TAFSIR
Dari segi metodologi, al-Maraghi
telah mengembangkan metode baru dalam menafsirkan al-Qur’an, Menurut sebagian
pengamat tafsir, al-Maraghi adalah mufasir yang pertama kali memperkenalkan
metode tafsir yang memisahkan antara ‘uraian global’ dan ‘uraian perincian’.
Sehingga, penjelasan ayat-ayat di dalamnya dibagi menjadi dua kategori, yaitu Ma’na Ijma-li[17] dan Ma’na
Tahlili.[18]
Kemudian, dari segi sumber yang
digunakan selain menggunakan ayat dan atsar, al-Maraghi juga menggunakan ra’yi (nalar) sebagai sumber dalam
menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Namun perlu diketahui, penafsirannya yang
bersumber dari riwayat (relatif) terpelihara dari riwayat yang lemah (dhaif)
dan susah diterima akal, atau tidak didukung oleh bukti-bukti secara ilmiah.
Al-Maraghi sangat menyadari kebutuhan
kontemporer. Dalam konteks kekinian, merupakan keniscayaan bagi mufasir untuk
melibatkan dua sumber penafsiran, aql
(akal) dan naql (nas al-Qur’an dan
hadis). Karena memang hampir tidak mungkin menyusun tafsir kontemporer dengan
mengandalkan riwayat semata. Sebab, selain jumlah riwayat (naql) yang cukup terbatas juga karena
kasus-kasus yang muncul membutuhkan penjelasan yang semakin komprehensif,
seiring dengan perkembangan problematika sosial, ilmu pengetahuan, dan
teknologi yang berkembang pesat. Sebaliknya, melakukan penafsiran dengan
mengandalkan akal semata juga tidak mungkin, karena dikhawatirkan rentan
terhadap penyimpangan-penyimpangan.
Tidak dapat dimungkiri, Tafsir al-Maraghi sangat dipengaruhi
oleh tafsir-tafsir yang ada sebelumnya, terutama Tafsir
al-Manar. Hal ini wajar, mengingat dua penulis tafsir tersebut,
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, adalah guru yang paling banyak memberikan
bimbingan kepada al-Maraghi di bidang tafsir. Bahkan, sebagian orang
berpendapat bahwa Tafsir al-Maraghi
adalah
penyempurnaan terhadap Tafsir al-Manar
yang
sudah ada sebelumnya. Metode yang digunakan juga dipandang sebagai pengembangan
dari metode yang digunakan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.
Adapun sistematika dan langkah-langkah
yang digunakan dalam Tafsir al-Maraghi
adalah sebagai berikut:[19]
Pertama,
Menghadirkan satu, dua, atau sekelompok ayat yang akan ditafsirkan.
Pengelompokan ini dilakukan dengan melihat kesatuan inti atau pokok bahasan.
Ayat-ayat ini diurut sesuai tertib ayat mulai dari surah al-Fatihah sampai
surah an-Nas.
Kedua,
Penjelasan kosa kata (Syarh al-Mufradat).
Setelah menyebutkan satu, dua, atau sekelompok ayat, al-Maraghi melanjutkannya
dengan menjelaskan beberapa kosa kata yang sukar menurut ukurannya. Dengan
demikian, tidak semua kosa kata dalam sebuah ayat dijelaskan melainkan dipilih
beberapa kata yang bersifat konotatif atau sulit bagi pembaca.
Ketiga,
Makna ayat sacara umum (Ma’na al-Ijmali).
Dalam hal ini, al-Maraghi berusaha menggambarkan maksud ayat secara global,
yang dimaksudkan agar pembaca sebelum melangkah kepada penafsiran yang lebih
rinci dan luas ia sudah memiliki pandangan umum yang dapat digunakan sebagai
asumsi dasar dalam memahami maksud ayat tersebut lebih lanjut. Kelihatannya
pengertian secara ringkas yang diberikan oleh al-Maraghi ini merupakan
keistimewaan dan sesuatu yang baru, di mana sebelumnya tidak ada mufassir yang
melakukan hal serupa.
