Header Ads

10 November 2014

MAKALAH “ILMU TAFSIR, ILMU HADITS DAN PERKEMBANGANNYA”

UNTUK PPT KLIK DISINI
Dosen Pengampu : Mukh. Nursikin, M.S.I.


Oleh:
SYTA RIZKI NUR SAPUTRI                             (13410128)
RINA ROHMA WATI                                         (13410129)
ANWAR KHOIRONI ABDUL WAHAB            (13410130)
CATUR PRASTYO                                             (13410143)


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013/2014
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Al-Qur’an adalah wahyu allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Sebagai kitab yang dijadikan pedoman dan petunjuk dalam mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Kitab Allah SWT yang terakhir yaitu Al-qur’an ini adalah sumber pokok dan sebagai sumber ajaran-ajaran Islam. Kitabullah ini yang penuh dengan petunjuk, undang-undang, dan hukum diturunkan sebagai pokok-pokok keterangan yang tidak dapat disangkal kebenarannya. Namun didalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang tidak bisa dipahami secara tekstual dan juga terdapat ayat-ayat yang masih global.
Al-Hadits adalah sesuatu yang datang dari Nabi Muhammad SAW setelah diutus menjadi Nabi oleh Allah SWT. Oleh karena itu tugas Nabi SAW yaitu menjadi panutan atau teladan bagi umatnya.sedangkan Ilmu Hadits adalah Ilmu yang membahas tentang tatacara persambungan hadits sampai kepada Rosulullah SAW dari segi sisi seluk beluk para perawinya, kedhabitan, keadilan dan dari bersambung dan tidaknya mata rantai sanad.
Telah disebutkan diatas tadi bahwasannya didalam Al-Qur’an itu masih ada ayat yang bersifat global atau belum bisa dipahami. Disinilah fungsi hadits  sebagai penjelas apa yang masih global di dalam Al-Qur’an. Dan apabila didalam Al-Qur’an itu belum ada hukum tentang sesuatu masalah, maka Hadits dijadikan sumber hukum setelah Al-Qur’an. Untuk mengetahui apakah suatu Hadits itu bisa diterima, maka muncullah Ilmu Hadits yang akan dibahas dalam makalah ini.
Dalam memahami dan menjelaskan Al-Qur’an dan Al-Hadits ini, tidak sembarang orang bisa melakukannya. Dalam menjelaskan Al-Qur’an ini butuh yang namanya Ilmu Tafsir dan untuk memahami Al-Hadits yang sebagai penjelas atau sumber hukum setelah Al-Qur’an seseorang butuh yang namanya Ilmu Hadits. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai “ Ilmu Tafsir dan Ilmu Hadits beserta Perkembangannya”.
B.  Rumusan Masalah
1.    Apa pengertian Ilmu Tafsir?
2.    Apa pengertian Ilmu Hadits?
3.    Bagaiman perkembangan Ilmu Tafsir?
4.    Bagaimana Perkembangan Ilmu Hadits?
BAB II
PEMBAHASAN
A.  Ilmu Tafsir
1.    Pengertian Ilmu Tafsir
Definisi Tafsir secara bahasa, Berasal dari bahasa arab yaitu kata فَسَّرَyang mengikuti wazan kata تَفْعِيْلٌdan menjadi kata تَفْسِيْرٌ yang mana mempunyai arti terang dan nyata. Dan dapat dikatakan juga sebagai pembalaikan dari سَفَرَ yang mempunyai arti bersinar. Menurut Imam Az-Zurkani Tafsir memiliki arti menjelaskan atau menerangkan.[1]
Kemudian dalam pembahasan tentang ilmu tafsir ini, kata ilmu yang mendahului kata tafsir tersebut menunjukkan atau mempengaruhi perubahan makna dalam kata tersebut, dan menjadikannya perbedaan antara Tafsir dan Tafsir yang didahului dengan kata Ilmu. Karena pada dasarnya Ilmu Tafsir itu membahsa tentang tatacara atau bagaimana menghasilkan penafsiran yang baik dan benar serta dapat diterima oleh masyarakat luas. Sedangkan menurut bahasa sendiri, Ilmu Tafsir berarti Ilmu untuk menafsirkan, yang tanpa memiliki ilmu tersebut seseorang akan gagal dalam penafsirannya. Tetapi bukan gagal total hanya permasalahannya, hasil tafsiran yang dihasilkan oleh mufassir itu bisa diterima di masyarakat umum dan tidak melenceng kepada patokannya atau hanya menjadi koleksi pribadi yang kurang bisa di terima oleh masyarakat atau menyeleneh.
Sedangkan secara Istilah adalah Ilmu yang membahsa tentang hal ihwal Al-Qur’an, dari segi turunnya, sanadnya, cara menyebutkan, segi lafazh-lafazhnya dan makna-maknanya yang berhubungan dengan lafazh-lafzh maupun yang berhubungan dengan hokum ”.[2] Jadi ilmu untuk menafsirkan ini meliputi banyak ilmu, dari ilmu sejarahnya, dari susunan kalimat, makna-makna yang terkandung didalamnya, hubungan dengan kalimat lain, tentang nasihk mansukh, dan lain sebagainya.
Obyek pembahsab ilmu Tafsir adalah Al-Qur’an, terutama menyangkut pemahaman makna-makna yang ada didlam isi kandungan Al-Qur’an. Dalam Ilmu Tafsir ini dibicarakan masalah kaidah dalam menafsirkan, syarat untuk menafsirkan, istilah-istilah yang digunakan dalam tafsir. Dan Masih banyak lagi. Ilmu Tafsit ini merupakan cabang dari ilmu Al-Qur’an.

