Header Ads

20 October 2014

SERI FILSAFAT : FILSAFAT ILMU (POPPER : FALSIFIKASI)

MAKALAH FILSAFAT ILMU
“TEORI NON POSITIVISTIK : FALSIFIKASI KARL RAYMOND POPPER”


DISUSUN OLEH :
NAMA : AHMAD SYAFII
NIM : 13410154
SEMESTER : II (GENAP)

DOSEN PENGAMPU : Dr. Usman, SS., M.AG.
NIP : 19610304 199203 1 001

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
2013/2014
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, serta hidayah-Nya kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang kami susun untuk memenuhi tugas mata kuliah “FILSAFAT ILMU “.Semoga jerih payah kami dicatat sebagai amal baik yang nantinya bisa bermanfaat bagi kami khususnya dan bagi seluruh mahasiswa pada umumnya.
Dalam makalah ini akan kami uraiakan tentang “TEORI NON POSITIVISTIK : FALSIFIKASI KARL RAYMOND POPPER” yang mungkin tidak asing lagi ditelinga kita sekalian.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telahmembantu dengan tulus hingga terselesaikannya tugas ini, khususnya kepada Dr. Usman, SS., M.AG.Akhirnya kami berharap semoga tugas yang sederhana ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Yogyakarta, 5 Maret 2014


penulis





BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG.
Ilmu atau dalam bahasa inggris disebut science, berasal dari bahasa yunani scientia – scire yang berarti mengetahui. Sinonim yang paling kuat dari kata tersebut adalah episteme.
Kata tahu (pengetahuan) secara umum menandakaan suatu pengetahuan tertentu. Dalam arti sempit, pengetahuan bersifat pasti. Berbeda dengan iman, pengetahuan didasarkan atas pengalaman dan pemahaman sendiri.
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satu putusan tersendiri. Sebaliknya ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke obyek yang sama dan saling berkaitan secara logis karena itu, koherensi sistematik adalah hakikat ilmu.
Dalam diskurs ilmu, penarikan kebenaran suatu teori ramai di perbincangkan oleh para filosof. Bagaimana induksi juga deduksi menjadi perbincangan hangat dalam proses pembangunan ilmu pengetahuan.
Karl Raymond Popper merupakan salah satu penggagas teori kebenaran nonpositivistik. Dengan falsifikasinya, Karl Raymond Popper berusaha mengkritisi kebenaran teori positivisme logis lingkaran Wina. Walaupun nantinya teorinya akan dikritik oleh filosof lainnya, namun teori falsifikasi masih tetap menjadi bahan pembahasan yang cukup menarik.
B.     RUMUSAN MASALAH ?
1.      Bagaimana biografi dari karl raymond Popper?
2.      Bagaimaan konsep falsifikasi dari karl raymond Popper?



3.      Bagaimana konsep deMarkasi dari karl raymond Popper?
4.      Bagaimana kelemahan epistemologi karl raymond Popper?
C.     TUJUAN.
1.      Mahasiswa mengetahui biografi dari karl raymond Popper.
2.      Mahasiswa mengetahui konsep falsifikasi dari karl raymond Popper.
3.      Mahasiswa mengetahui konsep deMarkasi dari karl raymond Popper
4.      Mahasiswa mengetahui kelemahan epistemologi karl raymond Popper.