Keempat,
Penjabaran (al-Idhah).
Pada langkah terakhir ini, al-Maraghi memberikan penjelasan yang luas, termasuk
menyebutkan Asbab an-Nuzul
jika ada dan dianggap shahih menurut standar atau kriteria keshahihan riwayat
para ulama. Dalam memberikan penjelasan, kelihatannya al-Maraghi berusaha
menghindari uraian yang bertele-tele (al-Ithnab),
serta menghindari istilah dan teori ilmu pengetahuan yang sukar dipahami.
Penjelasan tersebut dikemas dengan bahasa yang sederhana, singkat, padat, serta
mudah dipahami dan dicerna oleh akal.
c. Ide Pembaharuan dalam Tafsir al-Maraghi
Penulisan tafsir al-maraghi tidak
terlepas dari rasa tanggung jawab dan tuntutan ilmiah seorang penulis sebagai
salah seorang ulama tafsir, dalam mengatasi problema masyarakat kontemporer
yang membutuhkan pemecahan secara cepat dan tepat. Ia merasa terpanggil untuk
menawarkan solusi berdasarkan makna yang terkandung dalam nas al-Qur’an. Karena
alasan itulah tafsir al-Maraghi tampil dengan gaya modern, yakni tafsir yang
disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang sudah maju.
Al-Maraghi
berhasil menggabungkan dari beberapa metode tafsir yang ada, melalui kitab
tafsirnya, al-Maraghi juga mengembangkan salah satu unsur penafsiran baru,
yakni memisahkan antara penjelasan global (ijmali) dan penjelasan
rincian (tahlili).
IV. Metode Tafsir Modern; Tafsir
al-Misbah
a. Sketsa Biografi
Muhammad Quraish lahir pada tanggal 16
Februari 1944 di Rappang, Sulawesi Selatan. Ia merupakan putra dari salah
seorang wirausahawan dan juga seorang guru besar dalam bidang tafsir yaitu
Prof. KH. Abdurrahma Shihab.
Pendidikan formalnya dimulai dari
sekolah dasar di Ujung Pandang, kemudian dilanjutkan dengan sekolah menengah,
sambil belajar agama di Pondok Pesantren Dar Hadis al-Fiqhiyah di kota Malang,
Jawa Timur. Pada tahun 1958, ketika ia berusia 14 tahun ia dikirim oleh ayahnya
ke al-Azhar Kairo Mesir untuk mendalami studi keIslaman, dan diterima di kelas
II Tsanawiyah al-Azhar. Setelah selesai, Quraish Shihab berminat melanjutkan
studinya di Universitas al-Azhar pada Jurusan Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin,
tetapi ia tidak diterima karena belum memenuhi syarat yang telah ditetapkan
karena itu ia bersedia untuk mengulang setahun guna mendapatkan kesempatan
studi di Jurusan Tafsir Hadis walaupun jurusan-jurusan lain terbuka lebar
untuknya. Pada tahun 1967 ia dapat menyelesaikan kuliahnya dan mendapatkan
gelar Lc. Karena “kehausannya” dalam ilmu al-Qur’an ia melanjutkan kembali
pendidikannya dan berhasil meraih gelar MA pada tahun 1968 untuk spesalisasi di
bidang tafsir al-Qur’an dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasyri’i
al-Qur’an al-Karim.[20]
Pada tahun 1980 Quraish Shihab kembali
ke Kairo, Mesir untuk melanjutkan pendidikannya, ia mengambil spesialisasi
dalam studi tafsir al-Qur’an, dalam kurun waktu dua tahun ia berhasil meraih
gelar doktor dengan disertasi yang berjudul “Nazhm al-Durar li al-Biqa’I
Tahqiq wa Dirasah” (suatu kajian terhadap kitab Nazhm ad-Durar Karya
al-Biqa’i) dengan predikat Summa Cum Laude dengan penghargaan Mumtaz
Ma’a Martabah al-Syarafal Ula.[21]
Quraish Shihab merupakan salah seorang
penulis yang produktif yang menulis berbagai karya ilmiah baik yang berupa
artikel dalam majalah maupun yang berbentuk buku yang diterbitkan. ia juga
menulis berbagai wilayah kajian yang menyentuh permasalahan hidup dan kehidupan
dalam konteks masyarakat Indonesia kontemporer. Adapun karya-karya beliau yang
lain adalah: Tafsir al-Amanah, Membumikan al-Qur’an, Wawasan al-Qur’an
Tafsir al-Qur’an Al-Karim. al-Asma Al-Husna. Mukjizat al-Qur’an.