2.    Perbedaan Tafsir dengan Ilmu Tafsir
a)    Dilihat dari segi tujuan mempelajarinya :
Tujuan seseorang dalam mempelajari Ilmu Tafsir sendiri, supaya mampu menafsirkan Al-Qur’an dengan baik dan benar, tidak menyimpang dari isi kandungan Al-Qur’an. Sedangkan mempelajari Tafsir bertujuan untuk mengetahui apa makna yang di maksud dari Al-Qur’an, kemudian menjadikan tau apa maksudnya. Lebih jelasnya Kalau ilmu Tafsir Itu “Bagaiman memahami Isi kandungan Al-Qur’an” sedangkan Tafsir “Apa isi kandungan Al-Qur’an” yang dikehendaki oleh Allah SWT dalam ayat-ayat Al-Qur’an.
b)   Dilihat dari segi kedudukannya:
Jika dilihat dari sedi kedudukannya, Maka Ilmu Tafsir itu bias diartikan sebagai alat dalam menafsirkan Al-Qur’an, sedangkan Tafsir adalah hasil dari seorang mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an. Yaitu yang berupa kitab-kitab yang berisi tentang memahami maksud-maksud ayat Al-Qur’an. Jadi tafsir itu hasil yang di dapat dari pengunaan ilmu-ilmu tafsir tersebut.
c)    Dilihat dari segi sebab akibatnya:
Sebatnya dia bisa menafsirkan karena mempunyai ilmu-ilmu tafsir. Seseorang dengan menguasai Ilmu Tafsir mampu menafsirkan Al-Qur’an, sejauh ilmu yang dimiliknya. Sedang dengan menguasai Tafsir belum tentu membuat seseorang dapat menafsirkan Al-Qur’an. namun seseorang tersebut mampu memahaminya, walupun belum bisa menafsirkannya sendiri.
d)   Dilihat dari segi kitab-kitab atau materinya :
Kitab-kitab Ilmu Tafsir didalamnya memuat pembahasan Ulumul Qur-an dan yang berhubungan dengan pemahaman makna ayat-ayat Al-Qur’an. Sedang kitab-kitab Tafsir adalah kitab yang disusun secara khusus untuk memahami makna-makna yang terkandung dalam Al-Qur’an. Jadi Kitab ilmu tafsir itu tidak memuat hasil dari penafsiran tersebut, sedangkan tafsirnya itu memuat hasil dari olahan olahan pemikiran yang di dasari dengan ilmu-ilmu yang sesuai dan yang dimiliki oleh seorang mufassir.

3.    Syarat-Syarat dan Keutamaan Muffasir
Syarat dan keutamaan inilah yang menjadikan atau penyebab kualitas dan di teriam atau di tolak di kalangan masyarakat. Namun Sebelum menjajaki ke pembahasaan syarat dan keutamaan mufassir, disini akan dijelaskan terlebih dahulu siapa atau apa yang di sebut mufassir itu?. Mufassir adalah orang yang mampu menafsirkan Al-Qur’an. Dalam menafsirkan kalamullah ini, mufassir harus memenuhi kriteria agar hasil tafsirannya tidak menyimpang dari apa yang dimaksud dan dapat diterima. Syarat dan keutamaan  mufassir yaitu:
a)    Akidah Yang Benar
Para muffasir itu di anjurkan supaya mempunyai akhlak yang benar. Karena akidah Mufassir sangat mempengaruhi dalam karyanya, yang apabila mempunyai akidah yang kurang baik akan memyebabkan ketidak hati-hati atau dalam menafsirkannya itu asal-asalan.  Sehingga sangat dibutuhkan untuk mengetahui akidahnya agar tak tersesat.
b)   Bersih Dari Hawa Nafsu
Seorang mufassir dalam menafsirkannya itu harus bersih dari yang namanya nahsu, Sebab hawa nafsu akan mendorong pemiliknya untuk membela kepentingannya sendiri atau kepentingan golongannya, atau mazhabnya. sehingga ia menipu manusia dengan kata-kata halus dan keterangan menarik. Supaya terpengaruh oleh kata-katanya.
c)    Menafsirkan, lebih dahulu, Al-Qur’an dengan Penjelasan Al-Qur’an
Dalam menafsirkan Al-Qur’an sebaiknya mendahulukan mencari penjelasan di dalam Al-Qur’an Karena Al-Qur’an adalah sumber hokum yang paling utama.
d)   Mencari penjelasan dari Hadits
Kemudian sumber hokum yang kedua ini adalah Al-Hadits. Al-Hadits ini dipakai apabila dalam Al-Qur’an Masih terdapat kata-kata atau kalimat-kalimat yang masih global(umum) kemudian dijelaskan oleh Hadits. Karena Hadits itu berasal dari Nabi yang diutus oleh Allah SWT sebagai penjelas.
e)    Mengambil pendapat sahabat apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an dan Hadits. Dalam pengambilan pendapat para sahabat ini, ketika di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits tidak ditemukan. Kemudian baru lah mencari pendapat sahabat, karena para sahabat, menyaksikan kondisi ketika Al-Qur’an diturunkan. Dan ada beberapa sahabatyang semasa dengan Nabi SAW. Disamping itu juga para sahabat mempunyai pemahaman yang kuat atau sempurna, ilmu yang shahih, dan amal yang baik serta.
f)    Mengambil pendapat ulama’ apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Hadits, dan Sahabat.
Yang dimaksud  imam disini adalah para Tabi’in. Tabi’in adalah generasi setelah sahabat. Dan pengambilan pendapat ini dilakukan karena pada masa tabi’in itu masih mendapatkan penjelasan dari sahabat, yang masih terjaga simpang siurnya.


g)   Mengetahui bahasa arab dan cabang-cabangnya
Al-Qur’an sendiri itu memakai Lisan bahasa arab, Maka dalam menafsirkan Al-Qur’an itu juga harus memahami Bahasa Arab. Tidak hanya itu di dalam bahasa arab sendiri mempunyai cabang-cabang yang digunakan untuk merangkai atau menyusun kata-kata- supaya makna yang dimaksud itu bisa tertuju. Cabang-cabangnya meliputi nahwu, sorof, balaghoh, dll.
h)   Mengetahui Ilmu Ushul yang berkaitan dengan Al-Qur’an
Ilmu ushul Seperti menguasai Qira'at yang karenanya mampu mengetahui tata cara mengucapkan al-quran dan mengetahui kelebihan diantara lainnya. dan menguasai ilmu Tauhid. yang karenanya tidak menta'wil ayat al-quran yang ada kaitannya dengan Allah dan sifat-sifat-NYA, dengan ta'wil yang tidak patut bagi Allah. Dan juga mengetahui pokok tafsir seperti Asbabunnuzul, Nasikh-mansukh, Mujmal muqayyad dll.
i)     Mempunyai pemahaman yang kuat
Dalam hal ini pemahaman seorang sangat diperlukan karena dengan pemahaman yang kuat mampu mengunggulkan makna satu dan lainnya, atau mampu mengambil hukum makna yang cocok beserta nash-nash syariat.

