  kata Hadist bermakna baru. Kata ini, didalam Al-Qur’an, digunakan sebanyak 23 kali. Berikut ini adalah beberapa ayat yang tersebut :
a.         Komunikasi religious, pesan atau Al-Qur’an :
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik, yaitu Al-Qur’an.(QS.39:23). Maka serahkanlah (hai Muhammad) kepada-Ku (urusan) orang-orang yang mendustakan perkataan ini (Al-Qur’an). (QS.68:44)
b.        Cerita tentang masalah sekuler atau umum :
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olok ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan permbicaraan yang lainnya. (QS.6.68)
c.         Cerita historis :
Apakah telah sampai kepadamu cerita Musa? (QS.20:9)
d.        Cerita atau perbincangan yang masih hangat :
Dan ingatlah ketika nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang istrinya (Hafshah) suatu peristiwa. (QS.66:3)
Kita dapat menyimpulkan bahwa kata Hadist telah digunakan didalam Al-Qur’an dalam suatu pengertian cerita, komunikasi atau pesan, baik itu bercorak religious atu sekuler, dari sejarah masa silam ataupun yang tengah berlaku (kekinian).

B.     Penyebab Terjadinya Pengkodifikasian Hadis
Dari abad pertama Hijriah, mulai dari zaman Rasul hingga zaman Khulafa Rasydin serta sebagian zaman Amawiyah, hadist-hadist Nabi berpindah melalui mulut kemulut. Masing-masing perawi meriwayatkan perawinya berdasarkan pada kekuatan hafalannya. Pada masa tersebut belum ada ide-ide yang mampu menggerakan mereka untuk membukukannya.  Hingga pada tahun 99 Hijriyah, ide untuk membukuannya Hadis Nabi pertama kali diawali oleh Kahlifah  Umar bin Abdul Aziz, dimana beliau mengirimkan surat kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm, yang mengatakan “periksalah dan tulislah semua Hadis-hadis Nabi, sunnah-sunnah yang sudah dikerjakan atau hadis dari Amrah ; karena saya khawatir hal itu akan punah”.[1]Beliau sadar bahwa perawi yang membendaharakan hadis dalam dadanya , kian lama kian banyak yang meninggal.  Umar bin Abdul Aziz  khawatir apabila tidak segera dibukukan dan dikumpulkan hadis-hadis tersebut akan hilang bersama penghafalnya hingga kea lam kubur. Kemudian Khalifah Umar bin Abdul Aziz memberikan tugas kepada Ibnu Syihab al-Zuhri dan yang lainnya umtuk mengumpulkan dan menuliskannya. Sebenarnya ada beberapa penyebab Umar bin Abdul Aziz ingin segera membukukan hadis-hadis tersebut:
1.      Belum terbentuknya dewan hadis, yang membuat beliau khawatir akan hilang dan lenyapnya hadis-hadis Nabi dari pembendaharaan masyrakat.
2.      Pembersihan terhadap hadis-hadis maudlu’ yang  dibuat-buat oleh orang yang tidak bertanggung jawab untuk memperthankan ideology golongannya dan mazhabnya yang mulai tercium sejak kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a.
3.      Alasan bahwa terdapat larangan Nabi tentang penulisan hadis karena takut akan tercampur dengan Al- Qur’an telah hilang semenjak Al-Qur’an itu sendiri dimushafkan.
4.      Perang saudara yang mengakibatkan para ulam hadis kian berkurang.
Dengan alasan itulah Umar bin Abdul Aziz terdorong untuk segera membukukannya.

