Header Ads

20 October 2014

TOKOH PENDIDIKAN “MARIA MONTESOORI”


Oleh : Ahmad Syafii*
A.    BIOGRAFI MARIA MONTESSORI
Maria Montessori adalah salah seorang tokoh pendidikan di dunia. Lahir pada 31 Agustus 1870 di Chiaravalle Provinsi Ancona Italia. Dari pasangan Alessandro Montessori seorang pebisnis di perusahaan monopoli tembakau milik negara dan renilde stoppani, perempuan berpendidikan dari sebuah keluarga terpandang.
Dia merupakan perempuan pertama yang diterima di sekolah kedokteran di Universitas Roma. Dia mampu menjadi salah satu mahasiswa kedokteran perempuan yang masih didonimasi oleh kalangan lelaki ketika itu. Setelah menyelesaikan studi kedokterannya, dia bekerja di rumah sakit San Giovanni milik universitas.
Pencapaian Montessori di bidang pendidikan dan kedokteran menjadikannya perempuan istimewa di Italia. Meski kontribusinya pada pergerakan perempuan dibayangi oleh pencapaiannya di bidang pendidikan, namun montesoori cukup berpengaruh pada pergerakan perempuan Eropa. Dia menjadi anggota delegasi italia pada kongres perempuan internasional di berlin pada september 1896. Dalam kongres tersebut dia mendorong kaum perempuan untuk mengambil posisi di depan dalam reformasi pendidikan dan bekerja sebagai sukarelawan di kalangan masyarakat miskin.
Tahun 1898, monstessori mengikuti sebuah kongres pendidikan yang dilakukan di turin, yang membahas tentang pendidikan terhadap anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental. Dengan melihat pola penanganan yang berlaku kala itu, dimana anak-anak dengan kecacatan dimasukkan ke dalam lingkungan kelas dengna pembatas yang minimal, montessori menyerukan tentang kebutuhan untuk membuat kelas-kelas khusus untuk hal itu (anak cacat).
Montessori juga mendirikan sekolah disebuah wilayah miskin di roma. Sekolah tersebut diberi nama casa dei bambini. Dalam mendirikan casa dei bambini, montessori dipandu oleh tujuan-tujuan sosiologis dan pendidikan yang telah dia kembangkan selama tahap-tahap perkembangan karirnya. Bertempat di dalam kawasan perumahan, sekolah tersebut bertindak sebagai penghubung organik vital antara pendidikan dan masyarakat. Metodenya bukan hanya sebagai cara untuk mendidik anak-anak secara lebih manusiawi dan efektif, tapi juga untk membantu regenerasi sosial di wilayah miskin tersebut. Montessori meyakini bahwa dalam masyarakat modern, bantuan tidak hanya berupa sumbangan-sumbangan pribadi yang bersifat parsial, namun akan lebih baik jika sumbangan-sumbangn itu dikelola oleh agen-agen yang mapan yang beertugas untuk mencegah penyakit, meningkatkan gizi dan kesehatan, mendidik anak-anak dan dewasa, serta mereformasi masyarakat.
B.     PEMIKIRAN-PEMIKIRAN MARIA MONTESSORI.
Dalam researchnya, montessori menggunakan pengamatan (observasi) klinis. Dalam pendidikan kedokterannya, dia telah belajar secara klinis untuk mengobservasi pasien-pasien untuk mendiagnosa penyakitnya, meresepkan penanganannya, dan mendokumentasikan pemulihannya. Ketika beralih riset ke pendidikan, montessori menerapkan pengamatan klinis pada anak-anak untuk menemukan kapan tepat dan bagaimana mereka belajar. Dalam pembahasannya tentang pendidikan, latar belakang kedokteran dari montessori dan penggunaan pengamatan klinis tampak jelas terlihat. Sebelum pembahasan pendidikan indra yang terkait dengan suara, misalnya, dia pertama membahas anatomi dan fisiologi dari telinga, baru kemudian membahasa bagaimana melatih indra pendengaran.