4.    Adab Mufassir
a.    Berniat Baik dan bertujuan benar
Mufassir dalam menafsirkan Al-Qur’an harus berniat dan bertujuan dengan baik. sebab amal perbuatan itu tergantung pada niatnya. Orang yang mempunyai ilmu-ilmu syari’at hendaknya mempunyai tujuan dan tekad membangun kebaikan. maka dari itu selayaknya mufassir telah menata niatnya sebelum mulai menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini juga di arahkan supaya mufassir menjauhkan diri dari tujuan-tujuan duniawi yang akan mendatangkan madlorot bagi dirinya sendiri.
b.    Berakhlak baik
Seorang mufassir itu harus berakahlak baik, karena mufassir bagai seorang pendidik yang dididiknya itu tidak akan berpengaruh ke dalam jiwa tanpa ia menjadi panutan yang diikuti dalam hal akhlak dan perbuatan mulia. Seperti halnya pendidik, terhadap yang dididik. Yang dididik itu akan condong meniru kepada pendidik. Jadi supaya yang dididik itu tidak melakukan yang buruk-buruk maka sebagai pendidik itu seharusnya memberikan teladan yang baik.
c.    Taat dan beramal
Ta’at dan beramal, keata’an itu dilakukan oleh mufassir untuk menunjukkan kesungguhannya dalam menafsirkan Al-qur’an. kemudian dibarengi dengan beramal supaya apa yang diusahakan oleh seorang mufasssir itu lancer, dan do’a-do’anya itu mudah dikabulkan.
d.   Berlaku jujur dan teliti dalam penukilan
Berlaku jujur harus diterapkan untuk setiap mufassir, karena jujur itu akan mendapatkan pahala, dan meneliti dalam hal penukilan, dalam hal ini mufassir tidak berbicara atau menulis kecuali setelah menyelidiki apa yang diriwayatkannya. Dengan cara inilah seorang mufassir akan terhindar dari kesalahan dan kekeliruan.
e.    Tawadu’ dan lemah lembut
Seorang mufassir itu harus mempunyai sikap tawadu’ dan lemah lembt karena jikalau tdak tawadu’ dan lemah lembut, kemanfaatan ilmunya itu akan berkurang atau malah tidak ada manfaatnya. Dan jika seorang mufassir itu mempunyai sifat kesombongan terhadap ilmunya maka akan menghalangi antara seorang yang alim terhadap kemanfaatan ilmunya.
f.     Berjiwa mulia
Seharusnya seorang mufassir itu mempunyai jiwa yang mulia, karena yang demikian ini akan membawa mufassir kepada kewibawaan. Dan juga mempengaruhi diterima atau ditolaknya hasil penafsiran oleh seorang mufassir tersebut.
g.    Vokal dalam menyampaikian
     karena jihad yang paling utama adalah memyampaikan kalimat kepada penguasa yang dzalim. Kemudian dalam menyampaikannya itu dengan lugas dan jelas. Supaya yang menerima dengan mudah dan tidak diragukan.
h.    Berpenampilan baik
     Dalam berpakaian sebaiknya berpakaian dengan baik sehingga dapat memberikan kesan wibawa yang dapat menjadikan mufassir berwibawa dan terhormat dalam semua penampilannya secara umum, juga dalam cara duduk,  berdiri, dan berjalan. Yang sedemikian ini seorang mufassir akan terlihat kewibawaannya.
i.      Tenang dan mantap
     Mufassir hendaknya tidak tergesa-gesa dalam bicara, tapi hendaknya ia berbicara dengan tenang, mantap, dan jelas kata demi kata. Agar dalam pembicaraannya tersebut tidak salah dalam pengucapannya


j.      Mendahulukan yang lebih utama daripada dirinya
     Seorang mufassir harus hati-hati menafsirkan dihadapan orang yang lebih pandai, menghargainya dan belajar darinya. Dalam hal ini berhubungan dengan sifat lemah lembut, karean sifat rendah diri seorang mufassir ini terlihat dari mendahulukan orang yang lebih utama dari dirinya.
k.    Mempersiapkan dan menempuh langkah-langkah penafsiran secara ilmiah dan sistematik seperti memulakannya dengan menyebut asbab al-nuzul, arti perkataan, mnerangkan susunan kalimat, menjelaskan segi-segi balagah dan i’rab yang padanya bergantung penentuan makna. Kemudian memjelaskan makna umum dan memnghubungkan dengan kehidupan sebenarnya yang dialami oleh umat manusia pada masa itu serta membuat kesimpulan dan menentukan hukum.
5.    Perkembangan Ilmu Tafsir
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling mulia dan paling tinggi kedudukannya, karena pembahasannya berkaitan dengan Kalamullah yang merupakan petunjuk dan pembeda dari yang haq dan bathil. Ilmu tafsir telah dikenal sejak zaman Rasulullah dan berkembang hingga di zaman modern sekarang ini. Namun terdapat banyak perbedaan-perbedaan cara atau ilmu dalam menafsirkannya.  Adapun perkembangan ilmu tafsir dibagi menjadi enam periode yaitu :
1)   Pertama, pada zaman Nabi
Sebagai utusan Allah, tugas Nabi adalah menjelaskan dan menerangkan apa yang tidak dapat dipahami yang ada didalam Al-Qur’an. Rosulullah menjelaskan apabila ada sahabat yang tidak paham pada masa itu. Namun penjelasan atau penafsiran yang dilakukan oleh Rosulullah hanyalah melibatkan sebagian ayat saja, yaitu hanya ayat atau kalimat yang memerlukan penjelasan dan penerangan seperti lafazd ‘am, khas, mujmal, dan sebagainya. Rosulullah juga memberi tunjuk kepada para sahabat agar untuk menafsirkan ayat Al-Qur’an mengunakan ayat Al-Qur’an atau bertanya langsung kepada Rosulullah.
Kegiatan penafsiran Al-Qur’an pada periode ini masih berupa penyampaian dari mulut ke mulut yang menurut istilah ahli hadits adalah musyafahah. Dan juga sunnah Rosulullah sebagai penafsiran Al-Qur’an pada umumnya tidak di tulis oleh para sahabat.  Tafsir Al-Qur’an pada zaman ini dan pada masa awal pertumbuhan islam disusun pendek-pendek dan tampak ringkas, karena penguasaan bahasa arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat Al-Qur’an.
2)   Kedua, pada zaman sahabat
Para sahabat dalam mempelajari tafsir tidak sukar karena mereka menerima Al-Qur’an langsung dari Rasulullah dan mempelajari tafsir Al-Qur’an pun dari beliau. Mereka bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya.
Mereka mempelajari Al-Qur’an dengan mudah memahaminya karena Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa kaumnya (bahasa arab), serta suasana-suasana dan peristiwa-peristiwa turunnya ayat dapat mereka saksikan dan Al-Qur’an diturunkan pada masa keemasan sastrawan-sastrawan arab.apabila mereka tidak mengetahui makna suatu lafadz Al-Qur’an atau maksud suatu ayat segara mereka tanyakan kepada Rosul sendiri atau sesama sahabat. Namun tidaklah semua sahabat sederajat didalam memahami isi Al-Qur’an, baik secara global atau terperinci, akan tetapi mereka berbeda-beda tingakat pemahamannya sesuai dengan tingkat ketinggian akal fikirannya, bahkan ada yang tidak sanggup didalam memahami arti kata-kata dari Al-Qur’an.
Secara keseluruhan, merekalah orang-orang yang paling mampu untuk memahami Al-Qur’an apabila dibandingkan dengan generasi-generasi setelahnya. Para sahabat pada masa ini dalam menafsirkan Al-Qur’an berpedoman pada empat sumber pokok yaitu:
a.    Al Qur’an Al Karim
b.    As Sunnah Nabi SAW
c.    Pemahaman dan Ijtihad
d.   Ahli kitab dari orang Yahudi dan Nasrani