b. Metodologi Tafsir al-Misbah
Secara metodologis tafsir al-Misbah
ditafsirkan dengan menggunakan metode Tahlîlî, yaitu ayat per ayat
disusun berdasarkan tata urutan al-Qur’an. Menurut Quraish Shihab al-Qur’an
merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam tafsir al-Mishbâh, beliau
tidak luput dari pembahasan ilmu al-Munâsabât yang tercermin dalam enam
hal:
1. Keserasian
kata demi kata dalam satu surah;
2. Keserasian
kandungan ayat dengan penutup ayat (Fawâshil);
3. Keserasian
hubungan ayat dengan ayat berikutnya;
4. Keserasian
uraian awal satu surah dengan penutupnya;
5. Keserasian
penutup surah dengan uraian awal surah sesudahnya;
6. Keserasian
tema surah dengan nama surah.
Metode yang dipergunakan dan yang
dipilih dari penafsirannya adalah metode Tahlili. Hal ini dapat dilihat
dari penafsirannya yaitu dengan menjelaskan ayat demi ayat, surat demi surat,
sesuai dengan susunannya yang terdapat dalam mushaf. Namun disisi lain Quraish
Shihab mengemukakan bahwa metode Tahlili memiliki berbagai
kelemahan, maka dari itu Quraish Shihab juga menggunakan metode Maudhu’i atau
tematik, yang menurutnya metode ini memiliki beberapa keistimewaan, diantaranya
metode ini dinilai dapat menghidangkan pandangan dan pesan al-Qur’an secara
mendalam dan menyeluruh menyangkut tema-tema yang dibicarakannya.
Menyadari kelemahan-kelemahan yang
terdapat metode Tahlili, Quraish Shihab memberikan tambahan lain dalam
karyanya. Ia menilai bahwa cara yang paling tepat untuk menghidangkan pesan
al-Qur’an adalah metode Maudhu’i. Dengan demikian, metode penulisan
tafsir al-Misbah mengkombinasikan dua metode yaitu metode Tahlili dengan
metode Maudhu’i.
Adapun corak yang dipergunakan dalam
tafsir al-Misbah adalah corak Ijtima’i atau kemasyarakatan, sebab
uraian-uraiannya mengarah pada masalah-masalah yang berlaku atau terjadi di
masyarakat. Dalam menjelaskan ayat-ayat suatu surat, biasanya beliau menempuh
beberapa langkah dalam menafsirkannya, diantaranya:
1. Pada setiap awal penulisan surat
diawali dengan pengantar mengenai penjelasan surat yang akan dibahas secara
detail, misalnya tentang jumlah ayat, tema-tema yang menjadi pokok kajian dalam
surat, nama lain dari surat.
2. Penulisan ayat dalam tafsir ini,
dikelompokkan dalam tema-tema tertentu sesuai dengan urutannya dan diikuti
dengan terjemahannya.
3. Menjelaskan kosa kata yang dipandang
perlu, serta menjelaskan munasabah ayat yang sedang ditafsirkan dengan ayat
sebelum maupun sesudahnya.
