Oleh : Ahmad Syafii*
A.
BIOGRAFI MARIA MONTESSORI
Maria
Montessori adalah salah seorang tokoh pendidikan di dunia. Lahir pada 31
Agustus 1870 di Chiaravalle Provinsi Ancona Italia. Dari pasangan Alessandro Montessori
seorang pebisnis di perusahaan monopoli tembakau milik negara dan renilde
stoppani, perempuan berpendidikan dari sebuah keluarga terpandang.
Dia
merupakan perempuan pertama yang diterima di sekolah kedokteran di Universitas
Roma. Dia mampu menjadi salah satu mahasiswa kedokteran perempuan yang masih
didonimasi oleh kalangan lelaki ketika itu. Setelah menyelesaikan studi
kedokterannya, dia bekerja di rumah sakit San Giovanni milik universitas.
Pencapaian
Montessori di bidang pendidikan dan kedokteran menjadikannya perempuan istimewa
di Italia. Meski kontribusinya pada pergerakan perempuan dibayangi oleh
pencapaiannya di bidang pendidikan, namun montesoori cukup berpengaruh pada
pergerakan perempuan Eropa. Dia menjadi anggota delegasi italia pada kongres
perempuan internasional di berlin pada september 1896. Dalam kongres tersebut
dia mendorong kaum perempuan untuk mengambil posisi di depan dalam reformasi
pendidikan dan bekerja sebagai sukarelawan di kalangan masyarakat miskin.
Tahun
1898, monstessori mengikuti sebuah kongres pendidikan yang dilakukan di turin,
yang membahas tentang pendidikan terhadap anak-anak yang memiliki
keterbelakangan mental. Dengan melihat pola penanganan yang berlaku kala itu,
dimana anak-anak dengan kecacatan dimasukkan ke dalam lingkungan kelas dengna
pembatas yang minimal, montessori menyerukan tentang kebutuhan untuk membuat
kelas-kelas khusus untuk hal itu (anak cacat).
Montessori
juga mendirikan sekolah disebuah wilayah miskin di roma. Sekolah tersebut
diberi nama casa dei bambini. Dalam mendirikan casa dei bambini,
montessori dipandu oleh tujuan-tujuan sosiologis dan pendidikan yang telah dia
kembangkan selama tahap-tahap perkembangan karirnya. Bertempat di dalam kawasan
perumahan, sekolah tersebut bertindak sebagai penghubung organik vital antara
pendidikan dan masyarakat. Metodenya bukan hanya sebagai cara untuk mendidik
anak-anak secara lebih manusiawi dan efektif, tapi juga untk membantu
regenerasi sosial di wilayah miskin tersebut. Montessori meyakini bahwa dalam
masyarakat modern, bantuan tidak hanya berupa sumbangan-sumbangan pribadi yang
bersifat parsial, namun akan lebih baik jika sumbangan-sumbangn itu dikelola
oleh agen-agen yang mapan yang beertugas untuk mencegah penyakit, meningkatkan
gizi dan kesehatan, mendidik anak-anak dan dewasa, serta mereformasi
masyarakat.
B.
PEMIKIRAN-PEMIKIRAN MARIA MONTESSORI.
Dalam
researchnya, montessori menggunakan pengamatan (observasi) klinis. Dalam
pendidikan kedokterannya, dia telah belajar secara klinis untuk mengobservasi
pasien-pasien untuk mendiagnosa penyakitnya, meresepkan penanganannya, dan
mendokumentasikan pemulihannya. Ketika beralih riset ke pendidikan, montessori
menerapkan pengamatan klinis pada anak-anak untuk menemukan kapan tepat dan
bagaimana mereka belajar. Dalam pembahasannya tentang pendidikan, latar
belakang kedokteran dari montessori dan penggunaan pengamatan klinis tampak
jelas terlihat. Sebelum pembahasan pendidikan indra yang terkait dengan suara,
misalnya, dia pertama membahas anatomi dan fisiologi dari telinga, baru
kemudian membahasa bagaimana melatih indra pendengaran.