Ahli Tafsir pada masa sahabat
As suyuthi berkata, bahwa sahabat yang terkemuka dalam bidang tafsir ada 10 orang:
1.    Abu Bakar
2.    Umar bin Khatab
3.    Utsman bin Affan
4.    Ali bin Abi Thalib
5.    Abdullah ibnu Mas’ud
6.    Abdullah ibnu Abbas
7.    Ubay bin Ka’ab
8.    Zaid bin Tsabit
9.    Abu Musa Al-Asy’ari
10.    Abdullah bin Zubair
Pada masa ini ilmu tafsir dipelajari masih seperti pada masa Rosulullah dengan melalui penyampaian mulut ke mulut dan apabila ada yang belum jelas bertanya langsung kepada Rosulullah atau bertanya kepada Sahabat yan lain yang lebih mengerti.
3)   Ketiga, pada zaman tabi’in
Sebagaimana sebagaian sahabat terkenal dengan ahli tafsir, maka sebagian tabi’in terkenal dengan ahli tafsir dimana para tabi’in mengambil tafsir dari mereka sumber-sumbernya berpegang kepada sumber-sumber yang ada pada masa sebelumnya. disamping adanya ijtihad dan penalaran.
Sumber tafsir pada masa tabi’in:
1.        Kitabullah
2.        Riwayat dari sahabat dari Rosulullah
3.        Riwayat dari sahabat dari penafsiran mereka sendiri
4.        Pengambilan dari ahli kitab berdasarkan apa yang datang dari mereka dalam kitab mereka
5.        Ijtihad dan pemahaman yang diberikan Allah kepada para tabi’in untuk mengetahui makna Al-Qur’an.
Ahli tafsir pada masa tabi’in:
1.    Di Makkah terdapat perguruan yang dipimpin oleh ibnu abbas dan murid-muridnya: Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah Maula Ibnu Abbas, Atha bin Abi Rabbah.
2.    Di madinah terdapat perguruan yang didirikan oleh Ubay bin Ka’ab dan muridnya dari kalangan tabi’in: Zaid bin Aslam, Abu Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi.
3.    Di irak terdapat perguruan yang dipimpin oleh ibnu mas’ud dan murid yang terkenal dengan ahli tafsir yaitu aswad bin Yazid, Murrah Al Mahadani, Amir Asy Sya’bi, dll.

Pada periode tabi’in ini, menafsirkan dirasakan samar pemahamannya oleh sebagian mereka dan kesamaran pemahaman itu bertambah secara terus menerus. Setiap kali manusia jauh dari masa Nabi SAW, dan sahabat, maka orang-orang yang berkecimpung didalam tafsir dari  tabi’in merasa butuh untuk membicarakan kekurangan ini. Lalu mereka menambahkan tafsir sesuai dengan tambahnya kesamaran mereka. Kemudian sesudah mereka datanglah generasi yang menyempurnakan tafsir qur’an dengan berpegang dengan:
1.    Bahasa Arab dan segi-seginya yang mereka ketahui
2.    Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya Al-Qur’an yang dipandang shahih
3.    Alat alat pemahaman dan pembahasan yang lain.
Penafsiran pada zaman tabi’in tafsir belum terhimpun dalam suatu kitab. Pada masa ini tafsir tetap konsisten dengan cara khas, penerimaan dan periwayatan. Akan tetapi setelah banyaak ahli kitab yang masuk islam, para tabi’in banyak yang menukilkan dari cerita-cerita isra’iliyat yang kemudian dimasukkan ke dalam tafsir.
4)   Keempat, pada zaman pembukuan
Pada permulaan abad kedua hijriyah, yaitu dikala banyak pemeluk agama islam yang bukan dari bangsa arab dan dikala bahasa arab telah dipengaruhi oleh bangsa asing, barulah ulama merasa perlu membukukan tafsir, agar dapat dipahamkan maknanya oleh mereka yang kurang paham mengenai bahasa arab. Pembukuan dimulai diakhir akhir masa Bani Umayah dan awal Bani Abbasiyah. Mencangkup pembukuan beberapa bab yang bermacam-macam dan tafsir salah satu bab ini.
Setalah masa sahabat dan tabi’in, ada perkembangan baru yaitu mulai dibukukannya Al-Hadits yang terdiri dari bermacam-macam bab, dimana tafsir termasuk salah satu bab dalam buku Hadits tersebut. Tafsir belum dibukukan tersendiri. Kemudian muncul ‘ulama ‘ulama yang memisahkan dari Al-Hadits dan menjadikan tafsir, ilmu yang berdiri sendiri dan tafsir disusun sesuai dengan tertib surat dan ayat dalam mushhaf Al-Qur’an. Pekerjaan ini dilakukan oleh sekelompok ulama’:
(1)   Ibnu Majjah (273 H)
(2)   Ibnu Jarir Ath Thabari ( 310 H)
(3)   Abu Bakar Al Mundzir An Naisaburi (318 H)
(4)   Ibnu Abi Hatim (326 H)
(5)   Abu Syaikh bin Hibban (369 H)
(6)   Hakim (405 H)dan lain lain
Semua tafsir tersebut memuat riwayat-riwayat dengan sanad yang bersambung sampai kepada Rosulullah, Sahabat, Tabi’in, Tabi’ Tab’in.
Dan Ahli-ahli tafsir pada masa abad kedua Hijriyah ini:
1.      As Suddy (127 H)
2.      Ibnu Juraij (150 H)
3.      Muqatil (150 H), dll
5)   Tafsir pada Abad IV Hijriyah s/d abad XI H
Diantara ulama-ulama tafsir abad keempat ini terdapatlah ulama tafsir yang bersungguh-sungguh menafsirkan Al-Qur’an dengan dasar dirayah yakni menafsirkan Al-Qur’an bil Ma’qul.
Mulailah segolongan Mufassirin mengoreksi riwayat-riwayat yang berasal dari israiliyat dan mulailah pemeriksaan itu didasarkan atas petunjuk-petunjuk akal dan keterangan keterangan yang nyata.
Mulai abad keempat inilah segala tafsirpun mempunyai sandaran yang lebih kuat lagi, karena para mufassirin itu tidak menerima lagi dari riwayat-riwayat yang dinukilkan, melainkan yang shahih-shahih saja dan diterima oleh akal yang sejahtera atau sehat, atau diterima oleh kaedah-kaedah ilmu bahasa. Ringkasnya golongan ini mengosongkan kitab tafsir yang mereka susun dari israiliyat.
Ahli tafsir pada abad IV s/d XI hijriyah :
1.      Az-Zamaksari, kitabnya Al Kasysyaf dari segi rahasia-rahasia balaghah Al-Qur’an
2.      Abu Bakar Ibnu Araby 542 H : kitabnya Ahkamul Qur’an
3.      Al-Hafidz Ibnu katsir (772 H) tafsirnya Al-Qur”anul Azhim, dll