4. Kemudian menafsirkan ayat yang sedang
dibahas, serta diikuti dengan beberapa pendapat para mufassir lain dan menukil
hadis nabi yang berkaitan dengana ayat yang sedang dibahas.
Adapun sumber penafsiran yang
dipergunakan tafsir al-Misbah ada dua: Pertama, bersumber dari
ijtihad penulisnya. Kedua, dalam rangka menguatkan ijtihadnya, ia
juga mempergunakan sumber-sumber rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa
ulama yang dianggap relevan, baik yang terdahulu maupun mereka yang masih hidup
dewasa ini.”
Tafsir al-Misbah bukan semata-mata
hasil ijtihad, hal ini diakui sendiri oleh penulisnya dalam kata pengantarnya
mengatakan: Akhirnya, penulis (Muhammad Quraish Shihab) merasa sangat perlu
menyampaikan kepada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya
hasil ijtihad penulis. Melainkan hasil karya ulama-ulama terdahulu dan
kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil,
khususnya pandangan pakar tafsir Ibrahim Ibnu Umaral-Baqa’i (w. 887 H/1480M)
yang karya tafsirnya ketika masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi
penulis di Universitas al-Azhar Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian pula
karya tafsir pemimpin tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muhammad Thanthawi,
juga Syekh Mutawalli al-Sya’rawi, dan tidak ketinggalan Sayyid Quthub, Muhammad
Thahir Ibnu Asyur, Sayyid Muhammad Husein Thabathaba’i, serta beberapa pakar
tafsir yang lain.[22]
c. Ide Pembaharuan dalam Tafsir
al-Misbah
Salah satu karya yang menjadi
magnumopus dari Quraish Shihab adalah tafsir al-Misbah. Tafsir yang
terdiri dari 15 volume ini mulai ditulis pada tahun 2000 sampai 2004.
Pengambilan nama al-Misbah pada kitab tafsirnya dengan alasan bahwa, bila
dilihat dari kata pengantarnya ditemukan penjelasan yaitu al-Misbah berarti
lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu agar
karyanya itu dapat dijadikan sebagai pegangan bagi mereka yang berada dalam
suasana kegelapan dalam mencari petunjuk yang dapat dijadikan pegangan hidup.
Al-Qur’an itu adalah petunjuk, tapi karena al-Qur’an disampaikan dengan bahasa
Arab, sehingga banyak orang yang kesulitan memahaminya. Disinilah manfaat
tafsir Al-Misbah, yaitu dapat membantu mereka yang kesulitan memahami wahyu
Ilahi tersebut.
Latar belakang penulisan tafsir
al-Misbah ini diawali oleh penafsiran sebelumnya yang berjudul “tafsir al-Qur’an
al-Karim” pada tahun 1997 yang dianggap kurang menarik minat orang banyak,
bahkan sebagian mereka menilainya bertele-tele dalam menguraikan pengertian
kosa kata atau kaidah-kaidah yang disajikan. Akhirnya ia tidak melanjutkan
upaya itu. Di sisi lain banyak kaum muslimin yang membaca surah-surah tertentu
dari al-Qur’an, seperti surah Yasin, al-Waqi’ah, al-Rahman dan lain-lain
merujuk kepada hadis dhoif, misalnya bahwa membaca surah al-Waqi’ah mengandung
kehadiran rizki. Dalam tafsir al-Misbah selalu dijelaskan tema pokok
surah-surah al-Qur’an atau tujuan utama yang berkisar di sekililing ayat-ayat
dari surah itu agar membantu meluruskan kekeliruan serta menciptakan kesan yang
benar.