Montessori
mendefinisikan pendidikan sebagai sebuah proses dinamis dimana anak-anak
berkembang menurut “ketentuan-ketentuan dalam”dari kehidupan mereka, dengan
“kerja sukarela” mereka ketika ditempatkan dalam sebuah lingkungan yang
disiapkan untuk memberi mereka kebebasan dalam ekspresi diri.
Dari
filsafat pendidikan yang dikembangkan oleh montessori, dia mendefiniskan
sekolah sebagai sebuah lingkungan yang disiapkan dimana anak-anak mampu untuk
berkembang secara bebas, dalam kecepatan mereka sendiri, tidak terhambat dalam
mengekspresikan kemampuan-kemampuan alamiah mereka. Montessori menyatakan :
“sekolah harus memperbolehkan manifestasi-manifestasi yang bebas dan alami dari
anak-anak agar pedagogi alamiah dapat lahir di sekolah tersebut”.
Metode
Montessori bersandar pada prinsip bahwa pendidikan seorang anak harus muncul
dari dan bertepatan dengan tahap-tahap perkembangan anak itu sendiri. Bagi Montessori,
tiap tahap perkembangan manusia merupakan sebuah peristiwa “kelahiran kembali”,
dimana satu fase dalam rangkaian perkembangan secara dramatis mengalir menuju
fase berikutnya. dalam kajiannya, montessori membagi perkembangan anak menjadi tiga
periode : pertama, dari lahir hingga usia enam tahun (tahapan “otak penyerap”).
kedua, dari usia enam hingga duabelas. Ketiga, dari usia dua belas hingga
delapan belas. Tahap (yang merupakan tahapan yang dikaji secara oleh
montessori) yaitu peroide “otak penyerapan” selanjutnya dibagi lagi menjadi dua
subfase, dari lahir hingga tiga tahun dan dari tiga tahun hingga enam tahun.
Dalam
Periode dari ‘otak penyerapan” fase awal orak anak berfungsi secara tak sadar
dan pembelajaran dihasilkan dari interaksi dengan dan respon terhadap
rangsangan lingkungan. Selama periode ini, anak mulai membangun kepribadian dan
kecerdasan mereka sendiri melalui aktifitas-aktitas mereka dalam mengeksplorasi
lingkungan dan kesan-kesan yang mereka rasakan selama aktifitas-aktifitas
tersebut.
Periode
“otak penyerapan” kedua, sang anak butuh menemukan tugas-tugas atau
kegiatan-kegiatan yang merangsang ketertarikannya dan butuh untuk belajar
bagaimana melaksanakan tugas-tugas dengan benar. Pada masa ini, anak-anak
tertarik pada tugas-tugas manipulatif (membentuk atau mengotak-atik benda),
tertarik dengan bagaimana melakukan banyak hal.
Montessori
mengatakan : “masa kanak-kanak merupakan masa yang paling kaya, masa ini
seyogyanya didayagunakan oleh pendidik sebaik-baiknya, jika tersia-sia
kehidupan masa ini tidak akan pernah dapat dicari gantinya. Tugas kita adalah
memanfaatkan tahun-tahun awal kanak-kanak ini dengan kepedulian yang tinggi,
bukan menyia-nyiakannya.”[1]
Kurikulum Montessori
Kurikulum
yang ditekankan montessori dalam buku the montessori method adalah kurikulum
selama periode otak penyerapan”, yaut enam tahun pertama kehidupan. Rancangan
kurikulum ini berdasar pada beberapa sumber : pandangannya tentang pedagogi
ilmiah, pengaruh dari konsep itard dan seguin, hasil risetnya terhadap
anak-anak cacat, dan penerapan-penerapan idenya terhadap anak normal.[2]
1.