6)   Tafsir pada abad XII -sekarang(modern)
Sumber tafsir pada masa ini ialah Nakliyah dan Ijtihadiyah:
     Para ulama melakukan penafsiran secara Nakliyah dan disertai oleh Ijtihadiyah ini karena dalam Al-Qur’an dan Al-hadits penjelasannya kuran terperinci, sehingga menimbulkan simpang siur terhadap apa yang ada pada zaman sekarang ini.
Ahli-ahli Tafsir pada periode ini ialah:
1.    Al-imam As Syaukani (1250 H), tafsirnya Fathul Qodir
2.    Al Alamah Al Alusy (1270 H), tafsirnya Ruhul Ma’ani
3.    Al Alamah Isma’il Haqqi, tafsirnya Ruhul Bayan, dan lain lain.
Dan di indonesia pada abad keempat belas sampai sekarang lahir beberapa tafsir bahasa indonesia yang disusun oleh ulama’-ulama’ kita, diantaranya ialah:
1.    Tafsir Al-Qur’anul Karim disusun oleh Al-Ustad Abdul Karim Hasan dan Ustadz Zaenal Arifin Abbas
2.    Tafsir An-Nur, disusun oleh Prof . Dr. Hasby As Shidiqqy
3.    Tafsir departemen agama
4.    Tafsir Al-Furqon disusun oleh Ustadz Ahmad Hasan, dan lain lain

6.    Metode Penafsiran
Metode penafsiran yang banyak dilakukan oleh para mufassir
a.    pertama, Tafsir Bil Ma’tsur atau Bir Riwayah. Metode ini terfokus kepada riwayat yang shohih, dengan mengunakan penafsiran Al-Qur’an dengan Al-Qur’an, penafsiran Al-Qur’an dengan Sunnah, Penafsiran Al-Qur’an dengan perkataan Sahabat dan penafsiran Al-Qur’an dengan perkaataan Tabi’in. Dalam metode ini hasil penafsiran lebih sejalan dan mudah diterima oleh kalangan masyarakat.

b.    kedua, Tafsir Bil Ra’yi atau Diroyah, ialah tafsir yang didalam memjelaskan maknanya, mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulannya didasarkan pada ra’yu semata. Dalam metode penafsiran yang hanya menggunakan kemampuan diri sendiri ini hasil penafsiran masih kurang sejalan atas apa yang dimaksd dari kandungan Al-Qur’an. karena biasanya dalam menggunakan akalnya sendiri ini, masih diselubungi oleh nafsu-nafsu duniawi.

Ilmu Hadits
1)      Pengertian Ulumul Hadits
Ulumul Hadits terdiri dari dua kata, yaitu ‘ulum dan al-Hadits. ‘Ulum dalam bahasa Arab adalah “ilmu-ilmu”, sedangkan al-Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad SAW dari perkataan, perbuatan, taqrir, atau sifat. Dengan demikian, ulumul hadits mengandung pengertian “ilmu-ilmu yang membahas atau berkaitan dengan Hadist Nabi SAW”[3]
Menurut para ulama mutaqoddimin ilmu hadis yaitu :
“Ilmu yang membahas tentang tatacara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah SAW dari sisi-beluk para perawinya, kedhabitan dan keadilan dan dari bersambung dan tidaknya matarantai sanad”.[4]
Secara garis besar, ilmu hadits terbagi atas dua bagian, yaitu ilmu hadits riwayah dan ilmu hadits dirayah.

2)      Ta’rif Ilmu Hadits Riwayah dan Ilmu Hadits Dirayah
A.    Ilmu Hadits Riwayah
Menurut Ibn al-Akfani,” ilmu hadits riwayah adalah ilmu hadis yang khusus berhubungan dengan riwayah adalah ilmu yang meliputi pemindahan (periwayatan) perkataan Nabi SAW dan perbuatannya, serta periwayatannya, pencatatannya, dan penguraian lafaz-lafaznya.”
Dengan demikian dapat dipahami bahwa ilmu hadis riwayah membahas tentang tata cara periwayatan, pemeliharaan, dan penulisan atau pembukuan Hadis Nabi SAW.
Ilmu Hadits Riwayah mempunyai objek kajian yaitu dari segi periwayatan dan pemeliharaannya. Hal itu mencakup :
                                                i.     Cara periwayatan Hadis, baik dari segi cara penerimaan dan juga cara penyampaiannya dari seorang perawi kepada perawi yang lain.
                                              ii.     Cara pemeliharaan Hadis, yaitu dalam bentuk penulisan, penghafalan, dan pembukuannya.
            Adapun tujuan dan manfaat dari mempelajari ilmu hadits riwayah ini adalah untuk menghindari adanya kesalahan dalam mengakses atau menukil hadits dari sumbernya yang pertama, yaitu Nabi Muhammad SAW dan pemeliharaan terhadap Hadits Nabi SAW agar tidak lenyap dan sia-sia.
B.     Ilmu Hadits Dirayah
Kebanyakan ulama menta’arifkan ilmu hadits dirayah adalah ilmu untuk mengetahui keadaan sanad dan matan dari jurusan diterima atau ditolak dan yang bersangkutpaut dengan itu.[5]
Objek pembahasan ilmu hadits dirayah antara lain :
1.    Keadaan para perawi, baik yang berkaitan dengan sifat kepribadian (seperti perilaku kesehariannya, watak dan kualitas daya ingatannya) maupun masalah sambung tidaknya rangkaian mata rantai para perawinya.
2.    Keadaan yang diriwayatkan, baik dari sisi keshahihan dan kedla’ifannya maupun dari sisi lain yang berkaitan dengan keadaan matan.[6]
Sedangkan manfaat mempelajari ilmu hadits dirayah banyak sekali, diantaranya :
1.      Mengetahui perkembangan hadits dan ilmu hadits dari masa kemasa, mulai dari zaman Rasulullah SAW sampai sekarang.
2.      Mengetahui para praktisi hadits beserta usaha yang telah mereka lakukan dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan.
3.      Mengetahui kaidah-kaidah yang dipergunakan para praktisi hadits dalam mengklasifikasikan hadits lebih lanjut.
4.      Mengetahui istilah-istilah,nilai-nilai dan kriteria-kriteria hadits sebagai pedoman dalam beristinbath.