Montessori mendefinisikan pendidikan sebagai sebuah proses dinamis dimana anak-anak berkembang menurut “ketentuan-ketentuan dalam”dari kehidupan mereka, dengan “kerja sukarela” mereka ketika ditempatkan dalam sebuah lingkungan yang disiapkan untuk memberi mereka kebebasan dalam ekspresi diri.
Dari filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh montessori, dia mendefiniskan sekolah sebagai sebuah lingkungan yang disiapkan dimana anak-anak mampu untuk berkembang secara bebas, dalam kecepatan mereka sendiri, tidak terhambat dalam mengekspresikan kemampuan-kemampuan alamiah mereka. Montessori menyatakan : “sekolah harus memperbolehkan manifestasi-manifestasi yang bebas dan alami dari anak-anak agar pedagogi alamiah dapat lahir di sekolah tersebut”.
Metode Montessori bersandar pada prinsip bahwa pendidikan seorang anak harus muncul dari dan bertepatan dengan tahap-tahap perkembangan anak itu sendiri. Bagi Montessori, tiap tahap perkembangan manusia merupakan sebuah peristiwa “kelahiran kembali”, dimana satu fase dalam rangkaian perkembangan secara dramatis mengalir menuju fase berikutnya. dalam kajiannya, montessori membagi perkembangan anak menjadi tiga periode : pertama, dari lahir hingga usia enam tahun (tahapan “otak penyerap”). kedua, dari usia enam hingga duabelas. Ketiga, dari usia dua belas hingga delapan belas. Tahap (yang merupakan tahapan yang dikaji secara oleh montessori) yaitu peroide “otak penyerapan” selanjutnya dibagi lagi menjadi dua subfase, dari lahir hingga tiga tahun dan dari tiga tahun hingga enam tahun.
Dalam Periode dari ‘otak penyerapan” fase awal orak anak berfungsi secara tak sadar dan pembelajaran dihasilkan dari interaksi dengan dan respon terhadap rangsangan lingkungan. Selama periode ini, anak mulai membangun kepribadian dan kecerdasan mereka sendiri melalui aktifitas-aktitas mereka dalam mengeksplorasi lingkungan dan kesan-kesan yang mereka rasakan selama aktifitas-aktifitas tersebut.
Periode “otak penyerapan” kedua, sang anak butuh menemukan tugas-tugas atau kegiatan-kegiatan yang merangsang ketertarikannya dan butuh untuk belajar bagaimana melaksanakan tugas-tugas dengan benar. Pada masa ini, anak-anak tertarik pada tugas-tugas manipulatif (membentuk atau mengotak-atik benda), tertarik dengan bagaimana melakukan banyak hal.
Montessori mengatakan : “masa kanak-kanak merupakan masa yang paling kaya, masa ini seyogyanya didayagunakan oleh pendidik sebaik-baiknya, jika tersia-sia kehidupan masa ini tidak akan pernah dapat dicari gantinya. Tugas kita adalah memanfaatkan tahun-tahun awal kanak-kanak ini dengan kepedulian yang tinggi, bukan menyia-nyiakannya.”[1]
Kurikulum Montessori
Kurikulum yang ditekankan montessori dalam buku the montessori method adalah kurikulum selama periode otak penyerapan”, yaut enam tahun pertama kehidupan. Rancangan kurikulum ini berdasar pada beberapa sumber : pandangannya tentang pedagogi ilmiah, pengaruh dari konsep itard dan seguin, hasil risetnya terhadap anak-anak cacat, dan penerapan-penerapan idenya terhadap anak normal.[2]
1.      Pedagogik ilmiah
Istilah pedagogi sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu paedos (anak) dan agogos (mengantar, membimbing, memimpin). Dari dua istilah tersebut timbul istilah baru yaitu paedagogos dan pedagog, keduanya memiliki pengertian yang hampir serupa, yaitu sebutan untuk pelayan pada zaman Yunani kuno yang mengantarkan atau membimbing anak dari rumah ke sekolah setelah sampai di sekolah anak dilepas, dalam pengertian pedagog intinya adalah mengantarkan anak menuju pada kedewasaan.