Pedagogik ilmiah
Istilah
pedagogi sendiri berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu paedos
(anak) dan agogos (mengantar, membimbing, memimpin). Dari dua istilah tersebut timbul
istilah baru yaitu paedagogos dan pedagog, keduanya memiliki pengertian yang
hampir serupa, yaitu sebutan untuk pelayan pada zaman Yunani kuno yang
mengantarkan atau membimbing anak dari rumah ke sekolah setelah sampai di
sekolah anak dilepas, dalam pengertian pedagog intinya adalah mengantarkan anak
menuju pada kedewasaan.
Dalam dunia
pendidikan, telah banyak ditemukan kecenderungan untuk melangkah maju melewati
dari tahapan yang murni spekulatif, menuju mendasarkan prinsip-prinsipnya pada
hasil-hasil positif dari ekperimentasi.
meskipun
dengan semua perkembangan ini, namun pedagogi ilmiah belum terbentuk dan
terdefinisikan dengan jelas. Hal ini masih menjadi sesuatu yang samar, dan
secara riil belum eksis.
Pedagogi
ilmiah secara garis besar berusaha mengajari para pengajar untuk menggunakan
cara-cara antropometrik. Apa itu antropometri? Yaitu suatu kajian ilmu yang
berusaha membuat ukuran-ukuran tertentu yang disandarkan pada kemampuan fisik
manusia. Selain itu juga menggunakan perangkat-perangkat estesiometri (baca:
sensasi/persepsi), dan mengumpulkan data psikologis.
2.
Itard dan seguin.
Dua
orang ini adalah inspirator bagi maria montessori dalam kajiannya terhadap anak
cacar mental. Itard yang memiliki nama lengkap Marc Gaspard Itard (1774-1838)
adalah seorang dokter spesialis di otiatria, sebagai dokter spesialis gangguan
pendengaran.
Hasil
eksperimen itard tentang “anak liar”, yaitu seorang anak liar, seorang anak
yang mungkin ditinggalkan atau hilang, yang ditemukan hidup di hutan bersama
dengan hewan-hewan. Anak tersebut berusia sekitar dua belas tahun, tidak
menguasai bahasa manusia dan ketrampilan-ketrampilan praktis manusia.
Itard
mencoba mendidik sang anak, melatihnya ketrampilan-ketrampilan praktis dan
ketrampilan berbahasa manusia. Meskipun hanya memperoleh hasil yang terbatas,
namun setidaknya memiliki hasil yang dapat diperoleh.
Itard
berusaha menemukan cara-cara yang spesifik untuk melatih anak liar tersebut.
Mengenai kecerdasan, itard menemukan bahwa kecerdasan berkembang melalui
kegiatan-kegiatan yang sesuai tahap perkembangan. Dari “eksperimen” tersebut,
akhirnya itard mengambil kesimpulan bahwa manusia melewati tahap-tahap
perkembangan yang spesifik, definit dan penting.
Montessori
sangat terkesan dengan karya itard. Sebagai seorang dokter seperti Itard, Montessori
terlatih dalam melakukan observasi (pengamatan) klinis. Menerima ide-ide itard
tentang pengataman empiris, Montessori menyebut usaha Itard sebagai
“usaha-usaha pertama dalam psikologi eksperimental.
Yang
kedua adalah Seguin. Dokter yang memiliki nama lengkap edouard seguin
(1812-1880) ini merupakan kolega dari itard yang berkerja terhadap anak-anak
yang mengalami gangguan mental. Dia menerapkan metode-metodenya di hospice de
bicetre, sebuah sekolah yang dibangun untuk melatih anak-anak yang diambil dari
hasil-hasil ( rumah saki jiwa) yang ada di paris. Seguin percaya bahwa
lembaga-lembaga anak cacat akan menjadi pusat pelatihan dan pendidikan dan
bahwa pengetahuan medis dan pedagogis harus digunakan bersama untuk mengalami
anak-anak cacat tersebut.