3)      Cabang-cabang Ilmu Hadits
a)      ‘Ilmu Rijal Al-Hadits
‘Ilmu Rijal Al-Hadits merupakan ilmu yang membahas para perawi hadits, baik dari sahabat, dari tabi’in, maupun dari angkatan-angkatan sesudahnya. Objek kajian dari ilmu ini adalah matan dan sanad. Oleh karena itu mempelajari ilmu ini penting, sebab nilai suatu hadits dapat dipengaruhi oleh karakter dan perilaku serta biografi perawi itu sendiri.

Sedangkan para perawi yang menjadi objek kajian ilmu rijal al-hadits adalah           :
a.         Para sahabat, sebagai penerima pertama dan sebagai kelompok yang dikenal sebutan thabaqat awwal atau dikenal sebagai sanad terakhir lantaran sebagai penerima langsung dari Nabi Muhammad SAW.
b.        Para tabi’in, yang dikenal sebagai thabaqat tsani
c.         Para muhadlramin, yaitu orang-orang yang mengalami hidup pada masa Jahiliyyah dan masa Nabi Muhammad SAW dalam kondisi Islam, tetapi tidak sempat menemuinya dan mendengarkan hadis darinya
d.        Para mawaliy, yaitu para perawi hadits dan ulama yang awalnya berstatus budak.
b)     ‘Ilmu Jarh wa at-Ta’dil
Ilmu ini membahas tentang keadaan para perawi hadits dari sisi diterima dan ditolaknya periwayatan mereka. Untuk itu, ilmu ini dapat dijadikan salah satu alat untuk mengungkapkan sifat negatif (ketercelaan/jarakh) dan positif (keadilannya/ta’dil) para perawi hadits.
c)      ‘Ilmu Asbab al-Wurud
‘Ilmu Asbab al-Wurud merupakan suatu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi Muhammad SAW menuturkan sabdanya. Ilmu ini penting untuk diketahui, sebab ilmu ini dapat membantu dalam memahami hadits.
d)     ‘Ilmu Nasikh wal-Mansukh
‘Ilmu ini membahas problem hadits-hadits yang secara lahiriyah berlawanan, yang diantara keduanya tidak memungkinkan untuk dipertemukan sebab adanya materi bertentangan, padahal hakikatnya saling hapus menghapus. Hukum yang datangya dahulu dikenl dengan sebutan mansukh dan datangnya kemudian dikenal dengan sebutan nasikh.
Untuk mengetahui nasikh dan mansukh dapat dilihat dari ada tidaknya hal-hal sebagai beriku  :
                                                                                i.            Adanya penjelasan Nabi Muhammad SAW sendiri dalam haditsnya
                                                                              ii.            Adanya penjelasan dari sahabat
                                                                            iii.            Adanya keterangan sejarah
                                                                            iv.            Adanya ijma’ulama.
Adapun pelopor pembahasan ada tidaknya nasakh-mansukh dalam hadits yaitu    :
                                                                                    i.            Al-nasikh wal mansukh, karya Qatadah bin Da’amah al-Dausy
                                                                                  ii.            Nasikh al-hadits wa mansuhihi, karya Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Astram
                                                                                iii.            Nasikh al-hadits wa mansukhihi, karya Abu Hafsh, ‘Umar Ahmad al-Baghdadiy (Ibnu Syahin/297-385 H) lalu Imam Syafi’iy, dilanjutkan oleh Ahmad Ibnu Hambal dan Ahmad bin Ishaq al-Dinariy (318 H), lalu disusul dengan kitab
                                                                                iv.            Al-i’tibar fi al-nasikhi wa al-mansukhi min al-atsar, karya Abu Bakar Muhammad bin Musa al-Hazimiy al-Hamdaniy.
e)      ‘Ilmu ‘Ilal al-Hadits
Menurut istilah ‘Ilmu ‘Ilal al-Hadits merupakan ilmu yang membahas tentang sebab-sebab tersembunyi yang dapat membuat hadits shahih itu tercemar seperti menyatakan hadits muttashil pada hadits yang hakikatnya munqathi’, menyatakan hadits marfu’ pada hadits yang pada hakikatnya mauquf atau memasukan hadits ke dalam hadits lain dan sebagainya.[7]
Ilmu ini berpautan dengan keshahihan hadits. Di antara para ulama yang menulis ilmu ini yaitu Ibnu al-Madiny (234 H), Ibnu Abi Hatim (327 H), Imam Muslim (261 H), Ad-Daruquthny (375 H), dan Muhammad ibn Abdillah al-Hakim.
f)       ‘Ilmu Gharib al-Hadits
‘Ilmu Gharib al-Hadits merupakan ilmu yang mengungkapkan arti kosa kata matan hadits yang sulit dimengerti dan rumit dipahami lantaran kosa kata tersebut memang asing dan tidak dikenal. Objek dari ilmu ini yaitu kata-kata yang sulit atau susunan yang sulit dipahami maksud sebenarnya.
Adapun metode untuk mencari penafsiran yang benar pada hadits yang mengandung kosa kata asing, dibutuhkan standarisasi penafsiran, diantaranya adalah :
                                                                                i.            Adanya hadits yang sanadnya berlainan dengan matan yang mengandung kosa kata asing
                                                                              ii.            Adanya penjelasan sahabat yang memang menjadi perawi hadits
                                                                            iii.            Adanya penjelasan sahabat lain yang tidak meriwayatkannya tetapi ia paham betul makna kosa kata asing tersebut.
                                                                            iv.            Adanya penjelasan dari perawi hadits yang selain sahabat.
g)      ‘Ilmu Mukhtalif al-Hadits
Ilmu Mukhtalif al-Hadits merupakan ilmu yang membahas hadits-hadits yang secara lahiriyyah saling bertentangan, lalu dihilangkannya atau keduanya dikompromikan, sebagaimana membahas masalah hadits-hadits yang kandungannya sulit dipahami atau sulit dicari gambaran yang sebenarnya, lalu kesulitan tersebut dihilangkan dan dijelaskan hakikat yang sebenarnya. Objek pembahasan ilmu ini adalah hadits-hadits yang secara lahiriyyah saling bertentangan, sehingga dengan menggunakan ilmu ini tingkat kesulitan bisa teratasi.
h)     ‘Ilmu Tashif wa Tahrif
Ilmu ini merupakan ilmu yang menerangkan hadits-hadits yang sudah diubah titiknya atau syakal (yang dinamai mushahhaf dan bentuknya yang dinamai muharraf.
Diantara kitab yang membahas ilmu ini yaitu, kitab Ad-Daruquthny (385 H) dan kitab At-Tashhif wa At-Tahrif, karya Abu Ahmad al-Askary (283 H)