C.   Proses Pengkodifikasian.
Pada masa perkembangannya banyak sekali ragam dan bentuk dari hadis, jika menelusuri pada tiap-tiap periode dengan segala aspeknya akan terlihat jelas pembukuan tersebut melalui beberapa periode :
1). Pembukuan hadis
Pembukun hadis tidaklah serta merta langsung dituliskan dalam sebuah kitab namun melalui sebuah proses pengumpulan . Orang yang pertama menghimpun hadis Nabi atas perintah Umar bin Abdul Aziz adalah Abu Bakar bin Hizm. Ia mulai menghimpunnya sekitar tahun 100 H. Namun menurut pendapat para Ulama hadis bahwa orang yang pertama menghimpunnya adalah Ibnu Syihab Az – Zuhri. Yang dapat ditegaskan dalam sejarah pengumpulan pada abad kedua, sebagai berikut :
1.      Pengumpulan pertama di kota Makkah, Ibnu Juraij (80 H = 669 M – 150 H = 767 M)
2.      Pengumpulan pertama di kota Madinah, Ibnu Ishaq (151 M – 768 M)
Atau Ibnu Abi Dzi’bin.
Atau Malik ibn Anas (93 H = 703 M – 179 H = 798 M)
3.       Pengumpulan pertama di kota Bashrah, Al Rabi’ ibn Shabih (160 H = 777 M)
Atau Hammad ibn Salamah (176 H)
Atau  Sa,id ibn Abi Arubah (156 H = 773 M)
4.      Pengumpulan pertama di Kufah, Sufyan Ats Tsaury (161 H)
5.      Pengumpulan pertama di Syam, Al Auza’y (156 H)
6.      Pengumpulan pertama di Wasith, Husyaim Al Wasithy (104 H = 722 M – 188 H = 804 M)
7.      Pengumpulan pertama di Yaman, Ma’mar Al Azdy (95 H = 753 M – 153 H = 770 M)
8.      Pengumpulan pertama di Rei, Jarir Al Dlabby (110 H = 728 M – 188 H = 804 M)
9.      Pengumpulan pertama di Khurasan, Ibn Mubarak (118 H = 735 M – 181 H = 797 M)
10.  Pengumpulan pertama di Mesir, Al Laits ibn Sa’ad (175 H)
            Para Ulama tersebut diatas merupakan orang-orang yang ahli dan hidup pada abad kedua hijriah. Pengumpulan hadis terjadi pada satu periode dan tidak diketahui mana yang lebih dahulu.
2).  Pembukuan Secara Menyeluruh
            Pada awal masa penyusunannya fatwa dari para sahabat dan tabi’in tidak dapat dipsahkan dalam proses tersebut, tidak pula diadakan pemilihan bab-bab tertentu. Semua itu dibukukan secara bersama dan menyeluruh. Sehingga dalam kitab hadis tersebut terdapat  hadis-hadis yang marfu’, mauquf, serta hadis-hadis yang maqthu ‘. Sistematika penulisan hadis pada waktu itu dengan menghimpun hadis-hadis yang tergolong munasabah, atau hadis-hadis yang memiliki hubungan serta kesamaan satu dengan yang lainnya dihimpun dalam satu bab, kemudian disusun menjadi beberapa bab sehingga menjadi satu kitab. Namun masih bercampur dengan hadis dan autsar dari para sahabat serta tabi’in.
3). Penulisan Hadis Secara Terpisah
Pada abad ketiga hingga pertengahan abad keempat, masa ini dianggap masa paling sukses dalam pembukuan hadis. Karena para Ulama telah mampu memisahkan antara hadis dengan yang bukan hadis (autsar para sahabat dan tabi’in) dengan meniliti sanad dan matan nya. Masa ini disebut “masa menghimpun dan mentasbih Hadis”. Sistem pembukuan hadis pada masa ini adalah sebagai berikut :
1.      Penulis menghimpun semua pernyataan yang dilontarkan oleh Ulama – Ulama Kalam kepada pribadi Ulama – Ulama Hadits sendiri (misalnya si X tidak adil atau tidak dlabit, jadi tidak dapat diterima haditsnya). atau ditujukan kepada Hadits – Haditsnya sendiri (dikatakan hadits ini tidak dapat diterima karena mengandung khufarat atau bertentangan dengan dalil lain dan sebagainya, jadi tak mungkin datang dari Nabi). Kemudian si penulis menanggapi dan menjawab semua serangan tersebut dengan alasan – alasan yang kuat, sehingga dapat menjaga nama baik Ulama Hadits dan membersihkan Hadits – Hadits yang dicatatnya.
2.      Penulis menghimpun hadits melalui “musnad”, yakni menghimpun semua hadits dari tiap – tiap sahabat tanpa memperhatikan masalah – masalahnya (matan) dan nilai (ada yang shahih, hasan, dan dlaif).
3.      Penulis menghimpun hadits – hadits melalui bab – bab seperti kitab Fiqh dan tiap bab memuat hadits – hadits yang sama maudlu’nya / masalahnya. Misalnya bab shalat, bab zakat, dan sebagainya.