V. Penutup
Demikianlah gambaran umum tentang
ketiga metode tafsir modern yakni tafsir
al-Manar, al-Maraghi dan al-Misbah yang secara
singkat dan sederhana dapat disimpulkan bahwa: ketiga tafsir tersebut pada
dasarnya ingin memfungsikan tujuan utama dari kehadiran al-Qur’an, yakni
sebagai petunjuk serta pemberi jalan keluar bagi berbagai problema umat
manusia. Oleh karena itu, diskursus tafsir modern diwarnai oleh usaha-usaha
untuk membumikan al-Qur’an ditengah-tengah kehidupan umat Islam. Para mufassir
ingin membuktikan bahwa al-Qur’an benar-benar bersifat universal yang dapat
menjawab problematika umat.
Apa yang dilakukan oleh mufassir modern
sebenarnya merupakan usaha ijtihad yang barangkali hanya cocok dengan
sosio-kultural setempat, dan tidak cocok dengan sosio-kultural yang lain. Oleh
karena itu, dalam khazanah penafsiran modern tidak menutup kemungkinan
munculnya mufassir-mufassir modern di tempat lain bahkan diantara kita. Amin!
Diposkan oleh EL-FATH_NAE di 01.49
I. PENDAHULUAN
Tafsir Ibnu Katsir merupakan kitab paling penting yang ditulis dalam masalah tafsir al-Qur’an al-‘Azim, paling banyak diterima dan tersebar di tengah umat Islam. Beliau telah menghabiskan waktu yang sangat lama untuk menyusunnya. Tidak mengherankan jika penafsiran beliau sangat kaya dengan riwayat (baik hadits maupun atsar), bahkan hampir seluruh hadits riwayat Imam Ahmad yang terdapat dalam Kitab al-Musnad tercantum dalam kitab ini.
Beliau menggunakan rujukan-rujukan penting lainnya yang sangat banyak, sehingga sangat bermanfaat dalam berbagai disiplin ilmu agama (seperti aqidah, fiqh, dan lain sebagainya). Sangat wajar apabila Imam As-Suyuthi berkata : “ Belum pernah ada kitab tafsir yang semisal dengannya.”
II. PEMBAHASAN
A. Biografi Pengarang
Beliau adalah imam yang mulia Abdul Fida Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisy al-Busharwi yang berasal dari kota Basharah, kemudian menetap di Damascus. Beliau lahir pada tahun 705 H dan wafat pada tahun 774 H. Beliau adalah seorang ulama yang terkenal dalam bidang tafsir, hadits, sejarah, dan fiqh. Beliau mendengar hadits dari ulama-ulama Hidjaz dan mendapat ijazah dari al-Wani serta mendapat asuhan dari ahli ilmu hadits terkenal di Suriah yaitu Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi mertuanya sendiri. Ayahnya meninggal ketika beliau masih berusia 6 tahun, oleh karena itu sejak tahun 706 H beliau hidup bersama kakaknya di Damascus.
Beliau juga berguru kepada Ibnu Taimiyah dan sangat mencintai gurunya itu. Sebagian ulama menggangap beliau sebagai salah seorang murid Ibnu Taimiyah yang paling setia dan paling gigih mengikuti pandangan gurunya dalam masalah fiqh dan tafsir.
B. Latar Belakang Penulisan
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.”(QS. Ali Imran 187)
Dengan firman Allah di atas, maka menurut Ibnu Katsir wajib bagi ulama untuk menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam firman Allah dan tafsirya.
C. Bentuk, Metode dan Coraknya
Tafsir Ibnu Katsir dipandang sebagai salah satu tafsir bi al-ma’tsur yang terbaik, berada hanya setingkat di bawah tafsir Ibnu Jarir at-Thabary. Ibnu Katsir menafsirkan al-Qur’an berdasarkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang disanadkan kepada perawinya, yaitu para sahabat dan tabi’in.
Dalam bidang tafsir, Ibnu Katsir mempunyai metode tersendiri. Menurutnya jika ada yang bertanya: “Apakah metode tafsir yang paling bagus?” maka jawabnya: “Metode yang paling shahih dalam hal ini adalah menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an. Dan perkara-perkara yang global di satu ayat dapat ditemukan rinciannya dalam ayat lain. jika tidak mendapatkannya maka hendaklah mencarinya dalam Sunnah kerena Sunnah adalah penjelas bagi al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.”