BAB I
PENDAHULUAN

A.    BIOGRAFI KARL RAYMOND POPPER.
Kary raymond Popper adalah seorang filosof ilmu pengetahuan yang cukup terkenal. Lahir di Wina tanggal 28 juli 1902. Dia lahir di keluarga yahudi protestan. Ayahnya, Dr. Simon Siegmund Carl Popper, seorang pengacara yang sangat berminat pada filsafat. Perpustakaannya yang luas mencakup kumpulan karya filsuf-filsuf besar agaknya mempengaruhi karl Popper mewarisi minatnya pada filsafat dalam problem sosial dari sang ayah.[1]
Pada umur16 tahun, Karl Popper meninggalkan sekolahnya “ realgymnasium”, dengan alasan bahwa pelajaran-pelajarannya sangat membosankan. Lalu menjadi pendengar bebas pada universitas Wina dan baru tahun 1922 dia diterima sebagai mahasiswa. Pada tahun 1925, Popper mengikuti kursus lanjutan di Institut Pedagogi, cabang dari Universitas Wina dan pada masa itu pula ia bertemu dengan calon istrinya.
Masa itu merupakan masa kegoncangan bagi austria. Kemaharajaan austria hancur akibat perang dunia I. di Wina terjadi kelaparan yang mengakibatkan kerusuhan, sedangkan inflasi pun menggila. Karena itu dia menjadi anggota perkumpulan para murid sekolah menengah yang beralinan sosialis. Selama dua atau tiga bulan pada tahun 1919 ia menganggap dirinya seorang komunis.
Tetapi ia kecewa dengan komunis dan juga marxisme. Di Wina terjadi penembakan terhadap segerombol kaum sosialis muda yang berkat hasutan kaum komunis membantu beberapa orang komunis melarikan diri dari ruang tahanan di Markas polisi di Wina. Dalam peristiwa itu beberapa orang sosialis dan komunis tewa. Popper merasa bersalah. Sebagai seorang komunis ia merasa ikut bertanggung jawab terhadap peristiwa itu. Sebab dalam prinsipnya teori marxis menuturkan bahwa perjuangan kelas ditingkatkan, untuk mempercepat datangnya sosialisme. Dengan begitu pada umur 17 tahun, Popper menjadi seorang anti marxis.
Perjumpaannya dengan marxisme diakuinya sebagai salah satu peristiwa penting dalam perkembangan intelektualnya. Darinya ia menari pelajaran tentang kebijaksanaan ucapan sokrates “ saya tahu bahwa saya tidak tahu”. Hal itu memberikannya pencerahan tentang filsafat dalam hidupnya, hal itu menyadarkannya tentang perbedaan antara pikiran dogmatis dan kritis.
Pada tahun 1928, Popper meraih gelar Doktor dengan judul disertasi : Masalah Psikologi dalam Psikologi Pemikiran.[2] Popper merasa tidak puas dengan disertasinya dan memilih untuk mempelajari bidang epistemologi yang dipusatkan pada pengembangan teori ilmu pengetahuan.
Hanya setelah ujian memperoleh gelar doktor, Popper melihat saling hubungan antara gagasan-gagasannya yang terdahulu. Ia memahami mengapa begitu kuatlah teori ilmu yang keliru yang berkuasa sejak bacon- yaitu teori bahwa ilmu-ilmu alam merupakan ilmu-ilmu induktif dan bahwa induksi merupakan suatu proses meneguhkan atau memebenarkan teori-teori dengan pengamatan atau eksperimen yang berulang-ulang. Alasannya ialah bahwa para ilmuwan harus menarik garis pemisah antara kegiatan ilmiah mereka bukan hanya dari pseudo-ilmu, melainkan juga dari teologi dan metafisika, dan mereka telah menerima dari bacon metode induktif sebagai kriterium deMarkasi mereka. Sedangkan sudah bertahun-tahun, Popper menggenggam kriterium deMarkasi yang lebih baik, yaitu : testabilitas atau falsifiabilitas.
Pandangan ini sangat bertentang dengan pandangan kelompok Wina, yang positivis, dan karenanya dalam persoalan epistimologi bersifat idealis menurut tradisi Berkeley dan Mach. Berkat dorongan Herbert Feigl, seorang anggota kelompok Wina, yang menganggap pandangan-pandangan Popper penting dan revolusioner, Popper mulai menggarap gagasan-gagasannya kedalam bentuk sebuah buku, berjudul “ dua problem pokok dalam teori ilmu”. Karena buku itu dianggap terlalu panjang, akhirnya diterbitkan suatu naskah baru yang terdiri dari intisarinya yang berjudul logik der forschung (logika penemuan ilmiah).
B.     FALSIFIKASI.
Dalam konteks penolakan terhadap induktivisme para pendukung teori falsifikasi menyatakan bahwa setiap penelitian ilmiah dituntun oleh teori tertentu yang mendahuluinya. Karena itu, semua keyakinan bahwa kebenaran teori-teori ilmiah dicapai melalui kepastian hasil observasi, sungguh-sungguh ditolak. Teori merupakan hasil rekayasa intelek manusia yang kreatif dan bebas untuk mengatasi problem-problem yang dihadapinya dalam kehidupan sehari-hari. Teori-teori itu kemudian diuji dengan eksperimen-eksperimen atau observasi-observasi. Teori yang tidak dapat bertahan terhadap suatu eksperimen harus dinyatakan gagal dan digantikan oleh teori spekulatif lain. Itu berarti, ilmu pengetahuan berkembang melalui kesalahan dan kekeliruan, melalui hipotesis dan refutasi.