Dalam dunia pendidikan, telah banyak ditemukan kecenderungan untuk melangkah maju melewati dari tahapan yang murni spekulatif, menuju mendasarkan prinsip-prinsipnya pada hasil-hasil positif dari ekperimentasi.
meskipun dengan semua perkembangan ini, namun pedagogi ilmiah belum terbentuk dan terdefinisikan dengan jelas. Hal ini masih menjadi sesuatu yang samar, dan secara riil belum eksis.
Pedagogi ilmiah secara garis besar berusaha mengajari para pengajar untuk menggunakan cara-cara antropometrik. Apa itu antropometri? Yaitu suatu kajian ilmu yang berusaha membuat ukuran-ukuran tertentu yang disandarkan pada kemampuan fisik manusia. Selain itu juga menggunakan perangkat-perangkat estesiometri (baca: sensasi/persepsi), dan mengumpulkan data psikologis.
2.      Itard dan seguin.
Dua orang ini adalah inspirator bagi maria montessori dalam kajiannya terhadap anak cacar mental. Itard yang memiliki nama lengkap Marc Gaspard Itard (1774-1838) adalah seorang dokter spesialis di otiatria, sebagai dokter spesialis gangguan pendengaran.
Hasil eksperimen itard tentang “anak liar”, yaitu seorang anak liar, seorang anak yang mungkin ditinggalkan atau hilang, yang ditemukan hidup di hutan bersama dengan hewan-hewan. Anak tersebut berusia sekitar dua belas tahun, tidak menguasai bahasa manusia dan ketrampilan-ketrampilan praktis manusia.
Itard mencoba mendidik sang anak, melatihnya ketrampilan-ketrampilan praktis dan ketrampilan berbahasa manusia. Meskipun hanya memperoleh hasil yang terbatas, namun setidaknya memiliki hasil yang dapat diperoleh.
Itard berusaha menemukan cara-cara yang spesifik untuk melatih anak liar tersebut. Mengenai kecerdasan, itard menemukan bahwa kecerdasan berkembang melalui kegiatan-kegiatan yang sesuai tahap perkembangan. Dari “eksperimen” tersebut, akhirnya itard mengambil kesimpulan bahwa manusia melewati tahap-tahap perkembangan yang spesifik, definit dan penting.
Montessori sangat terkesan dengan karya itard. Sebagai seorang dokter seperti Itard, Montessori terlatih dalam melakukan observasi (pengamatan) klinis. Menerima ide-ide itard tentang pengataman empiris, Montessori menyebut usaha Itard sebagai “usaha-usaha pertama dalam psikologi eksperimental.
Yang kedua adalah Seguin. Dokter yang memiliki nama lengkap edouard seguin (1812-1880) ini merupakan kolega dari itard yang berkerja terhadap anak-anak yang mengalami gangguan mental. Dia menerapkan metode-metodenya di hospice de bicetre, sebuah sekolah yang dibangun untuk melatih anak-anak yang diambil dari hasil-hasil ( rumah saki jiwa) yang ada di paris. Seguin percaya bahwa lembaga-lembaga anak cacat akan menjadi pusat pelatihan dan pendidikan dan bahwa pengetahuan medis dan pedagogis harus digunakan bersama untuk mengalami anak-anak cacat tersebut.
Seguin memerancang serangkaian alat dan bahan ajar untuk melatih indra-indra dan untuk meningkatkan ketrampilan-ketrampilan fisik dari anak-anak dengan gangguan mental. Dalam kerjanya, Seguin mengembangkan beberapa teknik, diantaranya mendasarkan pengajaran pada tahap-tahap perkembangan dengan menggunakan bahan bahan pembelajaran dan melatih anak-anak untuk membangun keterampilan mandiri.