Seguin
memerancang serangkaian alat dan bahan ajar untuk melatih indra-indra dan untuk
meningkatkan ketrampilan-ketrampilan fisik dari anak-anak dengan gangguan
mental. Dalam kerjanya, Seguin mengembangkan beberapa teknik, diantaranya
mendasarkan pengajaran pada tahap-tahap perkembangan dengan menggunakan bahan
bahan pembelajaran dan melatih anak-anak untuk membangun keterampilan mandiri.
Dari
kedua tokoh diatas montessori mengembangkan dua prinsip : pertama bahwa
defisiensi mental membutuhkan satu jenis pendidikan khusus dan tidak hanya
penanganan medis, kedua, bahwa jenis pendidikan khusus ini dijalankan dengan
menggunakan bahan-bahan dan alat pembelajaran. Dan hal terpenting bagi pendidik
terhadap anak-anak yang memiliki defisiensi mental ialah semua aktifitas sang
pengajar adalah bersifat spiritual, yaitu penting bagi pendidik untuk “bekerja”
pada spirit (jiwa) sang anak.
3.
Pendidikan anak-anak cacat mental.
Pada
saat itu, anak-anak yang memiliki keterbelakangan mental dikurung ke
dalam-asil-asil bercampur dengan orang-orang dewasa.dalam hal ini. Montessori
mengecam praktek pengurungan .di berpnedapat bahwa anak-anak yang memiliki
cacat mental ini sebaiknya dimasukkan ke dalam lembaga pendidikan yang
diciptakan khusus, dia berpendapat bahwa keterlambatan mental mereka disebabkan
bukan karena permasalahan medis namun masalah pendidikan sehingga dila
menyarankan anak-anak yang memiliki cacat mental ini dikumpulkan bersamam dalam
lingkungan pendidikan yang khusus. Pemisahan ini menurutnya, menghindarkan
pengajar kelas-kelas reguler dari beban untuk mengatasi kasus-kasus kecacatan
yang serius. Lebih lanjut, anak-anak ini akan menerima perhatian khusus secara
individual. Dengan demikian, mereka dapat berproses dalam kecepatan mereka
masing-masing. Di samping itu, lembaga khusus ini harus memiliki
layanan-layanan dari seorang psikiater dan dokter anak yaitu mereka yang mampu
melakukan kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing anak dan memberikan resep
pembelajaran bagi tiap-tiap anak.
4.
Pendidikan untuk anak normal.
Pada dasarnya,
bahan ajar pendidikan untuk anak normal yang dilakukan oleh montessori
merupakan bahan ajar yang berasal dari pendidikannya terhadap anak berkebutuhan
khusus (anak cacat mental). Mengapa demikian, hal ini didasari karena dia
menganggap bahwa bahan yang digunakan untuk anak-anak dengan kecacatan tersebut
dapat diterapkan pada anak-anak normal. Namun yang paling penting disini adalah
anak-anak normal dapat menggunakan bahan-bahan ini dalam
“pembelajaran-sendiri”yang bersifat inisiatif-sendiri dan arahan-sendiri. Bagi
anak normal, bahan pembelajaran tersebut mengontrol setiap kesalahan, dan sang
anak bekerja memperbaiki kesalahan-kesalahannya hingga tgas tersebut dapat
dilakukan dengan benar.
C. IMPLEMENTASI METHODE
MONTESSORI.
Konsep montessori tentang peran pengajar
berbeda dari konsep yang tradisional. Ketika para pendidik di sekolah-sekolah
konvensional menguasai panggung utama kelas sebagai titik fokus perhatian,
montessori mengubah peran tersebut dan menyebut sang pengajar sebagai “dektris”
yang tugasnya adalah memandu anak-anak dalam kegiatan belajar mereka. Sang
dektris sebagai pendidik dalam methode montessori, harus mampu memandu
anak-anak dalam pengembangan mereka sendiri.
Kurikulum dari casa de bambini didasarkan pada
prinsip montessori bahwa anak-anak mengalami masa krusial dalam perkembangan
mereka, yang disebut “periode sensitif”. Selama periode ini anak dalam keadaan
yang siap dalam menerima kegiatan-kegiatan pembelajaran tertentu.