Jadi menurut menurut hemat penulis, Ibnu Katsir dalam penafsirannya mempunyai metode sebagai berikut:
1. Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
2. Bila penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an tidak didapatkan, maka al-Qur’an ditafsirkan dengan hadits Nabi.
3. Kalau yang kedua tidak didapatkan maka al-Qur’an harus ditafsirkan oleh pendapat para sahabat, karena mereka orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya ayat dalam al-Qur’an.
4. Jika yang ketiga juga tidak didapatkan, maka pendapat para tabi’in perlu diambil.
Bentuk Penafsirannya
Dari aspek bentuk penafsirannya, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir ini memakai bentuk riwayat (al-ma’tsur). Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penafsiran Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim yang banyak menggunakan riwayat-riwayat baik dari para sahabat maupun para tabi’in.
Metode Penafsirannya
Dari empat macam metode penafsiran yang berkembang sepanjang sejarah tafsir al-Qur’an, berdasarkan penelitian saya terhadap Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir, ternyata metode yang digunakan dalam tafsir ini adalah metode analitis (tahlili).
Corak Penafsirannya
Dari beberapa corak penafsiran yang berkembang sepanjang sejarah tafsir al-Qur’an, berdasarkan penelitian saya terhadap Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir, ternyata corak yang digunakan Ibnu Katsir dalam tafsir al-Qur’an al-‘Adzim adalah bercorak umum.
D. Karakteristiknya
Diantara ciri khas tafsir Ibnu Katsir adalah perhatiannya yang besar kepada masalah tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an (menafsirkan ayat dengan ayat). Sepanjang pengetahuan saya, tafsir ini merupakan tafsir yang paling banyak memuat atau memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian maknanya, kemudian diikuti dengan penafsiran ayat dengan hadits-hadits marfu’ yang relevan dengan ayat yang sedang ditafsirkan, menjelaskan apa yang menjadi dalil dari ayat tersebut. Selanjutnya diikuti dengan atsar para sahabat, pendapat tabi’in dan ulama salaf sesudahnya.
Dalam hal ini, Rasyid Ridha berkomentar, “Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap riwayat-riwayat dari para mufassir salaf, menjelaskan makna-makna ayat dan hukumnya, menjauhi pembahasan masalah I’rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufassir, menghindar dari pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami al-Qur’an secara umum atau hukum dan nasehat-nasehatnya secara khusus.”
Keistimewaan lain dari tafsir Ibnu Katsir adalah daya kritisnya yang tinggi terhadap cerita-cerita Israiliyat yang banyak tersebar dalam kitab-kitab tafsir bil-ma’tsur, baik secara global maupun mendetail.
E. Perbedaan dengan Tafsir At-Thabari
Kitab tafsir at-Thabari yaitu “Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an”, merupakan tafsir paling besar dan utama, menjadi rujukan penting bagi para mufassir bil-ma’tsur. Para ulama sependapat bahwa belum pernah sebuah kitab tafsir pun yang ditulis sepertinya. Sehingga Ibnu Katsir pun banyak menukil darinya. Tidak aneh lagi jika tafsir Ibnu Katsir memiliki sedikit kemiripan dengan tafsir at-Thabari. Namun dari persaman itu memunculkan perbedaan diantara kedua kitab tafsir itu, yaitu diantaranya pada kitab tafsir at-Thabari memaparkan tafsir dengan menyandarkan kepada sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sehingga pada kitab tafsir at-Thabari terdapat cerita-cerita Israiliyat. Berbeda dengan kitab tafsir Ibnu Katsir, beliau sangat kritis terhadap cerita-cerita Israiliyat.