Dari kedua tokoh diatas montessori mengembangkan dua prinsip : pertama bahwa defisiensi mental membutuhkan satu jenis pendidikan khusus dan tidak hanya penanganan medis, kedua, bahwa jenis pendidikan khusus ini dijalankan dengan menggunakan bahan-bahan dan alat pembelajaran. Dan hal terpenting bagi pendidik terhadap anak-anak yang memiliki defisiensi mental ialah semua aktifitas sang pengajar adalah bersifat spiritual, yaitu penting bagi pendidik untuk “bekerja” pada spirit (jiwa) sang anak.
3.      Pendidikan anak-anak cacat mental.
Pada saat itu, anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental dikurung ke dalam-asil-asil bercampur dengan orang-orang dewasa.dalam hal ini. Montessori mengecam praktek pengurungan .di berpnedapat bahwa anak-anak yang memiliki cacat mental ini sebaiknya dimasukkan ke dalam lembaga pendidikan yang diciptakan khusus, dia berpendapat bahwa keterlambatan mental mereka disebabkan bukan karena permasalahan medis namun masalah pendidikan sehingga dila menyarankan anak-anak yang memiliki cacat mental ini dikumpulkan bersamam dalam lingkungan pendidikan yang khusus. Pemisahan ini menurutnya, menghindarkan pengajar kelas-kelas reguler dari beban untuk mengatasi kasus-kasus kecacatan yang serius. Lebih lanjut, anak-anak ini akan menerima perhatian khusus secara individual. Dengan demikian, mereka dapat berproses dalam kecepatan mereka masing-masing. Di samping itu, lembaga khusus ini harus memiliki layanan-layanan dari seorang psikiater dan dokter anak yaitu mereka yang mampu melakukan kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing anak dan memberikan resep pembelajaran bagi tiap-tiap anak.
4.      Pendidikan untuk anak normal.
Pada dasarnya, bahan ajar pendidikan untuk anak normal yang dilakukan oleh montessori merupakan bahan ajar yang berasal dari pendidikannya terhadap anak berkebutuhan khusus (anak cacat mental). Mengapa demikian, hal ini didasari karena dia menganggap bahwa bahan yang digunakan untuk anak-anak dengan kecacatan tersebut dapat diterapkan pada anak-anak normal. Namun yang paling penting disini adalah anak-anak normal dapat menggunakan bahan-bahan ini dalam “pembelajaran-sendiri”yang bersifat inisiatif-sendiri dan arahan-sendiri. Bagi anak normal, bahan pembelajaran tersebut mengontrol setiap kesalahan, dan sang anak bekerja memperbaiki kesalahan-kesalahannya hingga tgas tersebut dapat dilakukan dengan benar.
C.    IMPLEMENTASI METHODE MONTESSORI.
Konsep montessori tentang peran pengajar berbeda dari konsep yang tradisional. Ketika para pendidik di sekolah-sekolah konvensional menguasai panggung utama kelas sebagai titik fokus perhatian, montessori mengubah peran tersebut dan menyebut sang pengajar sebagai “dektris” yang tugasnya adalah memandu anak-anak dalam kegiatan belajar mereka. Sang dektris sebagai pendidik dalam methode montessori, harus mampu memandu anak-anak dalam pengembangan mereka sendiri.
Kurikulum dari casa de bambini didasarkan pada prinsip montessori bahwa anak-anak mengalami masa krusial dalam perkembangan mereka, yang disebut “periode sensitif”. Selama periode ini anak dalam keadaan yang siap dalam menerima kegiatan-kegiatan pembelajaran tertentu.
Berdasar teori itu, montessori melalui pengamatan dan percobaan, merancang sebuah konsep yang berusaha mengembangkan kemampuan anak di tiga area: ketrampilan-ketrampilan praktis (ketrampilan kehidupan sehari-hari), ketrampilan motorik dan indrawi, dan ketrampilan baca tulis hitung.