Berdasar teori itu, montessori melalui
pengamatan dan percobaan, merancang sebuah konsep yang berusaha mengembangkan
kemampuan anak di tiga area: ketrampilan-ketrampilan praktis (ketrampilan kehidupan
sehari-hari), ketrampilan motorik dan indrawi, dan ketrampilan baca tulis
hitung.
1.
Pelatihan ketrampilan hidup sehari-hari.
Montessori
merancang pelatihan-pelatihan ketrampilan praktis sehingga anak-anak dapat
menggunakannya untuk mengembangkan ketrampilan-ketrampilan kehidupan
sehari-hari. Seperti misalnya menyajikan makanan, mencuci tangan dan wajah,
mengikat tali sepatu, atau memasangkan kancing baju. Tujuan dari kegiatan
tersebut adalah bahwa anak diajarkan untuk bersikap mandiri.
2.
Pelatihan indra.
Montessori
merancang bahan-bahan dan kegiatan-kegiatan pelatihan indra untuk mengembangkan
kemampuan anak-anak dalam membedakan warna-warna dan membedakan suara-suara.
Pelatihan-pelatihan indra dirancang untuk menumbuhkan tiga jenis ketrampilan :
kemampuan membedakan warna, kepekaan terhadap bau dan suara, dan kemampuan
untuk membandingkan dan membedakan. Hal itu dimulai dengan serangkaian
benda-benda kecil. Seperti silinder-silinder kayu dengan berbagai ukuran, untuk
dimasukkan kedalam lubang-lubang yang berukuran sama pada sebuah balok kayu.
Montessori
memandang perkembangan anak usia dini sebagai suatu proses yang berkesinambungan.
Ia juga memahami pendidikan sebagai aktifitas diri, mengarah pada pembentukan
disiplin diri, kemandirian dan pengarahan diri. Montessori memandang persepsi
anak terhadap dunia sebagai dasar dari ilmu pengetahuan. Seluruh indra anak
dilatih sehingga dapat menemukan hal-hal yang bersifat ilmu pengetahuan.
Sehubungan dengan hal tersebut, ia merancang sejumlah materi yang memungkinkan
indera anak dikembangkan.[3]
Kegiatan
pelatihan indra montessori memiliki tiga target utama : pertama, meningkatkan
kemampuan indra anak-anak degan melatih daya diskriminasi mereka; kedua,
meningkatkan fungsi-fungsi indra secara umum; ketiga, membangun kesiapan
anak-anak untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan yang lebih rumit.
3.
Ketrampilan bahasa.
Montesori
meyakini bahwa bahasa sebagai intrumen pemikiran kolektif manusia, adalah
kekuatan manusia yang mentransformasikan lingkungan mentah menjadi peradaban.
Sementara semua manusia memiliki kemampuan untuk menyerap dan menguasai bahasa,
sebuah bahasa tertentu menjadi unsur kunci dalam membatasi dan menjadikan
sebuah kelompok manusia tertentu tampak khas. Sebagaimana unsur-unsur lain
dalam lingkungan, anak-anak juga menyerap bahasa.
Menurut
montessori, perkembangan bahasa adalah kreasi spontan dari sang anak. Tanpa
memandang bahasa tertentu dalam kebudayaan anak, perkembangan bahasa mengikuti
pola yang sama untuk semua anak. Semua anak melalui periode dimana mereka hanya
dapat melafalkan suku-suku kata, kemudian kata secara utuh, dan kemudian mereka
mulai menggunakan sintaksis dan gramatika.
Pembelajaran dapat
dilakukan melalui kegiatan-kegiatan tertentu. Seperti membuat huruf dari keping
kertas, kemudian anak dapat membunyikan hurufnya. Kemudian anak-anak menyusun
kata-kata dengan menggunakan keping huruf. Montessori mengklaim bahwa anak-anak
berkembang secara spontan menuju kemampuan menulis dan membaca.
0 Comments:
Post a Comment