Tafsir Ibnu Katsir merupakan kitab paling penting yang ditulis dalam masalah tafsir al-Qur’an al-‘Azim, paling banyak diterima dan tersebar di tengah umat Islam. Beliau telah menghabiskan waktu yang sangat lama untuk menyusunnya. Tidak mengherankan jika penafsiran beliau sangat kaya dengan riwayat (baik hadits maupun atsar), bahkan hampir seluruh hadits riwayat Imam Ahmad yang terdapat dalam Kitab al-Musnad tercantum dalam kitab ini.
Beliau menggunakan rujukan-rujukan penting lainnya yang sangat banyak, sehingga sangat bermanfaat dalam berbagai disiplin ilmu agama (seperti aqidah, fiqh, dan lain sebagainya). Sangat wajar apabila Imam As-Suyuthi berkata : “ Belum pernah ada kitab tafsir yang semisal dengannya.”
II. PEMBAHASAN
A. Biografi Pengarang
Beliau adalah imam yang mulia Abdul Fida Imaduddin Ismail bin Umar bin Katsir al-Quraisy al-Busharwi yang berasal dari kota Basharah, kemudian menetap di Damascus. Beliau lahir pada tahun 705 H dan wafat pada tahun 774 H. Beliau adalah seorang ulama yang terkenal dalam bidang tafsir, hadits, sejarah, dan fiqh. Beliau mendengar hadits dari ulama-ulama Hidjaz dan mendapat ijazah dari al-Wani serta mendapat asuhan dari ahli ilmu hadits terkenal di Suriah yaitu Jamaluddin Yusuf bin Zaki al-Mazi mertuanya sendiri. Ayahnya meninggal ketika beliau masih berusia 6 tahun, oleh karena itu sejak tahun 706 H beliau hidup bersama kakaknya di Damascus.
Beliau juga berguru kepada Ibnu Taimiyah dan sangat mencintai gurunya itu. Sebagian ulama menggangap beliau sebagai salah seorang murid Ibnu Taimiyah yang paling setia dan paling gigih mengikuti pandangan gurunya dalam masalah fiqh dan tafsir.
B. Latar Belakang Penulisan
وَإِذْ أَخَذَ اللَّهُ مِيثَاقَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ وَاشْتَرَوْا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا فَبِئْسَ مَا يَشْتَرُونَ
Artinya: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya." Lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruk tukaran yang mereka terima.”(QS. Ali Imran 187)
Dengan firman Allah di atas, maka menurut Ibnu Katsir wajib bagi ulama untuk menjelaskan makna-makna yang terkandung dalam firman Allah dan tafsirya.
C. Bentuk, Metode dan Coraknya
Tafsir Ibnu Katsir dipandang sebagai salah satu tafsir bi al-ma’tsur yang terbaik, berada hanya setingkat di bawah tafsir Ibnu Jarir at-Thabary. Ibnu Katsir menafsirkan al-Qur’an berdasarkan hadits-hadits dan atsar-atsar yang disanadkan kepada perawinya, yaitu para sahabat dan tabi’in.
Dalam bidang tafsir, Ibnu Katsir mempunyai metode tersendiri. Menurutnya jika ada yang bertanya: “Apakah metode tafsir yang paling bagus?” maka jawabnya: “Metode yang paling shahih dalam hal ini adalah menafsirkan ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an. Dan perkara-perkara yang global di satu ayat dapat ditemukan rinciannya dalam ayat lain. jika tidak mendapatkannya maka hendaklah mencarinya dalam Sunnah kerena Sunnah adalah penjelas bagi al-Qur’an. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Artinya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.”
Jadi menurut menurut hemat penulis, Ibnu Katsir dalam penafsirannya mempunyai metode sebagai berikut:
1. Tafsir al-Qur’an dengan al-Qur’an
2. Bila penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an tidak didapatkan, maka al-Qur’an ditafsirkan dengan hadits Nabi.