4)      Perkembangan Ilmu Hadits
                   I.            Tahap Pertama (Kelahiran Ilmu Hadits)
Pada tahap ini berlangsung pada masa sahabat hingga abad pertama Hijriyah.
Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, maka para sahabatlah yang menyampaikan segala sesuatu yang diajarkan Oleh Nabi Muhammad SAW. Pada waktu itu, mereka telah menguasai dan memelihara hadits Nabi. Dalam pemeliharaan hadits ini, mereka didukung oleh beberapa faktor, diantaranya sebagai berikut :
a)      Kejernihan dan kuatnya daya hafal
Bangsa Arab dahulu dikenal dengan bangsa yang ummi. Mereka hanya mengandalkan ingatan. Kesederhanaan kehidupan dan jauhnya dari hiru pikuk peradaban kota menjadikan mereka berhati jernih. Oleh karena itu, mereka dikenal sebagai bangsa yang kuat daya hafalnya dan kecerdasan mereka sangat mengagumkan.
b)     Minat yang kuat terhadap agama
Bangsa Arab meyakini bahwa tidak ada kebahagiaan di dunia, tidak ada keberuntungan di akhirat, dan tidak ada jalan menuju kem uliaan dan kedudukan terhormat kecuali dengan agama Islam. Oleh karena itu, mereka mempelajari seluruh hadits Nabi Muhammad SAW dengan penuh perhatian. Minat seperti inilah, Nabi Muhammad SAW memberikan himbauan agar mereka mengahafal haditsl dan menyampaikan kepada orang lain.
c)      Kedudukan hadits dalam Agama Islam
Hadits merupakan sendi asasi yang telah membentuk pola pikir sahabat serta sikap perbuatan dan etika mereka. Mereka senantiasa ikut dan tunduk kepada Rasulullah SAW dalam segala hal. Setiap kali mereka mendapat suatu kalimat dari Rasulullah SAW, maka kalimat tersebut akan mendarah daging dan menjelma dalam perilaku mereka.
d)     Nabi tahu bahwa para sahabat akan menjadi pengganti beliau dalam mengemban amanah dan menyampaikan risalah.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW menempuh beberapa metode dalam menyampaikan hadits, diantaranya :
                                i.            Rasulullah SAW tidak menyampaikan hadits secara beruntun, melainkan sedikit demi sedikit agar mereap ke dalam hati.
                              ii.            Rasulullah SAW tidak berbicara panjang lebar, melainkan dengan sederhana.
                            iii.            Rasulullah SAW seringkali mengulang pembicaraanya agar dapat ditangkap oleh hati orang-orang yang mendengarnya.
e)      Cara Nabi SAW menyampaikan hadits
Rasulullah SAW telah dianugerahi kemampuan yang jarang dimiliki oleh orang lain, karena itu, Al-Qur’an menyebutkan Hadits sebagai Al-Hikmah. Dengan demikian, tidak diragukan lagi bahwa penjelasan yang baligh, akan dapat menguasai hati orang yang mendengarnya.
f)       Penulisan Hadits
Penulisan menjadi suatu media dalam upaya pemeliharaan hadits, meskipun dalam hal ini terdapat sejumlah riwayat yang berbeda dan pandangan yang beraneka ragam, baik di zaman dahulu maupun di zaman belakangan.
                II.            Tahap Kedua, Tahap Penyempurnaan
Tahap ini berlangsung awal abad kedua hingga abad ketiga, yang ditandai dengan sejumlah peristiwa yang menonjol, diantaranya :
a.       Melemahnya daya hafal di kalangan umat Islam, sebagaimana disebutkan oleh al- Dzahabi  dalam kitab Tadzkirat al -Huffazh.
b.      Panjang dan bercabangnya sanad-sanad hadits sebab bentangan jarak waktu dan semakin banyaknya rayi.
c.       Muncullah sejumlah kelompok Islam yang menyimpang dari jalan kebenaran seperti Mu’tazilah, Jabbariyah, Khawarij dan sebagainya. Untuk mengantisipasi kekacauan yang mungkin timbul, para imam Islam bangkit dengan beberapa langkah, diantaranya :
                                            i.            Pembukuan hadits secara resmi
                                          ii.            Sikap para ulama yang kritis terhadap para rawi hadits dalam upaya jarh wa ta’dil
                                        iii.            Sikap tawaqquf apabila mendapatkan hadits dari seseorang yang tidak mereka kenal sebagai ahli hadits.
                                        iv.            Sikap menelusuri sejumlah hadits untuk mengungkapkan kecacatan yang mungkin tersembunyi di dalamnya, kemudian untuk setiap hal yang baru, mereka membuat kaidah dan formula khusus dalam upaya mengenalkannya.
             III.            Tahap Ketiga, Tahap Pembukuan Ilmu Hadits secara Terpisah
Tahap ini berlangsung dari awa bad ketiga hingga pertengahan abad keempat. Abad ketiga merupakan masa pembukuan hadits dan merupakan zaman keemasan sunnah, sebab dalam abad inilah sunnah dan ilmu-ilmunya dibukukan dengan sempurna.
     Tahap ini juga ditandai dengan inisiatif para ulama untuk membukukan hadits Rasul secara khusus. Untuk itu, mereka menyusun kitab-kitab musnad untuk menghimpun hadits Rasul yang mereka kelompokkan berdasarkan nama-nama sahabat, sehingga hadits-hadits yang diriwayatkan dari Abu Bakar misalnya, dikumpulkan dalam satu tempat dengan judul Musnad Abu Bakar. Setelah iti, datanglah al-Bukhari dengan inisiatif baru, yaitu membukukan hadits-hadits sahih secara khusus dan disusun berdasarkan bab-bab tertentu, agar mudah dicari dan dipahami hadits-haditsnya. Kitab yang disusunnya diberi nama al-Jami’ash-Shahih.
     Para ulama telah mempelajari dan meneliti seluruh matan dan sanad hadits dengan sempurna. Istilah-istilah sekitar hadits telah masyhur dan baku di kalangan ulama hadits. Akan tetapi, dalam tahap ini belum dijumpai tulisan yang pembahasannya mencakup seluruh kaidah-kaidah cabang-cabang ilmu dengan batasan-batasan istilah-istilahnya, sebab mereka masih mengandalkan hafalan dan penguasaannya terhadap semua itu kecuali kitab yang berjudul al-‘Ilal al-Shaghir karya Imam at-Turmudzi.
             IV.            Tahap Keempat, Penyusunannya Kitab-kitab Induk ‘Ulum al-Hadits dan Penyebarannya
Tahap ini berlangsung pada pertengahan abad keempat dan berakhir pada awal ketujuh. Para ulama periode ini menekuni dan mendalami kitab-kitab yang telah disusun oleh para ulama sebelumnya.
Mereka menghimpun keterangan-keterangan yang berserakan dan melengkapinya dengan berlandaskan keterangan-keterangan ulama lain yang diriwayatkan dengan sanad yang sampai kepada pembicaranya. Kemudian keterangan-keterangan itu diberi komentar dan digali hukumnya.
                V.            Tahap Kelima, Kematangan dan Kesempurnaan Pembukuan ‘Ulum al-Hadits
Tahap ini bermula pada abad ketujuh dan berakhir pada abad ke sepuluh. Dalam tahap ini pembukuan ‘ulum al-hadits mencapai tingkat kesempurnaan dengan ditulisnya sejumlah kitab yang mencakup seluruh cabang ilmu hadits. Bersama itu dilakukan pula penghalusan sejumlah ungkapan dan penelitian bberbagai masalah dengan mendetail.
             VI.            Tahap Keenam, Masa Kebekuan dan Kejumudan
Tahap ini bermula dari abad kesepuluh sampai awal abad keempat belas Hijriah. Pada tahap ini ijtihad dalam masalah ilmu hadits dan penyusunan kitabnya nyaris berhenti total. Tahap ini ditandai dengan lahirnya sejumlah kitab hadits yang ringkas dan praktis, baik dalam bentuk syair dan prosa. Para penulis sibuk dengan kritikan-kritikan terhadap istilah-istilah yang terdapat dalam kitab tanpa ikut menyelami inti permasalahannya, baik melalui penelitian maupun ijtihad.
          VII.             Tahap Ketujuh, Kebangkitan Kedua
Tahap ini berlangsung dari permulaan abad keempat belas Hijriah. Pada tahap ini, umat Islam terbangkitkan oleh sejumlah kekhawatiran yang setiap saat bisa muncul sebagai akibat persentuhan antara dunia Islam dengan dunia Timur dan Barat, bentrokan militer yang tidak manusiawi, dan kolonialisme pemikiran yang lebih jahat dan lebih bahaya.
Oleh sebab itu, muncullah informasi yang mengaburkan eksistensi hadits oleh para orientalis dan diterima begitu saja oleh orang-orang yang mudah terbawa arus asing. Mereka turut mengumandangkannya dengan penuh keyakinan.
Kondisi ini menuntut disusunnya kitab-kitab yang membahas seputar informasi tersebut guna menyanggah kesalahan-kesalahan dan kedustaan mereka. Para ulama berupaya memenuhi tuntutan ini dengan karya masing-masing dan banyak karya ulama pada tahp terakhir ini yang telah dicetak.
Upaya para ulama pengabdi sunnah itu berantai dan berkesinambungan dalam jumlah yang mutawattir untuk menerima dan menyampaikan hadits Rasulullah SAW, baik dalam bentuk ilmu pengetahuan, pengalaman, kajian, maupun dalam bentuk uraian, sejak dari zaman Rasulullah SAW hingga sampai saat ini.

