Menurut teori falsifikasi, ada teori yang dapat dibuktikan salah berdasarkan hasil observasi dan eksperimen. Ilmu pengetahuan tidak lain dari rangkaian hipotesis-hipotesis yang dikemukakan secara tentatif untuk menjelaskan tingkah laku manusia atau kenyataan dalam alam semesta. Tetapi tidak setiap hipotesis dapat begitu saja diklasifikasikan di bawah ilmu pengetahuan. Hipotesis yang layak disebut sebagai teori atau hokum ilmiah harus memenuhi syarat fundamental berikut: hipotesis itu harus terbuka terhadap kemungkinan falsifikasi. Contoh:
1. Tidak pernah turun hujan pada hari-hari Rabu
2. Semua substansi akan memuai jika dipanaskan
Pernyataan (1) dapat difalsifikasikan karena dengan suatu observasi kita dapat menunjukkan bahwa pada hari Rabu terntentu ada hujan. Pernyataan (2) pun dapat difalsifikasi karena melalui observasi kita dapat memperlihatkan bahwa ada substansi tertentu tidak memuai jika dipanaskan. Pernyataan berikut ini tidak memenuhi syarat yang dikemukakan oleh Popper dan konsekuensinya tidak dapat difalsifikasikan;
1. Baik pada hari hujan maupun tidak hujan saya datang
Tidak ada suatu pernyataan observasi yang secara logis dapat menyangkal pernyataan (1). Pernyataan ini benar, bagaimanapun keadaan cuaca. Pernyataan di atas ini tidak dapat difalsifikasikan[3], sebab semua kemungkinan yang akan terjadi atau diturunkan dari pernyataan di atas, tetap benar.
Falsifikasi merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak gagasan dari lingkaran Wina tentang metode verifikasi induktif. Alasan penolakan Popper ini, karena dalam rangka membedakan ilmu yang bermakna dan tidak bermakna masih menjunjung tinggi induksi. Beberapa kritik yang dikemukakan Popper terhadap prinsip verifikasi: Pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Menurut Popper, hukum-hukum umum dan ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum tidak bermakna, sama seperti metafisika); kedua, sejarah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan juga lahir dari pandangan-pandangan metafisis. Karena itu Popper menegaskan bahwa suatu ucapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi dapat benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah setelah diuji; ketiga, untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ucapan atau teori, lebih dulu harus kita mengerti ucapan atau teori itu. Solusi yang diberikan oleh Popper terhadap problem induksi ternyata mengarahkan perhatiannya secara lebih serius kepada problem deMarkasi, atau problem batas antara pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan yang bukan ilmiah.
C.    PROBLEM DEMARKASI.
Berangkat dari skeptisme Popper terhadap satus ilmiah dari teori-teori yang ada. Contohnya teori newton, teori yang sangat mapan seperti itu saja dapat runtuh, bisa salah. Tak satupun pengetahuan yang bersifat mutlak.
Dilai pihak, Popper melihat teori-teori seperti teori Mark tentang sejarah, teori Freud tentang psikoanalisa, teori alfred aldler yang disebut “psikologi individual” seolah-olah orang mengesankan para pengagumnya oleh daya penjelasan yang terkandung didalamnya. Dengan mempelajari teori-teori itu, orang seperti memperoleh wahyu yang membuka mata terhadap kebenaran baru yang semula tersembunyi. Seolah-olah dunia penuh verifikasi atas teori-teori tersebut.
Popper akhirnya menemukan sudut pandang lain. Berangkat dari terkesannya Popper terhadap teori relativitas Einstein, Popper mulai membangun garis pemikirannya. Teori gravitasi einstein mengajukan ramalan yang penuh resika untuk difalsifikasikan. Inilah yang mengesankan Popper.
Jika teori Mark, Freud, dan Adler mencari pembenaran teori mereka, einstein mencari eksperimen-ekperimen crucial (gawat), yang kesesuaiannya dengan ramalannya tidak mengukuhkan teorinya secara positif, sementara ketidaksesuaiannya, seperti yang dia tetapkan, akan memfalsifikasi teorinya. Ini dianggap Popper sebagai sikap ilmiah sejati, yang sama sekali berbeda dari dogmatis yang terus-menerus menuntut untuk menemukan “verifikasi” bagi teori kesayangannya.
Dengan begitu Popper sampai pada kesimpulan bahwa sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari verifikasi atas teorinya, melainkan tes-tes yang akan merefutasinya, meski tak akan mengukuhkannya.