1.      Pelatihan ketrampilan hidup sehari-hari.
Montessori merancang pelatihan-pelatihan ketrampilan praktis sehingga anak-anak dapat menggunakannya untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan kehidupan sehari-hari. Seperti misalnya menyajikan makanan, mencuci tangan dan wajah, mengikat tali sepatu, atau memasangkan kancing baju. Tujuan dari kegiatan tersebut adalah bahwa anak diajarkan untuk bersikap mandiri.
2.      Pelatihan indra.
Montessori merancang bahan-bahan dan kegiatan-kegiatan pelatihan indra untuk mengembangkan kemampuan anak-anak dalam membedakan warna-warna dan membedakan suara-suara. Pelatihan-pelatihan indra dirancang untuk menumbuhkan tiga jenis ketrampilan : kemampuan membedakan warna, kepekaan terhadap bau dan suara, dan kemampuan untuk membandingkan dan membedakan. Hal itu dimulai dengan serangkaian benda-benda kecil. Seperti silinder-silinder kayu dengan berbagai ukuran, untuk dimasukkan kedalam lubang-lubang yang berukuran sama pada sebuah balok kayu.
Montessori memandang perkembangan anak usia dini sebagai suatu proses yang berkesinambungan. Ia juga memahami pendidikan sebagai aktifitas diri, mengarah pada pembentukan disiplin diri, kemandirian dan pengarahan diri. Montessori memandang persepsi anak terhadap dunia sebagai dasar dari ilmu pengetahuan. Seluruh indra anak dilatih sehingga dapat menemukan hal-hal yang bersifat ilmu pengetahuan. Sehubungan dengan hal tersebut, ia merancang sejumlah materi yang memungkinkan indera anak dikembangkan.[3]
Kegiatan pelatihan indra montessori memiliki tiga target utama : pertama, meningkatkan kemampuan indra anak-anak degan melatih daya diskriminasi mereka; kedua, meningkatkan fungsi-fungsi indra secara umum; ketiga, membangun kesiapan anak-anak untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang lebih rumit.
3.      Ketrampilan bahasa.
Montesori meyakini bahwa bahasa sebagai intrumen pemikiran kolektif manusia, adalah kekuatan manusia yang mentransformasikan lingkungan mentah menjadi peradaban. Sementara semua manusia memiliki kemampuan untuk menyerap dan menguasai bahasa, sebuah bahasa tertentu menjadi unsur kunci dalam membatasi dan menjadikan sebuah kelompok manusia tertentu tampak khas. Sebagaimana unsur-unsur lain dalam lingkungan, anak-anak juga menyerap bahasa.
Menurut montessori, perkembangan bahasa adalah kreasi spontan dari sang anak. Tanpa memandang bahasa tertentu dalam kebudayaan anak, perkembangan bahasa mengikuti pola yang sama untuk semua anak. Semua anak melalui periode dimana mereka hanya dapat melafalkan suku-suku kata, kemudian kata secara utuh, dan kemudian mereka mulai menggunakan sintaksis dan gramatika.
Pembelajaran dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan tertentu. Seperti membuat huruf dari keping kertas, kemudian anak dapat membunyikan hurufnya. Kemudian anak-anak menyusun kata-kata dengan menggunakan keping huruf. Montessori mengklaim bahwa anak-anak berkembang secara spontan menuju kemampuan menulis dan membaca.





[1] Maria Montessori, terj. Dariyanto, THE ABSORBENT MIND PIKIRAN YANG MUDAH MENYERAP, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar) 2008, hlm. XIII
[2] Maria Montessori, terj. Lazuardi A. L. , METODE MONTESSORI, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2008, hlm 83
[3] Rahman H. S. , KONSEP DASAR PENDIDIKAN ANAK USIA DINI, (Yogyakarta : PGTKI Press), 2002, Hlm. 9

0 Comments:

Post a Comment