D.    Ahli Hadist
Seseorang yang mencari Hadits, mendengarnya, menulisnya, membacanya, memahami makna-maknanya, kemudian konsisten dengan perintah-perintahnya, menjauhi larangan-larangannya, mengangungkan dengan mengikutinya, menyebarkannya, mendakwahkannya, mempertahankannya, tidak mempertentangkan satu dengan lainnya, tidak mengikuti ra’yi dan tidak mendahulukan akal atasnya maka pada saat itulah dia termasuk ahli hadits.Para ulama memberi gelar kepada orang yang suka berkelana mencari Hadist, dan juga kepada yang mempelajarinya, baik itu dilakukan dinegerinya maupun negara tetangga. Dengan cara demikian dapat diketahui tingkatan derajat dan beragam kesulitan dalam menyampaikan Hadist.
Tiga gelar yang paling terkenal yang membedakan seorang ahli Hadis dengan yang lain adalah:
a.        al-Musnid ( orang yang meriwayatkan hadis sekalian dengan isnadnya),
b.      al-Muhdits (orang yang mengetahui sanad dan illatnya), nama-nama tokoh, dan hadis yang ‘ali serta yang nazil.
c.       al-Hafizh, hafal sejumlah besar matan serta berbagai kitab yang mrnghimpun ribuan hadits. Sedangkan al-Hafizh adalah gelar yang paling tinggi derajatnya, mengetahui dengan rinci sunah-sunah rasullulah serta dapat membedakan sanad-sanadnya.























BAB III
PENUTUP
A.   KESIMPULAN
Secara garis besar, penyebab terjadinya kodifikasi hadits adalah untuk menghilangkan kekhawatiran akan hilangnya Al – Hadits dan memelihara Al – Hadits dari bercampurnya dengan hadits – hadits palsu.
Proses - proses kodifikasi hadits melalui beberapa tahap, yaitu: pengumpulan hadits, penulisan hadits secara menyeluruh, penulisan hadits secara terpisah, dan penulisan hadits shahih.
Dari uraian singkat mengenai sejarah perjalanan hadits, diketahui bahwa umat islam sejak sejarahnya yang paling awal, sudah mempraktikkan bagaimana memelihara dan mengatur arus informasi (hadits). Mereka meyakini dan merasakan serta melaksanakan sesuatu tanggung jawab untuk menjaga bukann hanya kesinambungan hadits tetapi juga disertai dengan menjaga keotentikannya.Informasi dari Nabi diakui bukan merupakan komoditi yang dipaketkan yang lantas dijual, tapi merupakan tali kehidupan yang mengikat dan mereka hidup bersama dengannya.
Seseorang yang mencari hadits, mendengarnya, menulisnya, membacanya, memahami makna-maknanya, kemudian konsisten dengan perintah-perintahnya, menjauhi larangan-larangannya, mengangungkan dengan mengikutinya, menyebarkannya, mendakwahkannya, mempertahankannya, tidak mempertentangkan satu dengan lainnya, tidak mengikuti ra’yi dan tidak mendahulukan akal atasnya maka pada saat itulah dia termasuk ahli hadits.









DAFTAR PUSTAKA
Azami, Muh Mustofa. 1994.Hadis Nabawi. Jakarta : Pustaka Firdaus.
Azami, Muh Mustofa. 1992. Metodologi Kritik Hadits. Jakarta Pusat : Pustaka Hidayah
http://aan888.blogspot.com/2013/05/makalah-sejarah-kodifikasi-hadist.html














[1] Azami, Muh Mustofa. 1994.Hadis Nabawi. Jakarta : Pustaka Firdaus. Hal 106

0 Comments:

Post a Comment