BAB III
ANALISIS
Berdasakan materi yang kami kaji tentang ilmu tafsir, ilmu hadits dan perkembangannya. Banyak sekali ilmu-ilmu yang membahas tentang tafsir. Dari zaman Rosulullah sampai sekarang ini. Banyak juga cara penafsiran tentang isi kandungan Al-Qur’an  yaitu mulai dari penjelasan Rosulullah dan penjelasan dari sahabat, yang dilakukan pada masa Rosulullah dan sahabat. Ijtihad dan lain sebagainya.
Begitu pula bagi mufassir itu sendiri mempunyai ketentuan-ketentuan dan adab dalam penafsiran Al-Qur’an. Syarat dan ketentuan atau keutamaan itu supaya hasil penafsirannya dapat diterima oleh masyarakat. Dan tidak menyimpang dari yang dimaksud oleh Al-Qur’an itu sendiri.













BAB IV
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Ilmu tafsir merupakan ilmu yang membahas tentang hal ihwal Al-Qur’an, dari segi turunnya, sanadnya, cara menyebutkan, sagi lafazh-lafazhnya dan makna-maknanya yang berhubungan dengan lafazh-lafazh maupun yang berhubungan dengan hukum. Ilmu tafsir sendiri mengalami perkembangan sejak dari zaman Rasulullah SAW hingga sampai sekarang. Dalam perkembangannya, ilmu tafsir terbagi atas enam periode yaitu, tafsir pada masa Rosulullah SAW, tafsir pada zaman sahabat, tafsir pada zaman tabi’in, tafsir pada zaman pembukuan, tafsir pada abad iv hijriyah s/d abad xi H, dan tafsir pada abad xii -sekarang(modern).
Ilmu Hadist merupakan ilmu yang membahas tentang tatacara persambungan hadits sampai kepada Rasulullah SAW dari sisi-beluk para perawinya, kedhabitan dan keadilan dan dari bersambung dan tidaknya matarantai sanad. Secara garis besarnya, ilmu hadits terbagi dalam dua bagian, yaitu ilmu hadits riwayah dan hadits dirayah. Dari kedua ilmu tersebut terdapat perbedaan, yaitu dalam hal objek pembahasan dan manfaat yang diperoleh dari mempelajari ilmu tersebut. Sama halnya dengan ilmu tafsir, ilmu hadits juga mengalami pekembangan yang dimulai dari tahap kelahiran ilmu hadits hingga tahap kebangkitan kedua.

                                                                                                                              






DAFTAR PUSTAKA
Amanah, Siti. 1993. Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Ilmu Tafsir. Semarang: Asy Syifa’
Nawawi, Rif’at Syauqi. 1992. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang
Al-Qhattan, Manna; Khalil, 1973. Studi ilmu-ilmu al-qur’an. Jakarta: Puataka litera antar nusa
Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi. 2012. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra
Nuruddin. 1995. ‘Ulum Al-Hadits I. Bandung: Remaja Rosdakarya
Zein, Muhammad Ma’shum. 2007. Ulumul Hadits & Musthalah Hadits. Jakarta: Departemen Agama RI.
Yuslem, Nawir. 2008.Ulumul Hadis.  Jakarta:PT.Mutiara Sumber Widya






[1] Jalaludin as-suyuthi, pengantar ilmu al-qur’an dan tafsir. 1993 hal.245
[2] Az-Zarqani, pangantar ilmu Tafsir.1988. hal.182
[3] DR. Nawir Yuslem, MA, Ulumul Hadis,PT.Mutiara Sumber Widya, Jakarta,2008,hlm.1
[4] Drs. Muhammad Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Departemen Agama Ri, Jakarta,2007,hlm.97
[5] Prof.Dr.Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Pustaka Rizki Putra, Semarang,2002,hlm.112
[6] Drs. Muhammad Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Departemen Agama Ri, Jakarta,2007,hlm.100

[7] Drs. Muhammad Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah Hadits, Departemen Agama RI, Jakarta,2007,hlm.116-117

0 Comments:

Post a Comment