3. Kalau yang kedua tidak didapatkan maka al-Qur’an harus ditafsirkan oleh pendapat para sahabat, karena mereka orang yang paling mengetahui konteks sosial turunnya ayat dalam al-Qur’an.
4. Jika yang ketiga juga tidak didapatkan, maka pendapat para tabi’in perlu diambil.
Bentuk Penafsirannya
Dari aspek bentuk penafsirannya, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir ini memakai bentuk riwayat (al-ma’tsur). Hal ini dapat dibuktikan dari hasil penafsiran Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim yang banyak menggunakan riwayat-riwayat baik dari para sahabat maupun para tabi’in.
Metode Penafsirannya
Dari empat macam metode penafsiran yang berkembang sepanjang sejarah tafsir al-Qur’an, berdasarkan penelitian saya terhadap Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir, ternyata metode yang digunakan dalam tafsir ini adalah metode analitis (tahlili).
Corak Penafsirannya
Dari beberapa corak penafsiran yang berkembang sepanjang sejarah tafsir al-Qur’an, berdasarkan penelitian saya terhadap Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir, ternyata corak yang digunakan Ibnu Katsir dalam tafsir al-Qur’an al-‘Adzim adalah bercorak umum.
D. Karakteristiknya
Diantara ciri khas tafsir Ibnu Katsir adalah perhatiannya yang besar kepada masalah tafsir al-Qur’an bi al-Qur’an (menafsirkan ayat dengan ayat). Sepanjang pengetahuan saya, tafsir ini merupakan tafsir yang paling banyak memuat atau memaparkan ayat-ayat yang bersesuaian maknanya, kemudian diikuti dengan penafsiran ayat dengan hadits-hadits marfu’ yang relevan dengan ayat yang sedang ditafsirkan, menjelaskan apa yang menjadi dalil dari ayat tersebut. Selanjutnya diikuti dengan atsar para sahabat, pendapat tabi’in dan ulama salaf sesudahnya.
Dalam hal ini, Rasyid Ridha berkomentar, “Tafsir ini merupakan tafsir paling masyhur yang memberikan perhatian besar terhadap riwayat-riwayat dari para mufassir salaf, menjelaskan makna-makna ayat dan hukumnya, menjauhi pembahasan masalah I’rab dan cabang-cabang balaghah yang pada umumnya dibicarakan secara panjang lebar oleh kebanyakan mufassir, menghindar dari pembicaraan yang melebar pada ilmu-ilmu lain yang tidak diperlukan dalam memahami al-Qur’an secara umum atau hukum dan nasehat-nasehatnya secara khusus.”
Keistimewaan lain dari tafsir Ibnu Katsir adalah daya kritisnya yang tinggi terhadap cerita-cerita Israiliyat yang banyak tersebar dalam kitab-kitab tafsir bil-ma’tsur, baik secara global maupun mendetail.
E. Perbedaan dengan Tafsir At-Thabari
Kitab tafsir at-Thabari yaitu “Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an”, merupakan tafsir paling besar dan utama, menjadi rujukan penting bagi para mufassir bil-ma’tsur. Para ulama sependapat bahwa belum pernah sebuah kitab tafsir pun yang ditulis sepertinya. Sehingga Ibnu Katsir pun banyak menukil darinya. Tidak aneh lagi jika tafsir Ibnu Katsir memiliki sedikit kemiripan dengan tafsir at-Thabari. Namun dari persaman itu memunculkan perbedaan diantara kedua kitab tafsir itu, yaitu diantaranya pada kitab tafsir at-Thabari memaparkan tafsir dengan menyandarkan kepada sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in. Sehingga pada kitab tafsir at-Thabari terdapat cerita-cerita Israiliyat. Berbeda dengan kitab tafsir Ibnu Katsir, beliau sangat kritis terhadap cerita-cerita Israiliyat.
0 Comments:
Post a Comment