Dengan kata lain Popper hendak merumuskan sebuah kriteria deMarkasi antara ilmu dan non ilmu (metafisika). Kriteria deMarkasi yang digunakan oleh Popper adalah kriteria falsifiabilitas (kemampuan dan kemungkinan disalahkan atau disangkal). Setiap pernyataan ilmiah pada dasarnya mengandung kemampuan disangkal, jadi ilmu pengetahuan empiris harus bisa diuji secara deduktif dan terbuka kepada kemungkinan falsifikasi empiris. Contoh:
1.      Akan terjadi atau tidak terjadi hujan di sini esok
2.      Akan terjadi hujan di sini esok
Pernyataan (1) tidak bersifat empiris oleh karena tidak dapat disangkal. Sedangkan pernyataan (2) bersifat empiris karena dapat disangkal.
Kriteria deMarkasi Popper didasarkan pada suatu asimetri logis antara verifiabilitas dan falsifiabilitas[4].Pernyataan universal tidak bersumber dari pernyataan tunggal, tetapi sebaliknya bisa bertentangan dengannya. Dengan logia deduktif, maka generalisasi empiris atau pernyataan universal dapat diuji dan disangkal secara empiris, tetapi tidak dapat dibenarkan. Hal ini berarti bahwa hokum-hukum ilmiah pada dasarnya dapat diuji, kendatipun tidak dapat dibenarkan atau dibuktikan secara induktif.
D.    KELEMAHAN EPISTEMOLOGI KARL RAYMOND POPPER
Para pendukung teori falsifikasi menolak pandangan induktivisme bahwa ilmu pengetahuan selalu berangkat dari observasi-observasi, karena menurut pendukung teori falsifikasi setiap penelitian ilmiah dituntun oleh teori tertentu yang mendahuluinya. Teori ini kemudian diuji dengan eksperimen-eksperimen atau observasi, bila ada teori yang tidak bertahan akan dinyatakan gagal dan harus diganti oleh teori spekulatif lainnya. Namun, apa yang dikritik oleh pendukung teori falsifikasi ini sekaligus menjadi kelemahan mereka. Pertama, karena pernyataan-pernyataan observasi sangat tergantung pada teori dan dapat salah. Dan sering terjadi justru pernyataan-pernyataan observasi yang salah. Karena itu, tidak benar bahwa pernyataan observasi selau benar sedangkan hipotesis atau teori mengandung kemungkinan salah. Bisa jadi bahwa teori yang difalsifikasi bertahan sedangkan pernyataan observasi itu yang salah dan disingkirkan. Kedua, menurut pendukung teori falsifikasi, hipotesis yang tidak bertahan terhadap pernyataan-pernyataan eksperimen dan observasi harus mundur karena tidak lagi penting. Akan tetapi pandangan ini tidak sesuai dengan kenyataan histories, karena ada hipotesis yang dikemukakan dan tidak konsisten sesuai dengan pernyataan observasi, tetapi tidak pernah ditolak. Kuhn juga mengkritik Popper yang berpendapat bahwa aktivitas-aktivitas ilmiah berpusat pada falsifikasi atau menguji teori; kemudian, dengan berpegang pada pernyataan-pernyataan observasi seorang ilmuwan bertugas menguji semua teori atau hipotesis. Kuhn mengkritik karena menurutnya, para ilmuwan yang berkecimpung dalam “normal science” bukan lagi penguji teori tetapi pemecah masalah dan kesulitan hidup. Dalam kemapaman paradigma itu tidak ada lagi pertentangan antara paradigma. Karena paradigma yang telah diterima dipakai sebagai landasan dan pedoman untuk praksis kehidupan. Dengan demikian Kuhn memberikan suatu sumbangan yang besar kepada manusia, bahwa ilmu pengetahuan dan aktivitas-aktivitas ilmiah tidak mempunyai tujuan dalam dirinya sediri, melainkan bertugas melayani manusia. Selain itu Kuhn juga mengkritik Popper yang dianggapnya telah memutarbalikkan kenyataan dengan menguraikan terjadinya ilmu empiris melalui jalan hipotesis disusul upaya falsifikasi. Melawan Popper, Kuhn mendasarkan pada sejarah ilmu, ia berpendapat bahwa terjadinya perubahan-perubahan yang berarti tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah suatu teori/sistem melainkan berlangsung melalui revolusi-revolusi ilmiah . Yang dimaksud dengan revolusi ilmiah,”Segala perkembangan nonkumulatif di mana paradigma yang telebih dahulu ada diganti dengan tak terdamaikan lagi, keseluruhan ataupun sebagian, dengan yang baru.” Bachelard juga turut memberikan kritik baik kepada Popper: bahwa tidak ada suatu norma umum dan transhistoris untuk menentukan kebenaran dalam ilmu pengetahuan, kebenaran pengetahuan ilmiah tidak berasal dari suatu pendasaran logis atau filosofis, tetapi bergantung pada duduknya persoalan suatu ilmu pada saat tertentu dalam perkembangan historisnya. Karena itu, usaha untuk menarik garis pemisah antara ucapan-ucapan ilmiah dan non-ilmiah oleh kelompok Wina dan Karl Popper tidak relevan menurut Bachelard.[5]



BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1.      Kary raymond Popper adalah seorang filosof ilmu pengetahuan yang cukup terkenal. Lahir di Wina tanggal 28 juli 1902. Dia lagir di keluarga yahudi protestan. Ayahnya, Dr. simon siegmund carl Popper, seorang pengacara yang sangat berminat pada filsafat. Perpustakaannya yang luas mencakup kumpulan karya filsuf-filsuf besar agaknya mempengaruhi karl Popper mewarisi minatnya pada filsafat dalam problem sosial dari sang ayah.
2.      Menurut Popper sikap ilmiah adalah sikap kritis yang tidak mencari verifikasi atas teorinya, melainkan tes-tes yang akan merefutasinya, meski tak akan mengukuhkannya. Inilah yang disebut dengan falsifikasi.
3.      Popper hendak merumuskan sebuah kriteria deMarkasi antara ilmu dan non ilmu (metafisika). Kriteria deMarkasi yang digunakan oleh Popper adalah kriteria falsifiabilitas (kemampuan dan kemungkinan disalahkan atau disangkal). Setiap pernyataan ilmiah pada dasarnya mengandung kemampuan disangkal, jadi ilmu pengetahuan empiris harus bisa diuji secara deduktif dan terbuka kepada kemungkinan falsifikasi empiris.
4.      Kelemahan-kelemahan teori falsifikasi Popper :
a.       karena pernyataan-pernyataan observasi sangat tergantung pada teori dan dapat salah.
b.       ada hipotesis yang dikemukakan dan tidak konsisten sesuai dengan pernyataan observasi, tetapi tidak pernah ditolak



DAFTAR PUSTAKA.

taryadi Alfons, EPISTEMOLOGI PEMECAHAN MASALAH menurut Karl R. Popper, (Jakarta : gramedia pustaka utama, 1991) hlm. 1
K.R. Popper, “The Logic of Scientific Discovery (logika penemuan ilmiah) terj. (yogyakarta : pustaka pelajar ,2008) hlm 41.




[1] Alfons taryadi, EPISTEMOLOGI PEMECAHAN MASALAH menurut Karl R. Popper, (Jakarta : gramedia pustaka utama, 1991) hlm. 1
[2] Ibid. hlm. 6
[3] K.R. Popper, “The Logic of Scientific Discovery (logika penemuan ilmiah) terj. (yogyakarta : pustaka pelajar ,2008) hlm 41.

0 Comments:

Post a Comment